Konstruksi yuridis euthanasia di Indonesia

commit to user adanya suatu persetujuan dari pasien atau walinya dan telah dipenuhinya suatu standar profesi medis yang diakui oleh dunia kedokteran sehingga dipenuhinya beberapa unsur utama yaitu : a Bekerja dengan teliti, hati-hati dan seksama b Sesuai dengan ukuran medis c Sesuai dengan kemampuan rata-rata dibanding dengan dokter dari kategori keahlian sama. d Dengan sarana dan upaya yang memenuhi perbandingan wajar dibandingkan dengan tujuan konkrit tindakan medik tersebut Chrisdiono M Achadiat, 25 : 2006

B. Perbandingan Penerapan euthanasia di Indonesia dan di Berbagai Negara

Belanda, Belgia, Amerika

1. Penerapan euthanasia di Indonesia

a. Konstruksi yuridis euthanasia di Indonesia

Munculnya pro dan kontra seputar persoalan euthanasia menjadi beban tersendiri bagi komunitas hukum. Sebab, pada persoalan legalitas inilah persoalan euthanasia akan bermuara. Kejelasan tentang sejauh mana hukum pidana positif memberikan regulasipengaturan terhadap persoalan euthanasia akan sangat membantu masyarakat di dalam menyikapi persoalan tersebut. Lebih-lebih di tengah kebingungan kultural karena munculnya pro dan kontra tentang legalitasnya. Menurut surat edaran ikatan dokter Indonesia No.702PBH2092004 yang menyatakan sebagai berikut: “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif” . Sedangkan menurut Farid Ansa Moeloek Eutanasia atau pembunuhan tanpa penderitaan hingga saat ini belum dapat diterima dalam nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. Euthanasia hingga commit to user saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP. Ini menunjukkan bahwa peraturan IDI tersebut hanya sebatas dengan euthanasia aktif. Untuk euthanasia lainnya masih belum jelas pengaturannya apakah diperbolehkan atau tidak Hayunislah. http:naifu.wordpress.com20100812euthanasia- dalam-perspektif-al-qurE28099an diakses 24 Januari 2011 Patut menjadi catatan, bahwa secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasienkorban itu sendiri voluntary euthanasia sebagaimana secara eksplisit diatur dalam Pasal 344 KUHP. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul, bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Dengan konteks hukum positif di Indonesia, tidak dimungkinkan dilakukan pengakhiran hidup seseorang sekalipun atas permintaan orang itu sendiri. Perbuatan tersebut tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Mengenai Pasal 344 tersebut muncul dua pendapat. Menurut Simons bahwa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang tegas dan sungguh-sungguh dari korban itu dapat terjadi tanpa pelaku harus melakukan perbuatan atau dengan kata lain dengan kata lain dengan sikap pasif itu sesorang dapat dipandang sebagai telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang dimaksud dalam Pasal 344 KUHP. Menurut lamintang pendapat tersebut masih memerlukan penjelasan yang cukup lanjut yakni mengenai tentang siapa yang dapat dipersalahkan telah menghilangkan nyawa orang lain seperti yang dimaksud dalam Pasal commit to user 344 KUHP, dalam hal tersebut telah tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa korban. Karena ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 344 KUHP itu berlaku bagi setiap orang, maka pendapat Simons itu mendatangkan bahaya bagi setiap orang dan setiap saat dapat dipersalahkan telah tidak melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa korban yang secara tegas dan sungguh-sungguh telah meminta kepada mereka untuk tidak menyelamatkan nyawanya. Sebagai contoh misalnya mereka yang bermaksud menolong seorang korban kecelakaan yang menderita luka-luka berat, dan yang kemudian telah tidak melakukan sesuatu, misalnya membawa korban kerumah sakit, karena korban telah meminta secara tegas dan sungguh-sungguh kepada mereka untuk meninggalkan dirinya meninggal dunia daripada hidup dalam keadaan cacat. Karena waktu terjadinya kecelakaan semua orang berduyun- duyun untuk memberikan pertolongan maupun dengan tujuan untuk untuk mengetahui keadaan korban, yang kemudian membiarkan korban tersebut meninggal dunia karena telah diminta secara tegas oleh korban untuk membiarkan dirinya meninggal dunia, maka semua orang yang melihat tindak pidana tersebut dapat dipersalahkan telah melakukan pembunuhan seperti yang diatur dalam pasal 344 KUHP Rehnalemken Ginting, 41 : 2009 Dari rumusan Pasal 344 tersebut mengandung tiga rumusan pokok mengenai euthanasia yaitu tentang perbuatan dilarang menghilangkan nyawa orang lain, orang yang melakukan perbuatan dilarang barang siapa, sehingga dapat juga ditujukan kepada dokter serta pidana pidana paling lama 12 tahun penjara. Pasal lain yang masih mempunyai hubungan dengan euthanasia adalah Pasal 338 dan Pasal 340. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP disebutkan : Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sementara dalam ketentuan Pasal 340 KUHP dsebutkan : commit to user Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. Di luar dua ketentuan di atas juga terdapat ketentuan lain yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 ayat 3 KUHP yang juga mengancam terhadap penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum. Selain itu dalam Bab XV KUHP khususnya Pasal 304 dan Pasal 306 ayat 2. Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP disebutkan : Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Sementara dalam ketentuan Pasal 306 2 KUHP disebutkan : Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun. Dua ketentuan terakhir tersebut di atas memberikan penegasan, bahwa dalam konteks hukum positif di Indonesia, meninggalkan orang yang perlu ditolong juga dikualifikasi sebagai tindak pidana. Dua pasal terakhir ini juga bermakna melarang terjadinya euthanasia, akan tetapi euthanasia seperti apa yang dilarang masih belum jelas. Persoalan euthanasia, meskipun pelaksanaannya tidak harus dan tidak selalu dengan suntikan, merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik euthanasia mengingat euthanasia berhadapan dengan faham nilai menyangkut hak dan kewajiban menghormati dan membela kehidupan. commit to user Untuk melaksanakan tugas-tugasnya dan menghindari suatu tuntutan hukum, seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure SOP, serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP. Dokter tidak dapat disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur. Sehingga rekam medik medical record dan informed consent persetujuan yang baik dan benar harus terpenuhi. Dalam melakukan tindakan medis adakalanya dokter mengalami suatu tuntutan pidana dari pasien atau pihak keluarganya. Akan tetapi dokter dapat lepas dari tuntutan tersebut antara lain : 1 Telah melakukan pelayana medis sesuai dengan standar profesi, standar pelayana medis dan standar operasional prosedur. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 50 huruf a Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran, apabila seorang dokter telah melaksanakan pelayanan medis atau praktek kedokteran telah sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur opersaional maka dokter tidak dapat dituntut hukum . 2 Informed concent Sebelum tindakan medik dilakukan, seorang dokter berkewajiban memberikan penjelasan terhadap pasien tau keluarganya tentang diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan resikonya, resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Pengaturan mengenai Informed concent terdapat pada Pasal 39, 45 Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran yang menyatakan bahwa, praktek kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Segala tindakan medik tersebut harus dilakukan dokter dengan mendapatkan persetujuan pasien. Persetujuan commit to user tersebut dapat dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan dan untuk tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis, yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Namun dalam keadaan gawat darurat atau tindakan yang biasa dilakukan atau diketahui umum persetujuan ini tidak diperlukan implied concent . Informed consent dalam segi hukum mengandung beberapa hal antara lain : i. Dalam formulir informed consent dirumuskan pernyataan kehendak kedua belah pihak yaitu pasien menyatakan setuju atas tindakan yang diusulkan oleh dokter dan formulir persetujuan tersebut ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Karena persetujuan tersebut merupakan kehendak dua belah pihak, mak tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan pihak lain, dan mengikat kedua belah pihak. ii. Informed Consent tidak dapat meniadakan atau mencegah diadakannya suatu tuntutan didepan pengadilan atau membebaskan rumah sakit atau dokter terhadap tanggung jawabnya. Informed Consent hanya dapat digunakan sebagai bukti tertulis akan adanya izin atau persetujuan dari pasien. iii. Formulir yang ditanda tangani oleh pasien atau wali pada pertama kali masuk atau dirawat dirumah sakit berbunyi “Segala akibat akan menjadi tanggung jawab pasien sendiri dan tidak menjadi tanggung jawab dokter”. Rumusan tersebut secara hukum tidak mempunyai kekuatan hukum, mengingat seorang tidak dapat membebaskan dirinya dari tanggung jawabnya atas kesalahan yang dilakukannya Erina Pane, 2009 : 52. Persetujuan pasien atau keluarganya merupakan pelaksanaan dari hak dasar pasien atas pelayanan kesehatan the right to health care dan hak untuk menentukan nasib sendiri the right of self determination yang harus diakui dan dihormati. Setelah pasien menyetujui atas tindakan medik berdasarkan informasi yang jelas dan terang, serta tindakan medik tersebut sesuai dengan standar medik, maka dokter tidak dapat dipersalahkan atas tindakannya. commit to user 3 Contribution Negligence kesalahan pasien Dokter tidak dapat dipersalahkan apabila dokter gagal atau tidak berhasil dalam penanganan terhadap pasien apabila pasien tidak kooperatif karena tidak menjelaskan dengan sejujurnya tentang riwayat penyakit yang pernah dideritanya serta obat-obatan yang telah dikonsumsi selama sakit, atau tidak mentaati petunjuk-petunjuk serta instruksi dokter atau menolak cara pengobatan yang telah disepakati. Hal ini dianggap sebagai kesalahan pasien yang dikenal dengan istilah contrbution negligence atau pasien turut bersalah. Kejujuran serta mentaati saran dan instruksi dokter ini dianggap sebagai kewajiban pasien terhadap dokter dan terhadap dirinya sendiri. 4 Respectible minority rules and error of judgement Bidang kedokteran merupakan suatu bidang yang sangat kompleks, seperti dalam suatu upaya pengobatan sering terjadi ketidak sepakatan atau pendapat yang sama tentang terapi yang cocok terhadap suatu situasi medis khusus. Pendekatan terhadap suatu penyakit berlainan bagi dokter yang satu dengan yang lainnya. Namun tetap harus berdasarkan ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggung jawabkan. Berdasarkan kedaan diatas muncul suatu teori hukum yang disebut dengan respectable minority rule yaitu seorang dokter tidak dianggap lalai apabila ia memilih satu dari sekian cara pengobatan yang diakui. Dari kekeliruan dokter memilih alternatif tindakan medik pada pasiennya yang muncul teori baru yang disebut dengan error of judgement atau biasa disebut dengan medical judgement atau medical error, yaitu pilihan tindakan medis dari dokter yang telah didasarkan pada standar profesi, ternyata pilihannya keliru. Doktrin ini menyatakan bahwa kekeliruan pilihan dokter ini tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada dokter karena tidak ada kelalaian dalam pilihan ini. Kecuali ia tidak mengikuti standar medis yang umum dipergunakan oleh dokter lainnya didalam keadaan yang sama. Keadaan khusus ini harus diperhitungkan dan suatu pemeriksaan yang kuat commit to user diperlukan. Pemeriksaan harus lebih hati-hati dilakukan apabila dokter telah membuat diagnosa yang bertentangan. Yang menjadi perbedaan kekeliruan menilai dan kelalaian atau kekhilafan adalah dalam mengumpulkan data- data penting yang dapat dipakai untuk menunjang, maka hal ini bukan merupakan kekeliruan penilaian, akan tetapi ini adalah kelalaian. Dianggap lalai karena tidak mempergunakan fasilitas yang dipakai untuk lebih memastikan dan yakin terhadap diagnosa yang ditegakkannya. 5 Volenti Non Fit Iniura Volenti Non Fit iniura merupakan doktrin lama dalam ilmu hukum yang dapat pula dikenakan pada hukum medis, yaitu suatu asumsi yang sudah diketahui sebelumnya tentang adanya resiko medis yang tinggi pada pasien apabila dilakukan tindakan medis kepadanya. Apabila telah dilakukan penjelasan selengkap lengkapnya dan ternyata pasien atau keluarganya menyetujui informed concent, apabila terjadi resiko yang telah diduga sebelumnya ini, maka dokter tidak dapat dipertanggung jawabkan atas tindakan medisnya. 6 Vicarious liability Hospital liability Dalam hal pertanggung jawaban, maka yang pertama kali dimintai pertanggung jawaban dalah rumah sakit. Perkembangan hukum kesehatan serta kecanggihan teknologi kedokteran, rumah sakit, tidak dapat melepaskan diri tanggung jawab pekerjaan yang dilakukan oleh para medisnya. Apabila dokter bekerja penuh pada rumah sakit maka yang bertanggung jawab adalah rumah sakit bukan dokter tersebut. 7 Res ipsa ioquitor Doktrin res ipsa ioquitor berkaitan secara langsung dengan beban pembuktian yaitu pemindahan beban pembuktian dari penggugat pasien kepada tergugat tenaga medis. Terhadap kelalaian tertentu yang sudah nyata, jelas sehingga dapat diketahui seorang awam atau menurut pengetahuan umum antara pasien dengan dokter bahwa cacat, luka, cedera, atau fakta sudah jelas nyata akibat tindakan medik, dan hal semacam ini commit to user tidak memerlukan pembuktian dari pnggugat akan tetapi tergugatlah yang harus membuktikan bahwa tindakannya tidak termasuk lalai atau keliru. Pada Medical error sangatlah berbeda dengan medical violence karena pada medical error dokter sudah bertindak benar menurut prosedur yang sudah diakui didalam rumah sakit, namun efek tidak diharapkan tetap bisa terjadi. Bisa saja penetapan prosedur medik tersebut salah, akan tetapi dokter tidak dapat diperalahkan karena dokter tersebut telah mengerjakan sesuai dengan prosedur rumah sakit. Sedangkan medical violence, dokter telah bertindak salah karena tidak sesuai dengan prosedur yang ada dirumah sakit, maka dokter tersebut jelas melakukan kelalaian. Medical error sangat terkait dengan sistem yang ada, karena secara teoritis medical error akan timbul apabila faktor yang mempengaruhi yang mempengaruhi error masih ada Faktor tersebut adalah perfomance kinerja dan knowledge pengetahuan dokter. Faktor yang paling dominan dalam terjadinya error adalah kinerja dokter atau dokter gigi. Sementara dirumah sakit kinerja doktersangat dipengaruhi oleh sistem yang mengatur dokter dalam menjalankan praktek profesinya. Pada medical error masalah utama yang perlu diukur adalah keabsahan atau kebiasaan yang ada. Dapat saja prosedur tersedut salah artinyam dokter telah mengerjakan sesuatu yang benar , akan tetapi cara tersebut tidak adekuat. Walaupun kejadian tersebut disebut error namun demikian terjadi karena hospital error atau system error . Dalam hospital error sangat terkait dengan sistem yang ada pada rumah sakit. Kondisi hospital error juga tidak terlepas dari sistem yang besar yang menaunginya antara lain kebijakan pemerintah tentang perumah sakitan, pembiayaan kesehatan serta pendapatan masyarakat. Sistem error merupakan salah satu masalah utama dan sumber kecacatan atau kematian pasien yang tidak diharapkan Syahrul Macmud, 174 : 2008

b. Penegakan hukum euthanasia

Dokumen yang terkait

JAMINAN PEMENUHAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN OLEH WARGA NEGARA INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

0 17 20

JAMINAN PEMENUHAN HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN OLEH WARGA NEGARA INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA

0 6 9

Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia - [PERATURAN]

0 4 29

PENGATURAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM.

1 1 9

TINJAUAN YURIDIS HAK ASASI MANUSIA TERHADAP PENERAPAN HUKUMAN MATI DI INDONESIA (STUDI HUKUM TERHADAP UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA).

0 0 6

HAK ASASI MANUSIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA (Studi Terhadap undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 26 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia).

0 0 6

Tinjauan Yuridis Viktimologis tentang Tindakan Perbudakan dihubungkan dengan Undnag-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

0 1 2

UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

0 0 29

PERLINDUNGAN HAK ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK TANJUNG PATI KABUPATEN 50 KOTA MENURUT KAJIAN UNDANG -UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA - Repositori Universitas Andalas

0 0 3

PERLINDUNGAN HAK ANAK DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK TANJUNG PATI KABUPATEN 50 KOTA MENURUT KAJIAN UNDANG -UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA - Repositori Universitas Andalas

0 0 1