Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Pemeriksaan

12 5. Karena PK diajukan oleh keluarga terpidana sedangkan terpidana sendiri masih hidup. Putusan MA tanggal 31 Mei 1983 No. 4 PKPid1981. Selain permohonan PK yang tidak dapat diterima, MA juga dapat menolak permintaan PK dalam hal: 9 1. Alasan keberatan yang mendasari permintaan PK secara formal memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat 2; 2. akan tetapi sekalipun alasan permintaan sah secara formal, namun alasan itu tidak dapat dibenarkan karena: a. Secara faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau novum. Sebagai contoh, keberatan yang diajukan pemohon dalam Putusan MA tanggal 13 April 1984 Reg. 15PKPid1983. Dalam putusan ini, keadaan baru yang diajukan pemohon antara lain surat pernyatan saksi Masri yang dituangkan dalam bentuk akta notaris tanggal 2 Juni 1983. Su rat pernyataan saksi tersebut berisi keterangan bahwa bukti P4 yang pernah diajukan pelapor adalah bohong dan berisi tipu muslihat, yakni mengenai terjemahan dari bahasa Tionghoa ke dalam bahasa indonesia yang semestinya harus diterjemahkan “meminjam” tapi telah diterjemahkan dengan kata “titipan”. Terjemahan yang demnikian dibuat oleh yang membuat pernyataan Masri karena atas permintaan anak pelapor. Inilah kemudian fakta atau keadaan baru yang diajukan pemohon sebagai alasan yang mendasari permintaan PK. Tanggapan MA atas alasan ini, keadaan baru atau bukti baru yang diajukan pemohon hanya merupakan “penafsiran” belaka dari pemohon, dan bukan merupakan fakta autentik yang benar-benar relevan melumpuhkan fakta 9

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, edisi kedua, sinar Grafika,Jakarta, 2007 hlm. 632. 13 yang sudah kuat dalam putusan semula. Oleh karena itu, fakta baru yang dikemukakan pemohon tidak bernilai sesuai dengan apa yang ditentukan Pasal 263 ayat 2 huruf a. b. Tidak benar terdapat saling pertentangan antara pelbagai putusan. Sebagai contoh, putusan MA tanggal 13 Juni 1984 Reg. No. 8 PKPid1983. Pemohon antara lain mengajukan alasan ada salin g pertentangan antara putusan pidana No. 81980 yang telah menghukum pemohon dengan pidana penjara atas kesalahan melakukan kejahatan penggelapan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 374 KUHP, dengan putusan MA dalam perkara perdata No. 1438 KSip1983. Akan tetapi pemohon sendiri tidak mampu menunjukkan secara jelas dimana letak pertentangan antara kedua putusan tersebut. Oleh karena itu, MA menolak permintaan PK atas alasan keberatan yang diajukan pemohon tidak dapat dibenarkan sebab ternyata tidak ada pertentangan antara putusan pidana No. 81980 dengan putusan MA dalam perkara perdata No. 1438 KSip1983. c. Putusan tidak benar mengandung kekhilafan atau kekeliruan hakim. Sebagai contoh dalam putusan MA tanggal 9 Juni 1983 No. 6 KPid 1982. Semula pemohon dijatuhi pidana atas kejahatan menggunakan surat palsu berdasar putusan MA tanggal 22 Desember 1979 No. 161 KKr1978. Atas putusan ini terpidana mengajukan permohonan PK. Salah satu alasan yang dikemukakan adanya kekhilafan dan kekeliruan dalam putusan MA No. 161 KKr1978, karena dalam putusan itu MA memerintahkan agar rumah terperkara dikembalikan kepada saksi Karamah, sedang dalam putusan PN 14 Jakarta Selatan-Barat No. 3161976 yang sudah berkekuatan hukum tetap, hak saksi atas rumah tersebut tidak diketahui. Alasan ini dianggap MA tidak dapat dibenarkan karena pengembalian rumah yang menjadi barang bukti dalam perkara pidana No. 161 KKr 1978 didasarkan pada ketentuan bahwa barang bukti dikembalikan kepada orang yang dianggap paling berhak atau siapa pemegang terakhir barang bukti maupun dari tangan siapa barang bukti disita. Dengan demikian hakim dapat menentukan pengembalian barang bukti kepada orang yang dianggap paling berhak sesuai dengan ketentuan Pasal 194 ayat 1 KUHAP. Tentanga adanya orang yang merasa paling berhak atas barang tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan perdata. Berdasar alasan itu, tidak benar ada kekhilafan dan kekeliruan dalam putusan dimaksud. Terdapat beberapa asas yang ditentukan dalam upaya PK, antara lain adalah: 10 1. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi putusan semula; Asas ini diatur dalam Pasal 266 ayat 3 KUHAP yang menegaskan, pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK ”tidak boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula” yang diperkenankan adalah menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 266 ayat 2 huruf b angka 4. Prinsip yang diatur dalam Pasal 266 ayat 3 ini sejalan dengan tujuan yang terkandung dalam lembaga upaya PK yang bermaksud membuka kesempatan 10 Ibid., hlm. 639. 15 kepada terpidana untuk membela kepentingannya agar bisa terlepas dari ”ketidakbenaran” penegak hukum. 2. Permintaan PK tidak menangguhkan pelaksanaan putusan; Berdasarkan ketentuan Pasal 268 ayat 1 KUHAP, dinyatakan bahwa PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan. Putusan yang terhadapnya diminta PK sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka itu PK sebagai sebagai upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa MA tidak dapat menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan yang dijalani oleh terpidana, hal ini dapat dilakukan apabila dipandang perlu. Jika permintaan PK beserta berkas perkara sudah diterima oleh MA dan sementara itu terpidana meninggal dunia, maka diteruskan atau tidaknya permintaan PK diserahkan kepada kehendak ahli warisnya Pasal 268 ayat 2 KUHAP. 3. Permintaan PK hanya dapat dilakukan satu kali Pasal 268 ayat 3 KUHAP membenarkan atau memperkenankan permintaan PK atas suatu perkara hanya satu kali saja. Prinsip ini berlaku terhadap permintaan kasasi demi kepentingan hukum. Dalam PK asas ini agak menyentuh keadilan karena seolah-olah prinsip ini merupakan suatu tantangan antara kepastian hukum dengan rasa keadilan, dan dengan bera ni mengorbankan keadilan dan kebenaran demi tegaknya kepastian hukum. B. Tinjauan Terhadap Putusan Peninjauan Kembali Dengan Terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum Lembaga PK di dalam perkara pidana dikenal dengan istilah ”herziening” dan dalam perkara pidana dikenal dengan istilah ”request civiel” atau rekes sipil 16 mendapat tempat berpijak mula-mula dalam UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 15, yang dinyatakan tidak berlakunya oleh UU No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan tidak berlakunya berbagai undang-undang dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, kemudian dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 21 yang menggantikan Undang-undang No. 19 Tahun 1964. Terakhir, UU No. 14 Tahun 1970 diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, di dalam undang-undang inipun diatur mengenai PK, yaitu di dalam Pasal 23 yang berbunyi: ”1 Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang. 2 Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali” Baik Undang-undang No. 19 Tahun 1964, UU No. 14 Tahun 1970, maupun UU No. 4 Tahun 2004 menunjukan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara yang mempunyai wewenang dan tugas mengadili putusan- putusan yang dimohonkan PK. PK sebagai upaya hukum dapat dipergunakan baik terhadap putusan dalam perkara pidana maupun perkara perdata. PK dalam bahasa asing disebut ”Herziening”, hal ini dapat diketahui dari Penjelasan atas UU No. 19 Tahun 1964, pasal demi pasal, khususnya Pasal 15 yang berbunyi: ”Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali putusan pengadilan atau herziening”. Belum adanya undang-undang yang mengatur hukum aca ra PK sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 14 Tahun 1970 oleh MA dikeluarkan pada tanggal 1 Desember 1980 Peraturan MA No. 1 Tahun 1980 untuk menampung masalah- masalah yang timbul karena adanya permohonan PK. Peraturan MA ini mengatur PK, baik mengenai perkara pidana maupun perkara perdata. 17 Kini PK dalam perkara pidana telah mendapat pengaturannya dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP sehingga untuk bagian Peraturan MA itu kehilangan daya berlakunya, sedang bagian lainnya masih berlaku bahkan disempurnakan. Setelah lahirnya KUHAP barulah istilah PK dipertegas, kemudian lebih dipertegas lagi dalam Pasal 1 ayat 3 Peraturan Mahkamah Agung Tahun 1982 yang menentukan: ”Upaya hukum luar biasa yang selama ini dikenal dengan istilah request civielrekes sipil tidak dikenal lagi dan diganti dengan istilah peninjauan kembali”. Dengan demikian saat ini tidak dikenal lagi istilah Herziening ataupun rekes sipil. Baik untuk perkara pidana maupun perdata hanya dipergunakan istilah ”peninjauan kembali”. Mahkamah Agung MA ditunjuk untuk mengadili perkara PK oleh Pasal 15 UU No. 19 Tahun 1964 jo Pasal 31 dan 52 UU No. 13 Tahun 1965 dan sesudah UU No. 19 tahun 1964 dinyatakan tidak berlaku dan diganti oleh UU No. 14 Tahun 1970 maka ketentuan ini diatur di dalam Pasal 21, yang terakhir UU No. 14 Tahun 1970 diganti oleh UU No. 4 Tahun 2004 dan terhadap ketentuan ini diatur di dalam Pasal 23 ayat 1. Fungsi MA dalam melakukan peradilan dalam PK ialah mengadakan koreksi terakhir demi tegaknya keadilan. 11 Sejak diterimanya permintaan PK yang diajukan oleh penuntut umum dalam kasus Muchtar Pakpahan Putusan No. 55 PKPid1996, tanggal 25 Oktober 1996, telah menimbulkan perdebatan di berbagai kalangan. Hal ini menjadi preseden bagi penuntut umum untuk mengajukan PK. Hal yang sama-pun terjadi dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir yang diduga dilakukan oleh Pollycarpus Budihari Priyanto. Kasus ini menjadi 11 Soedirjo, Op.Cit., hlm. 34. 18 menarik karena pada kasus ini Jaksa Penuntut Umum JPU mengajukan PK atas putusan MA. Pada tingkat Pengadilan Negeri, atas perbuatannya, Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto didakwa Pasal 340 KUHP jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan Pasal 263 ayat 2 KUHP jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP oleh Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat dan diputus terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan pidana “Turut melaku kan pembunuhan berencana” dan “Turut melakukan pemalsuan surat” serta dihukum penjara selama 14 empat belas tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 Desember 2005 No. 1361Pid.B2005PN.Jkt.Pst. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini selanjutnya diaj ukan permohonan banding oleh Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa. Adapun selanjutnya permohonan banding tersebut diterima dan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta selanjutnya menguatkan Putusan No. 1361Pid.B2005PN.Jkt.Pst. pada tanggal 27 Maret 2006 dengan Putusan No.16PID2006 PT.DKI. Selanjutnya putusan Mahkamah Agung RI tanggal 3 Oktober 2006 No.1185 KPid2006 menolak permohonan kasasi Pemohon Kasasi I Jaksa Penuntut Umum dan menerima permohonan kasasi Pemohon Kasasi II Pollycarpus Budihari Priyanto. Putusan MA ini kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 16PID2006PT.DKI, tanggal 27 Maret 2006 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1361Pid.B2005 PN.Jkt.Pst, tanggal 20 Desember 2005. Kemudian dalam mengadili sendiri, MA memutus bahwa Terdakwa dinyatakan tidak bersalah dalam melakukan tindak pidana seba gaimana didakwakan dalam dakwaan Kesatu, yaitu “Turut melakukan pembunuhan 19 berencana” sehingga Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan Kesatu tersebut. Akan tetapi Terdakwa dinyatakan bersalah dalam melakukan tindak pidana “Menggunakan Surat Palsu”, oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut dijatuhi dengan pidana penjara selama 2 dua tahun. Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat mengajukan PK terhadap putusan Kasasi tersebut dengan alasan yurisprudensi dalam perkara atas nama terdakwa Muchtar Pakpahan putusan MA Nomor : 55PKPid1996 tanggal 25 Okttober 1996, dalam perkara atas nama terdakwa ram Gulumal alias V. Ram Putusan MA Nomor: 3PKPid2001 tanggal 2 Agustus 2001 dan dalam perkara terdakwa Soettiyawati alias Ahua binti Kartaningsih Putusan MA Nomor: 15PKPid2006 tanggal 9 Juni 2006. Kemudian, pada hari Jum’at tanggal 25 Januari 2008 dalam Putusan MA No. 109 PKPid2007, MA menerima permohonan PK Jaksa dan menyatakan bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana : 1. Melakukan pembunuhan berencana; 2. Melakukan pemalsuan surat; MA dalam putusannya juga menjatuhkan pidana 20 tahun penjara kepada Terdakwa. Konsep dan ide yang menutup hak mempergunakan upaya hukum biasa bagi penuntut umum terhadap putusan bebas dilanjutkan menjadi sistem ”linear” sampai kepada upaya hukum luar biasa. Konsep dan ide inilah yang dirumuskan dalam Pasal 263 KUHAP, yang menegaskan: 12 - Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan PK kepada MA; 12

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Pemeriksaan

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Yang Diajukan Oleh Jaksa (Analisa Terhadap Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

2 111 125

Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana

2 70 135

Peninjauan kembali (PK) kasus Munir dalam perkara terpidana Pollycarpus menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia dan Hukum Islam

1 12 92

ANALISIS KONTROVERSI PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

0 2 13

DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Oleh Jaksa Penuntut Umum (Studi Kasus Di Kejaksaan Negeri Sukoharjo).

0 3 16

SKRIPSI Pelaksanaan Praperadilan Yang Diajukan Oleh Pihak Ketiga Terhadap Penghentian Penyidikan Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Pengadilan Negeri Boyolali).

0 2 13

Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali.

0 2 7

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG TELAH DIAJUKAN LEBIH DAHULU OLEH TERPIDANA DI MAHKAMAH AGUNG.

0 0 1

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 183 PK/PID/2010 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH TERPIDANA ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM.

0 0 1

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUUXIV/ 2016 - Unika Repository

0 0 13