Praktik Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana

6

BAB II PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN JAKSA PENUNTUT UMUM

DALAM KASUS POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO

A. Praktik Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana

Ketentuan mengenai peninjauan kembali PK dalam perkara pidana diatur di dalam Bab XVIII mengenai upaya hukum luar biasa, Bagian Kedua: Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap, Pasal 263 sampai dengan Pasal 269. Mengenai pengertian dari PK, Soenarto Soerodibroto, dalam tulisannya Liku-Liku Lembaga Peninjauan Kembali, mengatakan sebagai berikut : 3 Herziening adalah Peninjauan Kembali terhadap keputusan - keputusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum pasti yang berisikan pemidanaan, dimana tidak dapat diterapkan terhadap keputusan dimana tertuduh telah dibebaskan vrijgesproken. Terhadap pengertian dari Soenarto Soerodibroto diatas, terdapat bandingan pengertian mengenai PK yang dikemukakan oleh Irdan Dahlan dan A. Hamzah, sebagai berikut : 4 ”Peninjauan Kembali, yaitu hak terpidana untuk meminta memperbaiki keputusan pengadilan yang telah menjadi tetap, sebagai akibat kekeliruan atau kelalaian ha kim dalam menjatuhkan putusannya.” Bila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP terdapat kesamaan elemen. Adapun Pasal 263 ayat 1 KUHAP berisi : “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung” 3 Wahyu Wiriadinata , Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum, Cetakan Pertama, Java Publishing, Bandung 2008, hlm.27-28 4 Ibid. 7 Jika kita telaah elemen-elemen dari PK seperti dilihat dari pengertian diatas, maka kita dapat menemukan beberapa hal : 5 a. Meninjau kembali; b. Putusan yang telah mempunyai kekuatan tetap in kracht van gewijsde; c. Bukan putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan; dan d. Dimohonkan terpidana atau ahli warisnya. Memperhatikan elemen-elemen diatas, maka terlihat bahwa weteen memberikan ketentuan yang terbatas, sebagaimana disebutkan dalam penjelasan pasalnya yang mengatakan bahwa pasal ini memuat alasan secara limitatif untuk dapat dipergunakan meminta peninjauan kembali suatu putusan perkara pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Batasan yang termuat dengan mendasar bisa dilihat dengan putusan-putusan yang masih dalam proses upaya hukum biasa, seperti Banding atau Kasasi tidak diperbolehkan mengajukan PK. 6 Syarat-syarat untuk memungkinkan mengajukan permintaan PK ke Mahkamah Agung MA adalah: 1. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Putusan yang dimaksud disini bukan hanya putusan yang mengandung pemidanaan penjatuhan pidana, tetapi juga putusan yang menjatuhkan tindakan maatregel serta upaya hukum ini baru dapat dipergunakan apabila upaya hukum biasa telah dipergunakan. Upaya PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan, baik putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi banding maupun putusan Mahkamah 5 Ibid., hlm. 28-29 6 Ibid ., hlm. 29 8 Agung kasasi yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Berarti setelah putusan diberitahukan secara sah kepada terdakwa, sejak saat itu melekat dalam putusan MA sifat putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Maka sejak saat itu terbuka jalan untuk meminta PK terhadap putusan MA tersebut. Sekalipun upaya PK dapat diajukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun hal ini dikecualikan terhadap putusan bebas vrijspraak dan lepas dari segala tuntutan hukum onslag rechts vervolging. Hal ini logis karena tujuan upaya PK dimaksudkan sebagai upaya yang memberikan kesempatan kepada terpidana untuk membela kepentingannya agar dia terlepas dari kekeliruan pemidanaan yang dijatuhkan kepadanya. 2. Alasan yang menjadi dasar permintaan PK adalah: a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan Pasal 263 ayat 2a KUHAP; b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain Pasal 263 ayat 2b KUHAP; c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata Pasal 263 ayat 2c KUHAP; 9 d. Apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan Pasal 263 ayat 3 KUHAP. Apabila diperhatikan, adanya keadaan baru atau novum ditempatkan sebagai alasan utama atau pertama. Alasan mengenai hal tersebut dapat diketahui melalui Penjelasan atas Pasal 15 UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menekankan bahwa ”Pada umumnya, peninjauan kembali putusan hanya dapat dilakukan apabila terdapat nova, yaitu fakta-fakta atau keadaan-keadaan baru, yang pada waktu dilakukan peradilan yang dahulu, tidak tampak atau memperoleh perhatian”. Selain ketentuan tersebut, dalam Penjelasan Umum atas UU No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung juga menekankan bahwa peninjauan kembali hanya dapat diminta apabila terdapat novum atau keadaan baru, sedangkan Penjelasan Umum atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa ”Peninjauan Kembali ini dilakukan apabila terdapat fakta-fakta atau keadaan- keadaan yang pada waktu mengadili dahulu belum diketahui. Ketentuan-ketentuan tersebutlah yang mendorong pembuat UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana KUHAP menempatkan novum sebagai alasan utama. Peninjauan kembali hanya dapat diajukan berdasarkan atas kekhilafan hakim terhadap fakta atau keadaan, tidak atas dasar salah menerapkan hukumnya. Hal ini diungkapkan MA dalam putusannya No. 6 PKKr1980 yang dalam pertimbangannya menyatakan antara lain bahwa permohonan PK yang diajukan oleh kuasa terpidana atas dasar Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum tidak dapat diterima. Mahkamah Agung memberikan dasar 10 pertimbangannya pada Pasal 9 ayat 2b Perma No. 1 Tahun 1980 yang berlaku waktu itu, kini ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP, dimana ternyata bahwa keadaan baru yang dapat mengha silkan PK disebut keadaan sehingga menimbulkan persangkaan kuat bahwa putusan yang akan dijatuhkan akan mengandung pelepasan dari tuntutan pidana karena perbuatan yang didakwakan bukan merupakan kejahatan atau pelanggaran. Keadaan baru tersebut niscaya bersifat yuridis. 7 Dikaitkan dengan ada tidaknya pemeriksaan terhadap permintaan PK, putusan MA dapat berisi: 1. menyatakan permintaan PK tidak dapat diterima 2. menolak, atau 3. menerima putusan PK. Pemeriksaan PK dimulai pertama-tama diteliti masalah dapat diterima atau tidaknya ontvakelijkheid sesudah itu baru masalah materi pokok perkara dari permintaan PK. Suatu permintaan PK memenuhi syarat untuk dipakai sebagai dasar dalam pemeriksaan PK ontvakelijkheid: 1. Apabila diajukan dengan lisan atau tulisan oleh pemohon yaitu terpidana atau ahli warisnya atau wakilnya menurut surat kuasa khusus; 2. Apabila diajukan terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum; 3. Apabila permintaan berisi alasan-alasan yang secara limitatif disebut dalam Pasal 263 ayat 2 dan 3 KUHAP. Apabila formalitas ini tidak dipenuhi, hasilnya ialah keputusan MA yang menyatakan permintaan PK tidak dapat diterima. 7 Soedirjo, op.cit, hlm. 22. 11 Selain syarat tersebut di atas, suatu permintaan PK diputus tidak dapat diterima oleh MA dalam hal-hal sebagai berikut: 8 1. Apabila pemohon bukan terpidana; 2. Apabila alasan yang menjadi dasar permohonan PK adalah keliru menerapkan hukum; 3. Apabila permintaan diajukan oleh seorang untuk terpidana dengan tidak mendapat surat kuasa khusus; 4. Apabila pemohon adalah salah seorang keluarga terpidana, sedang terpidana masih hidup; 5. Apabila putusan yang terhadapnya diajukan permintaan PK adalah putusan bebas; 6. Apabila perkara masih dalam pemeriksaan tingkat kasasi. Praktek pengadilan selama ini terdapat beberapa keputusan MA mengenai permintaan PK tidak dapat diterima, antara lain: 1. Karena permintaan PK tidak diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya. Putusan MA tanggal 20 Februari 1984 No. 1PKPid1984; 2. Karena pemohon sudah pernah mengajukan permintaan PK yang sudah diputus oleh MA tanggal 24 Agustus 1983 No. 46PKKr1981. Putusan MA tanggal 29 Oktober 1984 No. 5 PKPid.1984; 3. Karena permintaan PK diajukan oleh saksi. Putusan MA tanggal 31 Oktober 1984 No. 18 PKPid1984; 4. Karena PK ditujukan terhadap putusan bebas. Putusan MA tanggal 24 Agustus 1983 No. 32 PKPid1981; 8 Ibid.., hlm. 35. 12 5. Karena PK diajukan oleh keluarga terpidana sedangkan terpidana sendiri masih hidup. Putusan MA tanggal 31 Mei 1983 No. 4 PKPid1981. Selain permohonan PK yang tidak dapat diterima, MA juga dapat menolak permintaan PK dalam hal: 9 1. Alasan keberatan yang mendasari permintaan PK secara formal memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat 2; 2. akan tetapi sekalipun alasan permintaan sah secara formal, namun alasan itu tidak dapat dibenarkan karena: a. Secara faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau novum. Sebagai contoh, keberatan yang diajukan pemohon dalam Putusan MA tanggal 13 April 1984 Reg. 15PKPid1983. Dalam putusan ini, keadaan baru yang diajukan pemohon antara lain surat pernyatan saksi Masri yang dituangkan dalam bentuk akta notaris tanggal 2 Juni 1983. Su rat pernyataan saksi tersebut berisi keterangan bahwa bukti P4 yang pernah diajukan pelapor adalah bohong dan berisi tipu muslihat, yakni mengenai terjemahan dari bahasa Tionghoa ke dalam bahasa indonesia yang semestinya harus diterjemahkan “meminjam” tapi telah diterjemahkan dengan kata “titipan”. Terjemahan yang demnikian dibuat oleh yang membuat pernyataan Masri karena atas permintaan anak pelapor. Inilah kemudian fakta atau keadaan baru yang diajukan pemohon sebagai alasan yang mendasari permintaan PK. Tanggapan MA atas alasan ini, keadaan baru atau bukti baru yang diajukan pemohon hanya merupakan “penafsiran” belaka dari pemohon, dan bukan merupakan fakta autentik yang benar-benar relevan melumpuhkan fakta 9

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP-Pemeriksaan

Dokumen yang terkait

Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Yang Diajukan Oleh Jaksa (Analisa Terhadap Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

2 111 125

Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana

2 70 135

Peninjauan kembali (PK) kasus Munir dalam perkara terpidana Pollycarpus menurut Hukum Acara Pidana di Indonesia dan Hukum Islam

1 12 92

ANALISIS KONTROVERSI PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

0 2 13

DIVERSI DALAM PENYELESAIAN PERKARA ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM Diversi Dalam Penyelesaian Perkara Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Oleh Jaksa Penuntut Umum (Studi Kasus Di Kejaksaan Negeri Sukoharjo).

0 3 16

SKRIPSI Pelaksanaan Praperadilan Yang Diajukan Oleh Pihak Ketiga Terhadap Penghentian Penyidikan Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Pengadilan Negeri Boyolali).

0 2 13

Kewenangan Jaksa Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali.

0 2 7

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH PENUNTUT UMUM TERHADAP PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG TELAH DIAJUKAN LEBIH DAHULU OLEH TERPIDANA DI MAHKAMAH AGUNG.

0 0 1

STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NO. 183 PK/PID/2010 TENTANG PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH TERPIDANA ATAS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI YANG DIAJUKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM.

0 0 1

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 33/PUUXIV/ 2016 - Unika Repository

0 0 13