Residu, Toksisitas, dan Baku Mutu Logam Berat 1. Residu dan Toksisitas Merkuri Hg

xxxvi terjadi bila kadar logam berat berlebih pada media tanam tersebut. Darmono 1995 menambahkan bahwa kadar logam berat berlebih menyebabkan kerusakan pada lingkungan alami termasuk tanaman. Tanaman memerlukan mineral atau logam sebagai unsur nutrisi dalam jumlah yang sedikit. Penyerapan logam berat akan sampai ke puncak tanaman bila cukup di dalam air irigasi dan sebelumnya sudah ada di akar. Akar tanaman akan lebih mudah menyerap logam berat dalam bentuk ion bebas daripada dalam bentuk terikat dengan asam kompleks dan garam kompleks yang melarut atau tersuspensi dalam air irigasi. Pada tanah asam, Pb dan Cu berada dalam bentuk asam kompleks, sedangkan Cd dan Zn berada dalam bentuk kation bebas. Serapan Pb akan meningkat bila kapasitas pertukaran kation, kadar bahan organik, kadar P rendah, dan media perakaran luas. Di samping dari media tanam, Pb juga dapat tersedia bagi tanaman melalui udara. Fungsi Pb dari udara lebih bersifat menutupi pori-pori daun daripada membuka stomata daun Lepp, 1981 dan Darmono, 1995. 2.6. Residu, Toksisitas, dan Baku Mutu Logam Berat 2.6.1. Residu dan Toksisitas Merkuri Hg Moore dan Ramamoorthy 1984 menyatakan bahwa residu Hg pada air tawar yang alami sekitar 0,00002 – 0,0001 ppm dan pada air laut sekitar 0,00001 – 0,00003 ppm. Sedimen yang belum tercemar mengandung Hg maksima l 1,0 ppm. Menurut Darmono 1995, rata-rata residu Hg pada air tawar yang alami adalah 0,0001 ppm dan pada air laut yang alami adalah 0,00015 ppm. Hasil penelitian Supriyanto dan Lubis 1988 pada air minum di Jakarta memperlihatkan bahwa kadar Hg telah melebihi ambang batas rekomendasi Departemen Kesehatan yaitu 0,002 ppm, sehingga perlu dilakukan penanganan yang serius. Pada tahun 1979, Pacyna 1983 meneliti residu Hg pada limbah yang disebabkan oleh industri di Eropa. Hasilnya memperlihatkan bahwa sebagian besar residu Hg berasal dari pembakaran sampah industri dan penggunaan logam dalam produksi yang masing-masing mencapai 20 ton per tahun. Moore dan xxxvii Ramamoorthy 1984 menambahkan bahwa residu Hg dalam limbah industri berbeda -beda, tetapi tetap tinggi untuk setiap industri, yaitu : a industri kertas mencapai 2 - 3,4 ppm; b industri peleburan mencapai 2 – 4 ppm; c industri pupuk mencapai 2,6 – 4 ppm; d industri campuran mencapai 5.440 ppm; dan e industri klor alkali mencapai 80 – 2.000 ppm. Residu yang tinggi ini sangat berbahaya bila berinteraksi dengan tubuh manusia atau organisme perairan. Menurut Mason 1991 dan Palar 1994, apabila Hg masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah yang berlebih, maka dapat mengganggu fungsi fisiologik tubuh. Di lingkungan perairan, Hg organik diubah oleh organisme menjadi metil merkuri yang toksisitasnya lebih tinggi dan lebih mudah diserap oleh jaringan tubuh. Metil merkuri yang diserap oleh usus dapat disimpan lebih dari 99 pada jaringan. Dalam bentuk organik, Hg lebih toksik daripada dalam bentuk anorganik. Pada ikan misalnya, fenil merkuri asetat mempunyai sifat toksisitas 7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan HgCl 2 Moore dan Ramamoorthy, 1984. Menurut Darmono 1995, bentuk organik yang paling toksik dari Hg adalah alkil merkuri metil merkuri dan etil merkuri. Dalam beberapa hari, kedua bentuk merkuri ini dapat menyebabkan gangguan syaraf yaitu ataksia, kelemahan, hiper estese peka, konvulsi, kebutaan, koma, dan kematian. Gangguan tersebut terjadi setelah ada distribusi dari sel darah merah yang sebelumnya diserap secara sempurna oleh usus dari makanan. Bentuk anorganik dari Hg yang bersifat toksik sangat sedikit dan didistribusikan ke otak. Gejala yang paling menonjol dari bentuk anorganik ini adalah rasa sakit pada saluran pencernaan dan ginjal. Levander dan Cheng 1980 menyatakan bahwa toksisitas Hg dalam bentuk metil merkuri dapat terjadi pada manusia apabila kadarnya mencapai 9 sampai 24 ppm, atau setara dengan 0,3 mg per 70 kg bobot badan per hari. Darmono 1995 menambahkan bahwa toksisitas Hg juga terjadi dalam bentuk murni karena sifatnya yang mudah menguap. Bila diserap oleh paru-paru, maka dengan mudah didistribusikan oleh darah ke otak yang menyebabkan gangguan pada sistem syaraf pusat. Gejala toksik ditandai oleh oedema paru-paru, tremor, salivasi, dan gingivitas. xxxviii

2.6.2. Residu dan Toksisitas Kadmium Cd

Menurut Peterson dan Alloway 1979, residu Cd pada tanah yang alami adalah 0,00006 ppm dengan kisaran tidak tercemar antara 0,00005 – 0,00007 ppm. Darmono 1995 menyatakan bahwa rata-rata residu Cd pada air tawar yang alami adalah 0,0003 ppm dan pada air laut yang alami adalah 0,00011 ppm. Pacyna 1983 meneliti residu Cd dari limbah industri di Eropa pada tahun 1979 yang memperlihatkan : a aktivitas industri besi, baja, dan logam campuran mencapai 60 ton per tahun; b pembakaran sampah atau limbah mencapai 85 ton per tahun; c industri semen mencapai 15 ton per tahun; dan d penggunaan logam dalam produksi mencapai 20 ton per tahun. Darmono 1995 menyatakan bahwa Cd yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan toksisitas kronis terutama pada ginjal. Dalam jangka waktu yang lama, Cd juga bersifat toksik terhadap paru-paru, tulang, dan hati. Diet dengan protein, Ca, atau Fe yang rendah meningkatkan penyerapan Cd, sehingga daya toksisitasnya meningkat. Dinding usus menyerap Cd dan didistribusikan melalui darah ke dalam jaringan tubuh terutama ginjal dan hati. Ginjal dan hati dapat menyimpan sekitar 50 dari Cd yang diserap. Pada organisme perairan seperti ikan, Cd terakumulasi dalam isi perut, insang, tulang, dan daging. Hasil penelitian Suwirma et al. 1980 menunjukkan bahwa akumulasi Cd pada organ-organ tersebut untuk ikan kembung tidak jauh berbeda kecuali pada daging akumulasinya lebih rendah. Pada ikan mujair terjadi perbedaan akumulasi untuk semua organ, yaitu isi perut insang tulang daging. Akumulasi pada daging ikan mujair rendah diduga karena distribusi Cd lebih sulit dibandingkan pada ketiga organ lainnya. Organisme yang sedang tumbuh janin, telur, dan benih sangat peka terhadap toksisitas Cd. Bagi organisme ini, Cd bersifat teratogenik dapat menyebabkan cacat fisik, misalnya pada janin manusia dapat menyebabkan kelainan pada rahang, kaki, dan rusuk. Bila Cd menyerang pada usia dewasa, gejalanya akan terlihat pada usia 50 tahun dengan akumulasi kritis 0,2 ppm pada saat terjadi kegagalan ginjal Darmono, 1995. Akumulasi Cd pada ginjal relatif lebih tinggi dibandingkan pada organ lainnya, karena ruang akumulasi luas dan suasana asam-basa lebih cocok dengan xxxix sifat kimia Cd. Disamping itu, ginjal berperan penting dalam penyaringan cairan tubuh, sehingga memberi peluang terjadinya pengendapan padatan termasuk Cd. Menurut Boudou et al. 1983, ruang akumulasi yang luas, tingkat sirkulasi yang tinggi, dan sifat kimia logam toksik yang adaptif dapat meningkatkan akumulasi logam tersebut.

2.6.3. Residu dan Toksisitas Timbal Pb

Residu Pb pada air tawar yang alami biasanya maksimal 0,003 ppm dan residu pada perairan yang menerima buangan limbah cair pertambangan sekitar 0,5 ppm Imhoff dan Koppe, 1980; Pande dan Das, 1980. Untuk tanah yang belum tercemar, residu Pb mencapai 2 - 50 ppm. Sedimen yang dekat dengan aliran limbah perkotaa n dan industri umumnya mempunyai residu Pb maksimal 500 ppm Moore dan Ramamoorthy, 1984. Darmono 1995 menambahkan bahwa residu Pb pada air tawar yang alami adalah 0,0003 ppm dan pada air laut yang alami adalah 0,00003 ppm. Pacyna 1983 menjelaskan tentang residu Pb pada limbah industri di Eropa pada tahun 1979 dan hasilnya memperlihatkan residu Pb paling tinggi dibandingkan residu Hg, Cd, dan As. Residu Pb pada limbah industri besi, baja, dan logam campuran mencapai 14.660 ton per tahun, bekas pembakaran sampah mencapai 800 ton per tahun, industri semen mencapai 750 ton per tahun, dan penggunaan logam dalam produksi mencapai 2.000 ton per tahun. Menurut Darmono 1995, Pb yang masuk ke dalam tubuh dapat menyebabkan toksisitas pada sel darah merah, jaringan lunak ginjal, hati, tulang, dan jaringan keras gigi dan tulang rawan. Diantara jaringan tubuh ini, tulang dan jaringan keras dapat menyimpan 90 – 95 dari total Pb yang disimpan tubuh. Jaringan tubuh tersebut menyerap Pb dari saluran pencernaan dengan bantuan aliran darah. Penyerapan Pb dipengaruhi oleh kompetisi dan interaksi dengan logam lain. Bila Ca dan Zn kekurangan dalam tubuh, atau makanan tidak ada yang masuk karena puasa, maka penyerapan Pb lebih mudah. Untuk organisme perairan seperti ikan, pada kesadahan 350 ppm sebagai CaCO 3 dapat menyebabkan toksisitas dengan LC- 50 untuk Pb 400 ppm. Tetapi pada kondisi perairan umumnya, toksisitas akan terjadi lebih cepat dengan LC- 50 xl selama 96 jam untuk Pb berkisar 0,5 – 10 ppm. Jika ikan Salmo gairdnerii tercemar limbah Pb dengan konsentrasi sedikit lebih tinggi yaitu 13 ppm, maka dapat terjadi penurunan volume sel darah merah termasuk kadar besi yang dikandungnya dan berakhir dengan kematian Hodson et al. , 1978. Pada masa pertumbuhan, organisme relatif peka terhadap Pb. Anak-anak terutama yang berumur 3 bulan sampai 8 tahun menyerap Pb lebih banyak daripada orang dewasa dan mencapai 50 . Anak-anak yang menderita toksisitas Pb cenderung mengalami gangguan neurologi seperti bodoh, kesulitan berpikir, gangguan tingkah laku bahkan kerusakan otak permanen Byers dan Lord, 1953. Untuk organisme perairan, Darmono 1995 menyatakan bahwa fase telur, larva, dan pos larva dari ikan, kerang, dan udang sangat peka terhadap logam berat termasuk Pb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur ikan salmon, larva oister Crassostrea gigas, kepiting, dan udang sangat peka terhadap Pb.

2.6.4. Baku Mutu Logam Berat untuk Pemanfaatan Sumberdaya Air

Baku mutu digunakan sebagai dasar pertimbangan peruntukan sumberdaya air, dasar pertimbangan daya tampung beban pencemaran air, dan dasar penilaian tingkat pencemaran air PP RI No. 82 tahun 2001. Untuk penentuan pencemaran logam berat dalam pemanfaatan sumberdaya air, ada beberapa baku mutu yang dapat digunakan, antara lain : a Baku mutu logam berat air golongan C dan D menurut PP RI No. 82 tahun 2001. Air golongan C diperuntukkan bagi usaha perikanan budidaya dan peternakan, dan air golongan D diperuntukkan bagi usaha pertanian, usaha perkotaan, industri, da n pembangkit listrik tenaga air; b Baku mutu logam berat air minum menurut Kep. MENKES RI No. 907 MENKESSKVII 2002; c Baku mutu logam berat air bersih menurut Kep. MENKES RI No. 416MENKESPERIX 1990; d Baku mutu logam berat untuk tanaman hijau menurut Allaway 1968; e Baku mutu logam berat untuk bahan pangan menurut Kep. Direktorat Jenderal POM DEPKES RI No. 03725B SK1989; f Baku mutu logam berat untuk perikanan air deras menurut O-FISH 2002; g Baku mutu logam berat xli untuk air pembibitan ikan menurut DITJEN Budidaya DKP RI 2003; h Baku mutu logam berat untuk air pertanian dengan tanah tekstur halus menurut Shainberg dan Oster 1978; i Baku mutu logam berat yang dapat diurai tanah menur ut Peterson dan Alloway 1979 dan Koppe 1980; dan j Baku mutu lingkungan untuk kehidupan biota air, ekosistem, dan penguraian hara dari berbagai sumber.

2.7. Manfaat Ekonomi dan Sifat Sumberdaya Air