2.1.3 Aspek-aspek Perilaku Agresif
Buss dan Perry 1992 membagi empat aspek perilaku agresif, yaitu: a.
Agresi fisik merupakan tindakan agresi yang menyakiti individu lain secara fisik seperti memukul, menendang, merugikan orang
lain secara fisik dan lain-lain. b.
Agresi verbal, yaitu respon vokal yang menyampaikan stimulus yang menyakkiti mental dalam bentuk penolakan dan ancaman
seperti mengumpat, menyebarkan cerita yang tidak menyenangkan tentang seseorang kepada orang lain, memaki, mengejek,
membentak dan berdebat. c.
Kemarahan, yakni emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang
lain serta dirinya sendiri. Kemarahan merupakan pendahuluan untuk agresi. Orang cenderung untuk agresi saat marah daripada
ketika tidak marah.
d. Permusuhan adalah sikap negatif terhadap orang lain yang muncul
karena munculnya perasaan tertentu seperti cemburu dan dengki. Permusuhan mengekspresikan kebencian ataupun kemarahan yang
sangat kepada pihak lain. Moore dan Fine dalam Koeswara, 1988 menyimpulkan bahwa aspek-
aspek perilaku agresif adalah: a.
Agresi fisik Yaitu tingkah laku kekerasan secara fisik, seperti mencubit, memukul,
menendang, mendorong, menyerang dengan senjata dan sebagainya. b.
Agresi verbal Yaitu tingkah laku kekerasan secara verbal, seperti menghina,
mengumpat, memaki, memfitnak, mengancam, dan sebagainya.
Untuk mengukur perilaku agresif dalam penelitian ini, penulis menggunakan 4 empat aspek perilaku agresif menurut Buss dan Perry,
yaitu agresi fisik, agresi verbal, amarah dan permusuhan.
2.1.4 Faktor-faktor Yang Memengaruhi Perilaku Agresif
Menurut Santrock 2003, faktor-faktor yang memengaruhi perilaku agresif adalah sebagai berikut:
a. Identitas remaja
Remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang
membuat mereka merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan kepada mereka, kemungkinan besar mereka terlibat
dalam tindakan agresif karena tindakan agresif tersebut merupakan suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identitas
tersebut negatif. b.
Kontrol diri rendah Beberapa anak dan remaja gagal memperoleh kontrol yang esensial
yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. c.
Usia Munculnya tingkah laku antisosial di usia dini anak-anak
berhubungan dengan perilaku delinkuensi yang lebih serius nantinya di masa remaja. Namun demikian, tidak semua anak bertingkah laku
seperti ini nantinya akan menjadi pelaku delinkuensi. d.
Jenis kelamin laki-laki Anak laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku antisosial
daripada anak perempuan. Keenan dan Shaw dalam Gracia, et al., 2000, menyatakan anak laki-laki memiliki risiko yang lebih besar
untuk munculnya perilaku merusak. Namun, demikian perilaku
pelanggaran seperti prostitusi dan lari dari rumah lebih banyak dilakukan oleh remaja perempuan.
e. Harapan dan nilai-nilai yang rendah terhadap pendidikan
Remaja menjadi pelaku kenakalan seringkali diikuti karena memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan dan juga nilai-nilai yang
rendah di sekolah. f.
Kehidupan dalam keluarga Seseorang berperilaku nakal seringkali berasal dari keluarga, di mana
orang tua menerapkan pola disiplin secara tidak efektif, memberikan mereka sedikit dukungan, dan jarang mengawasi anak-anaknya
sehingga terjadi hubungan yang kurang harmonis antar anggota keluarga, antara lain hubungan dengan saudara kandung dan sanak
saudara. Hubungan yang buruk dengan saudara kandung di rumah akan cenderung menjadi pola dasar dalam menjalin hubungan sosial
ketika berada di luar rumah. g.
Pengaruh teman sebaya Memiliki
teman-teman sebaya
yang melakukan
kenakalan meningkatkan resiko untuk menjadi pelaku kenakalan.
h. Status ekonomi sosial
Penyerangan serius lebih sering dilakukan oleh anak-anak yang berasal dari kelas sosial ekonomi yang lebih rendah.
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Tempat dimana individu tinggal dapat membentuk perilaku individu tersebut,
masyarakat dan
lingkungan yang
membentuk kecenderungan kita untuk berperilaku ”baik” atau ”jahat”.
Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa dunia di sekitar maupun didalam diri anak sangat berpengaruh terhadap
perilaku agresif anak sendiri. Salah satu faktor yang paling memengaruhi terbentuknya perilaku agresif yaitu faktor keluarga. Hubungan antar anggota
keluarga yang tidak harmonis akan memberikan kesempatan pada anak untuk belajar dari pengalamannya berinteraksi secara negatif dengan saudara
kandungnya di rumah, yang kemudian akan menjadi dasar dalam berperilaku di luar rumah. Keluarga merupakan pembentuk perilaku dan kepribadian
anak. Keluarga yang kurang kasih sayang, dukungan dan perselisihan dalam keluarga dapat memicu timbulnya perilaku agresif, karena apa yang terjadi
pada anak didalam keluarga sangat berpengaruh pada diri anak tersebut. Jika pola asuh yang diterapkan orangtua adalah demokrasi maka
anak akan memiliki konsep diri yang positif dengan menunjukkan sikap yang bertanggung jawab, mandiri. Namun jika orang tua menerapkan pola asuh
otoriter maka anak akan menjadi penakut, pendiam, tertutup sehingga memiliki konsep diri yang negatif. Begitu juga dengan pola asuh yang
permisif membuat anak memiliki konsep diri yang negatif karena anak akan menunjukkan sikap yang agresif, manja, tidak patuh, kurang mandiri dan
kurang percaya diri. Perilaku agresif sangat mudah terbentuk dan menetap pada anak yang mengalami kekerasan didalam keluarganya.
2.2 POLA ASUH OTORITER