Kedudukan Gereja dan Negara sebagai Hamba Allah

75

2. Kedudukan Gereja dan Negara sebagai Hamba Allah

Dalam hal kedudukan gereja dan negara, pemahaman Iman GPIB menempatkan gereja dan negara pada kedudukan yang sama sebagai hamba Allah. Teologi politik juga menempatkan gereja dan negara sama kedudukannya. Sehingga terbuka kemungkinan untuk diadakan koreksi dan kritik kepada pemerintah. Sebagai hamba, gereja dan negara diberikan kuasa untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Yaitu bagaimana menciptakan keadilan dan kedamaian bagi semua lapisan masyarakat tanpa memandang latarbelakang suku, agama dan kelompok. Persoalannya yang terjadi adalah bagaimana kedua bela pihak gereja dan negara tidak melaksanakan kehendak Allah. Teologia politik mengajarkan agar gereja menggunakan suara kenabiannya untuk mengoreksi tindakan penerintannegara yang bertentang dengan kehendak Allah. Gereja tidak perlu takut kepada pemerintah kalau memang apa yang diperjuangkan gereja tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan. Misalnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran, mensejahterakan masyarakat, memperjuangkan penegakan hukum dan hak asasi manusia dan sebagainya. Apalagi GPIB sebagai badan hukum 1 yang dijamin oleh Undang-Undang, ia harus lebih pro aktif dalam praktek pelaksanaannya. 1 1].Kelembagaan GPIB diakui oleh Negara dipersembahkan sebagai Badan Hukum dan diatur berdasarkan : a .Staatsblad Hindia Belanda Nomor 156 1927 tanggal 29 Juni 1925 yang mengatur tentang Paguyuban- paguyuban Gereja yang bersifat Badan Hukum. Staatsblad Nomor 305 tahun 1948 tanggal 3 Desember 1948, yang menetapkan GPIB sebagai Gereja bagian yang berdiri sendiri Zelfstandige onderdeel dari Gerega Protestan di Indonesia; b.Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1985 yang mengatur dan mendaftarkan GPIB dalam Lembaga Negara sesuai Surat Keputusan SK Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Kristen Protestan Departemen Agama Republik Indonesia No. 35 tahun 1988 dan tanggal 6 Pebruari 1988 tentang pernyataan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat GPIB sebagai Lembaga keagamaan yang bersifat Gereja; c.Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 70 tahun 1969, tentang hak kepemilikan. 2].Berdasarkan pengakuan Negara terhadap GPIB sebagai Badan Hukum, semua tindakan yang dilakukan untuk dan atas nama GPIB ada tindakan perwakilan hukum. 76 Materi katekisasi dan akta gereja, menjelaskan bahwa pemerintah ditempatkan sebagai hambah Allah. Dimana kuasa yang ada pada pemerintah harus dapat dipertanggung jawabkan bagi pekerjaan dan kemuliaan Tuhan. Kuasa yang ada pada pemerintah tidak bersifat mutlak tetapi sementara saja selama rakyat masih mempercayakannya untuk memerintah selama ia menjabat, baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yukatif. Dengan mengacu kepada penjelasan Wogaman, maka model ke-III dari teorinya yaitu pemisahan secara damai antara agama gereja dengan pemerintah sama dengan pemahaman GPIB. Karena keduanya sama-sama menekankan kepada fungsi dan kewenangan masing-masing. Tanpa ikut campur dalam hal tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga. Keduanya bertanggungjawab kepada Allah sebagai pemberi kuasa dalam kerangka menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini nampak dalam pengertian tentang politik. S ecara etimologi berasal dari bahasa Yunani “polis” dan bahasa inggris “politics”. Kedua kata tersebut pada hakekatnya merujuk pada arti yang sama yakni kebijaksanaan. Dalam konteks ini dapat pula diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. 2 Komarudin Sahid mengutip Miriam Boediardjo mengemukakan bahwa, konsep-konsep pokok mengenai politik adalah negara state, kekuasaan power, pengambilan keputusan decision making, kebijakan policys beleid, dan pembagian distribution atau alokasi allocation. Secara terurai, Miriam Bsoediardjo menjelaskan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yang di 2 Kamarudin Sahid, Memahami Sosiologi Politik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, 4-5. 77 dalamnya terdapat proses pengambilan keputusan. Dalam melaksanakan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan- kebijakan umum public policies yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Dan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu perlu kekuasaan power dan kewenangan authority yang akan dipakai baik, untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini. 3 Kekuasaan politik merupakan salah satu unsur atau bagain dari kekuasaan sosial itu. Politik terkait dengan penggunaan dan penyelenggaraan kekuasaan untuk mengatur keseluruhan hidup suatu masyarakat. 4 Dengan kata lain kekuasaan adalah sarana yang dibutuhkan oleh politik untuk mewujudkan apa yang dilihat sebagai yang mungkin. Sebuah kemungkinan merupakan alternatif untuk apa yang secara riil ada. Oleh karena itu kita tidak dapat berbicara tentang politik selama kita hidup di dalam alam kekuasaan yang absolut. Sebab kekuasaan mempunyai hubungan erat dengan wewenang, yakni kepercayaan. Antara kekuasaan dan wewenang secara teoritis dan praktis tentunya berbeda. 5 Jadi wewenang adalah kekuasaan yang bersifat khusus. Kekhususannya adalah ia kekuasaan mempunyai legitimasi atau mendapat dukungan atau pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, tidak semua kekuasaan adalah wewenang, tetapi semua wewenang pasti kekuasaan, yaitu kekuasaan yang mendapatkan legitimasi. 6 3 Ibid., 5. 4 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik Jakarta: Gramedia, 1986, 37 mengartikan kekuasaan politik sebagai kemampuan untuk memengaruhi kebijakan umum Pemerintah baik terbentuknynya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan sendiri. 5 Komarudin Sahid, Memahami Sosiologi Politik Bogor: Ghalia Indonesia, 2011,50 membedakan kekuasaan dan wewenang ialah, bahwa kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak orang yang memegang kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari warga masyarakat. 6 Contoh: Dalam negara demokrasi, seperti Indonesia, kekuasaan adalah di tangan rakyat, tetapi yang menjalankan adalah lembaga-lembaga negara, seperti MPR dan DPR. Di negara-negara komunis, 78 Oleh karena itu GPIB sebagai gereja yang memiliki badan hukum ia mempunyai wewenang untuk mengingatkan pemerintah bahwa apa yang dilakuknnya sangat bertentangan dengan hukum dan undang-undang. Undang-undang yang diskriminatif merugikan kaum minoritas dan menguntungkan kaum mayoritas harus ditiadakan. Karena tidak sesuai dengan prikemanusaan dan prikeadilan yang diatur dalam UUD 1945. Pendampingan Pendeta pada saat mengambilan sumpahjanji jabatan dalam akta gereja mempunyai makna yang dalam yakni ikut bersama pemerintah dan negara dalam menciptakan pemimpin-pemimpin yang arif dan bijaksana bagi terciptanya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Pendampingan pendeta terhadap warga jemaat yang mengambil sumpahjanji tidak semata-mata dilihat sebagai seremonial saja tetapi tanggung jawab moril kepada Tuhan yang memberikan kuasa dan jabatan itu. Pertanyaanya sampai sejaumana GPIB membina warga jemaatnya dalam kerangka pengambilan sumpahjanji. Sehingga warga jemaat tersebut ketika melaksanakan tugasnya benar-benar ia bekerja dengan baik, jujur dan rajin tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, misalnya KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam rumusan akta gereja dikatakan bahwa warga gereja yang mengambil sumpahjanji, tidak boleh mengucapkan kata sumapa demi apapun. Apalagi kepada manusia, dalam hal ini pimpinan yang di atasnya. Hanya kepada Allah saja manusia harus takut dan berserah diri. Oleh karena itu warga jemaat diajarkan untuk berkata jujur tanpa ada motivasi lain. Katakan “Ya Jika Ya dan Tidak Jika Tidak”. Dari pemahaman ini dapat dikatakan bahwa rumusan teologi politik GPIB sama dengan teologi politik yang di jelaskan dalam bab teori. Karena rumusan politik GPIB menempatkan pemerintah dan negara sebagai hamba Allah yang kekuasaan ada di tangan kaun ploretar, tetapi yang menjalankannya adalah, meminjam istilah Marx, diktator proletar, yaitu dewan tertinggi partai komunis. Artinya yang punya kekuasaan adalah kaum proletar atau rakyat, tetapi yang punya wewenang adalah dewan tertinggi partai. 79 suatu ketika ia akan memberikan pertanggung jawaban kepada Allah akan jabatan yang ia sandang. Tidak ada jabatan dan kekuasaan yang mutlak selain dari dari pada kekuasaan Allah.

3. Teologi Politik GPIB: Faktor-Faktor Pendukung

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Politik GPIB dalam Perspektif Teologi Politik T2 752012016 BAB I

0 1 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Politik GPIB dalam Perspektif Teologi Politik T2 752012016 BAB II

0 1 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Politik GPIB dalam Perspektif Teologi Politik T2 752012016 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Politik GPIB dalam Perspektif Teologi Politik

0 0 11

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Persepsi Politik Organisasi di Sekolah Tinggi Teologi Sangkakala Salatiga

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kemanusiaan Pancasila Perspektif Sukarno T2 752012006 BAB IV

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Aset GPIB (Tata Kelola Aset GPIB Sesuai Dengan Tata Gereja GPIB Dan Prinsip Manajemen) T2 912013008 BAB IV

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Konflik Ambon Dalam Perspektif Teori Identitas Sosial T2 752013009 BAB IV

0 1 9

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Perdata dalam Pemasangan Jaringan Kabel Fiber Optik di Kota Salatiga T2 BAB IV

0 0 4

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Waktu Tunggu Eksekusi Pidana Mati dalam Perspektif Hak Asasi Manusia T2 BAB IV

0 0 6