69
BAB IV TANGGUNG JAWAB POLITIK GPIB
DALAM BERTEOLOGI DI BAWAH SOROTAN TEOLOGI POLITIK
Bagian ini adalah sebuah usaha untuk menganalisa pemahaman Teologi Politik GPIB beserta perangkat gereja lainnya dalam sorotan teori yang telah dirumuskan
dalam Bab II. Sesuai dengan kedua tujuan yang hendak dicapai, maka pembahasan ini meliputi: Mengkaji dan menganalisa bagaimana gambaran “teologi politik” GPIB yang
dirumuskan dalam Bab III. a.
Apakah ia sesuai dengan defenisi suatu teologi politik dan memenuhi kriteria teologi politik atau belum.
b. Bagaimana Pemahaman GPIB tentang Teologia Politik dalam Hubungannya dengan
Gereja dan Negara. c.
Faktor-faktor apa yang menyebabkan lahirnya rumusan teologi politik GPIB.
1. Teologi Politik Menjawab Menjawab Realitas Sosial dalam Masyarakat
Dari semua rumusan-rumusan yang ada dalam pemahaman iman, materi katekisasi dan akta gereja nampak belum sesuai dengan rumusan teologi politik yang
telah dijelaskan dalam bab.II.teori. Sebab salah satu ciri khas dari teologi politik adalah bagaimana gereja dapat menjawab realitas sosial dalam masyarakat. Gereja harus
dapat mengkritisi dirinya, teologi dan siatuasi sosial dalam masyarakat. Sebab keselamatan yang diperjuangkan gereja adalah keselamatan sosial bukan keselamatan
pribadi. Keberadaan GPIB di Indonesia mempunyai tantangan tersendiri misalnya; hegemoni Islam, hegemoni Jawa yang mayoritas serta kemiskinan dan penegakan
hukum yang tebang pilih, perda-perda syariah yang mendiskriminasi kaum minoritas.
70
Semuanya menjadi tugas dan tanggung jawab gereja dalam kerangka memberitakan “Shalom” Damai Sejahtera. Kenyataannya keselamatan yang menjadi titik pangkal dari
pemahaman iman, menjadi tertutup hanya bagi orang kristen saja. Hal ini nampak dari kutipan ayat-ayat Alkitab yang tidak sesuai dengan konteks Indonesia itu sendiri, tanpa
mengadakan kajian secara hermeneutik. Sesuai konteks sosio-historis dimana ayat-ayat itu ditulis.
Ternyata ayat-ayat Alkitab dijadikan dokrin tentang keselamatan yang harus dipercayai kebenarannya. Pertanyaan yang muncul adalah apakah suatu dokrin
demikian sudah cukup sebagai suatu refleksi diri terhadap karakter politik suatu masyarakat? Penulis mencatat ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
1. Suatu dokrin yang disusun berdasarkan ayat-ayat Alkitab dalam teologi
keselamatan barulah merupakan ideal-ideal yang masih terkait dengan konteksnya sendiri. Bukti dari pernyataan ini adalah kenyataan teologi keselamatan sendiri
yang hanya merupakan ideal-ideal ayat Alkitab tentang makna keselamatan. 2.
Karena ayat-ayat itu terkait dengan konteksnya, ia juga bukan bentuk transformasi, sebagaimana keharusan suatu teologi politik dibuat. Suatu transformasi terjadi
ketika ada interaksi antara konteks nats, tradisi gereja dan konteks sekarang, serta adanya
suatu hubungan
dengan pandangan-pandangan
luar yang
mempengaruhinya. 3.
Dengan demikian teologi keselamatan sebagai dokrin yang disusun menurut ayat- ayat Alkitab itu adalah suatu teologi yang abstrak, menjadi naskah yang kaku dan
sulit dapat dimengerti oleh warga jemaat yang hidup konkrit.
71
Dengan ketiga catatan tersebut maka timbul pertanyaan kritisnya, bagaimana GPIB membangun hubungan yang harmonis dengan agama-agama lain yang juga punya
landasan teologi sesuai dengan kitab sucinya? GPIB menjadikan Firman Allah sebagai sesutu yang mutlak dan harga mati
untuk dilaksanakan tanpa memikirkan alternatif lain sebagai wadah untuk menjalin dialog dengan agama dan kepercayaan lain. Teologi proses yang menjadi landasan
berpikir teologi politik memahami bahwa segala yang ada dalam dunia ini tidak ada yang mutlak tetapi semuanya berjalan dalam proses untuk mencapai kehendak dan
rencana Allah. Disinilah titik pangkal perbedaan antara teologi politik dalam. Bab-II dan rumusan teologi politik GPIB dalam bab-III.
John B Cobb Jr, menegaskan bahwa Teologi Politik adalah teologi politik. Ia bukan teologi yang berada di bawah politik. Ini adalah upaya untuk berpikir secara
jernih sesuai dengan waktu dan situasi kita. Teologi politik merupakan panggilan terhadap gereja untuk berpikir secara politis. Gereja harus ikut terlibat dalam perjuangan
politik. Meskipun ia berseberangan dengan beberapa program politik baik pemerintah maupun organisasi masyarakat dan partai lainnya. Gereja tidak harus memaksakan
kehendaknya kepada masyarakat. Tugasnya adalah pertama mengkritik secara politik dan dengan prespektif itu gereja juga mengkritik lembaga-lembaga lain. Sehingga
dalam proses itu gereja dapat menjelaskan prinsip-prinsip kristen yang sesuai untuk menciptakan kedamaian bagi semua ciptaan.
Dalam hal ini GPIB belum memiliki dasar hukum yang kuat tentang teologi politik. Pemahaman Iman khususnya: hubungan gereja dan negara dalam
penjelasannya tidak banyak memberikan penjelasan tentang bagaimana sikap dan tindakan warga jemaat dalam hal menyikapi situasi politik di Indonesia. Telah banyak
72
terjadi penutupan gereja, larangan beribadah, dan kesulitan untuk memperoleh ijin membangun gedung gereja. Bagaimana sikap GPIB dalam hal ini sebagai lembaga?
Apakah itu diserahkan kepada orang-perorang ataukah menjadi tugas lembaga. Kalau demikian bagaimana tindakan lembaga dalam menyikapi hal ini.
GPIB lebih banyak mengatur tentang hubungan ke dalam baik secara organisatoris kelembagaan maupun hubungan gereja dan perangkat-perangkat teologi
lainnya. Ia lebih banyak menekankan tentang aturan dan peraturan menyangkut tanggung jawab warga jemaat kepada lembaga, bagaimana mengelola lembaga,
hubungan lembaga dengan gereja lain serta pelaksanaan sidang-sidang dan lain sebagainya. Dari seluruh rumusan tersebut tidak memberikan penjelasan terhadap
masalah yang dihadapi warga jemaat. Hal itu berarti bahwa gereja belum terlalu concern dengan hal-hal yang berbau politik. Padahal disatu pihak gereja selalu
berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat politik. Dan pada pihak lain dampak kebijakan-kebijakan politik tersebut sangat mempengaruhi
keberadaan dan eksistensi gereja itu sendiri. Menurut penulis GPIB belum sampai kepada kesadaran tersebut, dengan demikian maka rumusan politik GPIB tidak sama
dengan penjelasan dalam teologi politik dalam bab-II teori. Perbedaan yang berikut adalah masalah konsep keselamatan. Teologi politik
teori menjelaskan bahwa tidak ada keselamatan pribadi tetapi keselamatan sosial mencakup seluruh alam semesta. Kalau keselamatan itu harus bersifat sosial maka
struktur dan nilai-nilai masyarakat haruslah menjadi agenda khusus untuk dibahas termasuk gereja. Gereja harus terlibat dalam penyusunan dan pembuat undang-undang
serta hukum yang berlaku. Sehingga gereja bukan saja menjadi gerbong dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Indonesia, tetapi juga ia harus menjadi
73
lokomotif untuk menentukan arah dan tujuan ke mana pembangunan dan kesejahteraan Indonesia di arahkan. Keselamatan pribadi hanya dapat membawa gereja kepada
eksklusifisme dan kesalehan pribadi. Gereja tidak peduli dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat anta lain; kemiskinan, pemerkosaan hak-hak masyarakat,
kesenjangan sosial kaya dan miskin, diskriminasi minoritas dan mayoritas dan sebagainya. Yang terpenting bagi gereja adalah membangun menara gading dengan
penonjolan fisik bangunan gereja yang megah, tabungan deposito yang banyak, seremoni ibadah yang nyaman dan menghiburkan. Kecenderungan-kecenderungan yang
demikian adalah gambaran tetang pemahaman teologi keselamatan yang hanya bersifat pribadi semata. GPIB sebagai gereja nasional yang terdiri dan berbagai macam suku dan
tersebar di 25 propinsi Indonesia. Haruslah lebih terbuka terhadap realitas dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi ternyata dalam praktek hidup
bergereja GPIB lebih cenderung eksklusif dan kaku terhadap atauran dan peraturan gereja. Misalnya; sering terjadi perdebatan, dimana posisi mimbar dan tempat
persembahan, bagaimana cara memegang Alkitab ketika menghantar Pelayan Firman, bagaimana menggunakan buku nyanyian dan puji-pujian dalam liturgi ibadah dan lain
sebagainya. Kalau GPIB hanya memperhatikan persoalannya sendiri tanpa memperhatikan persoalan yang terjadi di luar, maka tidaklah mungkin persoalan-
persoalan besar yang menyangkut keadilan dan kesejahteraan besama dapat tercipta dengan baik. Banyak jemaat yang tidak bisa beribadah dengan nyaman karena perda-
perda syariah yang mendeskriditkan, di Banda Aceh, Sumatera Barat dan Jawa Barat Sulawesi Selatan dll. Otonomi daerah yang melanggar hak asasi manusia dengan
peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945.
74
Dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, hukum dan undang-undang, gereja harus terlibat untuk
menggumulinya secara kelembagaan, tidak mempercayakan itu kepada orang-perorang. Disinilah terdapat perbedaan antara pemahaman teologia politik dengan rumusan yang
ada pada pemahaman Iman GPIB. Sesuai dengan penjelasan Pdt.S.Kaihatu bahwa partisipasi politik GPIB itu
nampak pada warga jemaat yang terlibat dalam struktur pemerintahan, baik itu legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Gereja tidak perlu memperlihatkan
keberadaannya yang tampak dalam masyarakat tetapi ia harus bekerja secara diam-diam seperti garam yang larut dalam masakan. Pertanyaannya sampai sejauh mana GPIB
telah membina warganya dengan kesadaran politik? agar ia dapat mengimplementasikan imannya itu dalam tugas dan jabatannya di tengah masyarakat dan bangsa. Kalu ini
belum dilaksanakan, maka jangan diharapkan bahwa warga jemaat dapat mewartakan suara kenabiannya itu demi penegakan hukum dan keadilan. Gereja tidak menjadikan
teologi politik sebagai suatu agenda khusus dalam kerangka menciptakan struktur sosial masyarakat yang adik dan sejahtera. Tidak ada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi,
apabilah masalah partsisipasi politik diserahkan kepada warga jemaat masing-masing. Gereja kehilangan suara kenabiannya dan cenderung menjadi gerbong karena kurang
peduli terhadap masalah-masalah masyarakat yang terjadi. Tidaklah heran kalau keberadaan gereja dilihat sebgai sebuah tanaman asing yang tumbuh di Indonesia. Ia
tidak berurat dan berakar di bumi Indonesia serta menjawab persoalan dan masalah Indonesia yang sedang ia hadapi.
75
2. Kedudukan Gereja dan Negara sebagai Hamba Allah