Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tanggung Jawab Politik GPIB dalam Perspektif Teologi Politik T2 752012016 BAB IV
BAB IV
TANGGUNG JAWAB POLITIK GPIB
DALAM BERTEOLOGI
DI BAWAH SOROTAN TEOLOGI POLITIK
Bagian ini adalah sebuah usaha untuk menganalisa pemahaman Teologi Politik GPIB beserta perangkat gereja lainnya dalam sorotan teori yang telah dirumuskan dalam Bab II. Sesuai dengan kedua tujuan yang hendak dicapai, maka pembahasan ini meliputi: Mengkaji dan menganalisa bagaimana gambaran “teologi politik” GPIB yang dirumuskan dalam Bab III.
a. Apakah ia sesuai dengan defenisi suatu teologi politik dan memenuhi kriteria teologi politik atau belum.
b. Bagaimana Pemahaman GPIB tentang Teologia Politik dalam Hubungannya dengan Gereja dan Negara.
c. Faktor-faktor apa yang menyebabkan lahirnya rumusan teologi politik GPIB. 1. Teologi Politik Menjawab Menjawab Realitas Sosial dalam Masyarakat
Dari semua rumusan-rumusan yang ada dalam pemahaman iman, materi katekisasi dan akta gereja nampak belum sesuai dengan rumusan teologi politik yang telah dijelaskan dalam bab.II.(teori). Sebab salah satu ciri khas dari teologi politik adalah bagaimana gereja dapat menjawab realitas sosial dalam masyarakat. Gereja harus dapat mengkritisi dirinya, teologi dan siatuasi sosial dalam masyarakat. Sebab keselamatan yang diperjuangkan gereja adalah keselamatan sosial bukan keselamatan pribadi. Keberadaan GPIB di Indonesia mempunyai tantangan tersendiri misalnya; hegemoni Islam, hegemoni Jawa yang mayoritas serta kemiskinan dan penegakan hukum yang tebang pilih, perda-perda syariah yang mendiskriminasi kaum minoritas.
(2)
Semuanya menjadi tugas dan tanggung jawab gereja dalam kerangka memberitakan
“Shalom” Damai Sejahtera. Kenyataannya keselamatan yang menjadi titik pangkal dari
pemahaman iman, menjadi tertutup hanya bagi orang kristen saja. Hal ini nampak dari kutipan ayat-ayat Alkitab yang tidak sesuai dengan konteks Indonesia itu sendiri, tanpa mengadakan kajian secara hermeneutik. Sesuai konteks sosio-historis dimana ayat-ayat itu ditulis.
Ternyata ayat-ayat Alkitab dijadikan dokrin tentang keselamatan yang harus dipercayai kebenarannya. Pertanyaan yang muncul adalah apakah suatu dokrin demikian sudah cukup sebagai suatu refleksi diri terhadap karakter politik suatu masyarakat? Penulis mencatat ada tiga hal yang perlu diperhatikan:
1. Suatu dokrin yang disusun berdasarkan ayat-ayat Alkitab dalam teologi keselamatan barulah merupakan ideal-ideal yang masih terkait dengan konteksnya sendiri. Bukti dari pernyataan ini adalah kenyataan teologi keselamatan sendiri yang hanya merupakan ideal-ideal ayat Alkitab tentang makna keselamatan.
2. Karena ayat-ayat itu terkait dengan konteksnya, ia juga bukan bentuk transformasi, sebagaimana keharusan suatu teologi politik dibuat. Suatu transformasi terjadi ketika ada interaksi antara konteks nats, tradisi gereja dan konteks sekarang, serta adanya suatu hubungan dengan pandangan-pandangan luar yang mempengaruhinya.
3. Dengan demikian teologi keselamatan sebagai dokrin yang disusun menurut ayat-ayat Alkitab itu adalah suatu teologi yang abstrak, menjadi naskah yang kaku dan sulit dapat dimengerti oleh warga jemaat yang hidup konkrit.
(3)
Dengan ketiga catatan tersebut maka timbul pertanyaan kritisnya, bagaimana GPIB membangun hubungan yang harmonis dengan agama-agama lain yang juga punya landasan teologi sesuai dengan kitab sucinya?
GPIB menjadikan Firman Allah sebagai sesutu yang mutlak dan harga mati untuk dilaksanakan tanpa memikirkan alternatif lain sebagai wadah untuk menjalin dialog dengan agama dan kepercayaan lain. Teologi proses yang menjadi landasan berpikir teologi politik memahami bahwa segala yang ada dalam dunia ini tidak ada yang mutlak tetapi semuanya berjalan dalam proses untuk mencapai kehendak dan rencana Allah. Disinilah titik pangkal perbedaan antara teologi politik (dalam. Bab-II) dan rumusan teologi politik GPIB (dalam bab-III).
John B Cobb Jr, menegaskan bahwa Teologi Politik adalah teologi politik. Ia bukan teologi yang berada di bawah politik. Ini adalah upaya untuk berpikir secara jernih sesuai dengan waktu dan situasi kita. Teologi politik merupakan panggilan terhadap gereja untuk berpikir secara politis. Gereja harus ikut terlibat dalam perjuangan politik. Meskipun ia berseberangan dengan beberapa program politik baik pemerintah maupun organisasi masyarakat dan partai lainnya. Gereja tidak harus memaksakan kehendaknya kepada masyarakat. Tugasnya adalah pertama mengkritik secara politik dan dengan prespektif itu gereja juga mengkritik lembaga-lembaga lain. Sehingga dalam proses itu gereja dapat menjelaskan prinsip-prinsip kristen yang sesuai untuk menciptakan kedamaian bagi semua ciptaan.
Dalam hal ini GPIB belum memiliki dasar hukum yang kuat tentang teologi politik. Pemahaman Iman (khususnya: hubungan gereja dan negara) dalam penjelasannya tidak banyak memberikan penjelasan tentang bagaimana sikap dan tindakan warga jemaat dalam hal menyikapi situasi politik di Indonesia. Telah banyak
(4)
terjadi penutupan gereja, larangan beribadah, dan kesulitan untuk memperoleh ijin membangun gedung gereja. Bagaimana sikap GPIB dalam hal ini sebagai lembaga? Apakah itu diserahkan kepada orang-perorang ataukah menjadi tugas lembaga. Kalau demikian bagaimana tindakan lembaga dalam menyikapi hal ini.
GPIB lebih banyak mengatur tentang hubungan ke dalam baik secara organisatoris kelembagaan maupun hubungan gereja dan perangkat-perangkat teologi lainnya. Ia lebih banyak menekankan tentang aturan dan peraturan menyangkut tanggung jawab warga jemaat kepada lembaga, bagaimana mengelola lembaga, hubungan lembaga dengan gereja lain serta pelaksanaan sidang-sidang dan lain sebagainya. Dari seluruh rumusan tersebut tidak memberikan penjelasan terhadap masalah yang dihadapi warga jemaat. Hal itu berarti bahwa gereja belum terlalu concern dengan hal-hal yang berbau politik. Padahal disatu pihak gereja selalu berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat politik. Dan pada pihak lain dampak kebijakan-kebijakan politik tersebut sangat mempengaruhi keberadaan dan eksistensi gereja itu sendiri. Menurut penulis GPIB belum sampai kepada kesadaran tersebut, dengan demikian maka rumusan politik GPIB tidak sama dengan penjelasan dalam teologi politik dalam bab-II (teori).
Perbedaan yang berikut adalah masalah konsep keselamatan. Teologi politik (teori) menjelaskan bahwa tidak ada keselamatan pribadi tetapi keselamatan sosial mencakup seluruh alam semesta. Kalau keselamatan itu harus bersifat sosial maka struktur dan nilai-nilai masyarakat haruslah menjadi agenda khusus untuk dibahas termasuk gereja. Gereja harus terlibat dalam penyusunan dan pembuat undang-undang serta hukum yang berlaku. Sehingga gereja bukan saja menjadi gerbong dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran di Indonesia, tetapi juga ia harus menjadi
(5)
lokomotif untuk menentukan arah dan tujuan ke mana pembangunan dan kesejahteraan Indonesia di arahkan. Keselamatan pribadi hanya dapat membawa gereja kepada eksklusifisme dan kesalehan pribadi. Gereja tidak peduli dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat anta lain; kemiskinan, pemerkosaan hak-hak masyarakat, kesenjangan sosial kaya dan miskin, diskriminasi minoritas dan mayoritas dan sebagainya. Yang terpenting bagi gereja adalah membangun menara gading dengan penonjolan fisik bangunan gereja yang megah, tabungan deposito yang banyak, seremoni ibadah yang nyaman dan menghiburkan. Kecenderungan-kecenderungan yang demikian adalah gambaran tetang pemahaman teologi keselamatan yang hanya bersifat pribadi semata. GPIB sebagai gereja nasional yang terdiri dan berbagai macam suku dan tersebar di 25 propinsi Indonesia. Haruslah lebih terbuka terhadap realitas dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. Tetapi ternyata dalam praktek hidup bergereja GPIB lebih cenderung eksklusif dan kaku terhadap atauran dan peraturan gereja. Misalnya; sering terjadi perdebatan, dimana posisi mimbar dan tempat persembahan, bagaimana cara memegang Alkitab ketika menghantar Pelayan Firman, bagaimana menggunakan buku nyanyian dan puji-pujian dalam liturgi ibadah dan lain sebagainya. Kalau GPIB hanya memperhatikan persoalannya sendiri tanpa memperhatikan persoalan yang terjadi di luar, maka tidaklah mungkin persoalan-persoalan besar yang menyangkut keadilan dan kesejahteraan besama dapat tercipta dengan baik. Banyak jemaat yang tidak bisa beribadah dengan nyaman karena perda-perda syariah yang mendeskriditkan, (di Banda Aceh, Sumatera Barat dan Jawa Barat Sulawesi Selatan dll). Otonomi daerah yang melanggar hak asasi manusia dengan peraturan-peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945.
(6)
Dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa yang berhubungan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, hukum dan undang-undang, gereja harus terlibat untuk menggumulinya secara kelembagaan, tidak mempercayakan itu kepada orang-perorang. Disinilah terdapat perbedaan antara pemahaman teologia politik dengan rumusan yang ada pada pemahaman Iman GPIB.
Sesuai dengan penjelasan Pdt.S.Kaihatu bahwa partisipasi politik GPIB itu nampak pada warga jemaat yang terlibat dalam struktur pemerintahan, baik itu legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Gereja tidak perlu memperlihatkan keberadaannya yang tampak dalam masyarakat tetapi ia harus bekerja secara diam-diam seperti garam yang larut dalam masakan. Pertanyaannya sampai sejauh mana GPIB telah membina warganya dengan kesadaran politik? agar ia dapat mengimplementasikan imannya itu dalam tugas dan jabatannya di tengah masyarakat dan bangsa. Kalu ini belum dilaksanakan, maka jangan diharapkan bahwa warga jemaat dapat mewartakan suara kenabiannya itu demi penegakan hukum dan keadilan. Gereja tidak menjadikan teologi politik sebagai suatu agenda khusus dalam kerangka menciptakan struktur sosial masyarakat yang adik dan sejahtera. Tidak ada perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, apabilah masalah partsisipasi politik diserahkan kepada warga jemaat masing-masing. Gereja kehilangan suara kenabiannya dan cenderung menjadi gerbong karena kurang peduli terhadap masalah-masalah masyarakat yang terjadi. Tidaklah heran kalau keberadaan gereja dilihat sebgai sebuah tanaman asing yang tumbuh di Indonesia. Ia tidak berurat dan berakar di bumi Indonesia serta menjawab persoalan dan masalah Indonesia yang sedang ia hadapi.
(7)
2. Kedudukan Gereja dan Negara sebagai Hamba Allah
Dalam hal kedudukan gereja dan negara, pemahaman Iman GPIB menempatkan gereja dan negara pada kedudukan yang sama sebagai hamba Allah. Teologi politik juga menempatkan gereja dan negara sama kedudukannya. Sehingga terbuka kemungkinan untuk diadakan koreksi dan kritik kepada pemerintah. Sebagai hamba, gereja dan negara diberikan kuasa untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan kehendak Tuhan. Yaitu bagaimana menciptakan keadilan dan kedamaian bagi semua lapisan masyarakat tanpa memandang latarbelakang suku, agama dan kelompok. Persoalannya yang terjadi adalah bagaimana kedua bela pihak (gereja dan negara) tidak melaksanakan kehendak Allah. Teologia politik mengajarkan agar gereja menggunakan suara kenabiannya untuk mengoreksi tindakan penerintan/negara yang bertentang dengan kehendak Allah. Gereja tidak perlu takut kepada pemerintah kalau memang apa yang diperjuangkan gereja tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan. Misalnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran, mensejahterakan masyarakat, memperjuangkan penegakan hukum dan hak asasi manusia dan sebagainya. Apalagi GPIB sebagai badan hukum1 yang dijamin oleh Undang-Undang, ia harus lebih pro aktif dalam praktek pelaksanaannya.
1
1].Kelembagaan GPIB diakui oleh Negara dipersembahkan sebagai Badan Hukum dan diatur berdasarkan :
a).Staatsblad Hindia Belanda Nomor 156 1927 tanggal 29 Juni 1925 yang mengatur tentang Paguyuban- paguyuban Gereja yang bersifat Badan Hukum. Staatsblad Nomor 305 tahun 1948 tanggal 3 Desember 1948, yang menetapkan GPIB sebagai Gereja bagian yang berdiri sendiri (Zelfstandige onderdeel) dari Gerega Protestan di Indonesia; b).Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1985 yang mengatur dan mendaftarkan GPIB dalam Lembaga Negara sesuai Surat Keputusan (SK) Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan Departemen Agama Republik Indonesia No. 35 tahun 1988 dan tanggal 6 Pebruari 1988 tentang pernyataan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) sebagai Lembaga keagamaan yang bersifat Gereja; c).Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia nomor 70 tahun 1969, tentang hak kepemilikan. 2].Berdasarkan pengakuan Negara terhadap GPIB sebagai Badan Hukum, semua tindakan yang dilakukan untuk dan atas nama GPIB ada tindakan perwakilan hukum.
(8)
Materi katekisasi dan akta gereja, menjelaskan bahwa pemerintah ditempatkan sebagai hambah Allah. Dimana kuasa yang ada pada pemerintah harus dapat dipertanggung jawabkan bagi pekerjaan dan kemuliaan Tuhan. Kuasa yang ada pada pemerintah tidak bersifat mutlak tetapi sementara saja selama rakyat masih mempercayakannya untuk memerintah selama ia menjabat, baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yukatif.
Dengan mengacu kepada penjelasan Wogaman, maka model ke-III dari teorinya yaitu pemisahan secara damai antara agama (gereja) dengan pemerintah sama dengan pemahaman GPIB. Karena keduanya sama-sama menekankan kepada fungsi dan kewenangan masing-masing. Tanpa ikut campur dalam hal tugas dan tanggung jawab masing-masing lembaga. Keduanya bertanggungjawab kepada Allah sebagai pemberi kuasa dalam kerangka menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal ini nampak dalam pengertian tentang politik.
Secara etimologi berasal dari bahasa Yunani “polis” dan bahasa inggris
“politics”. Kedua kata tersebut pada hakekatnya merujuk pada arti yang sama yakni kebijaksanaan. Dalam konteks ini dapat pula diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik.2 Komarudin Sahid mengutip Miriam Boediardjo mengemukakan bahwa, konsep-konsep pokok mengenai politik adalah negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan (policys beleid), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Secara terurai, Miriam Bsoediardjo menjelaskan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu yang di
2
(9)
dalamnya terdapat proses pengambilan keputusan. Dalam melaksanakan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau alokasi dari sumber-sumber yang ada. Dan untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu perlu kekuasaan (power) dan kewenangan (authority) yang akan dipakai baik, untuk membina kerjasama maupun untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini.3 Kekuasaan politik merupakan salah satu unsur atau bagain dari kekuasaan sosial itu. Politik terkait dengan penggunaan dan penyelenggaraan kekuasaan untuk mengatur keseluruhan hidup suatu masyarakat.4 Dengan kata lain kekuasaan adalah sarana yang dibutuhkan oleh politik untuk mewujudkan apa yang dilihat sebagai yang mungkin. Sebuah kemungkinan merupakan alternatif untuk apa yang secara riil ada. Oleh karena itu kita tidak dapat berbicara tentang politik selama kita hidup di dalam alam kekuasaan yang absolut. Sebab kekuasaan mempunyai hubungan erat dengan wewenang, yakni kepercayaan. Antara kekuasaan dan wewenang secara teoritis dan praktis tentunya berbeda.5
Jadi wewenang adalah kekuasaan yang bersifat khusus. Kekhususannya adalah ia (kekuasaan) mempunyai legitimasi atau mendapat dukungan atau pengakuan dari masyarakat. Dengan demikian, tidak semua kekuasaan adalah wewenang, tetapi semua wewenang pasti kekuasaan, yaitu kekuasaan yang mendapatkan legitimasi.6
3
Ibid., 5.
4
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1986), 37 mengartikan kekuasaan politik sebagai kemampuan untuk memengaruhi kebijakan umum (Pemerintah) baik terbentuknynya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan pemegang kekuasaan sendiri.
5
Komarudin Sahid, Memahami Sosiologi Politik (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011),50 membedakan kekuasaan dan wewenang ialah, bahwa kekuasaan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak orang yang memegang kekuasaan, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan dari warga masyarakat.
6
Contoh: Dalam negara demokrasi, seperti Indonesia, kekuasaan adalah di tangan rakyat, tetapi yang menjalankan adalah lembaga-lembaga negara, seperti MPR dan DPR. Di negara-negara komunis,
(10)
Oleh karena itu GPIB sebagai gereja yang memiliki badan hukum ia mempunyai wewenang untuk mengingatkan pemerintah bahwa apa yang dilakuknnya sangat bertentangan dengan hukum dan undang-undang. Undang-undang yang diskriminatif merugikan kaum minoritas dan menguntungkan kaum mayoritas harus ditiadakan. Karena tidak sesuai dengan prikemanusaan dan prikeadilan yang diatur dalam UUD 1945. Pendampingan Pendeta pada saat mengambilan sumpah/janji jabatan dalam akta gereja mempunyai makna yang dalam yakni ikut bersama pemerintah dan negara dalam menciptakan pemimpin-pemimpin yang arif dan bijaksana bagi terciptanya suatu masyarakat yang adil dan makmur. Pendampingan pendeta terhadap warga jemaat yang mengambil sumpah/janji tidak semata-mata dilihat sebagai seremonial saja tetapi tanggung jawab moril kepada Tuhan yang memberikan kuasa dan jabatan itu. Pertanyaanya sampai sejaumana GPIB membina warga jemaatnya dalam kerangka pengambilan sumpah/janji. Sehingga warga jemaat tersebut ketika melaksanakan tugasnya benar-benar ia bekerja dengan baik, jujur dan rajin tanpa melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, misalnya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dalam rumusan akta gereja dikatakan bahwa warga gereja yang mengambil sumpah/janji, tidak boleh mengucapkan kata sumapa demi apapun. Apalagi kepada manusia, dalam hal ini pimpinan yang di atasnya.
Hanya kepada Allah saja manusia harus takut dan berserah diri. Oleh karena itu warga jemaat diajarkan untuk berkata jujur tanpa ada motivasi lain. Katakan “Ya Jika
Ya dan Tidak Jika Tidak”. Dari pemahaman ini dapat dikatakan bahwa rumusan teologi
politik GPIB sama dengan teologi politik yang di jelaskan dalam bab teori. Karena rumusan politik GPIB menempatkan pemerintah dan negara sebagai hamba Allah yang
kekuasaan ada di tangan kaun ploretar, tetapi yang menjalankannya adalah, meminjam istilah Marx, diktator proletar, yaitu dewan tertinggi partai komunis. Artinya yang punya kekuasaan adalah kaum proletar atau rakyat, tetapi yang punya wewenang adalah dewan tertinggi partai.
(11)
suatu ketika ia akan memberikan pertanggung jawaban kepada Allah akan jabatan yang ia sandang. Tidak ada jabatan dan kekuasaan yang mutlak selain dari dari pada kekuasaan Allah.
3. Teologi Politik GPIB: Faktor-Faktor Pendukung
Pada bagian ini penulis akan menganalisa beberapa faktor-faktor pendukung yang mepengaruhi lahirnya teologi politik GPIB serta dampaknya bagi keberadaan GPIB di masa mendatang.
3.1. GPIB adalah Gereja Nasional
Keberadaan GPIB dengan wilayah pelayanan yang luas dari timur ke barat (Kendari sampai dengan Sabang) dan utara ke selatan (Nunukan sampai dengan Banyuwangi) yang terdapat di 25 propinsi di Indonesia. Selain itu pula warga jemaat yang terdiri dari berbagai macam suku serta status sosial yang ada dalam masyarakat. Menjadikan GPIB memliki tantangan dan peluang yang besar untuk merai masa depan.
Tantangan yang dihadapi GPIB sebagai gereja nasional tersebut adalah bagaimana ia menyikapi perubahan-perubahan politik dan struktur yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya sikap terhadap otonomi daerah yang lebih menekankan kepada kekuasaan pemerintah daerah dan perda-perda syariah yang sangat diskriminatif. Bagaimana GPIB menyikapi hal ini? Terutama jemaat-jemaat yang ada di wilayah pelayanan yang berbasis Islam. (Seperti; di Padang, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Palembang dan sebagainya).
Salah satu butir dalam rumusan PI (gereja dan negara) mengatakan bahwa: “Berdasarkan tuntutan Roh Kudus, warga jemaat yang adalah sekaligus warga negara wajib mentaati undang-undang dan penjabarannya yang telah menjadi ketetapan bersama”. Dengan rumusan ini maka gereja akan menghadapi segala tekanan dan
(12)
ancaman dari pihak luar, terutama dari kelompok-kelompok radikal Islam yang tidak menghendaki keberadaan gereja dan umat kristen di Indonesia.
Ketika undang-undang dan peraturan daerah itu dibuat, dan gereja tidak ikut untuk menggumulinya maka, suatu ketika undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut akan melindas dan menghambat keberadaan gereja. Pada saat itu gereja tidak dapat mengatakan apa-apa, karena ia mengangap bahwa urusan itu adalah urusan pemerinta/negara, bukan urusan gereja. Kalau sampai terjadi demikian maka lambat laun keberadaan GPIB yang ada di daerah-daerah wilayah Muslim akan teraniaya dalam suatu penderitaan yang tak kunjung selesai.
Oleh karena itu rumusan dalam teologia politik GPIB tidak sesuai dengan penjelasan dalam bagian terori. Walaupun dalam rumusan berikutnya mengatakan
bahwa “warga jemaat wajib memberi saran-saran perbaikan secara kritis dan konstruktif
lewat saluran-saluran pengawasan demi keadilan dan kesejahteraan bangsa”. Tetapi saran-saran tersebut bersifat pribadi yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Kalaupun warga jemaat memberikan saran dan kritiknya, apa efek dan dampaknya bagi keberadaan gereja dan orang kristen dimana ia berada. Bukankah ini akan membawa citra buruk bagi keberadaan kekristenan itu sendiri. Seakan-akan kehilangan pegangan dan tidak adanya perlindungan lembaga gereja.
Dengan demikian untuk menjadikan GPIB sebagai gereja nasional, bukan saja wilayah pelayanan dan warga jemaat menjadi ciri khasnya, tetapi juga bagaimana GPIB melihat Indonesia sebagai anugerah dan berkat Tuhan, yang Allah tempatkan untuk dapat berkarya bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Peran GPIB yang diharapkan adalah ikut bersama menentukan arah dan tujuan pembangunan bangsa Indonesia demi mencapai keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Itu berarti
(13)
GPIB haruslah melihat bahwa urusan politik bukan saja menjadi tanggung-jawab pemerintah/negara tetapi merupakan tanggung-jawab gereja juga. Hal ini akan terwujud apabila GPIB memiliki konsep teologia politik yang sesuai dengan apa yang di jelaskan pada bagian teori. Yakni menunjukan sikap kritis terhadap struktur-struktur masyarakat yang tidak adil dan memihak kepada kepentingan golongan tertentu. GPIB harus berani mengoreksi pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya, melaui undang-undang dan perda-perda yang mengacam persatuan dan keatuan bangsa. GPIB secara nasionalis telah membuktikan dirinya dengan meninggalkan sifat kedaerahan (indonesia timur) dengan merangkul dan menerima seluruh warga jemaat dari belahan Indonesia manapun, baik dari timur, utara dan selatan. Semuanya menjadi satu dalam bahtera GPIB.
3.2. GPIB adalah Gereja Negara
Latar belakang historis GPIB sebenarnya merupakan latar belakang historis dari Gereja Protestan di Indonesia, yang pada zaman sebelum perang dunia II dikenal dengan nama “De Protestansche Kerk in Nederlandsch Indie” atau “De Indische Kerk”.
GPIB selaku pewaris dari Gereja Protestan di Indonesia tidak memiliki latar belakang historis yang berpangkal atau bertitik tolak pada kegiatan zending secara langsung dalam suatu daerah dengan masyarakat yang homogen secara etimologis atau yang didiami oleh suatu suku bangsa tertentu, tetapi merupakan warisan dari pemerintahan Belanda dalam hal ini adalah VOC. Dalam artikel 36 dari Nederlandsche Geloofsblijdenis yang ditetapkan oleh Synode di Dordrecht yang berlangsung dari yahun 1618 sampai dengan 1619. Artikel tersebut berbicara tentang Tugas Pemerintah (raja-raja, pangeran-pangeran dan penguasa-penguasa) bukan hanya untuk menjamin ketentraman umum, melainkan juga untuk melindungi ibadat gereja yang kudus, untuk
(14)
memberantas agama berhala dan agama-agama palsu, untuk meruntuhkan kerajaan Anti Kristus, serta memajukan kerajaan Kristus dan memberitakan Injil dimana-mana.
Di dalam oktroi dari VOC tidak termaktub secara khusus kewajiban untuk membentuk gereja diluar Belanda. Akan tetapi oleh karena kepada VOC diserahkan kedaulatan pemerintahan atas daerah-daerah seberang, maka kewajiban pemerintah seperti tersimpul dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofsbelijdenis” tadi, menjadi kewajiban dari VOC pula.
Bagi “De Indische Kerk” selaku gereja negara tanggung jawab anggota
-anggota jemaat di bidang keuangan tidak merupakan suatu hal yang penting. Gaji para pendeta di bayar oleh kas Negara. Dan hasil-hasil kolekte/uang yang tak seberapa itu digunakan untuk membantu orang-orang miskin. Berdasarkan kewajiban VOC yang
tersirat dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofbelijdenis”, maka sikap dan cara
pendekatan orang-orang Protestan terhadap agama-agama lain adalah antitesis.
Mengacu kepada latarbelakang sejarah GPIB dengan melihat kepada rumusan yang terdapat dalam pemahamn iman (hubungan gereja dan negara) yakni “berilah kepada kaisar apa yang kaisar punya da kepada Allah apa yang Allah punya” menandakan bahwa masing-masing lembaga mempunyai otonomi. Otonomi gereja berbeda dengan otonomi negara. Apabila negara mengambil alih otonomi gereja maka yang terjadi adalah gereja kehilangan sikap kritisnya terhadap pemerinta/negara. Pengalaman ini terjadi pada jaman pemerintahan Belanda. Gereja kehilangan sikap kritis atas penindasan dan kekejaman Belanda selama menjajah Indonesia. Banyak aset-aset Belanda yang dihibahkan kepada GPIB (sekolah, rumah sakit, gedung gereja, tanah dan sebagainya). Bangunan gereja yang ditempati GPIB sangat strategis di pusat-pusat kota. Sehingga mendorong para pejabat kristen juga masuk dan menjadi warga GPIB.
(15)
Kondisi ini membuat GPIB sulit untuk menyuarakan suara kenabiannya pada saat ia harus berseberangan dengan pemerintah karena berbagai kebijakan yang tidak sesuai dengan iman kristen. Misalnya peristiwa penembakan misterius (Petrus) di jaman orde baru, penutupan gedung gereja dan ijin membangun gereja yang dipersulit di jaman reformasi. Bagaimana sikap GPIB dalam menyikapi persoalan ini. Asumsis penulis jangan-jangan karena pengaruh sejarah masa lalu itulah maka GPIB lebih cenderung mengambil sikap diam dan apatis. Partisipasi politik yang dicanangkan GPIB kepada warga jemaat juga kurang efektif. Karena partai-partai politik yang menjadi wadah aspirasi gereja dan orang kristen sangat terbatas. Kalupun itu ada apakah gereja telah mempersiapkan warganya untuk bertarung dalam memperjuangkan kepentingan kekristenan di Indonesia.
Pertanyaan ini dapat dijawab apabila GPIB secara tegas harus keluar dari kungkungan sejarah masa lalu. Dengan mengambil basis pelayanan pada konteks masyarakat Indonesia di mana GPIB itu berada. Sehingga citra sebagai gereja penjajah harus diubah menjadi gereja Indonesia yang merakyat dan membumi dengan pelayanan yang menjawab kebutuhan masyarakat setempat.
4. Sistem Pemerintahan Gereja Tidak Menjawab Konteks dan Persoalan Jemaat Sistem pemerintahan gereja yang menganut Presbiterial Sinodal7, memberikan kewenangan yang besar kepada Majelis Sinode dalam mengambil kebijakan dan keputusan yang berkaitan dengan tugas dan panggilan gereja. Kebijakan dan kewenangan itu tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan para presbiter dalam sidang
7
Sistem Presbiterial Sinodal (bahasa Yunuani: Presbiter=tua-tua=Penatua=bersama; hodos=jalan). Cirinya antara lain adalah memberikan tekanan kepada peranan para presbiter yang terpanggil untuk melayani dan memimpin gereja. Untuk menentukan arah-kebijaksanaan gereja, kita melakukannnya bersama-sama melalui Majelis Jemaat, Persidangan Sinode dan Majelis Sinode. Kebersamaan itu lebih praktis, nampak dalam Kepemimpinan Gereja Jemaat sehari-hari. Sistem ini menghidupkan hubungan timbal balik antara Jemaat (Majelis Jemaat) dengan pimpinan gereja (Majelis Sinode). Gereja bukan federasi dari jemaat-jemaat, tetapi keduanya mempunyai hubungan yang dinamis, kaitan yang hdup dan kepentingan timbal balik untuk melaksanakan misi Kristus.
(16)
tahunan (Persidangan Sinode Tahunan) dan sidang lima tahunan (Persidangan Sinode). Ternyata dalam praktek pelaksanaannya terkadang kebijakan dan kewenangan tersebut bertentangan dengan perubahan dan struktur masyarakat yang berubah setiap saat.
Tata gereja GPIB mengatur bahwa semua keputusan yang bersifat stategis dan prinsipil harus mendapatkan persetujuan dari sidang tahunan (PST) atau sidang lima tahunan (PS). Untuk menunggu setahun sampai dengan lima tahun, membutuhkan waktu yang lama ketika GPIB ingin mengambil tindakan politiknya. Bagaimana menyikapi masalah otonomi daerah, perda-perda syariah dan tindakan anarkis kelompok radikal. Gereja dalam hal ini GPIB selalu terlambat dalam menyikapinya. Ada beberapa jemaat yang mengeluh karena keterlambatan pihak Majelis Sinode dalam menangani persoalan ijin pembangunan gereja dan tindakan radikal kelompok tertentu yang menutup gedung gereja. Ketika persoalan ini diserahkan kepada Mupel (Musyawarah Pelayanan), ia tidak mempunyai wewenang karena tidak struktural. Apalagi diserahkan kepada sinode. Pemerintah daerah selalu menolak kehadiran pengurus pusat (Majelis Sinode) dengan alasan otonomi daerah. Wilayah kekuasaan daerah masing-masing berbeda.
Oleh karena itu rumusan yang terdapat dalam pemahaman iman (hubungan gereja dan negara) yang berbunyi bahwa “warga gereja sebagai warga masyarakat perlu membangun rasa persatuan dan kesatuan yang tidak merusak kebhinekaan dan kesetaraan”. Tidaklah relefan dengan persoalan yang dihadapi jemaat. Untuk rumusan ini sangat idial tapi penerapannya dalam hidup berbangsa dan bernegara punya pergumulan tersendiri. Rumusan ini tidaklah dapat menjawab persoalan gereja atau jemaat yang dihadapai. Persoalannya bukan masalah membangun rasa persatuan dan kesatuan, tetapi hukum-hukum dan aturan-aturan yang berlaku sangat merugikan pihak
(17)
gereja. Majelis Sinode sebagai pimpinan gereja harus cepat tanggap dan mengambil tindakan. Ternyata dalam realisasinya tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan alasan kekurangan tenaga, waktu, biaya dan sebagainya.
Pemahaman teologi politik menurut John B.Cobb, bahwa keselamatan tidak menyangkut orang secara pribadi tetapi seluruh tatanan sosial dalam masyarakat. Masyarakat merupakan basis dimana gereja itu melaksanakan misinya untuk
menciptakan “Damai Sejahtera”. Ketika GPIB melibatkan seluruh tatanan masyarakat
dalam kerangka menciptakan damai sejahtera, maka rumusan ini sama dengan pemahaman teologi politik John B.Cobb. Tetapi segala keputusan dan ketetapan yang menyangkut kesejahteraan bersama diemban hanya kepada kelompok atau orang tertentu maka, pemahaman dan rumusan ini berbeda dengan konsep teologia politik John.B.Cobb.
Dengan demikian sistem pemerintahan gereja yang sesuai dengan teori politik John B.Cobb adalah sistem pemerintahan yang terbuka, transparan, tidak kaku, tetapi menerima kritikan dan masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan tugas dan panggilan gereja di mana ia bedara. Gereja harus benar-benar lahir dari kesadaran iman warganya tentang kasih dan “Anugerah” Tuhan Yesus Kristus. Gereja harus membuka diri terus menerus kepada suatu proses perubahan menuju kepada kesempurnaan sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan.
(1)
ancaman dari pihak luar, terutama dari kelompok-kelompok radikal Islam yang tidak menghendaki keberadaan gereja dan umat kristen di Indonesia.
Ketika undang-undang dan peraturan daerah itu dibuat, dan gereja tidak ikut untuk menggumulinya maka, suatu ketika undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut akan melindas dan menghambat keberadaan gereja. Pada saat itu gereja tidak dapat mengatakan apa-apa, karena ia mengangap bahwa urusan itu adalah urusan pemerinta/negara, bukan urusan gereja. Kalau sampai terjadi demikian maka lambat laun keberadaan GPIB yang ada di daerah-daerah wilayah Muslim akan teraniaya dalam suatu penderitaan yang tak kunjung selesai.
Oleh karena itu rumusan dalam teologia politik GPIB tidak sesuai dengan penjelasan dalam bagian terori. Walaupun dalam rumusan berikutnya mengatakan
bahwa “warga jemaat wajib memberi saran-saran perbaikan secara kritis dan konstruktif lewat saluran-saluran pengawasan demi keadilan dan kesejahteraan bangsa”. Tetapi saran-saran tersebut bersifat pribadi yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Kalaupun warga jemaat memberikan saran dan kritiknya, apa efek dan dampaknya bagi keberadaan gereja dan orang kristen dimana ia berada. Bukankah ini akan membawa citra buruk bagi keberadaan kekristenan itu sendiri. Seakan-akan kehilangan pegangan dan tidak adanya perlindungan lembaga gereja.
Dengan demikian untuk menjadikan GPIB sebagai gereja nasional, bukan saja wilayah pelayanan dan warga jemaat menjadi ciri khasnya, tetapi juga bagaimana GPIB melihat Indonesia sebagai anugerah dan berkat Tuhan, yang Allah tempatkan untuk dapat berkarya bagi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Peran GPIB yang diharapkan adalah ikut bersama menentukan arah dan tujuan pembangunan bangsa Indonesia demi mencapai keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Itu berarti
(2)
GPIB haruslah melihat bahwa urusan politik bukan saja menjadi tanggung-jawab pemerintah/negara tetapi merupakan tanggung-jawab gereja juga. Hal ini akan terwujud apabila GPIB memiliki konsep teologia politik yang sesuai dengan apa yang di jelaskan pada bagian teori. Yakni menunjukan sikap kritis terhadap struktur-struktur masyarakat yang tidak adil dan memihak kepada kepentingan golongan tertentu. GPIB harus berani mengoreksi pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya, melaui undang-undang dan perda-perda yang mengacam persatuan dan keatuan bangsa. GPIB secara nasionalis telah membuktikan dirinya dengan meninggalkan sifat kedaerahan (indonesia timur) dengan merangkul dan menerima seluruh warga jemaat dari belahan Indonesia manapun, baik dari timur, utara dan selatan. Semuanya menjadi satu dalam bahtera GPIB.
3.2. GPIB adalah Gereja Negara
Latar belakang historis GPIB sebenarnya merupakan latar belakang historis dari Gereja Protestan di Indonesia, yang pada zaman sebelum perang dunia II dikenal
dengan nama “De Protestansche Kerk in Nederlandsch Indie” atau “De Indische Kerk”.
GPIB selaku pewaris dari Gereja Protestan di Indonesia tidak memiliki latar belakang historis yang berpangkal atau bertitik tolak pada kegiatan zending secara langsung dalam suatu daerah dengan masyarakat yang homogen secara etimologis atau yang didiami oleh suatu suku bangsa tertentu, tetapi merupakan warisan dari pemerintahan Belanda dalam hal ini adalah VOC. Dalam artikel 36 dari Nederlandsche Geloofsblijdenis yang ditetapkan oleh Synode di Dordrecht yang berlangsung dari yahun 1618 sampai dengan 1619. Artikel tersebut berbicara tentang Tugas Pemerintah (raja-raja, pangeran-pangeran dan penguasa-penguasa) bukan hanya untuk menjamin ketentraman umum, melainkan juga untuk melindungi ibadat gereja yang kudus, untuk
(3)
memberantas agama berhala dan agama-agama palsu, untuk meruntuhkan kerajaan Anti Kristus, serta memajukan kerajaan Kristus dan memberitakan Injil dimana-mana.
Di dalam oktroi dari VOC tidak termaktub secara khusus kewajiban untuk membentuk gereja diluar Belanda. Akan tetapi oleh karena kepada VOC diserahkan kedaulatan pemerintahan atas daerah-daerah seberang, maka kewajiban pemerintah
seperti tersimpul dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofsbelijdenis” tadi, menjadi
kewajiban dari VOC pula.
Bagi “De Indische Kerk” selaku gereja negara tanggung jawab anggota -anggota jemaat di bidang keuangan tidak merupakan suatu hal yang penting. Gaji para pendeta di bayar oleh kas Negara. Dan hasil-hasil kolekte/uang yang tak seberapa itu digunakan untuk membantu orang-orang miskin. Berdasarkan kewajiban VOC yang
tersirat dalam artikel 36 “Nederlandsche Geloofbelijdenis”, maka sikap dan cara pendekatan orang-orang Protestan terhadap agama-agama lain adalah antitesis.
Mengacu kepada latarbelakang sejarah GPIB dengan melihat kepada rumusan
yang terdapat dalam pemahamn iman (hubungan gereja dan negara) yakni “berilah
kepada kaisar apa yang kaisar punya da kepada Allah apa yang Allah punya” menandakan bahwa masing-masing lembaga mempunyai otonomi. Otonomi gereja berbeda dengan otonomi negara. Apabila negara mengambil alih otonomi gereja maka yang terjadi adalah gereja kehilangan sikap kritisnya terhadap pemerinta/negara. Pengalaman ini terjadi pada jaman pemerintahan Belanda. Gereja kehilangan sikap kritis atas penindasan dan kekejaman Belanda selama menjajah Indonesia. Banyak aset-aset Belanda yang dihibahkan kepada GPIB (sekolah, rumah sakit, gedung gereja, tanah dan sebagainya). Bangunan gereja yang ditempati GPIB sangat strategis di pusat-pusat kota. Sehingga mendorong para pejabat kristen juga masuk dan menjadi warga GPIB.
(4)
Kondisi ini membuat GPIB sulit untuk menyuarakan suara kenabiannya pada saat ia harus berseberangan dengan pemerintah karena berbagai kebijakan yang tidak sesuai dengan iman kristen. Misalnya peristiwa penembakan misterius (Petrus) di jaman orde baru, penutupan gedung gereja dan ijin membangun gereja yang dipersulit di jaman reformasi. Bagaimana sikap GPIB dalam menyikapi persoalan ini. Asumsis penulis jangan-jangan karena pengaruh sejarah masa lalu itulah maka GPIB lebih cenderung mengambil sikap diam dan apatis. Partisipasi politik yang dicanangkan GPIB kepada warga jemaat juga kurang efektif. Karena partai-partai politik yang menjadi wadah aspirasi gereja dan orang kristen sangat terbatas. Kalupun itu ada apakah gereja telah mempersiapkan warganya untuk bertarung dalam memperjuangkan kepentingan kekristenan di Indonesia.
Pertanyaan ini dapat dijawab apabila GPIB secara tegas harus keluar dari kungkungan sejarah masa lalu. Dengan mengambil basis pelayanan pada konteks masyarakat Indonesia di mana GPIB itu berada. Sehingga citra sebagai gereja penjajah harus diubah menjadi gereja Indonesia yang merakyat dan membumi dengan pelayanan yang menjawab kebutuhan masyarakat setempat.
4. Sistem Pemerintahan Gereja Tidak Menjawab Konteks dan Persoalan Jemaat Sistem pemerintahan gereja yang menganut Presbiterial Sinodal7, memberikan kewenangan yang besar kepada Majelis Sinode dalam mengambil kebijakan dan keputusan yang berkaitan dengan tugas dan panggilan gereja. Kebijakan dan kewenangan itu tidak bisa dilakukan tanpa persetujuan para presbiter dalam sidang
7
Sistem Presbiterial Sinodal (bahasa Yunuani: Presbiter=tua-tua=Penatua=bersama; hodos=jalan). Cirinya antara lain adalah memberikan tekanan kepada peranan para presbiter yang terpanggil untuk melayani dan memimpin gereja. Untuk menentukan arah-kebijaksanaan gereja, kita melakukannnya bersama-sama melalui Majelis Jemaat, Persidangan Sinode dan Majelis Sinode. Kebersamaan itu lebih praktis, nampak dalam Kepemimpinan Gereja Jemaat sehari-hari. Sistem ini menghidupkan hubungan timbal balik antara Jemaat (Majelis Jemaat) dengan pimpinan gereja (Majelis Sinode). Gereja bukan federasi dari jemaat-jemaat, tetapi keduanya mempunyai hubungan yang dinamis,
(5)
tahunan (Persidangan Sinode Tahunan) dan sidang lima tahunan (Persidangan Sinode). Ternyata dalam praktek pelaksanaannya terkadang kebijakan dan kewenangan tersebut bertentangan dengan perubahan dan struktur masyarakat yang berubah setiap saat.
Tata gereja GPIB mengatur bahwa semua keputusan yang bersifat stategis dan prinsipil harus mendapatkan persetujuan dari sidang tahunan (PST) atau sidang lima tahunan (PS). Untuk menunggu setahun sampai dengan lima tahun, membutuhkan waktu yang lama ketika GPIB ingin mengambil tindakan politiknya. Bagaimana menyikapi masalah otonomi daerah, perda-perda syariah dan tindakan anarkis kelompok radikal. Gereja dalam hal ini GPIB selalu terlambat dalam menyikapinya. Ada beberapa jemaat yang mengeluh karena keterlambatan pihak Majelis Sinode dalam menangani persoalan ijin pembangunan gereja dan tindakan radikal kelompok tertentu yang menutup gedung gereja. Ketika persoalan ini diserahkan kepada Mupel (Musyawarah Pelayanan), ia tidak mempunyai wewenang karena tidak struktural. Apalagi diserahkan kepada sinode. Pemerintah daerah selalu menolak kehadiran pengurus pusat (Majelis Sinode) dengan alasan otonomi daerah. Wilayah kekuasaan daerah masing-masing berbeda.
Oleh karena itu rumusan yang terdapat dalam pemahaman iman (hubungan gereja dan negara) yang berbunyi bahwa “warga gereja sebagai warga masyarakat perlu membangun rasa persatuan dan kesatuan yang tidak merusak kebhinekaan dan
kesetaraan”. Tidaklah relefan dengan persoalan yang dihadapi jemaat. Untuk rumusan
ini sangat idial tapi penerapannya dalam hidup berbangsa dan bernegara punya pergumulan tersendiri. Rumusan ini tidaklah dapat menjawab persoalan gereja atau jemaat yang dihadapai. Persoalannya bukan masalah membangun rasa persatuan dan kesatuan, tetapi hukum-hukum dan aturan-aturan yang berlaku sangat merugikan pihak
(6)
gereja. Majelis Sinode sebagai pimpinan gereja harus cepat tanggap dan mengambil tindakan. Ternyata dalam realisasinya tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan alasan kekurangan tenaga, waktu, biaya dan sebagainya.
Pemahaman teologi politik menurut John B.Cobb, bahwa keselamatan tidak menyangkut orang secara pribadi tetapi seluruh tatanan sosial dalam masyarakat. Masyarakat merupakan basis dimana gereja itu melaksanakan misinya untuk
menciptakan “Damai Sejahtera”. Ketika GPIB melibatkan seluruh tatanan masyarakat dalam kerangka menciptakan damai sejahtera, maka rumusan ini sama dengan pemahaman teologi politik John B.Cobb. Tetapi segala keputusan dan ketetapan yang menyangkut kesejahteraan bersama diemban hanya kepada kelompok atau orang tertentu maka, pemahaman dan rumusan ini berbeda dengan konsep teologia politik John.B.Cobb.
Dengan demikian sistem pemerintahan gereja yang sesuai dengan teori politik John B.Cobb adalah sistem pemerintahan yang terbuka, transparan, tidak kaku, tetapi menerima kritikan dan masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan tugas dan panggilan gereja di mana ia bedara. Gereja harus benar-benar lahir dari kesadaran iman
warganya tentang kasih dan “Anugerah” Tuhan Yesus Kristus. Gereja harus membuka
diri terus menerus kepada suatu proses perubahan menuju kepada kesempurnaan sesuai dengan kehendak dan rencana Tuhan.