HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN DIARE PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI POLI RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP ANAK RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

(1)

(2)

ABSTRACT

THE RELATION BETWEEN NUTRITIONAL STATUS AND EXCLUSIVE BREASTFEEDING HISTORY WITH DIARRHEA IN 6-12 MONTHS

INFANTS IN OUTPATIENT AND HOSPITALIZED CHILDREN ROOM DR. H. ABDUL MOELOEK HOSPITAL

BANDAR LAMPUNG

By JARMIATI

Diarrhea is one of the major health problem in Indonesia, it caused high amount children mortality. The incidence of diarrhea increase in 6-11 months infants. The diarrhea outbreak (KLB) often happens in Indonesia with high case fatality rate (CFR). The immunity compounds in breastfeed gives diarrhea protection to the infants. Dietary allowance will influence the immunity, it will keep the body from infectious disease like diarrhea. The aimed of this research is to know the relation between nutrition status and exclusive breastfeeding history with diarrhea in 6-12 months infants. This is an analytic observation research with cross sectional design. The subject are 94 infants with consecutive sampling method in November-Desember 2013. Exclusive breastfeeding history are gathered from mother’s interview. Nutritional status are assesed by weight deliberating measurement and than data are inserted in body weight/age indicators. Diarrhea and not diarrhea are gathered from the patient’s medical record. Data are analyzed in univariat and bivariat with chi square test. Most of the subject are boys ( 53,2 % ). Bivariat analysis shows that there is a significant relation between exclusive breastfeeding and diarrhea. The infant that haven’t breastfeeding history have 4,31 higer risk of diarrhea. There is a significant relation between the nutritional status and diarrhea. The infant that have less nutition status have 3,42 higher risk of diarrhea. From this research we can inferred that there is a relation between exclusive breastfeeding history and nutritional status with diarrhea.

Keywords: Diarrhea, exclusive breastfeeding history, nutritional status, 6-12 months infants.


(3)

ABSTRAK

HUBUNGAN ANTARA STATUS GIZI DAN RIWAYAT PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN DIARE PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI POLI

RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP ANAK RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

Oleh JARMIATI

Diare merupakan salah satu masalah utama kesehatan di Indonesia sampai saat ini karena menyebabkan kematian anak cukup tinggi. Kejadian diare meningkat pada umur 6-11 bulan. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare masih sering terjadi di Indonesia, dengan Case Fatality Rate (CFR) yang masih tinggi. ASI dapat memberi perlindungan kepada bayi dari penyakit diare melalui berbagai zat kekebalan yang dikandungnya. Kecukupan gizi akan mempengaruhi ketahanan fisik dan tidak mudah terinfeksi oleh berbagai penyakit seperti diare. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan ASI eksklusif dan status gizi dengan diare pada bayi usia 6-12 bulan di RSUD Dr. H. Abul Moeloek Bandar Lampung. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Jumlah subjek penelitian ini adalah 94 bayi yang diambil dengan consecutive sampling pada bulan November-Desember 2013. Data ASI eksklusif diperoleh dengan wawancara kepada ibu bayi. Status gizi dinilai dengan penimbangan berat badan yang dimasukan ke dalam indikator BB/U. Data diare dan tidak diare diperoleh dengan cara melihat data medis pasien. Data dianalisis secara univariat dan bivariat dengan uji chi square. Sebagian besar bayi berjenis kelamin laki-laki (53,2%). Analisis bivariat menunjukan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan diare dimana bayi yang tidak diberi ASI eksklusif berisiko 4,31 lebih besar untuk menderita diare dibandingkan bayi yang diberi ASI eksklusif. Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara status gizi dengan diare dimana bayi dengan status gizi kurang berisiko 3,42 lebih besar untuk menderita diare dibandingkan dengan bayi berstatus gizi baik. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dan status gizi dengan diare.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Kerangka Teori ... 8

F. Kerangka Konsep ... 9

G. Hipotesis ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Dasar Teori ... 10

1. Gizi dan Status gizi ... 10

a. Gizi ... 10

b. Status Gizi ... 12

c. Penilaian Status Gizi... 12

d. Pengaruh Status Gizi Terhadap Diare ... 17

2. ASI Eksklusif ... 18

3. Diare ... 28

a. Faktor Risiko diare ... 29

b. Etiologi Diare ... 31

c. Patogenesis Diare ... 31

d. Manifestasi klinis diare ... 32

e. Manajemen Diare ... 33

f. Pencegahan Diare... 34

III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ... 35

B. Waktu dan Tempat Penelitian ... 35


(7)

G. Pengumpulan Data ... 39

H. Definisi Operasional ... 40

I. Alur Penelitian ... 41

J. Jalannya Penelitian dan Instrumen Penelitian ... 42

K. Pengolahan Data ... 43

L. Analisis Data ... 44

M. Kelamahan Penelitian... 45

N. Penyajian Data ... 45

O. Etika Penelitian ... 45

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian ... 46

1. Karakteristik Tempat Penelitian ... 46

2. Karakteristik Responden ... 47

3. Hubungan Antara Status Gizi Dan ASI Eksklusif Dengan Diare a. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Diare ... 50

b. Hubungan antara Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dengan diare ... 51

B. Pembahasan ... 52

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 60

B. Saran... 61

DAFTAR PUSTAKA ... 62 LAMPIRAN


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Agen Penyebab Diare Infeksi ... 29 2. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Diare Pada Bayi dan

Balita ... 33 3. Kerangka konsep hubungan status gizi dan ASI eksklusif dengan

Diare ... 34 4. Alur Penelitian ... 41


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1. Perbandingan Antimikroba ASI dan Susu Sapi ... 26

2. Gejala klinis oleh berbagai penyebab ... 31

3. Perhitungan Besar Sampel Untuk Hubungan Riwayat Pemberian ASI Eksklusif dan Status Gizi Dengan Diare ... 38

4. Definisi Operasional ... 40

5. Distribusi Frekuensi Responden ... 49

6. Tabulasi Silang Hubungan Status Gizi Dengan Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan ... 51

7. Tabulasi Silang Hubungan Antara Riwayat Pemberian ASI Eksklusif Dengan Diare Pada Bayi Usia 6-12 Bulan ... 52

8. Tabel Standar Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Anak Perempuan Usia 0-60 Tahun ... 73

9. Tabel Standar Berat Badan Menurut Umur (BB/U) Anak laki-laki Usia 0-60 Tahun ... 73

10. Tabel Frekuensi ... 76

11. Tabel Analisis Uji Chi Square ... 80


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare Departemen Kesehatan dari tahun 2000 s.d. 2010 terlihat kecenderungan insidensinya naik. Pada tahun 2000 Insidence Rate (IR) penyakit Diare 301/1000 penduduk, tahun 2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan Case fatality Rate (CFR) yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi KLB di 69 kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24 kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %). Prevalensi diare di kota Bandar Lampung pada bayi usia 1 bulan - <1 tahun periode Januari–Desember 2012 yang di ambil dari 27 kecamatan cukup besar yakni 1093 kasus pada bayi laki-lai dan 684 kasus pada bayi perempuan (Kemenkes RI, 2011; Dinkes Kota Bandar Lampung, 2012).


(11)

Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010, pola 10 penyakit terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia tahun 2010 adalah penyakit diare oleh penyebab infeksi tertentu dengan total kasus sebesar 71.889 kasus. Sedangkan pada pasien rawat jalan kejadian diare sebesar 53.389 kasus (Kemenkes RI, 2011).

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi klinis diare di Indonesia mencapai 9.0% dan menyumbang angka kematian di semua umur sebesar 3.5%. Diare menyumbang angka kematian tertinggi pada anak umur 29 hari-4 tahun, dimana prevalensinya sebesar 31,4% pada usia 29 hari-11 bulan dan 25,2% pada anak usia 1-4 tahun (Depkes RI, 2008).

Dilihat dari distribusi umur balita penderita diare di tahun 2010 didapatkan prevalensi terbesar adalah kelompok umur 6–11 bulan yaitu sebesar 21,65%, lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%, kelompok umur 24-29 bulan sebesar 12,37%, sedangkan prevalensi terkecil pada kelompok umur 54 –59 bulan yaitu 2,06% . Kelompok umur dengan insiden tertinggi adalah kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI (Kemenkes RI 2011; Juffrie dkk, 2011).

Di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, pajanan organisme patogen maupun zat alergen lainnya masih merupakan masalah. Infeksi gastrointestinal maupun non gastrointestinal lebih sering ditemukan pada bayi yang mendapat pengganti air susu ibu (PASI) dibanding dengan yang


(12)

mendapat air susu ibu (ASI). Hal ini menandakan bahwa ASI merupakan komponen penting pada sistem imun mukosa gastrointestinal maupun mukosa lain, karena sebagian besar mikroorganisme masuk ke dalam tubuh melalui mukosa (Akib dkk, 2010).

Pemberian air susu ibu (ASI) merupakan salah satu strategi utama untuk memenuhi kecukupan gizi, mencegah penyakit dan kematian akibat penyakit infeksi (diare) pada tahun-tahun awal kehidupan. Hal ini berhubungan dengan kandungan nutrisi ASI yang memeiliki fungsi antiinfeksi, antiinflamasi dan immunoregulator, termasuk antibodi, laktoferin, leukosit, sitokin dan agen lainnya (Morrow & Rangel, 2004).

Pemberian ASI eksklusif telah dicanangkan oleh WHO sebagai upaya menurunkan kejadian penyakit infeksi di masyarakat. Suatu pertemuan konsultasi pemberian ASI pada bulan Maret 2001 di Jenewa-Swiss, menghasilkan kesepakatan tentang pemberian ASI secara eksklusif pada bayi sejak usia 0-6 bulan sebagai upaya untuk menurunkan kejadian infeksi pada traktus gastrointestinal. Hal ini terutama ditujukan terhadap bayi-bayi yang dibesarkan di dalam masyarakat dimana prevalensi ibu yang menderita kurang gizi maupun bayi yang mengalami gangguan pertumbuhan intra uterin masih tinggi. Di dunia khususnya di negara berkembang, pemberian ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan dapat mengurangi paparan terhadap mikroba patogen, karena terbukti angka morbiditas dan mortalitas penyakit diare akibat infeksi meningkat setelah bayi mendapat makanan tambahan.


(13)

Menurut Riskesdas tahun 2010, persentase bayi yang menyusui eksklusif di Indonesia hanya sebesar 15,3% (WHO, 2001; Kemenkes RI, 2010).

Status gizi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian diare. Gambaran status gizi balita di Indonesia yang disajikan dalam hasil Riskesdas tahun 2010 menunjukan bahwa secara nasional prevalensi berat kurang pada tahun 2010 adalah 17,9% yang terdiri dari 4,9% gizi buruk dan 13,0% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional tahun 2007 (18,4%) sudah terlihat ada penurunan. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5,4 % tahun 2007 menjadi 4,9% pada tahun 2010 atau turun sebesar 0,5%, sedangkan prevalensi gizi kurang masih tetap sebesar 13,0%. Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran MDG (Millenium Development Goal) tahun 2015 yaitu 15,5% maka prevalensi berat kurang secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 2,4% dalam periode 2011 sampai 2015. Secara keseluruhan, semua provinsi di Indonesia masih memiliki prevalensi berat kurang masih di atas batas non-public health problem menurut WHO yaitu 10,0% (Kemenkes RI, 2010).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian ASI ekeklusif berhubungan dengan angka kejadian dan frekuensi diare pada balita. Selain ASI eksklusif, status gizi juga merupakan faktor risiko penyebab diare anak. Rendahnya status gizi pada bayi dan balita merupakan faktor risiko yang rentan menyebabkan diare (Adisasmito 2007; Wardhani 2012)


(14)

B. Rumusan Masalah

Diare masih menjadi penyebab kematian tertinggi di Indonesia pada anak usia 29 hari-11 bulan dan usia 1-4 tahun masing-masing sebesar 31,4% dan 25.2%. Prevalensi nasional diare adalah 9,00%. Sebanyak 14 provinsi mempunyai prevalensi diare diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Papua Barat dan Papua (Depkes RI, 2008).

Faktor risiko diare dapat datang dari faktor anak, faktor ibu, faktor lingkungan, dan faktor sosial ekonomi. Dari faktor anak yang terbukti berhubungan secara signifikan adalah faktor jenis kelamin, status gizi, dan ASI eksklusif (Adisasmito, 2007).

Dari uraian diatas, maka dilakukan penelitian ini untuk mengetahui adakah hubungan antara satus gizi dan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan diare pada bayi usia 6-12 bulan di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung?


(15)

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara status gizi dan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan diare pada bayi usia 6-12 bulan di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran riwayat pemberian ASI eksklusif pada bayi usia 6-12 bulan yang datang berobat di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

b. Mengetahui gambaran status gizi bayi usia 6-12 bulan yang datang berobat di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

c. Mengetahui gambaran atau prevalensi diare pada bayi usia 6-12 bulan yang datang berobat di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

d. Mengetahui hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan diare pada bayi usia 6-12 bulan di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.


(16)

e. Mengetahui hubungan antara status gizi dengan diare pada bayi usia 6-12 bulan di poli rawat jalan dan rawat inap RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti: Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi salah satu bahan pembelajaran dan pengetahuan tambahan, menerapkan ilmu pengetahuan yang didapat selama perkuliahan serta untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana kedokteran.

2. Bagi masyarakat: Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran kejadian diare pada bayi terutama usia 6-12 bulan sehingga dapat mencegah secara dini khususnya hubungannya dengan status gizi dan pemberian ASI eksklusif.

3. Bagi rumah sakit: Penelitian ini dapat memberikan data tambahan tentang prevalensi diare dan gambaran pemberian ASI ekeklusif serta status gizi bayi usia 6-12 bulan.

4. Bagi peneliti lain: Penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya.


(17)

E. Kerangka Teori

Gambar 2: Faktor-faktor yang berhubungan dengan diare pada bayi dan balita. Sumber: (Adisasmito, 2007)

Faktor anak:

 Jenis kelamin  Imunisasi  Usia

Riwayat pemberian ASI eksklusif Status gizi

Faktor ibu:

 Pengetahuan  Sikap dan perilaku  Higiene

Faktor lingkungan:  Sarana air bersih  Jamban

 Saluran

pembuangan air limbah

Faktor sosial ekonomi:  Status sosial

ekonomi keluarga


(18)

F. Kerangka Konsep

Gambar 3: Kerangka konsep hubungan status gizi dan ASI eksklusif dengan diare

G. Hipotesis

1. Ada hubungan antara status gizi dengan diare pada bayi usia 6-12 bulan di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Ada hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan diare pada bayi usia 6-12 bulan di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

Status gizi

Riwayat pemberian ASI eksklusif


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori

1. Gizi dan Status gizi

a. Gizi

Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme, dan pengeluaran zat-zat sisa yang tidak dibutuhkan oleh tubuh untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (Supariasa dkk, 2002).

Gizi dapat didefinisikan sebagai keseluruhan proses yang terlibat dengan asupan dan penanggulangan bahan-bahan makanan. Gizi yang cukup dibutuhkan untuk pertumbuhan, perbaikan dan perawatan aktivitas-aktivitas dalam tubuh (Rospond, 2008).


(20)

Keadaan kesehatan gizi tergantung dari tingkat konsumsi. Tingkat konsumsi ditentukan oleh kualitas serta kuantitas hidangan. Kualitas hidangan menunjukkan adanya seluruh zat gizi yang diperlukan oleh tubuh di dalam susunan hidangan dan perbandingannya antara satu dan yang lainnya. Kuantitas menunjukkan jumlah masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Jika susunan hidangan memenuhi kebutuhan tubuh, baik dari sudut pandang kualitas maupun kuantitasnya, maka tubuh akan mendapat kondisi kesehatan gizi yang sebaik-baiknya. Konsumsi yang menghasilkan kesehatan gizi yang baik disebut konsumsi adekuat. Jika konsumsi baik kualitas maupun kuantitas melebihi kebutuhan tubuh, dinamakan konsumsi berlebih yang pada akhirnya akan terjadi suatu keadaan gizi lebih. Sebaliknya, konsumsi yang kurang baik kualitas maupun kuantitas akan menghasilkan kondisi kesehatan gizi kurang (Sediaoetama, 2010).

Zat-zat gizi adalah ikatatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur proses proses kehidupan (Almatsier, 2003).


(21)

b. Status Gizi

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Ada istilah yang disebut sebagai gizi salah atau biasa kita sebut malnutrisi. Malnutrisi atau gizi salah adalah satu keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi (Almatsier, 2003; Supariasa dkk, 2002).

Konsumsi makanan sangat berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja, dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan. Baik status gizi kurang maupun status gizi lebih merupakan suatu gangguan gizi (Almatsier, 2003).

c. Penilaian Status Gizi

Pengkajian nutrisi didefinisikan oleh American Society of Enternal and Parenteral Nutrition sebagai evaluasi komprehensif untuk mendefinisikan status nutrisi, termasuk riwayat medis, riwayat diet,


(22)

pemeriksaan fisik, pengukuran antropometrik, dan data-data laboratorium (Rospond, 2008).

1) Antropometri

Pengukuran-pengukuran antropometrik adalah pengukuran kasar dari massa sel tubuh dan meliputi ukuran-ukuran pertumbuhan dan komposisi tubuh. Bobot, tinggi, dan rasio bobot-tinggi merupakan yang paling sering digunakan untuk mengkaji pertumbuhan. Ukuran-ukuran tambahan untuk pertumbuhan meliputi lingkar kepala, panjang badan posisi telentang dan berdiri, tinggi lutut, lebar siku dan indeks rangka, yaitu ukuran rangka tubuh (Rospond, 2008).

Dalam antropometri gizi digunakan indeks antropometri sebagai dasar penilaian status gizi, beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB). Perbedaan penggunaan indeks tersebut akan memberikan gambaran prevalensi status gizi yang berbeda. Berat badan merupakan ukuran antropometri yang terpenting dan paling sering digunakan pada bayi–balita. Pada masa bayi–balita, berat badan dapat dipergunakan untuk melihat laju pertumbuhan fisik maupun status gizi. Di antara bermacam – macam indeks


(23)

antropometri, BB/U merupakan indikator yang paling umum digunakan sejak tahun 1972. Indeks BB/U adalah pengukuran total berat badan termasuk air, lemak, tulang, dan otot (Supariasa dkk, 2002).

Indikator BB/U memberikan indikasi masalah gizi secara umum. Indikator ini tidak memberikan indikasi tentang masalah gizi yang sifatnya kronis ataupun akut karena berat badan berkorelasi positif dengan umur dan tinggi badan (Kemenkes RI, 2011).

Gizi kurang dan gizi buruk adalah status gizi yang didasarkan pada indeks berat badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan istilah underweight (gizi kurang) dan severely underweight (gizi buruk ). Indikator BB/U pada anak usia 0-60 bulan akan menghasilkan kategori berikut ini:

a) Gizi buruk: <- 3 SD

b) Gizi kurang : -3 SD sampai dengan <-2 SD c) Gizi baik : -2 SD sampai dengan 2 SD d) Gizi lebih : > 2 SD (Kemenkes RI, 2011).


(24)

2) Klinis

Pemeriksaan klinis adalah metode yang paling penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan gizi hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid. Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat. Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi (Supariasa dkk, 2002).

3) Biokimia

Pemeriksaan laboratorium atau biokimia terutama digunakan untuk mendeteksi defisiensi gizi yang belum menyebabkan gejala-gejala atau untuk mengkonfirmasi temuan-temuan subyektif saat ini. Pengkajian biokimia dari status gizi meliputi status protein serum, penanda hematologis, status besi, status mineral, status vitamin, dan status lemak. Hasil dari tes-tes biokimia dievaluasi dengan membandingkannya dengan nilai acuan (Rospond, 2008) .


(25)

4) Biofisik

Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi, khususnya jaringan dan melihat perubahan struktur dari jaringan. Penggunaan metode ini umumnya digunakan pada situasi tertentu seperti kejadian buta senja epidemik. Cara yang digunakan adalah tes adaptasi gelap (Supariasa dkk, 2002).

5) Survei konsumsi makanan

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat (Supariasa dkk, 2002).

6) Statistik vital

Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis beberapa data statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan, dan angka kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari indikator tidak langsung pengukuran status gizi tidak langsung pada masyarakat (Supariasa dkk, 2002).


(26)

7) Faktor ekologi

Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi berbagai faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi, dan lain-lain. Pengukuran faktor ekologi sangat penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi pada masyarakat sebagai dasar untuk melakukan intervensi (Supariasa dkk,2002).

d. Pengaruh status gizi terhadap diare

Kondisi gizi buruk akan mempengaruhi banyak organ dan sistem, karena kondisi gizi buruk ini juga sering disertai dengan defisiensi (kekurangan) asupan mikro/makro nutrien lain yang sangat diperlukan bagi tubuh. Gizi buruk akan merusak sistem pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme maupun pertahanan mekanik sehingga mudah sekali terkena infeksi. Kecukupan gizi akan mempengaruhi ketahanan fisik seseorang untuk dapat tumbuh dan berkembang sehat dan tidak mudah terinfeksi oleh berbagai penyakit infeksi seperti diare ((Nency & Arifin, 2005; Agus dkk, 2009).


(27)

2. Air Susu Ibu (ASI) eksklusif

Air Susu Ibu yang selanjutnya disingkat ASI adalah cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu. ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak lahir selama 6 (enam) bulan, tanpa menambahkan atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (PP RI No 3, 2012).

National Guidelines of Infant And Young Child Feeding (2004)

mendefinisikan ASI eksklusif sebagai pemberian ASI saja pada bayi dan tanpa susu formula, makanan dan minuman lainnya. ASI eksklusif harus diberikan selama 6 bulan karena ASI menyediakan nutrisi terbaik dan lengkap untuk bayi berusia 6 bulan. Bayi yang diberi ASI eksklusif tidak diberikan makanan dan minuman tambahan seperti air gula, jus buah atau air putih selama 6 bulan. Penting untuk memberikan ASI eksklusif kepada semua bayi karena dapat melindungi bayi dari diare dan pneumonia. ASI juga membantu menurunkan risiko infeksi telinga, risiko serangan asma dan alergi (Ministry of Human Resource Development Department of Women and Child Development, 2004).

Pemberian ASI yang dianjurkan adalah ASI eksklusif selama 6 bulan yang diartikan bahwa bayi hanya mendapatkan ASI saja tanpa makanan atau minuman lain termasuk air putih. ASI memiliki banyak keuntungan baik untuk ibu maupun bayi. Bagi bayi, ASI memberikan zat gizi yang lengkap dan mudah dicerna, melindungi bayi dari infeksi karena banyak antibodi dan sel darah putih yang terdapat dalam ASI. Bagi ibu, menyusui


(28)

bayi dapat membantu menjarangkan kehamilan dan melindungi kesehatan ibu (Akib dkk, 2010).

Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Bagi bayi, menyusui mempunyai peran penting yang fundamental pada kelangsungan hidup bayi, kolostrum yang kaya dengan zat antibodi, pertumbuhan yang baik, kesehatan, dan gizi bayi untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas bayi dan balita. Inisiasi menyusu dini mempunyai peran penting bagi ibu dalam merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi perdarahan pasca melahirkan (postpartum). Menyusui dalam jangka panjang dapat memperpanjang jarak kelahiran karena masa amenorhoe lebih panjang, pemulihan status gizi yang lebih baik sebelum kehamilan berikutnya. UNICEF dan WHO membuat rekomendasi pada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya. Sesudah usia 6 bulan bayi baru dapat diberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dengan tetap memberikan ASI sampai minimal umur 2 tahun. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan juga merekomendasi kepada ibu untuk menyusui eksklusif selama 6 bulan kepada bayinya (Kemenkes RI, 2010).

ASI sebagai makanan alamiah adalah makanan terbaik yang dapat diberikan oleh seorang ibu pada anak yang dilahirkannya. Kompososinya berubah sesuai dengan kebutuhan bayi setiap saat yaitu kolostrum pada hari pertama sampai 4-7 hari, dilanjutkan dengan ASI peralihan sampai


(29)

3-4 minggu, selanjutnya ASI matur. ASI yang keluar pada permulaaan menyusu berbeda dengan ASI yang keluar pada akhir penyusuan. ASI diproduksi ibu yang melahirkan prematur juga berbeda komposisinya dengan ASI yang dihasilkan oleh ibu yang melahirkan cukup bulan (Prawirohardjo, 2009).

Melihat begitu unggulnya ASI, maka sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya pemberian ASI di Indonesia belum seperti yang dianjurkan. Pemberian ASI yang dianjurkan adalah sebagai berikut:

a. ASI eksklusif selama 6 bulan pertama karena ASI saja dapat memenuhi 100% kebutuhan bayi

b. Dari 6-12 bulan ASI merupakan makanan utama bayi karena dapat memenuhi 60-70% kebutuhan bayi dan perlu ditambahkan makanan pendamping ASI berupa makanan lumat sampai lunak sesuai usia bayi.

c. Di atas 12 bulan ASI saja hanya memenuhi 30% kebutuhan bayi dan makanan yang padat sudah menjadi makanan utama. Namun ASI tetap dianjurkan pemberiannya sampai paling kurang 2 tahun untuk manfaat lainnya (Prawirohardjo, 2009).

Seperti halnya nutrisi pada umumnya, ASI mengandung komponen makro dan mikro nutrien. Yang termasuk makronutrien ASI adalah karbohidrat, lemak dan protein, sedangkan mikronutrien adalah vitamin dan mineral (Hegar dkk, 2008). Berikut uraian beberapa komponen ASI:


(30)

e. Lemak

Sumber kalori utama dalam ASI adalah lemak. Sekitar 50% kalori ASI berasal dari lemak. Kadar lemak dalam ASI antara 3,5-4,5 %. Walaupun kadar lemak dalam ASI tinggi, tapi mudah diserap oleh bayi karena trigliserida dalam ASI lebih dulu dipecah menjadi asam lemak dan gliserol oleh enzim lipase yang terdapat dalam ASI. Kadar kolesterol ASI lebih tinggi daripada susu sapi, sehingga bayi yang mendapat ASI seharusnya mempunyai kolesterol darah lebih tinggi tetapi ternyata penelitian Obsorn membuktikan bahwa bayi yang tidak mendapatkan ASI lebih banyak menderita penyakit jantung koroner pada usia muda. Diperkirakan bahwa pada masa bayi diperlukan kolesterol pada kadar tertentu untuk merangsang pembentukan enzim protektif yang membuat metabolisme kolesterol menjadi efektif pada saat dewasa nanti (Perinasia, 2003).

f. Karbohidrat

Karbohidrat utama dalam ASI adalah laktosa yang berfungsi sebagai salah satu sumber energi untuk otak. Kadar laktosa yang terdapat dalam ASI hampir 2 kali lipat dibanding laktosa yang ditemukan pada susu formula atau susu sapi. Namun demikian angka kejadian diare yang disebabkan karena intoleransi laktosa jarang ditemukan pada bayi yang mendapat ASI (Hegar dkk, 2008).


(31)

g. Protein

Protein dalam susu adalah kasein dan whey. Kadar protein ASI sebesar 60% diantaranya adalah whey yang lebih mudah dicerna dibanding dengan kasein (Protein utama susu sapi) (Perinasia, 2003).

h. Mineral

Mineral utama dalam ASI ialah kalsium yang mempunyai fungsi untuk pertumbuhan jaringan otot rangka, transmisi jaringan saraf dan pembekuan darah. Walaupun tingkat kalsium ASI lebih rendah dibanding susu sapi, namun tingkat penyerapannya lebih besar. Kandungan zat besi dalam ASI dan susu sapi sama-sama rendah dan bervariasi, namun bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih kecil untuk mengalami kekurangan zat besi dibanding dengan bayi yang mendapat susu formula (Hegar dkk, 2008).

i. Vitamin

ASI cukup mengandung vitamin yang dibutuhkan oleh bayi. Vitamin K yang berfungsi sebagai katalisator pada proses pembekuan darah terdapat dalam ASI dengan jumlah yang cukup dan mudah diserap. Dalam ASI juga banyak terdapat vitamin E terutama di kolostrum (Perinasia, 2003).


(32)

Air susu ibu sering disebut sebagai darah putih karena mengandung sel-sel yang penting dalam pemusnahan fagosit atau kuman dan merupakan perlindungan pertama pada saluran cerna bayi. Sama seperti halnya sistem imun pada umumnya, ASI juga memiliki faktor pertahanan spesifik dan non spesifik (Hegar dkk, 2008).

Dilihat dari sudut pandang pertahanan, ASI mengandung berbagai zat yang berfungsi sebagai pertahanan nonspesifik maupun spesifik. Pertahanan nonspesifik diperankan oleh sel seperti makrofag dan neutrofil serta produknya dan faktor protektif larut, sedangkan sel spesifik oleh sel limfosit dan produknya (Akib dkk, 2010).

a. Pertahanan non spesifik ASI 1) Sel makrofag

Sel makrofag ASI adalah sel fagosit yang aktif, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada infeksi mukosa usus. Selain sifat fagositnya, sel makrofag juga memproduksi lisozim, C3 dan C4, laktoferin, monokin seperti IL-1, serta enzim lainnya (Akib dkk, 2010).

2) Sel neutrofil

Neutrofil yang ada dalam ASI mengandung IgA yang dianggap sebagai alat transpor IgA dari ibu ke bayi. Peran neutrofil ASI lebih kepada melindungi jaringan payudara


(33)

ibu agar tidak terjadi infeksi pada permulaan laktasi (Hegar dkk, 2008)

3) Lisozim

Lisozim yang diproduksi makrofag, neutrofil, dan epitel kelenjar payudara dapat melisiskan dinding sel bakteri gram positif yang ada pada mukosa usus. Kadar lisozim ASI adalah 0,1 mg/ml yang bertahan sampai tahun kedua laktasi, bahkan sampai penyapihan (Akib dkk, 2010).

Lisozim adalah enzim yang dapat memecah dinding bakteri dan antiinflamatori. Bekerja sama dengan peroksida dan askorbat untuk menyerang bakteri E. coli dan sebagian jenis Salmonella. Keunikan lisozim adalah bila faktor lain menurun kadarnya sesuai dengan tahapan pemberian ASI ataupun usia bayi, maka kadar lisozim justru meningkat pada 6 bulan pertama kelahiran. Hal ini menguntungkan karena setelah 6 bulan bayi mulai mendapat makanan padat dan lisozim merupakan faktor protektif terhadap kemungkinan serangan bakteri patogen dan penyakit diare pada periode ini (Perinasia, 2003).


(34)

4) Komplemen

Komplemen adalah protein yang berfungsi sebagai penanda sehingga bakteri yang ditempel oleh komplemen dapat dengan mudah dikenali oleh sel pemusnah. Komplemen juga dapat langsung menghancurkan bakteri. Pada laktasi 2 minggu kadar komplemen menurun dan kemudian menetap yaitu dengan kadar C3= 15mg/dl dan C4=10 mg/dl (Hegar dkk, 2008; Akib dkk, 2010)

5) Sitokin

Sitokin meningkatkan jumlah antibodi IgA kelenjar ASI. Sitokin yang berperan dalam sistem imun di dalam ASI adalah IL-1 yang berfungsi mengaktifkan limfosit T. Sel makrofag juga menghasilkan TNF-α dan IL-6 yang mengaktifkan limfosit B sehingga antibodi IgA meningkat (Hegar dkk, 2008).

6) Laktoferin

Laktoferin yang diproduksi makrofag, netrofil dan epitel kelenjar payudara bersifat bakteriostatik, dapat menghambat pertumbuhan bakteri karena merupakan glikoprotein yang dapat mengikat besi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan sebagian besar bakteri aerob seperti stafilokokus dan E.coli. Konsentrasi laktoferin tertinggi berada pada kolostrum


(35)

yakni sebesar 5-6 mg/mL, kosentrasi tersebut menurun pada minggu keempat laktasi menjadi 2mg/mL dan dipertahankan pada konsentrasi 1mg/mL (Akib dkk, 2010; Jones and Bartlett, 2013)

7) Peroksidase

Peroksidase adalah enzim yang dapat menghancurkan kuman patogen. Di dalam ASI tidak ditemukan peroksidase yang dapat menyebabkan reaksi peradangan di dinding usus bayi, kalaupun ada kadarnya sangat kecil (Hegar dkk, 2008).

b. Pertahanan spesifik ASI 1) Limfosit T

Sel limfosit T merupakan 80% dari sel limfosit yang terdapat dalam ASI. Sel limfosit T dapat menghancurkan kapsul bakteri E. coli. Sel limfosit T ASI merupakan sub populasi yang berfungsi memenuhi kebutuhan sistem imun lokal (Akib dkk, 2010)

2) Immunoglobulin (Antibodi)

Immunoglobulin dihasilkan oleh sel limfosit B. Limfosit B terutama menghasilkan sekretori IgA yang tahan terhadap tripsin di saluran cerna dan keasaman lambung bayi. IgM


(36)

akan ditransfer pada awal kehidupan bayi sebagai perlindungan terhadap E.coli dan polio, bila ibu sebelumnya sudah pernah terpajan bakteri atau virus tersebut. Immunoglobulin dominan pada ASI adalah IgA (Hegar dkk, 2008; Jones and Bartlett, 2013).

3) IgA sekretori

Imunogloblin A banyak ditemukan pada permukaan saluran cerna dan saluran napas. Dua molekul immunoglobulin A bergabung dengan komponen sekretori membentuk IgA sekretori (sIgA). Fungsi utama sIgA adalah mencegah dan menghambat melekatnya kuman patogen pada dinding saluran cerna (Hegar dkk, 2008).

Kadar sIgA ASI berkisar antara 5,0-7,5 mg/dl. Pada 4 bulan pertama bayi yang mendapat ASI eksklusif akan mendapat 0,5 g sIgA/hari atau sekitar 75-100 mg/kgBB/hari. Konsentrasi sIgA yang tinggi ini dipertahankan sampai tahun kedua laktasi (Akib dkk, 2010).

ASI meningkatkan IgA pada mukosa traktus respiratorius dan kelenjar saliva bayi pada 4 hari pertama kehidupan. Ini disebabkan karena faktor dalam kolostrum yang merangsang perkembangan sistem imun lokal bayi. Hal ini terlihat dari lebih rendahnya penyakit otitis media,


(37)

pneumonia, bakteriemia, meningitis dan infeksi traktus urinarius pada bayi yang mendapat ASI dibanding bayi yang mendapat PASI. Keadaan ini lebih nyata terlihat pada usia 6 bulan pertama, namun dapat terlihat sampai tahun kedua (Akib dkk, 2010).

Tabel 1: Perbandingan antimikroba ASI dan susu sapi (Akib dkk, 2010).

No Kandungan ASI Susu sapi

1 Laktoferin ++++ +

2 Lisozim ++++ +

3 sIgA ++++ +

4 IgG + ++++

5 Komplemen + ++++

6 Laktoperoksidase + ++++

Pada waktu bayi baru lahir secara alamiah mendapat zat kekebalan tubuh dari ibunya melalui plasenta, tetapi kadar zat tersebut akan cepat turun setelah kelahiran bayi, padahal dari waktu bayi lahir sampai bayi berusia beberapa bulan, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna, sehingga kemampuan bayi membantu daya tahan tubuhnya sendiri menjadi lambat selanjutnya akan terjadi kesenjangan daya tahan tubuh. Kesenjangan daya tahan tersebut dapat diatasi apabila bayi diberi ASI (Roesli, 2005).

3. Diare

Diare adalah meningkatnya frekuensi buang air besar dan konsistensi tinja menjadi cair. Secara sederhana diartikan diare bila frekuensi buang air besar lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi cair. Diare dapat dibagi


(38)

menjadi diare akut dan diare kronik. Disebut diare kronik jika diare sudah lebih dari 2 minggu (Sudoyo dkk, 2010).

Diare akut adalah buang air besar pada anak atau bayi lebih dari 3 kali perhari disertai konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa darah dan lendir yang berlangsung kurang dari satu minggu. Untuk bayi yang sedang menjalani ASI eksklusif, diare didefinisikan sebagai meningkatnya frekuensi BAB atau konsistensinya menjadi cair menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya, kadang-kadang frekuensinya kurang dari 3 kali perhari namun konsistensi cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare (Juffrie dkk, 2011).

Klasifikasi diare ke dalam jenis akut dan kronis bersifat mutlak, tetapi biasanya diare harus berlangsung paling sedikit 2 minggu untuk dapat disebut kronis. Hal ini didasarkan pada anamnesis umum tentang gejala diare. Diare adalah keluarnya tinja air dan elektrolit yang hebat. Pada bayi, volume tinja lebih dari 15g/kg/24 jam disebut diare (Behrman dkk, 2000).

a. Faktor Risiko diare

Faktor risiko penularan enteropatogen antara lain: tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja,


(39)

kurangnya sarana kebersihan, kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyimpanan makanan yang tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor yang dapat meningkatkan kecenderungan untuk tertular diare antara lain: faktor umur, faktor musim, gizi buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus, menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik (Juffrie dkk, 2011).

Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya diare pada anak-anak. Beberapa faktor yang telah terbukti secara signifikan mempengaruhi diare pada anak adalah faktor anak, faktor ibu, faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi, dan lain-lain. Dari faktor anak, ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya diare yaitu umur, status gizi, dan pemberian ASI. Sebagian besar kejadian diare anak terjadi pada usia dibawah 2 tahun. Anak-anak dibawah 2 tahun sangat rentan mengalami diare. Insidensi tertinggi terjadi pada usia 6-11 bulan ada saat diberikan makanan pendamping ASI (Juffrie dkk, 2011; Adisasmito, 2007).

Faktor ibu yang dapat manjadi pencetus diare pada anak adalah pengetahuan, sikap, dan perilaku. Dari faktor lingkungan seperti sarana air bersih, sarana pembuangan limbah, dan jamban. Faktor


(40)

sosial ekonomi yang dapat berperan dalam terjadinya diare anak adalah status sosial ekonomi keluarga (Adisasmito, 2007).

b. Etiologi diare

Penyebab diare non infeksi pada anak adalah kelainan anatomi saluran cerna, malabsorbsi, alergi, keracunan makanan, dan neoplasma. Diare infeksi pada anak dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan parasit (Behrman dkk, 2000). Berikut adalah gambar mikroorganisme penyebab diare infeksius:

Gambar 1. Agen penyebab diare infeksi. Sumber: World Gastroenterology Organisation (2008).

c. Patogenesis Diare

Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan oleh virus yaitu, virus yang menyebabkan diare pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel ujung-ujung vili pada usus halus. Virus akan menginfeksi lapisan epitel di usus halus dan menyerang vili di usus


(41)

halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Vili mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan makanan dengan baik. Diare karena infeksi bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus. Infeksi oleh bakteri seperti E.coli, shigella, dan salmonella, sedikit berbeda dengan infeksi virus, perbedaannya adalah bakteri-bakteri ini dapat menembus sel mukosa usus halus sehingga dapat menyebabkan reaksi sistemik (Juffrie dkk, 2011).

d. Manifestasi klinis diare

Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Penderita dengan diare cair, akan mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium, klorida, dan bikarbonat. Hal tersebut dapat menyebabkan dehidrasi dan asidosis metabolik. Bila terdapat demam biasanya karena proses peradangan. Demam umumnya terjadi pada penderita dengan inflammatory diare. Mual dan muntah adalah simptom non spesifik yang timbul yang mungkin disebabkan oleh organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti: Enterik virus, Giardia dan bakteri yang memproduksi enterotoksin.


(42)

Tebel 2. Gejala klinis dieare oleh berbagai penyebab.

No Gejala Rotavirus Shigella Salmonella ETEC Kolera 1 Masa tunas 17-72 jam 24-48

jam

6-72 jam 6-72 jam

48-72 jam

2 Panas + ++ ++ - -

3 Mual muntah

Sering Jarang Sering + Sering 4 Lamanya

sakit

5-7 hari >7 hari 3-7 hari 2-3 hari

3 hari 5 Frekuensi 5-10x/hari >10x/hari Sering Sering Terus

menerus 6 Konsistensi Cair Lembek Lembek Cair Cair Sumber: Juffrie dkk, 2011

e. Manajemen Diare

Manajemen dehidrasi merupakan dasar terapi untuk diare pada anak. Anak-anak, terutama bayi, lebih rentan daripada orang dewasa terhadap dehidrasi karena kebutuhan cairan dan elektrolit dasar perkilogramnya lebih besar karena mereka tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan ini. Rehidrasi oral biasanya merupakan pilihan terapi untuk semua kecuali pada dehidrasi berat (Behrman dkk, 2000).

Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan pemerintah salah satunya adalah melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana kesehatan melalui Lima Langkah Tuntaskan Diare ( Lintas Diare). Lima langkah tersebut adalah memberikan oralit sesuai


(43)

derajat dehidrasi, memberikan zink, tetap memberikan ASI, memberikan antibiotik sesuai indikasi, dan memberikan nasihat pada orang tua atau pengasuhnya. Nasihat yang disampaikan adalah, anak harus dibawa kembali ke pelayanan kesehatan jika diare lebih sering, muntah berulang, sangat haus, makan atau minum sedikit, timbul demam, tinja berdarah dan tidak membaik dalam 3 hari (Kemenkes RI, 2011)

f. Pencegahan Diare

Pencegahan diare yang dapat dilakukan secara dini menurut Kemenkes RI (2011) dalam buletin jendela data dan informasi kesehatan “Situasi diare di Indonesia” yakni pemberian ASI, pemberian makanan pendamping ASI secara bertahap dan tahu kapan, apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI diberikan, menggunakan sumber air yang bersih untuk dikonsumsi, mencuci tangan, menggunakan jamban yang sehat, membuang tinja bayi dengan benar dan pemberian imunisasi campak.


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti melakukan observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu. Pengukuran variabel dalam satu saat bukan berarti semua obyek diamati tepat dalam waktu yang sama, tetapi artinya tiap subyek hanya di observasi satu kali saja dan pengukuran variabel subyek dilakukan pada saat pemeriksaan tersebut (Sastroasmoro & Ismael, 2010).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung. Waktu penelitian ini antara Oktober-Desember 2013.


(45)

C. Populasi

Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah bayi usia 6-12 bulan yang berobat di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung.

D. Sampel

Sampel pada penelitian ini adalah seluruh bayi usia 6-12 bulan yang datang berobat ke poli rawat jalan dan rawat inap anak Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung yang sedang menderita diare dan yang tidak menderita diare serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik consecutive sampling. Pada consecutive sampling, semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukan dalam penelitian sampai jumlah sampel terpenuhi (Sastroasmoro & Ismael,

2010).

E. Kriteria Sampel

Agar karakteristik sampel tidak menyimpang dari populasi, maka sebelum dilakukan pengambilan sampel perlu ditentukan kritera inklusi dan kriteria eksklusi. Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel. Sedangkan kriteria eksklusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmojo, 2012).


(46)

1. Kriteria inklusi:

a. Bayi usia 6-12 bulan yang datang berobat ke RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung

b. Orang tua bersedia menjadi responden dengan menandatangani informed consent.

2. Kriteria eksklusi:

a. Bayi dengan edema atau asites b. Mempunyai riwayat keganasan

c. Sedang menderita infeksi atau penyakit kronis

d. Bayi dengan diare yang disebabkan intoleransi laktosa e. Bayi dengan gangguan pertumbuhan

f. Bayi yang datang dengan keluhan diare >14 hari

F. Besar sampel

Rumus penelitian analitis kategorik tidak berpasangan (Dahlan, 2009):

n

=

√ √

Keterangan:

n = jumlah sampel minimal

Zα= derivat baku alfa (1,96 ; dengan menggunakan α=0,05) Zβ=derivat baku beta (0,84 ; dengan menggunakan β = 0,20) P1 = Proporsi pada kelompok uji, atau kasus.


(47)

P2= Proporsi pada kelompok standar, atau kontrol Q=(1-P)

P1-P2 = selisih proporsi minimal yang dianggap bermakna P= proporsi total (P1+P2)/2

Tabel 3. Perhitungan besar sampel untuk hubungan riwayat pemberian ASI eksklusif dan status gizi dengan diare

Variabel p Perhitungan besar

sampel Hubungan status gizi

dengan diare

p=0,039

(Agus dkk, 2009) p=0,001 (Sinthamurniwaty, 2006) n= 94 n=192 Hubungan Riwayat Pemberian ASI eksklusif dengan diare p=0,001 (Ramdhani, 2013) p=0,01

(Hardi dkk, 2012) p=0,006

(Simatupang,, 2004)

n= 24 n= 234 n= 242

Dari hasil diatas didapatkan sampel 94 berdasarkan perhitungan dari hasil penelitian Agus dkk (2009). Pemilihan sampel ini berdasarkan jumlah yang dapat dijangkau oleh peneliti dan untuk mengurangi kesalahan acak selama penelitian berupa ukuran sampel yang tidak cukup besar, maka tidak digunakan jumlah sampel yang paling kecil yakni 24.


(48)

G. Pengumpulan Data

Pengumpulan data penelitian adalah pengukuran (measurement) atau pengamatan (observation) variabel-variabel penelitian. Desain pengumpulan data meliputi identifikasi variabel-variabel yang diteliti, definisi operasional masing-masing variabel, penentuan alat ukur (instrumen) variabel, level dan unit pengukuran masing-masing variabel dan waktu pengukuran (Murti, 2011).

1. Jenis Data

a. Data primer berupa berat badan untuk menetukan status gizi dan riwayat pemberian ASI eksklusif diperoleh dengan pengukuran berat badan dan wawancara terstruktur pada orang tua pasien b. Data sekunder berupa data medis pasien.

2. Variabel Penelitian a. Variabel bebas

Variabel bebas adalah variabel yang bila ia berubah akan mengakibatkan perubahan pada variabel lain (Sastroasmoro & Ismael, 2010). Variabel bebas pada penelitian ini adalah riwayat pemberian ASI eksklusif dan status gizi.

b. Variabel terikat

Variabel terikat atau adalah variabel yang berubah akibat perubahan variabel bebas (Sastroasmoro dan ismael, 2010). Variabel terikat pada penelitian ini adalah kejadian diare.


(49)

H. Definisi Operasional

Tabel 4: Definisi operasional

NO Variabel Definisi Cara ukur Skala

1 Status gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2003)

BB/U untuk usia 0-60

bulan(pengukuran berat badan dan kuisioner)

a. Gizi buruk: <- 3 SD b. Gizi kurang

: -3 SD - <-2 SD c. Gizi baik :

-2 SD - -2 SD d. Gizi lebih :

> 2 SD (Kemenkes RI, 2010)

Ordinal

2 Riwayat pemberian ASI eksklusif

ASI eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi dan tanpa susu formula, makanan dan minuman lainnya selama 6 bulan (Ministry of Human Resource Development Department of Women and Child Development (2004))

Wawancara a. ASI

eksklusif b. Tidak ASI

eksklusif

Nominal

3 Diare Diare adalah buang air besar pada anak atau bayi lebih dari 3 kali perhari disertai konsistensi tinja menjadi cair dengan atau tanpa darah dan lendir (Juffrie dkk, 2011)

Wawancara dan catatan medis a. Diare b. Tidak Diare Nominal


(50)

I. Alur Penelitian

Gambar 4: Alur penelitian Tahap persiapan

Penyusunan proposal dan perizinan.

Tahap pelaksanaan

Informed consent

Wawancara

Penimbangan berat badan bayi

Pencatatan hasil

Tahap pengolahan data Analisis data dengan SPSS 19,0 for windows


(51)

J. Jalanya Penelitian dan Instrumen Penelitian

1. Instrumen penelitian yang digunakan berupa: a. Kuisioner

b. Alat tulis

c. Timbangan digital d. Data medis pasien

2. Jalanya penelitian a. Tahap persiapan

1) Pada tahap ini dimulai dengan studi pendahuluan, penyusunan proposal, pembuatan instrumen penelitian, dan perizinan.

b. Tahap pelaksanaan

Langkah-langkah pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

1) Pengumpulan data

Penelitian tentang hubungan antara status gizi dan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan diare pada bayi usia 6-12 bulan di poli rawat jalan dan rawat inap anak RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung telah dilakukan pada bulan Oktober hingga Desember 2013. Jumlah sampel yang digunakan sesuai dengan perhitungan sampel yakni sebanyak 94 sampel.


(52)

Penelitian ini dilakukan dengan melihat catatan medis pasien untuk mengetahui diagnosis pasti penyakitnya, apakah pasien tersebut tergolong diare atau tidak diare dan apakah memenuhi kriteria inklusi atau tidak. Selanjutnya dilakukan teknik wawancara terstruktur menggunakan kuisioner dengan mewawancarai orang tua bayi serta melakukan penimbangan berat badan terhadap bayi. Dari wawancara diperoleh identitas ibu, identitas bayi, riwayat pemberian ASI dan kejadian diare. Dari penimbangan berat badan diperoleh berat badan bayi yang akan menghasilkan status gizi dengan cara dibandingkan dengan umurnya sehingga diperoleh parameter BB/U untuk menentukan status gizi bayi. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis univariat dan bivariat.

2) Pengolahan data

Pengolahan data terdiri dari beberapa tahap yaitu editing, entry dan output.

K. Pengolahan Data

Semua data hasil penelitian dicatat dalam status penelitian, dikumpulkan dan kemudian diolah dengan menggunakan program SPSS 19,0 for windows. Proses pengolahan data terdiri dari langkah-langkah berikut ini:

1. Editing, yaitu memeriksa data hasil analisis rekam medis dan hasil pengukuran antropometri.


(53)

2. Entry, yaitu memasukan data yang telah dikumpulkan ke dalam komputer .

3. Output, yaitu hasil yang telah dianalisis menggunakan komputer dan kemudian dicetak

L. Analisis Data

Analisis statistik untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan perangkat lunak komputer uji statistik dimana akan dilakukan 2 macam analisis data, yaitu analisis univariat dan bivariat.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik dari variabel independen dan dependen. Keseluruhan data yang ada dalam kuesioner dan pengukuran diolah dan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan narasi.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan

variabel dependen dengan menggunakan analisis uji chi square. Uji chi square digunakan

jika seluruh nilai expected >5 namun jika ada nilai expected <5 maka digunakan uji

mutlak Fisher atau fisher exact test. Pada analisis data akan didapatkan nilai OR atau

Odss Ratio. Apabila OR>1, menunjukan bahwa faktor yang diteliti memang merupakan faktor risiko, apabila OR<1 berarti merupakan faktor protektif


(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data, maka dapat disimpulkan beberapa hal di bawah ini:

1. Sebagian besar bayi tidak memiliki riwayat pemberian ASI eksklusif yaitu sebanyak 54 bayi (57,4%).

2. Sebagian besar bayi memiliki status gizi baik (78,7%). 3. Sebagian besar bayi menderita sakit selain diare (58,5%)

4. Terdapat hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar lampung dengan nilai p= 0,001.

5. Terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar lampung dengan nilai p=0,016.


(55)

B. Saran

1. Untuk peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian hubungan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian diare khususnya pada bayi usia 6-12 bulan dan dengan menggunakan desain penelitian lain seperti Case control atau Cohort.

2. Bagi masyarakat luas, diharapkan dapat memberikan ASI ekslusif dan memperbaiki status gizi bayi sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya diare pada bayinya.

3. Bagi responden yang memiliki bayi usia 6-12 bulan, diharapkan dapat memperbaiki status gizi bayinya sehingga dapat menurukan risiko terjadinya penyakit infeksi seperti diare.

4. Bagi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar lampung agar meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk promosi kesehatan tentang status gizi dan pemberian ASI eksklusif.

5. Bagi dinas kesehatan, puskesmas, dan posyandu diharapkan dapat meningkatkan penerapan program ASI eksklusif yang telah ditetapkan pemerintah.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito W. 2007. Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita Di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol. 11, No. 1, Juni 2007: 1-10.

Afifah, N. D. 2007. Faktor Yang Berperan Dalam Kegagalan Praktik Pemberian Asi Eksklusif. Studi kualitatif. Semarang.

Agus, S. N. S., Handoyo, Widiyanti, D. A. K. 2009. Analisis Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Balita Di Puskesmas Ambal 1 Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 5, No. 2, Juni 2009

Akib, A. A. P., Munasir, Z. & Kurniati, N. 2010. Buku Ajar Aelrgi Imunologi Anak Edisi 2. Jakarta: IDAI

Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Apriyanti, M., Ikob, R., Fajar, N. A. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Diare Pada Anak Usia 6-24 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Swakelola 11 Ilir Palembang Tahun 2009.

Behrman, Kliegman & Arvin. 2000. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC Dahlan, M. S. 2009. Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta:

Salemba Medika

Depkes RI 2008. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI

Dinkes Kota Bandar lampung. 2012. Profil Kesehatan Kota Bandar Lampung. Gozali, A. 2010. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Klasifikasi Pneumonia

Pada Balita Di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakart. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.


(57)

Hardi, A. R., Masni, Rahma. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Batita Di Wilayah Kerja Puskesmas Baranglompo Kecamatan

Ujung Tanah Tahun 201. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas

Hasanudin, Makassar.

Hardjito, K., Wahjurini, P. H., Linda W. 2011. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Frekuensi Kejadian Sakit Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Di Desa Jugo Keamatan Mojo Kabupaten Kediri. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, Volume II Nomor 4.

Hegar, B., Suradi, R., Hendarto, A., Partiwi, I. G. A. 2008. Bedah ASI. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Iswari, Y. 2011. Analisis Faktor Risiko Kejadian Diare Pada Anak Usia Dibawah 2 Tahun Di RSUD Koja Jakarta. Tesis. Universitas Indonesia. Depok

Jones and Bartlett. 2013. The context of lactation and brestfeeding. Dari: http://samples.jbpub.com/9781449694654/9781449694654_ CH01_0001.pdf Juffrie, M., Soenarto, S. S. Y., Oswari, H., Arief, S., Rosalina, I. & Mulyani, N.S.

2011. Buku Ajar Gastroenterologi-hepatologi Jilid 1. Jakarta: IDAI

Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta:Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI

Kemenkes RI. 2011. Buletin jendeta data dan informasi kesehatan: situasi diare d Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

1995/MENKES/SK/XII/2010 Tentang Standar Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI

Kemenkes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Ministry of Human Resource Development Department of Women and Child Development (Food And Nutrition Board). (2004) . National guidelines on infant and young child feeding : India Government.

Morrow, A. L. & Rangel, J. M. 2004. Human milk protection against infectious diarrhea: implications for prevention and clinical care. Seminars in Pediatric Infectious Diseases, Volume 15, Issue 4, October 2004, Pages 221-228

Murti, B. 2011. Struktur Riset. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret


(58)

Perinasia. 2003. Manajemen Laktasi. Perkumpulan Perinatologi Indonesia. Jakarta Pertiwi, P. 2012. Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif di kelurahan kunciran indah Tanggerang. Skripsi. Universitas Indonesia.

PP RI. Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif . Jakarta.

Prawirohardjoe, S. 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjoe

Pratama, H. A. 2009. Prevalensi Diare Akut Pada Balita Di Wilayah Kecamatan Ciputat Bulan September Tahun 2009. Skripsi. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Rahmadhani, E. P., Lubis, G., Edison. 2012. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Angka Kejadian Diare Akut Pada Bayi Usia 0-1 Tahun Di Puskesmas Kuranji Kota Padang. Jurnal kesehatan Universitas Andalas. Rodriguez, L., Cervantes, E., Ortiz, R. Malnutrition and Gastrointestinal and

Respiratory Infections in Children: A Public Health Problem. 2011. International Journal of Environmental Research and Public Health, vol 1174-1205

Roesli, U. 2005. Mengenal ASI eksklusif. Jakarta:Tribus Agriwidya Rospond, R. M. 2008. Penilaian staus nutrisi. Dari: http://lyrawati.files.

wordpress. com /2008/07/ penilaian-status-nutrisi.pdf

Sastroasmoro, S., Ismael, S. 2010. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto

Sediaoetama, A. D . 2010. Ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi. Jakarta: Dian Rakyat

Shintamuniwarti. 2006. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada Balita. Thesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K Simadribata, M., Setiati, S. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta: Interna Publishing

Sulbahri, R. P. 2008. Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian Diare Pada Bayi Berusia 0-6 Bulan Di Kelurahan Karang Maritime, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Skripsi. Bandar lampung. Universitas Lampung.


(59)

Wardhani D. P. K. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi kejadian diare pada bayi umur 7-12 bulan di wilayah kerja puskesmas kedungmundu kecamatan tembalang kota semarang. Universitas Diponegoro. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 945 - 954

WHO. 2001. Report Of The Expert Consultation On The Optimal Duration Of

Exclusive BreastfeedingGENEVA, SWITZERLAND28–30 MARCH 2001

Widyastuti, E. 2007. Hubungan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan status gizi bayi 6-12 bulan di provinsi nusa tenggara barat tahun 2007. Thesis. Universitas Indonesia.

Wijayanti. 2010. Hubungan Antara Pemberian Asi Eksklusif Dengan Angka Kejadian Diare Pada Bayi Umur 0-6 Bulan Di Puskesmas Gilingan

Kecamatan Banjarsari Surakarta. Skripsi Universitas Sebelas Maret.

Surakarta.

World Gastroenterology Organisation practice guideline. 2008. Acute diarrhea. WGO Practice Guidline.

Nency, Y. dan Arifin, M.T. 2006. Gizi Buruk, Ancaman Generasi Yang Hilang. http://io.ppijepang.org/old/article.php?id=113


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pengolahan data, maka dapat disimpulkan beberapa hal di bawah ini:

1. Sebagian besar bayi tidak memiliki riwayat pemberian ASI eksklusif yaitu sebanyak 54 bayi (57,4%).

2. Sebagian besar bayi memiliki status gizi baik (78,7%). 3. Sebagian besar bayi menderita sakit selain diare (58,5%)

4. Terdapat hubungan antara riwayat pemberian ASI eksklusif dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar lampung dengan nilai p= 0,001.

5. Terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian diare pada bayi usia 6-12 bulan di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar lampung dengan nilai p=0,016.


(2)

61

B. Saran

1. Untuk peneliti selanjutnya, perlu dilakukan penelitian hubungan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kejadian diare khususnya pada bayi usia 6-12 bulan dan dengan menggunakan desain penelitian lain seperti Case control atau Cohort.

2. Bagi masyarakat luas, diharapkan dapat memberikan ASI ekslusif dan memperbaiki status gizi bayi sehingga dapat mengurangi risiko terjadinya diare pada bayinya.

3. Bagi responden yang memiliki bayi usia 6-12 bulan, diharapkan dapat memperbaiki status gizi bayinya sehingga dapat menurukan risiko terjadinya penyakit infeksi seperti diare.

4. Bagi RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar lampung agar meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak termasuk promosi kesehatan tentang status gizi dan pemberian ASI eksklusif.

5. Bagi dinas kesehatan, puskesmas, dan posyandu diharapkan dapat meningkatkan penerapan program ASI eksklusif yang telah ditetapkan pemerintah.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmito W. 2007. Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita Di Indonesia: Systematic Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol. 11, No. 1, Juni 2007: 1-10.

Afifah, N. D. 2007. Faktor Yang Berperan Dalam KegagalanPraktik Pemberian Asi Eksklusif. Studi kualitatif. Semarang.

Agus, S. N. S., Handoyo, Widiyanti, D. A. K. 2009. Analisis Faktor-Faktor Resiko Yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Balita Di Puskesmas Ambal 1 Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 5, No. 2, Juni 2009

Akib, A. A. P., Munasir, Z. & Kurniati, N. 2010. Buku Ajar Aelrgi Imunologi Anak Edisi 2. Jakarta: IDAI

Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Apriyanti, M., Ikob, R., Fajar, N. A. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Kejadian Diare Pada Anak Usia 6-24 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Swakelola 11 Ilir Palembang Tahun 2009.

Behrman, Kliegman & Arvin. 2000. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EGC Dahlan, M. S. 2009. Besar Sampel Dan Cara Pengambilan Sampel. Jakarta:

Salemba Medika

Depkes RI 2008. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI

Dinkes Kota Bandar lampung. 2012. Profil Kesehatan Kota Bandar Lampung. Gozali, A. 2010. Hubungan Antara Status Gizi Dengan Klasifikasi Pneumonia

Pada Balita Di Puskesmas GilinganKecamatan Banjarsari Surakart. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.


(4)

63

Hardi, A. R., Masni, Rahma. 2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Diare Pada Batita Di Wilayah Kerja Puskesmas Baranglompo Kecamatan Ujung Tanah Tahun 201. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanudin, Makassar.

Hardjito, K., Wahjurini, P. H., Linda W. 2011. Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Frekuensi Kejadian Sakit Pada Bayi Usia 6-12 Bulan Di Desa Jugo Keamatan Mojo Kabupaten Kediri. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, Volume II Nomor 4.

Hegar, B., Suradi, R., Hendarto, A., Partiwi, I. G. A. 2008. Bedah ASI. Jakarta: Balai Penerbit FK UI

Iswari, Y. 2011. Analisis Faktor Risiko Kejadian Diare Pada Anak Usia Dibawah 2 Tahun Di RSUD Koja Jakarta. Tesis. Universitas Indonesia. Depok

Jones and Bartlett. 2013. The context of lactation and brestfeeding. Dari: http://samples.jbpub.com/9781449694654/9781449694654_ CH01_0001.pdf Juffrie, M., Soenarto, S. S. Y., Oswari, H., Arief, S., Rosalina, I. & Mulyani, N.S.

2011. Buku Ajar Gastroenterologi-hepatologi Jilid 1. Jakarta: IDAI

Kemenkes RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta:Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI

Kemenkes RI. 2011. Buletin jendeta data dan informasi kesehatan: situasi diare d Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI Kemenkes RI. 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:

1995/MENKES/SK/XII/2010 Tentang Standar Penilaian Status Gizi Anak. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI

Kemenkes RI. 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI

Ministry of Human Resource Development Department of Women and Child Development (Food And Nutrition Board). (2004) . National guidelines on infant and young child feeding : India Government.

Morrow, A. L. & Rangel, J. M. 2004. Human milk protection against infectious diarrhea: implications for prevention and clinical care. Seminars in Pediatric Infectious Diseases, Volume 15, Issue 4, October 2004, Pages 221-228

Murti, B. 2011. Struktur Riset. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret


(5)

Perinasia. 2003. Manajemen Laktasi. Perkumpulan Perinatologi Indonesia. Jakarta Pertiwi, P. 2012. Gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi pemberian ASI eksklusif di kelurahan kunciran indah Tanggerang. Skripsi. Universitas Indonesia.

PP RI. Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif . Jakarta.

Prawirohardjoe, S. 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjoe

Pratama, H. A. 2009. Prevalensi Diare Akut Pada Balita Di Wilayah Kecamatan Ciputat Bulan September Tahun 2009. Skripsi. Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Rahmadhani, E. P., Lubis, G., Edison. 2012. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Angka Kejadian Diare Akut Pada Bayi Usia 0-1 Tahun Di Puskesmas Kuranji Kota Padang. Jurnal kesehatan Universitas Andalas. Rodriguez, L., Cervantes, E., Ortiz, R. Malnutrition and Gastrointestinal and

Respiratory Infections in Children: A Public Health Problem. 2011. International Journal of Environmental Research and Public Health, vol 1174-1205

Roesli, U. 2005. Mengenal ASI eksklusif. Jakarta:Tribus Agriwidya Rospond, R. M. 2008. Penilaian staus nutrisi. Dari: http://lyrawati.files.

wordpress. com /2008/07/ penilaian-status-nutrisi.pdf

Sastroasmoro, S., Ismael, S. 2010. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta: Sagung Seto

Sediaoetama, A. D . 2010. Ilmu gizi untuk mahasiswa dan profesi. Jakarta: Dian Rakyat

Shintamuniwarti. 2006. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Diare Akut Pada Balita. Thesis. Universitas Diponegoro. Semarang.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., K Simadribata, M., Setiati, S. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I. Jakarta: Interna Publishing

Sulbahri, R. P. 2008. Pengaruh Pemberian ASI Eksklusif Terhadap Kejadian Diare Pada Bayi Berusia 0-6 Bulan Di Kelurahan Karang Maritime, Kecamatan Panjang, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Skripsi. Bandar lampung. Universitas Lampung.


(6)

65

Wardhani D. P. K. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan frekuensi kejadian diare pada bayi umur 7-12 bulan di wilayah kerja puskesmas kedungmundu kecamatan tembalang kota semarang. Universitas Diponegoro. Jurnal Kesehatan Masyarakat, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 945 - 954

WHO. 2001. Report Of The Expert Consultation On The Optimal Duration Of Exclusive BreastfeedingGENEVA, SWITZERLAND28–30 MARCH 2001 Widyastuti, E. 2007. Hubungan riwayat pemberian ASI eksklusif dengan status

gizi bayi 6-12 bulan di provinsi nusa tenggara barat tahun 2007. Thesis. Universitas Indonesia.

Wijayanti. 2010. Hubungan Antara Pemberian Asi Eksklusif Dengan Angka Kejadian Diare Pada Bayi Umur 0-6 Bulan Di Puskesmas Gilingan Kecamatan Banjarsari Surakarta. Skripsi Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

World Gastroenterology Organisation practice guideline. 2008. Acute diarrhea. WGO Practice Guidline.

Nency, Y. dan Arifin, M.T. 2006. Gizi Buruk, Ancaman Generasi Yang Hilang. http://io.ppijepang.org/old/article.php?id=113


Dokumen yang terkait

Status Gizi Bayi Ditinjau Dari Pemberian Asi Eksklusif, Pemberian MP-Asi Dan kelengkapan Imunisasi Di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2008

1 43 77

Status Gizi Pasien Rawat Inap yang Mendapat Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) di RSU Swadana Daerah Tarutung Tahun 2012

8 128 92

Hubungan Pemberian ASI Eksklusif Dengan Kejadian Diare Pada Bayi Berusia 6-12 Bulan Di Kelurahan Bendungan Kecamatan Cilegon Bulan Agustus 2010

0 7 81

Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Terhadap Status Gizi Bayi Usia 0-6 Bulan Di Wilayah Puskesmas Rajabasa Bandar Lampung

10 67 46

HUBUNGAN SHIFT KERJA DAN KELELAHAN KERJA DENGAN STRES KERJA PERAWAT DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG

10 97 70

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN DIARE AKUT PADA BAYI USIA 1-6 BULAN Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Dengan Kejadian Diare Akut Pada Bayi Usia 1-6 Bulan Di Wilayah Kerja Puskesmas Pucangsawit Surakarta.

1 2 14

HUBUNGAN STATUS EKONOMI ORANGTUA DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI USIA 0-6 BULAN Hubungan Status Ekonomi Orangtua Dengan Pemberian Asi Eksklusif Pada Bayi Usia 0-6 Bulan Di Baki Sukoharjo.

0 1 16

HUBUNGAN STATUS EKONOMI ORANGTUA DENGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF PADA BAYI USIA 0-6 BULAN Hubungan Status Ekonomi Orangtua Dengan Pemberian Asi Eksklusif Pada Bayi Usia 0-6 Bulan Di Baki Sukoharjo.

2 12 15

HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN DIARE PADA BAYI USIA 4 – 6 BULAN.

0 0 6

A. PENDAHULUAN - HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DENGAN STATUS GIZI BAYI USIA 6-12 BULAN DI POLINDES PATRANREJO BERBEK NGANJUK

0 0 12