Sejarah Hidup Membiara Agama Buddha

panggilan Tuhan, hubungan pribadi masing-masing dengan Tuhan menjadi dasar yang kuat untuk hidup berkomunitas dalam membiara Emmanuel, 2009.

3. Sejarah Hidup Membiara Agama Buddha

Orang-orang sudah mengikuti pengajaran-pengajaran Buddha lebih dari 2.500 tahun, berasal dari India tempat tinggalnya, lalu menyebar ke Eropa dan Amerika. Sekarang ada hampir 400 juta orang Buddha di seluruh dunia. Umat Buddha percaya bahwa manusia terikat di dalam lingkaran lahir, hidup, dan mati dan bahwa mereka dapat lahir kembali berulang kali sampai tak terhitung jumlahnya dengan tingkatan hidup yang berbeda. Dan mereka juga percaya bahwa mereka dapat menghindarkan diri dari kelahiran kembali dan dapat masuk 1 nirwana. Pengajaran-pengajaran Buddha merupakan bimbingan bagi seluruh umat Buddha yang mempunyai keinginan besar meningkatkan kebijaksanaan, belas kasihan, dan menghindari kekerasan, hingga pada akhirnya mereka seperti Buddha dan dapat menerima pencerahan. Dalam agama Buddha, hidup membiara dimulai oleh Sidharta Gautama. Menurut para ahli barat, Buddha Gautama pendiri agama Buddha dilahirkan pada tahun 563 S.M Hadiwijono, 2003. Ia adalah anak Raja Suddhodana, yang memerintah atas suku Sakya dan nama ibunya permasuri Maya. Ia dibesarkan di ibukota Kapilawastu. Pada waktu perayaan di Kapilawastu, permasuri Maya memimpikan seekor gajah putih masuk ke dalam rahimnya kemudian 10 bulan kemudian ia 1 Surga KBBI atau secara harafiah berarti pendinginan Hadiwijono, 2003 melahirkan dan seketika itu bumi bergetar selama bulan purnama pada bulan Mei. Maya meninggal 7 hari kemudian, dan pangeran dibesarkan dalam kehidupan yang serba mewah oleh bibinya yang sekaligus juga ibu tirinya yang bernama Ratu Mahaprajapatt. Pada waktu hidupnya sebagai putra raja, Siddharta dilimpahi oleh kesenangan dan kemewahan yang tiada taranya. Sang raja, ayah dari Siddharta ingin menjauhkan Siddharta dari pemikiran menjadi pemimpin agama. Akan tetapi Siddharta tidak merasa senang dengan kehidupan seperti itu. Hatinya tertarik pada kehidupan petapaan. Kehidupan istana yang memberikan hak-hak istimewa pada pangeran Siddharta Gautama diubahnya untuk selama-lamanya ketika ia pertama kalinya melihat orang yang sudah tua, orang sakit, sekelompok orang sedang berduka, dan orang suci. Ketika perlahan-lahan berhasil keluar istana, ia mendapat empat pengalaman yang memperkuat kehendaknya : Pengalaman 1: Ia melihat seorang laki-laki tua yang lemah dan menyaksikan betapa usia tua itu menghancurkan ingatan, keindahan, dan keperkasaan. Ia tidak pernah bertemu dengan orang tua sebelumnya. Pengalaman 2: Ia melihat orang cacat yang tersiksa kesakitan, dan ia merasa terkejut melihat penderitaan demikian dan “bergetar seperti pantulan caha ya bulan dalam riak air”. Ia tidak pernah mengalami penderitaan seperti ini. Pengalaman 3: Ia melihat orang yang sedang menangis dalam duka pada prosesi pemakaman dan perasaannya terganggu oleh suasana penderitaan karena kematian. Ia tidak pernah melihat peristiwa kematian sebelumnya. Pengalaman 4: Ia melihat seorang suci sedang mengembara, dengan rasa puas dan gembira, berjalan berkeliling dengan mangkok derma di tangannya. Ia tiba-tiba mengerti bahwa semua kesenangan hidup tidak berarti. Dari pengalaman tersebut pada akhirnya memperkuat tekadnya dan ia berhasil keluar istana. Siddharta pergi meninggalkan anak dan istrinya serta segala kenikmatan hidup dalam istana. Dimulailah kehidupan pengembaraan untuk mencapai kelepasan. Pada suatu sore waktu itu ia berumur 30 tahun ia duduk di bawah pohon bodhi di Bodh Gaya dengan maksud tidak akan meninggalkan pohon itu sebelum mendapat pencerahan. Dan kemenangannya dicapai ketika matahari terbit. Kemudian Siddharta Gautama mengajarkan apa yang sudah didapatnya itu kepada umat manusia, awalnya pengikutnya hanya 5 orang, tetapi kemudian bertambah banyak hingga saat ini. Di negara Indonesia yang paling jelas sifat kebiaraannya ialah agama Buddha. Boleh dikatakan bahwa pokok agama Buddha sendiri adalah hidup membiara. Ciri khas para pertapa Buddha ialah matiraga dan konsentrasi. Dan inti hidup membiara Buddhis adalah latihan 2 askese dengan syaratnya yang utama ialah meninggalkan segala harta miliknya dan janji hidup wadat Jacob, 1987 Semula seorang rahib atau bhikkhu diharuskan hidup tanpa rumah atau tanpa tempat berlindung tetap. Oleh karena itu barangsiapa hendak 2 Ulah tapa mati raga KBBI. menjadi rahib ia harus meninggalkan rumahnya, hidup dari iman saja. Biasanya mereka hidup mengembara dan mencari tempat berlindung di hutan-hutan atau di bawah pohon yang rindang. Hanya pada musim hujan mereka diperkenankan berlindung di rumah yang dibuatnya sendiri. Akan tetapi kemudian mereka diperkenankan berkumpul dalam biara Hadiwijono, 2003. Biara atau wihara, menjadi pusat devosi umat Buddha, walaupun ibadat dapat juga dilaksanakan di kuil dan di tempat pemujaan di rumah-rumah umat Buddha. Selain itu biara juga merupakan tempat untuk kegiatan spiritual disamping sebagai tempat belajar. Dalam biara para raihb Buddha menjalani hidup berdevosi dan bermeditasi. Mereka mengajarkan Dharma “hukum universal”, yaitu ajaran-ajaran Buddha kepada manusia dan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan spiritual mereka. Mereka juga dibutuhkan oleh umat untuk berbagai upacara yang menyangkut kehidupan khususnya upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian. Hal diatas serupa dengan yang dikatakan oleh Zhao 2007, mereka pengikut yang telah meninggalkan keduniawian masuk dalam komunitas yang disebut 3 sangha, di dalam sangha para bhikkhu dan bhikkhuni membantu dalam pelatihan dan penghidupan orang-orang yang telah meninggalkan keduniawian, mereka harus menjalankan kehidupan dalam komunitas kebiaraan. 3 Pelembagaan agama Buddha Becher, 2001; 209. Hidup kerahiban diatur di dalam Kitab Vinaya Pitaka. Dari kitab ini kita dapat mengetahui bahwa hidup para bhikkhu maupun bhikkhuni ditandai oleh 3 hal yaitu Hadiwijono, 2003,: a. Kemiskinan, seorang rahib harus hidup di dalam kemiskinan. Ia tidak diperkenankan memiliki sesuatu, kecuali jubahnya. Semula seorang rahib diharuskan hidup tanpa rumah atau tempat yang tetap tetapi sekarang mereka diperkenankan berkumpul dalam biara, karena itu barangsiapa hendak menjadi rahib ia harus meninggalkan rumahnya dan hidup dari iman saja. Makanan pun mereka harus mendapatkan dari mengemis, hidup mengemis memberikan sumber inspirasi bagi banyak kebajikan. b. Hidup membujang, seorang rahib harus membujang, mereka tidak diperkenankan berhubungan sebab hubungan seks dipandang sebagai sumber dosa. Dosa yang terbesar yang menjadikan seorang rahib dikeluarkan dari sangha persekutuan ialah hidup mesum. c. Ahimsa tanpa perkosaan, hal ini berarti mereka tidak diperkenankan membunuh atau melukai makhluk lainnya. Seorang rahib, disebut bhikkhu atau bhikkhuni bagi wanita dalam bahasa 4 Pāli . Pertama-tama bhikkhu maupun bhikkhuni ditahbiskan sebagai samanera atau samaneri calon bhikkhu dan bhikkhuni untuk jangka waktu setahun atau lebih. Mereka kerap ditahbiskan pada usia yang sangat belia, akan tetapi umumnya tidak di bawah usia 8 tahun. Mereka hidup sesuai dasasila , namun tidak diwajibkan menaati seluruh peraturan monastik. Tahbisan yang lebih tinggi, yakni status penuh 4 Bahasa yang digunakan penganut agama Buddha di India Theravada. sebagai seorang bhikkhu maupun bhikkhuni, biasanya hanya diberikan kepada yang sudah berusia 20 tahun atau lebih. Seorang samaneri menjalankan tiga tahapan untuk bisa ditabhiskan menjadi seorang bhikkhuni : 1 pabbajja, merupakan penahbisan pemula, seorang wanita harus meninggalkan kehidupan duniawinya seperti meninggalkan rumahnya; 2 sikkhamana, merupakan pelatihan untuk persiapan ditahbiskan secara penuh, pelatihan ini untuk jangka waktu dua tahun; 3 upasampada, samaneri ditahbiskan menjadi bhikkhuni oleh sangha bhikkhuni dan sangha bhikkhu Ven. Bhikkhu Bodhi, 2009. Selain peraturan-peraturan tersebut, ada beberapa peraturan yang khusus diberikan oleh para bhikkhuni-bhikkhuni dalam menjalani kehidupan membiaranya. Dan peraturan-peraturan tersebut akan dibahas dalam judul bhikkhuni Buddha dan aturan-aturannya.

C. Biarawati

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengambilan Keputusan Kiper pada Robot Humanoid Menggunakan Decision Tree T1 612011016 BAB I

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengambilan Keputusan Kiper pada Robot Humanoid Menggunakan Decision Tree T1 612011016 BAB II

0 1 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengambilan Keputusan Kiper pada Robot Humanoid Menggunakan Decision Tree T1 612011016 BAB IV

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Alasan Petani Dalam Pengambilan Keputusan Menanam Suatu Jenis Varietas Padi T1 522000601 BAB II

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Proses Pengambilan Keputusan Hidup Membiara: Studi Kasus Pada Biarawati Katolik dan Buddha T1 802007079 BAB I

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Proses Pengambilan Keputusan Hidup Membiara: Studi Kasus Pada Biarawati Katolik dan Buddha T1 802007079 BAB IV

0 0 158

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Proses Pengambilan Keputusan Hidup Membiara: Studi Kasus Pada Biarawati Katolik dan Buddha T1 802007079 BAB V

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Proses Pengambilan Keputusan Hidup Membiara: Studi Kasus Pada Biarawati Katolik dan Buddha

0 0 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Proses Pengambilan Keputusan Hidup Membiara: Studi Kasus Pada Biarawati Katolik dan Buddha

0 0 97

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: FaktorFaktor yang Konsumen dalam Pengambilan Keputusan Pembelian Produk Larissa Skin Care di Salatiga T1 BAB II

0 0 9