Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Proses Pengambilan Keputusan Hidup Membiara: Studi Kasus Pada Biarawati Katolik dan Buddha T1 802007079 BAB IV
44
Dalam bab ini akan diuraikan proses penelitian yang dimulai
dengan, pra-penelitian, persiapan penelitian, dan pelaksanaan
penelitian. Pada bab ini juga akan membahas mengenai analisis data
dari masing-masing partisipan yang berisi mengenai gambaran umum
partisipan, laporan observasi, analisa verbatim dan kategorisasi, dan
analisis pengambilan keputusan masing-masing partisipan. Pada akhir
bab, terdapat pembahasan secara menyeluruh dari semua partisipan
mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara.
A.
Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian
1.
Persiapan Penelitian
Proses pertama yang dilakukan peneliti sebelum mengambil data
adalah melakukan diskusi dengan dosen pembimbing mengenai
pedoman wawancara. Kemudian, mencari informasi mengenai
keberadaan biarawati Katolik dan Buddha pada beberapa orang,
selanjutnya
menghubungi
partisipan
dan
bertanya
mengenai
kesediaannya menjadi partisipan dan terlibat menjadi sumber data
mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara.
Dalam tahapan pra-penelitian, peneliti berpanduan pada tahapan
pra-lapangan yang dikemukakan dalam Moleong (2005), yaitu :
(2)
Rancangan penelitian pertama-tama dilakukan dengan penulisan
bab satu hingga bab tiga, yang terdiri dari latar belakang, tinjauan
pustaka, dan metode penelitian. Peneliti juga merancang pedoman
wawancara sebagai alat pengumpulan data.
b.
Memilih lapangan penelitian
Berdasarkan keterbatasan geografis dan praktis, maka peneliti
memilih partisipan yang berdomisili di Salatiga dan sekitarnya.
Keempat orang partisipan yang dipilih antara lain, dua orang biarawati
Katolik yang berdomisili di Salatiga, dan dua orang biarawati Buddha
yang berdomisili di Ampel, kabupaten Boyolali, Jawa Tengah.
c.
Mengurus perijinan
Peneliti meminta surat ijin penelitian untuk dapat melakukan
kunjungan dan wawancara dengan partisipan. Surat ijin, peneliti
peroleh dari fakultas dengan persetujuan dari dekan dan kedua
pembimbing.
Peneliti
kemudian
mengunjungi
partisipan
dan
memberikan surat ijin penelitian kepada partisipan. Sebelumnya,
peneliti telah bertemu dengan partisipan untuk meminta kesediaannya
terlibat dalam penelitian ini sebagai sumber data, dan tidak lupa peneliti
juga menyampaikan gambaran mengenai penelitian yang akan
dilakukan kepada keempat partisipan tersebut.
d.
Menjajaki lapangan
Pada tahap ini, peneliti telah memiliki gambaran umum mengenai
tradisi membiara dalam agama Katolik dan Buddha. Peneliti pada awal
kunjungan mempelajari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh
masing-masing partisipan, dan aturan-aturan dari biara ataupun
(3)
komunitas secara umumnya. Peneliti juga berusaha bertanya mengenai
kebiasaan-kebiasaan di tempat (biara) partisipan tinggal.
e.
Memilih dan memanfaatkan informan
Peneliti memperoleh informan yang berbeda untuk biarawati
Katolik dan Buddha. Untuk biarawati Katolik, peneliti mendapatkan
informasi lokasi partisipan dari teman peneliti yang beragama Katolik
dan berdomisili di Salatiga. Sedangkan untuk biarawati Buddha,
peneliti mendapatkan informasi dari romo di sebuah klenteng di
Semarang, mengenai keberadaan partisipan. Berdasarkan informasi
yang diperoleh, maka peneliti menemui partisipan Katolik dan meminta
kesediannya sebagai sumber data. Untuk biarawati Buddha, peneliti
mencari informasi lebih lengkap lagi mengenai lokasi tempat tinggal,
dan secara kebetulan peneliti berkenalan dengan partisipan di media
sosial
, dan peneliti meminta ijin untuk berkunjung, setelah
mendapatkan ijin peneliti pun berkunjung dan meminta kesediaan
partisipan dalam penelitian yang akan dilakukan.
f.
Menyiapkan perlengkapan penelitian
Peneliti menyiapkan perlengkapan penelitian yang diperlukan
dalam proses wawancara, perlengkapan tersebut antara lain pulpen,
buku catatan, dan sebagai alat perekam peneliti menggunakan
tape
recorder
dan
handphone
.
g.
Persoalan etika penelitian
Peneliti, memberitahukan maksud dan tujuan penelitian secara
terbuka kepada calon partisipan. Peneliti pun berusaha untuk
menghormati kebiasaan, pribadi, dan norma-norma agama yang di
(4)
imani oleh partisipan maupun kebiasaan-kebiasaan membiara yang
dijalani partisipan.
2.
Pelaksanaan Penelitian
Dalam proses pengambilan dan pengumpulan data, peneliti
melakukan beberapa kegiatan. Hal pertama yang dilakukan oleh
peneliti adalah membuat janji untuk bertemu dengan keempat
partisipan dengan waktu yang berbeda, karena faktor kesibukan
masing-masing partisipan. Pelaksanaan pengambilan data dilakukan
pada tanggal 16 November 2012, pada pukul 10.30 WIB, peneliti
melakukan wawancara dan observasi dengan partisipan pertama.
Sebelumnya, peneliti telah membuat janji temu dengan partisipan
pertama saat peneliti memberikan surat ijin penelitian. Untuk ketiga
partisipan yang lain, peneliti membuat janji temu melalui sms (
short
messages service
).
Pada proses pengambilan data, peneliti melakukan wawancara dan
pengamatan sebanyak tiga kali untuk partisipan pertama, kedua, dan
keempat, sedangkan untuk partisipan ke tiga, peneliti melakukan
wawancara sebanyak dua kali saja. Hal ini dikarenakan, pada partisipan
ketiga, peneliti telah mendapatkan banyak informasi hanya dengan
melakukan dua kali pengambilan data, dan juga telah menemukan
kejenuhan (
saturation
) pada wawancara ke dua. Adapun, jadwal
pengambilan data masing-masing partisipan, sebagai berikut (table 4.1).
Tabel 4.1
Jadwal Pengambilan Data
(5)
1
16 November 2012 10.30-11.43WIB Panti Asuhan 1 23 November 2012 11.30-11.43 WIB Panti Asuhan 1 11 Pebruari 2013 10.00-10.45 WIB Panti Asuhan 1
2
15 Pebruari 2013 10.05-11.09 WIB Panti Asuhan 2 10 Maret 2013 10.34-11.28 WIB Panti Asuhan 2 4 April 2013 10.10-10.28 WIB Panti Asuhan 2
3
12 Januari 2013 13.25-14.02 WIB Vihara Ampel 30 Januari 2013 14.27-15.01 WIB Vihara Ampel
4
12 Januari 2013 14.07-14.37 WIB Vihara Ampel 30 Januari 2013 13.21-14.13 WIB Pondok Meditasi 19 Maret 2013 09.35-10.03 WIB Vihara Ampel
B.
Analisis Data
Setelah proses pengambilan data selesai, dan semua data telah
terkumpul, maka selanjutnya peneliti melakukan proses analisis data.
Analisis data dilakukan sesuai dengan tahapan yang telah disusun pada
bab tiga dalam metode penelitian. Hal yang pertama yang peneliti
lakukan adalah, mencatat hasil catatan lapangan dan memberikan kode
agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri, kemudian mengumpulkan,
memiliah-milah,
mengklarifikasikan,
mensintesiskan,
membuat
ikhtisar, dan membuat indeksnya, kemudian membuat kategori data itu
mempunyai makna, mencari dan menemukan pola dan
hubungan-hubungan, dan membuat temuan-temuan umum. Berikut hasil dari
penelitian tiap-tiap partisipan yang kemudian akan membahas
(6)
mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara pada
biarawati Katolik dan Buddha.
C.
Hasil Pengumpulan Data
1.
Partisipan Penelitian 1 (SL)
a.
Gambaran umum partisipan
Identitas
Inisial
: SL
Usia
: 40 tahun
Anak ke-
: 7 dari 11 bersaudara
Pendidikan
: Kuliah
Agama
: Katolik
Partisipan berinisial SL, saat ini partisipan berusia 40 tahun. SL
merupakan anak ke tujuh dari sebelas bersaudara, yang dua diantaranya
telah meninggal dunia. Partisipan berasal dari Bai, Nusa Tenggara
Timur. Saat ini SL berprofesi sebagai seorang suster yang tergabung
dalam komunitas
1AM, komunitas yang terpusat di Jawa Timur yang
berkarya dalam menolong anak-anak yatim piatu dan cacat, juga yang
miskin. Saat ini dia ditugaskan untuk melayani di Salatiga, Jawa
Tengah sebagai kepala panti asuhan di Salatiga sejak Oktober 2007,
sebelumnya SL pada tahun 2002 sampai dengan 2007 ditugaskan di
Madiun, Jawa Timur. SL berasal dari keluarga Katolik yang sangat taat,
1 Komunitas Biara Katolik
(7)
memiliki
2bapak besar yang berprofesi sebagai pastor
3SVD di NTT.
Saat SMP, dia bersekolah di sekolah Katolik yang memiliki kepala
asrama seorang suster. SL pindah ke asrama sejak di kelas tiga SMP
karena sebelumnya saat kelas satu dan dua, dia masih pulang pergi
sekolah dan rumah.
Keinginan untuk menjadi suster sudah dirasakannya sejak masih
kecil tepatnya sejak sekolah dasar ketika SL melihat seorang suster
yang sudah berumur, saat dia berkunjung ke biara tempat bapak
besarnya tinggal. Tetapi keinginan tersebut sempat hilang saat SL
memasuki jenjang pendidikan menengah atas. Setelah lulus sekolah
menengah atas, SL sempat bekerja di biara
4SPSS sebagai karyawan
disana, banyak ajakan dari teman-teman susternya untuk bergabung
dalam komunitas dan menjadi suster, akan tetapi dirinya tidak
terpanggil untuk menjadi suster di SPSS.
Proses pengambilan keputusan yang cukup panjang, yang dialami
oleh SL. Persoalan pasang surut minat SL untuk hidup membiara yang
kadang muncul, dan tantangan-tantangan dari sekitar, membuatnya
memerlukan pertimbangan yang matang untuk mengambil keputusan
membiara. Hingga pada akhirnya, pada tahun 1995, SL pun
ditahbiskan, dan menerima kerudung, kalung salib, dan cincin.
b.
Laporan Observasi Partisipan
2 Panggilan untuk kakak dari ayah atau ibu di NTT (dalam bahasa Jawa Pakde)
3 Komunitas Serikat Sabda Allah
(8)
Wawancara yang pertama dilakukan pada tanggal 16 November
2012 pukul 10.30 WIB. Wawancara dilakukan di panti asuhan tempat
SL ditugaskan sebagai kepala panti cabang Salatiga. Pada saat
wawancara pertama SL tengah mengurus anak-anak panti, karena saat
itu anak-anak sudah pulang sekolah. Saat melakukan wawancara SL
mengenakan pakaian suster lengkap dengan kerudung, kalung salib,
dan juga cincin di jari manisnya sebelah kanan.
Pada awal wawancara SL terlihat menikmati dan memahami topik
yang dibicarakan. Walaupun begitu dalam menjawab pertanyaan,
matanya tidak melihat langsung pada peneliti, melainkan melihat ke
arah halaman panti. Ini dilakukan terutama ketika SL berusaha
mengingat-ingat pengalamannya, tapi ini tidak berlangsung lama,
karena setengah perjalanan wawancara, dia pun dapat bercerita dengan
menatap langsung pada peneliti.
SL mudah menangkap pertanyaan-pertanyaan yang diberikan, dan
selalu menjawab pertanyaan dengan jelas dan dengan senyuman. Hal
ini lebih terlihat jelas ketika peneliti mengajak partisipan untuk
mengingat kembali perjalanan sebelum menjadi suster hingga menjadi
suster seperti sekarang ini. SL tersenyum saat menceritakan
pengalamannya sebelum menjadi suster. Ketika bercerita mengenai
ketertarikan untuk masuk komunitas AM dan sempat berbohong pada
para suster di tempat kerjanya saat di NTT, SL tertawa saat mengingat
kembali pengalamannya tersebut.
Saat peneliti bertanya mengenai kemungkinan keluarga yang tidak
setuju dengan keputusan yang diambilnya, SL pun terlihat sedih saat
(9)
menceritakan ada keluarganya (pamannya) yang melihat sebelah mata
pekerjaannya dalam melayani anak-anak. Ini sangat terlihat kontras dari
sikapnya saat menjawab pertanyaan sebelumnya yang selalu diselingi
dengan senyuman, berbeda dengan saat menjawab pertanyaan
mengenai pamannya itu, SL tidak tersenyum dan menjawab dengan
suara yang lebih pelan.
Wawancara yang kedua berlangsung pada tanggal 23 November
2012, pada pukul 11.30, masih dilakukan di panti asuhan yang sama.
Pada wawancara yang kedua kali, SL semakin terbuka bercerita
mengenai pengalaman hidupnya dalam proses memutuskan hidup
membiara menjadi suster. Hal ini terlihat dari cerita SL yang lebih
mendetail mengenai respons-respons yang diterimanya dari keluarga
dan teman-teman mengenai keputusan yang diambil.
Kesedihan keluarga, pertanyaan dari teman-teman, bahkan
keraguan yang sempat dia alami saat harus berpisah dengan keluarga,
sekaligus rasa senang karena keinginannya menjadi seorang suster dan
melayani anak-anak cacat di panti asuhan dapat terwujud, dapat
diceritakan SL dengan sangat lancar dan jelas. Saat diajukan
pertanyaan, Selama wawancara dilakukan, SL pun dalam menjawab
pertanyaan memandang langsung pada peneliti sehingga jalannya
wawancara pun terlihat lebih nyaman lagi, ini juga terlihat dari sikap
duduk SL yang menyandarkan punggungnya pada sofa.
Wawancara yang ketiga dilakukan pada tanggal 11 Februari 2013,
di tempat yang sama, di panti asuhan, hanya dalam ruangan yang
berbeda tepatnya di ruang istirahat tamu (ruangan untuk menginap tamu
(10)
seperti ketua komunitas). Pada wawancara yang ketiga ini peneliti dan
SL duduk berhadapan di sebuah meja makan besar, partisipan terlihat
sedang tidak enak badan, karena terlihat dari wajahnya yang terlihat
pucat, dan bibirnya yang pecah-pecah, dan badan yang lebih kurus
daripada saat bertemu pada wawancara pertama dan kedua, hal ini pun
dikuatkan dari pernyataan SL yang mengatakan bahwa dirinya baru saja
sembuh dari sakit.
Pada wawancara yang ketiga, SL terlihat menjawab dengan sangat
pelan karena sedang masa pemulihan dari sakit. Akan tetapi ketika
peneliti menyinggung pertanyaan mengenai keluarganya, SL terlihat
senang dan tersenyum saat menceritakan aktivitas yang dilakukan jika
dirinya pulang. Kumpul dengan keluarga, saudara-saudaranya akan
datang walaupun mereka sedang bekerja. SL selalu terlihat gembira dan
diperlihatkan dengan senyumnya saat menceritakan mengenai
keluarganya.
Ketika peneliti mengajukan pertanyaan mengenai pimpinan yang
sangat perhatian dan penuh kasih sayang, SL bercerita dengan setengah
suara dan pelan saat menceritakan bahwa pimpinannya telah
meninggal. Dia pun menceritakan dengan antusias mengenai pimpinan
SL yang penuh kasih sayang, perhatian, seperti seorang ibu baginya.
Dan SL sangat sedih ketika menceritakan detik-detik terakhir SL
bertemu dengan pimpinannya sebelum meninggal, kesedihannya dapat
terlihat dari pandangannya yang memandang pada peneliti tapi
pandangannya seperti kosong seperti mengingat-ingat sesuatu, dan
kadang juga berhenti sebentar saat bercerita.
(11)
c.
Analisa Verbatim
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh
beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara
psikologis, antara lain :
Analisis Verbatim P1W1
Makna
Teks dan Kode
Sosok suster yang anggun, bahagia, berpakaian putih
meninggalkan kesan bagi P.
Bagaimana ya, saat saya melihat seorang suster itu kayak anggun banget, kayak bahagia begitu berpakaian putih, kok bisa seperti itu bagaimana ya, saya pingin tahu (P1W1 14-17).
Keteraturan dalam doa, dan aktivitas saat tinggal dalam asrama membuat P semakin tertarik menjadi suster.
Trus saya SD dan SMP kebetulan, SMP itu kebetulan kepala sekolah kami suster. Kelas satu kelas dua saya masih tinggal di rumah keluarga terus kelas 3 saya masuk asrama, diasrama itu digembleng bener-bener sama suster ya, hidup doanya teratur, belajar, istirahat, makan jadi teratur, terus saya jadi ada tertarik juga untuk menjadi suster, tapi dalam hati saya, saya tidak ungkapkan, jadi disimpan dalam hati, (P1W1 17-25).
Harapan bapak besar, agar P menjadi seorang suster saja.
terus saat kelas 3 SMP itu, bapak besar saya masih hidup, dia bilang kamu mau jadi suster ya, saya tidak langsung bilang iya, saya lihat dulu kalau saya memang ada panggilan saya mau masuk tapi kalau tidak ada, saya tidak masuk, lalu dia bilang
(12)
Peraturan di asrama yang lebih bebas ketika SMA membuat P kehilangan minat untuk hidup membiara.
Sebenarnya saya SMP itu di kota di Ende, tapi saya takut kalau meneruskan SMA di kota saya tidak bisa belajar, jadi ya biar nanti saja jika memang orang tua punya biaya untuk kuliah saya, kuliahnya nanti baru di kota, jadi saya memilih SMA di desa saja. Terus saya SMA di Bai, disana memang asrama tuh bebas tidak ada diatur-atur lagi kayak di asrama seperti waktu SMP, paling hari minggu, terus doa pribadi, misa jumat pertama itu juga ada. Ya namanya apa ya, udah SMA itu kan pergaulan juga sudah, apa ya… pacaran tu, juga ada memang, dan memang panggilan saya itu hilang disana, saya tidak ada panggilan lagi (P1WI 30-42).
Kehilangan minat membuat P menolak ajakan hidup membiara saat SMA.
He…eh, sempat hilang…hilang…, ya mungkin
pergaulan juga ya, dan teman-teman juga kita hidup diluar tidak terarah, asrama memang ada tapi kan, kepala asramanya orang awam, kita bebas, mau belajar kita belajar sendiri, masak sendiri, asrama itu kan kayak kost-kostan gitu. Waktu itu juga ada dari salah satu kesusteran disana, melakukan aksi panggilan, tapi memang kami gak ada tertarik, kami tidak ada satu pun yang daftar, tidak ada, dan saya saat itu tidak ada, tidak ada niat lagi ke situ kayak hilang gitu (P1WI 45-55).
Ketidakberadaan biaya untuk kuliah membuat P lebih memilih bekerja di biara SPSS daripada
Setelah itu saya tamat, keluarga saya itu kan tidak mampu untuk biayai kuliah, sudah saya
memikirkan begini, kalau saya di luar saya tidak bisa untuk bekerja seperti orang di luar kan di luar
(13)
bekerja di luar. itu kerjanya macam-macam ya, ya selain dulu kan masuk MUDIKA, kan masuk MUDIKA muda-mudi Katolik itu kegiatannya juga banyak berkebun, bercocok tanam, nah kalau kita di luar itu hidupnya apa ya, itu orang tidak lama hidupnya akan cepat menikah, ya kadang tergantung juga dari keputusan pribadi seseorang, saat itu saya tidak mau tinggal di luar sudah, waktu itu saya juga pingin kerja, dan saya waktu itu bekerja di SPSS, kerja di Biara SPSS di Ende, kerja sebagai karyawati, satu bulan saya percobaan di dapur memasak, (P1WI 55-69).
P enggan untuk masuk dalam hidup membiara di biara SPSS karena merasa tidak sesuai dengan minatnya.
Ada juga kami sempat dekat juga dengan calon
suster SPSS, teman saya itu ajak saya “ayo masuk
sini, ikut di SPSS dengan saya (menjadi suster),
saya jawab “saya kalau di SPSS tidak bisa”, terus dia bertanya, lalu mau masuk dimana, “ya saya
lihat dulu, mungkin ada biara yang cocok untuk
saya”, saya bilang begitu (P1WI 74-80). Kekhasan kehidupan
membiara SPSS tidak menarik bagi P.
SPSS itu, Abdi Roh Kudus, jadi mereka dalam biara itu, satu kamar sendiri, hidup dalam biara,mereka tidak seperti kami, di dalam itu ruangan khusus untuk mereka kamar tidur sendiri, kamar mandi sendiri, pakaian dicucikan oleh karyawati, jadi namanya biara itu kan hidup dalam tembok biara, nah kalau kami kan hidup di tengah-tengah masyarakat, hidup membaur dengan umat dengan masyarakat (P1WI 83-90).
P tidak merasa tertarik masuk dalam hidup
Belum, memang teman saya itu mengajak masuk di biara SPSS, dan waktu itu ada empat biara lain
(14)
membiara di biara yang ada di Ende.
yang ada di sana, tapi keempat ini saya tidak ada tertarik, saya tidak ada satu pun yang saya tertarik. (P1W1 93-96).
Pertemuan pertama kali P dengan suster AM yang datang berkunjung ke SPSS.
Terus tiba-tiba tahun 1994, saya kerja di SPSS itu sejak saya tamat 92, angkatan 92, saya kerja sejak bulan Juni, dan kebetulan saat itu ada tiga suster dari AM untuk cari panggilan, cari panggilan kan tidak ada keluarga, tidak ada umat yang mereka kenal untuk menginap, nah mereka nginap di SPSS yang kebetulan saya kerja di sana, dan dari ketiga suster ini ada teman saya yang sama-sama tamat SMA dan satu kelas (P1W1 96-104).
P mencari informasi mengenai komunitas AM dan visi misi AM.
Saat bulan Juni saya sempat pulang, dan saya tanya pada kakak ipar saya mengenai teman saya, dan katanya dia sudah di Malang, sekarang dia sudah pakai kerudung, pakai pakaian, sudah terima cincin, dan salib, nah saya bingung kan namanya masuk biara kan ada prosesnya, prosesnya itu kan 2 tahun 3tahun itu baru terima pakaian, terima kerudung, terima cincin, terima kalung salib, tapi kok langsung, saya penasaran, biara apa sih, saya penasaran. Tapi saya tidak tahu visi misinya apa, karyanya apa saya belum tahu, dan tiba-tiba suster ini datang, saya tu tidak tahu, apa memang kehendak Tuhan juga tiba-tiba ketemu dengan teman saya itu, (P1WI 101-117).
Visi dan misi melayani anak-anak cacat dan hidup bersama dengan mereka membuat P
setelah itu saya bertemu dengan ketiga suster ini, dan wawancara dan mereka juga kasih brosur, dan dijelaskan visi misinya hidup bersama dengan anak-anak, kita ini melayani anak-anak cacat,
(15)
tertarik dan
merenungkan kembali panggilannya.
hidup serumah dengan mereka. Sudah, saya tu pingin, sudah saya masuk disini saja, saya tuh pingin melayani seperti ini (P1WI 117-123) P memberitahukan
keputusannya pada keluarga lewat surat.
Saat saya ambil keputusan masuk dalam AM, saya kirim surat ke orang tua, saya minta ijin ke mereka (P1WI 123-125). Saya minta persetujuan dari orang tua, mereka setuju, ya sudah (P1WI 132-133).
P menetapkan hatinya pada panggilannya untuk melayani di AM
walaupun ada tawaran untuk kuliah.
Iya, hanya saya sendiri, dan memang ditempat saya itu satu-satunya susternya baru saya, kalau imamnya 2 tapi susternya baru saya. Saat menerima keputusan, saya langsung, saya juga sempet bohong ya, sempet bohong sama suster yang disana SPSS, saya sebenarnya sudah direncanakan dikuliahkan untuk kebidanan, sudah daftar, sudah tes tinggal tunggu masuknya, tapi saya punya panggilan lebih kuat, akhirnya saya tinggalkan untuk profesi itu untuk kemudian masuk di AM (P1WI 136-145).
Adanya konflik pada perasaannya antara senang dan sedih saat menjalani pilihannya.
Perasaan waktu itu, ada perasaan dua-duanya, ada perasaan senang ada perasaan pingin pulang juga (P1W1 166- 167).
Perasaan senang impiannya menjadi suster tercapai.
Senang melihat anak-anak, bertemu dengan suster-suster yang lain, bergabung, dan bisa sampai disini (Malang), impian saya tercapai, maksudnya saya kan punya cita-cita ingin menjadi suster kok bisa tercapai seperti itu perasaan saya waktu itu (P1WI 169-173).
(16)
teringat dengan keluarga di rumah, terutama dengan ibunya.
sakit, saya ingat semua di rumah, soalnya kalau saya sakit saya ingat semua dirumah yang lebih saya ingat itu mama, kalau saya sakit itu di rumah mama saya pasti ada (P1WI 173-177).
Keluarga memberikan ijin dan dukungan yang sangat besar pada keputusan yang P ambil.
Gak tau ya, waktu itu tu setelah saya mengirim surat ke rumah, misalnya saya mengirim surat hari ini, besok tuh mamak saya, kakak saya nomor 3 sama nomor 5, sama adek saya yang bungsu mereka langsung datang ke Ende (sambil tersenyum), saat mereka sampai sana saya tuh kaget, kenapa harus datang, lha mamak saya bilang, kan surat saya mereka baca bersama keluarga, mereka minta persetujuan bersama-sama, jadi ini dia punya niat seperti ini apakah kita mau mendukung dia, terus mereka serentak mengatakan iya, ya kalo ini memang sudah jalannya mereka mendukung, ya mereka bilang kalau memang sudah punya pilihan seperti ini ya jalani terus, jangan menoleh ke belakang, jangan ingat kami, hidup kami seperti ini, kamu harus menjalani hidup kamu disana (P1WI 197-212).
Ketika harus berpisah dengan keluarga P merasakan kesedihan dan keraguan pada kemampuannya untuk menjalani hidup membiara.
Ya rasa sedih ada ya, karena disana itu kalau ada anaknya yang mau masuk biara, biasanya kumpul-kumpul ya, kumpul-kumpul-kumpul-kumpul keluarga, umat, untuk doa bersama, terus acara makan-makan bersama, saya juga waktu itu dirumah tidak lama, cuma 3 malam dan karena sejak lama saya hidup dalam asrama, waktu itu kan kita makan-makan bersama sebagai perpisahan, dalam hati saya juga sempat saya mampu tidak ya menjalani ini, (P1WI
(17)
215-233). P selalu mengingat
dukungan dan doa dari keluarga untuk dirinya.
tapi karena doa keluarga dan pesan dari bapak
besar saya yang mengatakan “ingat pilihanmu”
(P1WI 233-224). P menghadapi situasi
dimana ada anggota keluarga yang menyayangkan keputusannya untuk hidup membiara.
Iya, tapi memang ada saudara, bukan dari keluarga inti tidak setuju ya, sempet mereka berkata bahwa
begini “ah sekolah-sekolah sudah sampai SMA kok tidak antu orang tua malah masuk biara, kan kalau disana mereka berpikir kalau masuk biara kan terlepas ya dengan keluarga, tidak melihat kebelakang lagi, dan hidup untuk berkarya (P1WI 226-232).
Pengalaman P saat berkarya melayani umat.
Terus ada pengalaman saat saya berkarya melayani orang-orang yang di desa saat itu belum ada kendaraan, tiap hari saya berjalan kaki pergi untuk berkarya, pergi untuk mengunjungi dan terapi anak-anak di rumah-rumah mereka masing-masing (P1WI 232-237).
P menghadapi salah satu anggota keluarga yang menyayangkan pilihan yang diambilnya, walaupun begitu P telah menetapkan hatinya pada keputusannya.
Sempat om kandung bilang begini, “kenapa tidak
ikut masuk sama teman-temanmu di SPSS kan enak, kenapa memilih panggilan seperti ini tiap hari jalan terus kok miskin sekali”, sampai bilang
begitu, lalu saya bilang, “ya tidak apa-apa om, Tuhan pasti punya rencana untuk saya, tidak mungkin Tuhan meninggalkan saya, saya pilih jalan ini, pasti Tuhan akan membantu saya (P1WI 237-244).
(18)
Makna
Teks dan Kode
Bapak besar memilikiharapan, agar P menjadi seorang suster.
Saya ndak bilang, hanya waktu itu dia sempet bilang gini, tapi saya gak jawab iya, dia bilang
“nanti kamu jadi suster saja ya” bilang gitu (P1W2
28-30). P menolak untuk
melanjutkan SMA di kota karena takut tidak dapat belajar dengan baik.
Sebetulnya dia sudah daftarin saya sekolah di Ende, tapi dalam pikiran dan hati saya kan, ah saya tidak mau sekolah di kota, ketimbang saya sekolah di kota, nanti saya hanya bermain saja, pergi jalan-jalan terus saya tidak ingat belajar, lebih baik sekolah di desa dulu, nanti kalau memang ada biaya ya kuliah di kota boleh, tapi saya belum sempet tamat beliau sudah duluan meninggal ya sudah (P1W2 30-37)
Perasaan kehilangan pada diri P saat bapak besar meninggal dan kecewa karena bapak besar tidak bisa melihat P menjadi suster.
Ndak bilang, iya dia bertanya seperti itu tiba-tiba. Makanya saya saat beliau meninggal itu saya sangat kehilangan sekali, awal saya menjadi seorang suster ini, saya sempat, aduh seandainya bapak besar masih ada, saya memang paling bahagia. Saya tuh seperti dilindungi, bapak besar ini kan orangnya dengan siapa saja tuh orangnya baik gitu (menekankan kata-katanya) (P1W2 41-48).
Adanya kebiasaan sering mengunjungi bapak besar di biaranya.
Iya, gimana ya, bapak besar ini, saya tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, saya dan beliau itu dekat sejak SD, tapi saat SD belum terlalu dekat, saat SMP itu, saat SMP kan saya sering pergi ke biaranya, kalau libur tuh sambil pergi ke biaranya pergi liburan disana, kadang-kadang 1
(19)
minggu, pernah juga SMP dia datang mengunjungi saya (P1W2 58-64).
P menyampaikan keputusan membiara lewat surat kepada keluarga.
Waktu itu kan saya tulis surat, jelas di rumah kalau mereka menerima surat itu mereka kumpul semua, satu orang yang baca, yang lain dengarkan (P1W2 77-79).
Perasaan takut tidak diperbolehkan masuk AM oleh teman-temannya membuat P berbohong pada teman-temannya.
Kalau teman itu...(sambil tertawa), teman-teman itu mereka gak tau ya, kan saya tutup mati, maksudnya saya gak mau beritahu gitu, jadi disimpen sendiri, tapi temen-temen saya itu kayaknya feelingnya kuat, soalnya kan mereka melihat kok saya dekat banget sama suster yang
baru datang itu, mereka bilang, “kamu mau jadi
suster itu ya (AM)?”, “siapa bilang saya mau jadi
suster?”, “kok deket gitu?”, saya bilang enggak, ya
akhirnya mereka tahu sendiri saat 1 minggu sebelum saya keluar dari situ (SPSS), bahkan suster yang di biara itu (SPSS) saya bohong sih, seandainya saya tidak bohong mungkin saya tidak diijinkan untuk masuk AM (P1W2 82–94). Kebohongan P
dipertanyakan oleh teman susternya di biara tempatnya bekerja (SPSS)
Persis 1 minggu saya mau keluar, suster itu bilang
“saya tahu kamu bohong”, terus saya bilang “suster kalau saya tidak bohong mungkin saya
tidak bisa keluar dari sini”, bahkan saya bilang ke
mereka saya mau kuliah di Kupang, mereka bilang
“buat apa kuliah di Kupang jauh-jauh, udah di sini kamu sambil kerja sambil kuliah, biar nanti
biayanya kami yang biayai.” (P1W2 94 – 101). Kakak-kakak P
membantu P meyakinkan
Yang berperan ya kakak-kakak saya, mereka yang mengumpulkan keluarga, mereka terus bilang
(20)
keluarga yang lain untuk mendukung P.
kalau memang panggilan dia, kita harus mendukung (P1WI 106-108).
Pada saat perpisahan, keluarga merasa sedih dan mempertanyakan keputusan P.
Saat ada kumpul-kumpul keluarga sebelum saya pergi, ya mungkin mereka juga sedih ya, bagaimana saya yang tidak pernah kumpul keluarga, sudah mau pergi lagi, saya waktu itu sedih juga ya. Waktu itu mereka juga pernah bilang kok saya pergi jadi suster, (P1W2 108-113). Kemantapan P untuk
tetap setia pada panggilannya.
tapi saya menjanjikan, saya minta doa, saya akan jalan terus kedepan, dan saya harap keluarga dirumah juga baik-baik (P1W2 113-116). Kakak nomor enam
menjadi orang pertama yang mengetahui keputusan P.
Yang paling dekat dengan saya ya, maksudnya kalau saya punya masalah atau apa cerita gitu itu kakak yang nomor 6, kalau memang ada masalah, saya cerita sama dia, dan itu juga yang pertama kali tau saya mau jadi suster dia juga, kan dia juga waktu itu jadi salah satu karyawan di biara di Ende (P1W2 118-123)
Rasa terkejut P saat melihat saudara-saudaranya dan ibunya datang untuk mendukung pilihan P.
Saya tidak tahu waktu itu saya tidak ada dirumah, tapi waktu itu lewat 2 hari setelah saya kirim surat ke rumah, saya juga kaget mamak, dan kakak saya nomor tiga dan nomor lima, sama adek bungsu saya itu datang ke biara ke Ende, saya kaget, lho mereka ni buat apa (P1W2 126-131).
Rasa sedih dirasakan oleh ibu dan P karena akan berpisah dan hidup jauh.
Terus mamak saya langsung bilang sambil menangis, dia bilang begini, ya saya datang karena dekat disini, kalau besok-besok sudah pergi jauh tidak mungkin saya bisa datang gitu. Ya saya mau bagaimana saya harus mengikuti keputusan ini (P1W2 131-135).
(21)
Kehidupan yang jauh dari keluarga tidak membuat P ragu dengan keputusan yang
diambilnya, walaupun tetap membuat P sedih.
Saya tidak ada rasa ragu ya, mungkin kan saya punya keinginan itu dari tamat SMA itu, setelah di SPSS itu, mau masuk itu juga tidak mungkin, saat waktu itu ada orang cari panggilan di AM ini, saya pikir ini ni. Ya saat diadakan perpisahan dengan keluarga itu, memang sedih, saya memang sedih
tapi ya…. (P1W2 141-146). Dukungan dari keluarga
menjadi penentu P mengambil keputusan karena P merasa keluarganya lebih tahu dirinya.
Kalau mungkin mereka gak setuju, ya saya ikut mereka, yah mungkin mereka tau saya, mereka juga lebih tau hidup saya, kalau mereka tidak
setuju tidak mungkin saya… (P1W2 150-153).
Perasaan kecewa andaikan keluarga tidak mendukung keputusan P.
Kalau tidak diijikan pasti kecewa berat ya, kecewa sekali kalau memang gak diijinkan, yang pasti kalau gak diijikan saya gak seperti ini, saya gak tau dimana (P1W2 156-158).
Walaupun ada
kesempatan untuk kuliah P tetap memilih menjadi suster.
Mungkin saya jadi bidan, karena di SPSS sebenarnya saya dikuliahkan, tapi saya tidak jadi masuk karena saya lebih memilih di AM (sambil tertawa) (P1W2 162-164).
P merasakan bahwa pilihannya hidup membiara dalam komunitas AM adalah sudah jalannya Tuhan (takdirnya).
saya lebih kuat keinginan untuk jadi suster, saya juga pernah ini gak tau mimpi atau hayalan saya, waktu saya mau masuk ke sini itu (AM), saya pernah bermimpi Bunda Maria datang dia itu pegang kepala saya, tidak omong apa terus hilang, waktu itu saya tidur, lalu saya bangun saya itu ingat mimpi itu waktu itu saya masih di SPSS, waktu itu saya cerita pada mamak saya, lalu saya ingat mimpi ini saat saya mau masuk ke biara AM
(22)
(P1W2 165-171). Rasa percaya bahwa
keluarga mendukung dan bangga dengan
keputusannya.
Saya waktu itu gak ada, karena saya pikir pasti mereka senang sekali karena diantara sembilan bersaudara ada yang mau jadi suster, itu pasti mereka senang, pikiran saya seperti itu (P1W2 174-177 ).
Kehidupan yang damai saat P melihat kehidupan seorang suster senior.
Iya ya, waktu itu saya melihat suster ini tidak ada beban dalam hidupnya, kok kayaknya hidupnya damai hidupnya aman, maksudnya kok kayaknya tidak ada beban dia mikir apa gitu, mungkin hanya mikirnya berdoa berdoa gitu, suster itu hidupnya kayak tenang seperti itu (P1W2 186 - 191). Keteraturan berdoa saat
bekerja di SPSS membuat minat P hidup membiara kembali muncul.
Waktu itu kan pernah yang saya bilang pernah hilang kan (saat SMA keinginan hilang), ya terus kan tamat SMA kan kerja di SPSS, di SPPS itu kan muncul lagi, kan di SPSS kan hidup doanya teratur, ada jam doa, jadi keinginan saya muncul lagi (P1W2 199-203).
P menolak tawaran menjadi suster di SPSS karena P masih mencari biara yang cocok bagi P.
Waktu itu kan ada teman saya yang juga calon suster SPSS mengajak saya untuk masuk menjadi suster SPSS, tapi saya tidak mau, saya bilang mungkin ada biara yang cocok dengan saya. Ya sudah dia bilang, saya mau masuk SPSS karena saya memang ingin masuk SPSS kata dia. Sampai sekarang kami masih sering kontak (P1W2 203-209).
Minat yang semakin kuat karena ingin melayani anak-anak cacat.
Ya itu tadi saya tertarik lewat brosur, kan suster yang kepala, yang tiga itu kan jelaskan mendetail, hidup serumah dengan anak, sekamar, satu meja makan sama anak-anak, mereka kan yang cacat,
(23)
yang kakinya buntung, yang tidak punya tangan, saya tuh senang jadi suster untuk melayani mereka (P1W2 212-217).
Keraguan dari teman, saat P mengambil keputusan masuk dalam AM.
Memang suster SPSS yang wakil itu sempet bilang
saya, “apakah kamu bisa merawat anak-anak
seperti itu”, ya saya jawab, “saya coba dulu jikalau
saya tidak bisa ya saya mundur, tetapi suster,
selagi saya mampu dan kuat saya bisa.” (P1W2 220-224).
Bapak besar
mempercayakan P pada teman susternya untuk dibimbing menjadi seorang suster.
Saat SMP, kebetulan suster di asrama SMP saat itu juga dekat dengan bapak besar saya, sempet pesan sama suster itu, ya nanti ponakan saya itu dia mau jadi suster tolong kamu bimbing dia, padahal saya gak bilang punya keinginan menjadi suster (P1W2 230-234).
Adanya keraguan orang lain pada diri P dalam menjalani panggilannya tidak membuat P menyerah pada keputusannya untuk tetap melayani di AM.
Makanya saat saya ketemu sama ibu asrama saya itu dia kaget (sambil tertawa), dia kira saya di SPSS karena kan pernah ketemu juga di SPSS, dia kaget saya jadi suster di AM. Kan dia kuliah di UPI Malang, dia kaget, dia keluar kampus tuh dia ngeliat kami, kami tuh kan ada lima, namanya masih calon kan kami masih bersih-bersih halaman itu tuh, kan kampusnya berhadapan dengan rumah pusat (AM), ya udah dia kaget, kan sempat
ketemu, dia bilang “hah kok kamu di AM?”, dia
sempet marah-marah juga, tapi saya bilang “ya suster saya masuk AM”, terus dia bilang “kok
kamu bisa dan kuat?”, ya saya bilang ya biar saja.
(P1W2 234-247).
(24)
membuat P tidak ingat dengan minat hidup membiara.
sekolahnya putus-putus, yah namanya orang tua tidak mampu ya, saya tuh kelas 1 ke kelas 2, saya sempat keluar, bahkan saya saat ujian sempat tidak ikut karena SPP belum dibayar, yah namanya juga dari keluarga petani ya, tapi saya tuh memang punya niat untuk sekolah, dulu sempat saya putus asa, keinginan untuk menjadi suster sempat gak ingat karena banyaknya masalah (P1W2 250-257). Meninggalnya bapak
besar, membuat P semakin memiliki keinginan kuat menjalani hidup membiara.
Saya tuh lebih kuat lagi keinginan itu tuh, saat bapak besar saya meninggal itu, itu kayaknya saya ada apa mungkin, tapi saya tidak ungkap, saya tidak ungkap mungkin saya janji dalam hati saya tidak tahu (P1W2 258-261).
Saat bapak besar meninggal P berjanji untuk menjadi suster seperti yang bapak besarnya inginkan.
waktu itu memang sempet saya bilang gini “bapak saya ikut bapak seperti yang bapak omong ke saya itu, tapi memang saya tidak ungkap, waktu itu saya hanya menangis saja, hanya menangis di depannya dia itu, terus setiap kali saya pulang itu pasti pergi bakar lilin, janji pada bapak, minta doa untuk saya tetap kuat seperti bapak gitu (P1W2 261-268). Adanya tantangan yang
berat pada awal-awal hidup membiara.
Pernah, ada…ada, saat awal-awal itu memang banyak tantangan berat, pernah saya itu benar-benar gak kuat, tapi karena doa dari teman-teman, saya sendiri, seandainya orang mungkin kalau tidak kuat mungkin keluar (P1W2 278-282). Mengingat kembali akan
panggilannya saat ada tantangan dari berbagai
Situasi komunitas, situasi pribadi, dari lingkungan, kadang dari keluarga, kadang saya pikir untuk apa saya jadi suster kalau keluarga saya ada masalah, tapi memang saya ada kekuatan dengan
(25)
Analisis Verbatim P1W3
pihak. mengingat motivasi awal saya (P1W2 284-288). Usaha yang P lakukan
seperti mengingat motivasi awalnya untuk tetap pada panggilannya
Dari komunitas, mereka bantu doa, bantu sharing, mengingat kembali motivasi awal. Kalau saya putus asa, kalau saya merasa berat keidupan kedepan itu, saya mengingat motivasi awal, sudah sampai seperti ini sayang jika dilepaskan (P1W2 290-294).
P semakin mantap dengan pilihannya walaupun menemukan tantangan.
Hahaha….. iya, saya merasa saat saya ada masalah
tantangan malah saya semakin kuat. Tuhan itu baik sama saya setiap saya doa itu selalu terkabul, untuk tantangan kedepan dapat membuat saya lebih kuat lagi (P1W2 296-300).
Makna
Teks dan Kode
Keluarga kerap kali mendukung P lewat doa.
Mereka mendukung saya lewat doa dan memotivasi saya (P1W3 9-10). Ya mereka mendukung saya lewat doa, ya mungkin bukan doa secara
berkelompok, tapi mereka ada yang berdoa secara pribadi mendoakan saya, kalau saya pulang mereka keluarga itu kumpul ya seperti itu mba (P1W3 13-16).
Keputusan keluarga menjadi yang utama bagi P.
Yah kalau memang mereka gak mendukung saya, gak mungkin saya lanjut terus (P1W3 18-19).
Orang tua
menginginkan agar P
Wah saya sama orang tua saya deket banget mba, bahkan bapak saya itu inginnya saya tu tugasnya di
(26)
bertugas di daerah NTT saja.
sana aja biar deket sama keluarga, kalau saya pulang liburan atau pas ada tugas di sana, mereka inginnya saya gak cepet-cepet pulang ke sini (salatiga), biar saya lama-lama di sana. Menjelang saya selang satu minggu mau pulang mereka tu kayak sedih banget, mereka senang kalau saya dekat mereka. Mereka sangat menyayangi saya (P1W3 22-30). Mereka pun mendukung, mereka itu sangat sayang sama saya (P1W3 32-33). P akan berfokus pada
motivasinya saat menghadapi tantangan dalam hidup membiara.
Saya itu ya saya tuh selalu ingat kalau saya mendapatkan tantangan yang berat saya selalu maju, pokoknya kalau saya sepertinya mau keluar
saya inget sama… ih kenapa saya hidup seperti ini,
kok kenapa saya seperti ini, tapi saya ingat lagi yang menyuruh kau masuk itu siapa kan saya yang mau, saya berpikir di situ, saya mikir lagi untuk apa saya memilih hidup di luar lagi pula toh kehidupan di luar juga sama dengan orang hidup di dalam komunitas (P1W3 38-46)
Tantangan dalam hidup membiara dijadikan motivasi untuk tetap setia.
Saya merasa kalau saya mendapatkan tantangan
saya merasa lebih… apa ya… saya melihat kembali
apa… hikmahnya di balik tantangan itu bahwa dengan tantangan ini memberi lebih…lebih
memberi kekuatan atau mendorong saya agar lebih kuat untuk bisa menghadapi masalah tersebut (P1W3 46-52).
Permasalahan dalam hidup membiara dibawa P dalam doa dan renungan.
Kalau saya seperti itu ya saya masuk kapel terus saya duduk, duduk di depan kapel itu, saya duduk
diam…saya duduk diam saya gak ngomong apa-apa
(27)
dipanjatkan dengan suara yang sangat pelan), hanya Engkau yang tau, hanya Engkau yang memberikan jalan keluarnya memberikan yang terbaik, jadi saya berdoa seperti itu, pokoknya kalau saya mendapat tantangan saya duduk di kapel, kalau gak di kapel di kamar dan merenung dengan tenang (P1W3 62-71). Hidup doa sebagai cara
menghadapi masalah yang P alami dengan komunitas maupun dengan pekerjaannya.
Saya kalau punya masalah dengan komunitas, dengan teman, atau mungkin dengan perawat, misalnya mereka melakukan kesalahan, itu pertama saya diam dulu, saya lihat mereka apakah mereka sadar kesalahan mereka kalau mereka gak sadar saya beritahu, kenapa saya diam seperti ini karena kamu begini, lalu saya bawa ke dalam doa, ke dalam doa, Tuhan seperti ini keadaannya kiranya Tuhan ampuni mereka dan juga saya, dan Tuhan buka jalan buka hati mereka biar mereka menyadari kesalahan yang mereka lakukan (P1W3 75-85). Dengan berdoa P
merasakan kelegaan dari segala
permasalahanya.
Saya itu kalau punya masalah saya ke kapel duduk diam saya merenung, itu kayaknya lega, itu kayaknya masalah-masalah itu semuanya habis (P1W3 85-88).
Aktivitas dalam komunitas sebagai cara mengatasi masalah.
Saya kalau mengalami fase pasang surut begitu saya menyibukan dengan pekerjaan dan juga berdoa seperti tadi, nanti lupa sendiri (P1W3 94-96). Dukungan diperoleh
dari pimpinan dan teman komunitas.
Oh ya tentunya pimpinan, pimpinan terus memotivasi kami, teman juga (P1W3 99-100).
Pimpinannya dalam biara, yang penuh perhatian dan kasih
Saya memandang pimpinan, pimpinan saya itu sebenarnya sudah meninggal, pimpinan saya itu
(28)
sayang seperti sosok ibu bagi P.
seperti ibu saya sendiri, orangnya kan orang Jawa ya, lembut dia, kalau kita sakit atau kita ada apa orangnya itu perhatian, terus kalau saya pergi libur itu dia bilang “ya baik-baik ya, sehat, nanti pulang
ya (balik lagi)” takut gak balik lagi, nanti pulang ya
jangan di sana terus (P1W3 102-110). Peranan pimpinan biara
bagi P dalam
menghadapi masalah.
Dia umur 70an, setiap bulan itu mesti ke makamnya pergi doa gitu, kadang sampe sekarang pun walau beliau gak ada, kalau saya lagi kritis sakit atau ada
suster yang sakit saya doa sama dia, “aduh ibu
kenapa sih kok suster ini kakak ini kok sakit terus,
apa yang harus saya buat”, terus “ibu tahu kan
situasi sekarang seperti ini”, kadang saya ngomong seperti berhadapan padahal saya ngomong pada gambarnya hehehe (sambil tertawa), atau kalau saya
ke Malang saya ngomong “ibu saya mau ke Malang, sampe ketemu di Malang ya” giu saya
ngomong (P1W3 112-122). Meninggalnya pimpinan
biara sebagai
kehilangan besar bagi P.
Iya saya dekat banget, waktu itu kan pas saya ditugaskan di sini, beliau sudah digantikan kan karena dia sakit-sakitan makanya di ganti, makanya saya waktu itu saat hari rabu ketemu saya..ketemu saya.. kok rabu besoknya dia meninggal itu, kok sedih banget saya. Sebelum meninggal itu saya berangkat dari sini ke Malang, saya itu peluk dia,
dia tanya “kok kamu ke sini”, kan saya panggil ibu, saya bilang “iya bu saya ke sini, mau beli
keperluan”, dia bilang “kamu baik-baik ya”, “ibu
doakan saya ya”, dia bilang “iya saya doakan kamu”. Saya diberitahu minggu besoknya udah gak
(29)
d.
Kategori
Pada tahap sebelumnya, sudah diperoleh makna psikologis dari
hasil analisis verbatim P1 dari W1, W2, W3 (terlampir). Setelah proses
pencarian makna, maka tahap selanjutnya adalah menentukan kategori
dari setiap makna yang muncul, yaitu :
1.
Ketertarikan pada sosok suster saat masih di sekolah dasar.
2.
Bapak besar menjadi inspirasi
(significant other)
.
ada itu mendadak banget, sebelum saya tau itu saya sedang mengerjakan laporan, saya gak tau apa dia ingin saya kesana atau bagaimana, (P1W3 125-138).
Kesedihan yang mendalam ketika pimpinan biara sakit dan menjelang meninggal.
saya itu melakukan pekerjaan itu kayak ngambang, kayak gak ada pekerjaan yang bisa di buat gitu, aneh dengan tinta mengetik kan baru beli saya mengetik kok tidak keluar tintanya kok malah kosong, padahal ini kan tinta baru, terus teman saya ada yang sms Lud kamu ke sini ibu sudah kritis, iya besok pagi aja, tapi mungkin ibu ingin saya pergi kesana, saya ngetik itu bekerja itu tidak bisa. Akhirnya saya doa, saya lepas pekerjaan saya pergi ke Malang, sampe Jombang di bis itu saya
menangis, saya menangis, sebelum saya sampai beliau sudah meninggal (P1W3 139-149). Bagi P, pimpinannya
merupakan seorang yang baik dan penuh perhatian.
Setelah beliau meninggal saya pernah mimpi beliau dua kali, datang menemui saya, dia bilang bilang
pada saya “kamu baik-baik ya”. Dia itu baik… banget, perhatian banget (P1W3 149-153).
(30)
3.
P melakukan pola coping menunda dalam mengambil keputusan
(
d e f e n s i v e a v o i d a n c e )
membiara.
4.
Kembalinya minat untuk hidup membiara setelah bapak besar
meninggal.
5.
Terpanggil untuk melayani anak-anak cacat.
6.
Respons yang positif dari keluarga inti.
7.
Mengutamakan pendapat keluarga inti
8.
Kebanggaan jika salah satu anggota keluarga ada yang hidup
membiara.
9.
Perasaan keluarga dan SL saat harus berpisah.
10.
Konflik batin saat membiara.
11.
Membawa permasalahan dalam doa.
12.
Berfokus pada motivasi awal saat menghadapi tantangan
13.
Usaha-usaha P untuk setia pada panggilannya
14.
Dukungan dari pimpinan dan teman seprofesi sangat berarti
15.
Tidak ada keraguan lagi pada dirinya karena menjadi suster adalah
takdirnya.
e.
Analisis Pengambilan Keputusan
Ketertarikan partisipan pada kehidupan membiara, berawal dari
pertemuan dengan seorang suster yang menimbulkan kesan yang
mendalam pada dirinya. Partisipan saat itu masih duduk di sekolah
dasar, dia mengunjungi bapak besarnya yang adalah seorang Pastor
SVD. Di biara itulah merupakan pertemuan pertamanya dengan seorang
suster senior yang sudah cukup berumur. Partisipan terpukau melihat
(31)
keanggunan suster itu dengan pakaian putih, dan segala atribut yang
suster senior itu pakai. Partisipan merasakan adanya kebahagiaan,
kedamaian, keamanan, dan kehidupan yang tidak ada beban pada suster
tersebut. Pertemuan itulah menjadi dasar ketertarikannya pada
kehidupan membiara, yang membuatnya ingin menjadi suster dan
memiliki kehidupan dengan unsur-unsur yang dimiliki suster senior
tersebut.
Bagaimana ya, saat saya melihat seorang suster itu kayak anggun
banget, kayak bahagia begitu berpakaian putih, kok bisa seperti itu
bagaimana ya, saya pingin tahu (P1W1 14-17).
Keinginan menjadi suster, partisipan simpan dalam hatinya dan tidak
diceritakan pada orang lain. Ketika partisipan sudah beranjak remaja
keinginan menjadi suster tersebut masih disimpannya dalam hati, dan
menjadi semakin besar karena didukung dengan pola hidupnya ketika
di asrama.
Sejak SMP kelas tiga, partisipan tinggal di asrama sekolahnya. Di
asrama itu dipimpin oleh kepala asrama yang merupakan seorang
suster. Partisipan sangat senang dan nyaman dengan kehidupan di
asramanya, pola kehidupan yang teratur di mana kehidupan doa,
makan, istirahat, dan belajar yang sangat teratur membuatnya semakin
tertarik dengan hidup membiara. Keinginannya menjadi seorang suster
yang sejak kecil disimpan dalam hatinya, menjadi semakin besar
dengan pola hidup teratur yang dijalaninya di asrama. Selain itu minat
partispan pada kehidupan membiara dan menjadi seorang suster,
memperoleh dukung dari bapak besarnya yang berprofesi sebagai
(32)
pastor SVD. Bapak besar selalu berharap bahwa partisipan dapat
menjadi seorang suster, bahkan sebelum partisipan menceritakan
keinginannya menjadi suster, bapak besar seperti sudah terlebih dahulu
mengetahui keinginannya.
Dalam perjalanan hidupnya yang semakin beranjak dewasa,
partisipan mulai kehilangan minat untuk membiara. Hal ini terjadi pada
saat sekolah menengah atas. Saat SMA pun partisipan tinggal di asrama
sekolahnya, adanya perbedaan peraturan di asrama SMA yang tidak
seketat dengan peraturan saat di asrama SMP membuat dirinya
melupakan minatnya pada kehidupan membiara. Kehidupan doa dan
aktivitas dalam asrama SMA lebih bebas, dan hal ini berdampak pada
kehidupannya yang lebih terasa bebas. Bahkan saat SMA, partisipan
memiliki pacar, sehingga keinginan untuk hidup membiara terlupakan.
Ketika kesempatan hidup membiara itu datang, dengan adanya aksi
panggilan sebuah kesusuteran ke SMAnya, dia bahkan tidak tertarik.
Pada saat itu dirinya benar-benar lupa akan keinginannya untuk
menjadi suster, dan ketika partisipan kelas tiga SMA, bapak besar
meninggal. Partisipan mengalami kesedihan yang mendalam karena
relasi yang dekat dengan bapak besar, dan saat itu dia pun teringat akan
perkataan bapak besar yang ingin dirinya menjadi suster. Dia pun
berdoa dan berjanji dalam hatinya untuk memenuhi harapan bapak
besar dengan menjadi seorang suster. Bagi partisipan bapak besar
menjadi seseorang yang menginspirasinya untuk mengambil keputusan
hidup membiara dan menjadi suster.
(33)
“
Saya tuh lebih kuat lagi keinginan itu tuh, saat bapak besar saya
meninggal itu, itu kayaknya saya ada apa mungkin, tapi saya tidak
ungkap, saya tidak ungkap mungkin saya janji dalam hati, saya
tidak tahu, waktu itu memang sempet bilang gini bapak saya ikut
bapak seperti yang bapak omong ke saya itu, tapi memang saya
tidak ungkap, waktu itu saya hanya menangis saja, hanya menangis
di depannya dia itu” (P1W2 258
-265).
Peristiwa kehilangan bapak besar membuatnya kembali terpanggil
untuk hidup membiara, hal ini ditunjukan dengan partisipan yang
memilih untuk bekerja di biara SPSS di Ende, bekerja sebagai
karyawati di sana. Kehidupan dalam biara SPSS dengan hidup doanya
yang teratur dengan adanya jam doa, membuat minat untuk hidup
membiara dan menjadi suster semakin kuat. Akan tetapi hal itu tidak
serta merta membuat SL masuk mengikuti pembinaan menjadi suster di
SPSS. Beberapa tawaran dari temannya dan tawaran dari suster di biara
SPSS tempat partisipan bekerja, untuk menjadi suster di SPSS tidak
membuatnya tertarik untuk ikut. Partisipan merasakan dalam dirinya
bahwa dia belum menemukan biara yang cocok baginya, yang
membuat panggilannya semakin kuat lagi.
Dua tahun sudah sejak partisipan bekerja sebagai karyawati di
SPSS, dan pada tahun 1994 biara SPSS kedatangan tiga orang suster ke
Ende untuk mencari panggilan, ketiga suster tersebut berasal dari
komunitas AM. Dari ketiga suster tersebut, salah satunya merupakan
teman partisipan saat masih SMA dan sekarang telah menjadi suster di
komunitas AM. Hal itu yang membuat rasa keingintahuan SL yang
(34)
besar bagaimana bisa temannya itu dengan waktu yang singkat dapat
menjadi seorang suster. Rasa keingintahuan yang besar ini membuatnya
mencari informasi mengenai visi dan misi komunitas AM, hingga pada
akhirnya dia pun memutuskan untuk menemui ketiga suster tersebut.
Penjelasan mengenai visi dan misi, dan juga karya-karya AM di bidang
pelayanan pada anak-anak cacat membuatnya semakin tertarik, dan
pada akhirnya memutuskan untuk menerima panggilannya menjadi
suster AM. Partisipan merasakan dalam hatinya bahwa komunitas AM
merupakan tempat yang cocok untuknya, di mana dia dapat melayani
anak-anak cacat dan hidup bersama-sama dengan mereka, kekhasan
AM dengan karya-karya melayani umat secara langsung membuatnya
semakin tertarik dan mantap dengan keputusannya, karena pelayanan
seperti ini yang dicarinya.
“Sudah, saya tu pingin, sudah saya masuk di sini saja, saya tuh
pingin melayani seperti ini. Saat saya ambil keputusan masuk
dalam AM”
(P1W1 121-124).
Orang pertama yang partisipan beritahu mengenai keputusannya masuk
komunitas AM adalah kakak nomor enam. Partisipan dekat dengan
kakaknya ini, saat ada masalah biasanya kakak nomor enam ini yang
dijadikan partisipan sebagai tempat mengadu. Kakaknya ini juga
berkerja sebagai karyawati di salah satu biara di Ende. Ketika partisipan
mengirimkan surat ijin pada keluarganya di kampung, dia dalam
hatinya merasa yakin bahwa keluarga akan mendukung keputusannya
untuk membiara dan menjadi suster. Keyakinannya ini juga didasari
dari pandangan masyarakat di sana, yang menganggap bahwa suatu
(35)
kebanggaan jika ada anaknya yang masuk dalam hidup membiara, baik
menjadi pastor maupun suster.
Saya waktu itu gak ada, karena saya pikir pasti mereka senang
sekali karena diantara sembilan bersaudara ada yang mau jadi
suster, itu pasti mereka senang, pikiran saya seperti itu (P1W2
174-177).
Bagi partisipan dukungan dari keluarga merupakan hal yang sangat
penting, tanpa dukungan dari keluarga dia tidak akan berani melangkah
untuk lebih jauh lagi dalam hidup membiara. Keyakinannya bahwa
keluarga akan mendukung keputusannya sangatlah besar, partisipan
tahu bahwa keluarganya akan mengerti dan bangga dengan keputusan
yang diambilnya
.
Hal ini terbukti dengan kedatangan perwakilan
keluarganya ke biara SPSS dengan maksud untuk memberitahukan
padanya bahwa mereka sekeluarga mendukung dengan sepenuh hati
keputusan yang diambilnya. Akan tetapi ketika tiba saatnya berpisah
dengan, tidak dapat dipungkiri bahwa keluarga juga merasakan
kesedihan karena akan jauh dari partisipan. Keluarga pun sempat
mempertanyakan mengapa partisipan memutuskan manjadi suster, hal
ini juga membuat partisipan bersedih dan sempat ragu apakah dirinya
mampu menjalani kehidupan membiara. Keraguan dan kesedihan yang
dirasakannya ini terobati dengan mengingat dukungan yang sudah
keluarganya berikan dan pesan dari bapak besarnya sebelum
meninggal, yang mengatakan “ingat pilihanmu”. Ini yang membuatnya
tidak merasakan keraguan lagi saat harus berpisah dari keluarga dan
dengan mantap memutuskan untuk hidup membiara. Adapun keluarga
(36)
yang lain yang bukan merupakan keluarga inti memberikan respons
yang negatif dengan keputusan yang partisipan ambil, mereka
mempertanyakan keputusannya menjadi suster dan bahkan pamannya
meremehkan pelayanan yang partisipan lakukan.
Keraguan partisipan rasakan kembali pada awal kehidupan
membiara, dia merasakan konflik batin pada dirinya. Di satu sisi
partisipan merasa senang karena cita-cita sejak kecilnya tercapai dan
dapat bertemu dengan suster-suster dan dapat melayani anak-anak
cacat, akan tetapi di sisi lain ada perasaan sedih saat awal membiara
karena perasaan rindunya pada keluarga di NTT. Rasa rindu akan
kehadiran ibu yang selalu ada jika partisipan jatuh sakit, perhatian dan
kasih sayang ibunya sempat membuatnya ingin pulang saja. Masalah
dan tantangan yang SL rasakan di dalam komunitas membiara pun
dirasakan begitu berat, fase pasang surut motivasi pun kadang kala
terjadi di perjalanan hidupnya dalam biara. Ketika keinginan-keinginan
untuk menyerah dirasakan olehnya, partisipan selalu membawa
masalah-masalanya dalam doa. Berdoa pada Tuhan untuk dapat
menguatkan dirinya agar tetap setia pada panggilan. Usaha lain yang
dilakukan oleh partisipan agar kuat pada panggilannya, yaitu dengan
mengingat motivasi awal dirinya yang begitu ingin hidup membiara
menjadi suster dan dapat melayani anak-anak cacat.
“Kalau saya seperti itu ya saya masuk kapel terus saya duduk,
duduk di depan kapel itu, saya duduk diam… saya duduk diam saya
gak ngomong apa-
apa saya berdoa… (mengucapkan doa y
ang
pernah dipanjatkan dengan suara yang sangat pelan), hanya
(37)
Engkau yang tau, hanya Engkau yang memberikan jalan keluarnya
memberikan yang terbaik, jadi saya berdoa seperti itu, pokoknya
kalau saya mendapat tantangan saya duduk di kapel, kalau gak di
kape
l di kamar dan merenung dengan tenang”
(P1W3 62-71).
Tatkala partisipan memanjatkan doa pada Tuhan, perasaan damai
tenang dan kelegaan dari semua masalah-masalah yang dihadapinya
dapat dia rasakan.
Tidak hanya keluarga yang mendukungnya untuk membiara, akan
tetapi teman-teman satu komunitas dan juga suster pimpinan selalu
mendukung baik saat masih dalam biara maupun saat partisipan
ditugaskan di tempat lain. Mereka terus memberikan semangat,
dorongan, padanya, terutama suster pimpinan, yang sangat dekat
dengan partisipan. Pimpinan selalu memberikan arahan-arahan padanya
jika dia menghadapi permasalahan dalam motivasinya maupun
kehidupan komunitasnya. Hingga pada saat meninggalnya suster
pimpinan, partisipan sangat merasakan kehilangan sosok ibu yang
selalu memberikan kasih sayang padanya saat dalam biara.
Berbagai cobaan yang dihadapi oleh partisipan dalam mencapai
tujuannya hidup membiara, pada akhirnya justru membuatnya semakin
kuat pada panggilannya, dan membuat partisipan semakin dekat dengan
Tuhan.
“kalau saya mendapatkan tantangan saya merasa lebih… apa ya…
saya melihat kembali apa… hikmahnya di balik tantangan itu
bahwa dengan tantangan ini memberi lebih…lebih memberi
(38)
kekuatan atau mendorong saya agar lebih kuat untuk bisa
menghadapi masalah tersebut”
(P1W3 47-52).
Partisipan semakin kuat pada panggilannya, dan menganggap bahwa
panggilannya menjadi seorang suster adalah takdirnya.
2.
Partisipan Penelitian 2 (SE)
a.
Gambaran umum partisipan
Identitas
Inisial
: SE
Usia
: 40 tahun
Pendidikan terakhir
: D3
Anak ke-
: 6 dari 7 bersaudara
Agama
: Katolik
SE berasal Atambua, Nusa Tenggara Timur, merupakan anak ke
enam dari tujuh bersaudara. SE lahir pada tanggal 27 Oktober 1972,
saat ini berusia 40 tahun, dan SE akan tepat berusia 41 tahun bulan
Oktober 2013. Sejak masih bayi dia diasuh oleh mamak kecilnya
(tante), karena saat itu mamak kecil tidak memiliki anak. Kenyataan
bahwa mamak kecil bukanlah ibu kandungnya, baru diketahui saat SE
kelas enam sekolah dasar. Sejak itu pun dia lebih sering pulang ke
rumah orang tua kandungnya. Partisipan sendiri dari keluarga kandung
merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara, ibunya telah meninggal
saat partisipan masih duduk di bangku SMP kelas tiga.
(39)
Partisipan memiliki keinginan untuk menjadi suster sejak kelas tiga
sekolah dasar. Keinginan itu timbul saat dia melihat seorang suster di
gereja, akan tetapi keinginan ini hilang seiring berjalannya waktu
karena saat itu SE masih kecil dan tidak terpikir bisa mewujudkannya.
Partisipan melanjutkan SMP dan SMAnya di Timor Leste, tinggal
dengan keluarga pamannya bersama dengan kakaknya yang nomor tiga.
Saat SMA kelas dua, panggilan untuk menjadi suster dan menjalani
hidup membiara kembali dirasakan olehnya. Setelah mendapatkan
informasi pembinaan hidup membiara dari kakak kelasnya, SE pun
mulai mengikuti pembinaan setiap hari minggu. Selama satu tahun
partisipan mengikuti pembinaan secara diam-diam, karena faktor
ketidaksetujuan keluarga terutama kakak nomor tiga.
Setelah SE mengikuti pelatihan dan lulus tes, dia pun
memberitahukan pada keluarga besar mengenai keputusannya untuk
hidup membiara menjadi suster. Pada tahun 1995, masuk dalam biara
5
PRR. Kehidupan membiara yang dijalaninya tidak berlangsung lama,
hanya selama sembilan bulan SE menjalani hidup membiara. Hal ini
dikarenakan kondisinya yang sering mengalami sakit saat dalam biara.
Selama sembilan bulan, sekitar tiga kali partisipan diperiksakan ke
dokter. SE memiliki sakit di lambungnya dan malaria, akan tetapi
beberapa kali juga dia sakit tapi ketika diperiksakan kondisinya
normal-normal saja.
Bulan Maret 1996, SE keluar dari PRR untuk berobat dan kembali
pulang ke Atambua karena ada kakaknya yang akan menikah. Saat di
(40)
Atambua, dia mendapatkan tawaran dari keluarga dan pamannya untuk
kembali ke biara atau kuliah saja di
6IPI, Malang. Akhirnya SE
memutuskan untuk menerima tawaran kuliah di IPI. Tanggal 29 Juni
1996, berangkat ke Malang dari Timor Leste menggunakan kapal laut,
dan sampai di Malang pada tanggal 1 Juli 1996. Di IPI ada kegiatan
berkunjung beberapa kali dalam seminggu ke panti asuhan komunitas
AM, yang menjadi satu yayasan dengan IPI. Disana SE melihat
anak-anak panti asuhan yang cacat dan miskin dirawat oleh para suster, dia
merasa terpanggil kembali untuk melayani anak-anak itu secara
langsung dan tidak terbatas dengan jadwal kunjungan saja. Maka SE
pun memutuskan untuk masuk dalam hidup membiara dan menjadi
suster di komunitas AM. Selama tiga bulan perkenalan, partisipan
diterima sebagai aspiran pada tanggal 30 Desember. Aspiran
7selama
satu tahun, kemudian postulant satu tahun juga, lalu novis
8selama tiga
tahun. Kaul
9pertama dilakukan oleh SE selama sembilan tahun. Pada
tanggal 27 September 2010, SE pun melaksanakan kaul kekal.
b.
Laporan Observasi Partisipan
Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 15 Pebruari 2013, pada
pukul 10.05 WIB. Wawancara dilakukan di tempat partisipan tinggal,
6
Institut Pastoral Indonesia
7
Masa perkenalan, periode 1 tahun sebelum menjadi postulan
8
Periode ±2 tahunpelatihan seluruh ordo, dilakukan setelah masa postulan 9 Janji kepada Allah, harus dipenuhi demi keutamaan agama (KGK:2102)
(41)
yaitu di panti asuhan. Dimana SE ditempatkan untuk melayani. Peneliti
mengenal dan mendapatkan no
handphone
SE, dari partisipan
penelitian yang pertama. Sebelumnya melalui sms (
short messages
service
), peneliti membuat janji dengan partisipan. SE memiliki
perawakan yang kecil dan cenderung kurus dengan berat badan ±35kg,
partisipan juga memiliki warna kulit yang putih. Saat wawancara
partisipan memakai baju suster, lengkap dengan kerudung dan kalung
salib. Kedatangan peneliti untuk melakukan wawancara, sudah
diketahui dari kepala panti, yang tidak lain adalah partisipan pertama.
SE merupakan orang yang ramah, hal ini dapat dilihat dari ekspresinya
yang selalu tersenyum pada peneliti. Saat melakukan wawancara,
terlihat partisipan masih menjaga jarak dengan peneliti, dengan posisi
duduk yang dibatasi satu kursi antara peneliti dan dirinya, dan arah
pandangnya saat berbicara pun tidak langsung melihat pada peneliti.
Setiap kali menjawab pertanyaan yang diberikan, SE selalu menjawab
dengan tersenyum, terutama ketika bercerita bahwa dirinya dengan
diam-diam mengikuti pembinaan menjadi suster, tanpa memberitahu
keluarganya.
SE memperlihatkan ekspresi yang sedikit berbeda, lebih antusias
saat menceritakan pengalamannya dalam hidup berkomunitas, yang
membuatnya sempat memiliki niat meninggalkan kehidupan membiara.
Keantusiasannya, diperlihatkan dengan posisi duduk SE yang sedikit
maju, dan sorot matanya yang tajam dan melihat langsung pada
peneliti.
(42)
Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 10 Maret 2013, pukul
10.34 WIB. Wawancara dilakukan saat penghuni panti asuhan ramai
karena pada hari Minggu ada sekolah minggu yang diadakan di panti
asuhan. Hal ini membuat jalannya wawancara sedikit mengalami
gangguan kecil karena beberapa kali anak-anak memanggil SE dan ada
pula penghuni panti dewasa yang menghampiri. Hal itu terjadi kurang
lebih tiga kali sehingga partisipan beberapa kali terlihat tidak fokus
dalam menjawab pertanyaan yang diberikan dan harus mengulangi
jawabannya, tetapi hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada
wawancara kedua ini SE terlihat lebih nyaman berbicara dengan
peneliti, ini terlihat dengan jarak tempat duduk yang lebih dekat
tepatnya partisipan duduk di kursi disebelah peneliti, dan bercerita
sambil matanya melihat pada peneliti. Pada wawancara yang kedua,
partisipan semakin terbuka untuk menceritakan pengalamannya yang
lebih pribadi. Pengalaman dengan teman spesialnya, diungkapkan pada
wawancara ke dua ini.
Wawancara terakhir dilakukan pada tanggal 4 April 2013, pada pagi
hari, tepatnya pukul 10.10 WIB. Menurut peneliti, partisipan kurang
dapat menggambarkan perasaannya saat menceritakan pengalamannya,
karena beberapa kali ketika ditanyakan mengenai perasaannya saat
menghadapi tantangan, partisipan tidak mengatakan secara jelas
perasaannya saat itu. Partisipan hanya menceritakan hal-hal yang
permukaan saja. Maka dari itu, pada wawancara ketiga, peneliti
berfokus pada pertanyaan mengenai perasaan yang dirasakan SE saat
proses memutuskan hidup membiara dan saat menjalaninya. Saat
(43)
diberikan
pertanyaan
mengenai
bagaimana
perasaannya
saat
menghadapi tantangan dalam komunitas, peneliti perlu bertanya dua
kali dan memancing agar P dapat mengatakan perasaannya yang terjadi
saat itu. SE pun dalam bercerita, kadang kala tidak secara runtut,
sehingga memerlukan kepekaan peneliti untuk melakukan klarifikasi.
c.
Analisa Verbatim
Dari hasil wawancara yang telah dilakukan, maka diperoleh
beberapa pernyataan dari partisipan yang memiliki makna secara
psikologis, antara lain :
Analisis Verbatim P2W1
Makna
Teks dan kode
Keinginan hidup membiara tumbuh setelah melihat suster di gereja.
Sejak sekolah dasar kelas tiga saya tertarik kehidupan membiara sejak kelas tiga. Saya melihat seorang suster saat di gereja. Kemudian saya ikut pembinaan, lalu masuk dalam biara PRR (P2W1 5-8)
Karena sakit saat di biara, P memutuskan untuk tidak kembali dalam biara dan memilih kuliah.
Tapi gak lama saya waktu itu sakit, terus disuruh pulang sama keluarga dan diijinkan oleh pemimpin biara, setelah saya pulang dan waktu sembuh saya ditawarkan sama keluarga mau balik lagi ke biara atau mau kuliah aja, waktu itu om saya yang menawarkan, saya tanya kuliah di mana, terus katanya di IPI di Malang, akhirnya saya pilih kuliah (P2W1 8-15)
Kegiatan rutin mengunjungi panti asuhan membuat P
Nah di kampus itu kan ada kita pergi ke panti-panti gitu, setiap beberapa kali dalam seminggu, di situ saya lihat langsung mereka anak-anak yang
(44)
kembali terpanggil untuk hidup membiara.
cacat, di situ kami biasanya bantu bersih-bersih panti, bantuin kasih makan, setelah pulang dari situ saya putuskan saya pengen jadi suster, biar bisa rawat langsung mereka, akhirnya saya masuk komunitas AM (P2W1 15-21).
Pribadi seorang suster meninggalkan kesan kesan yang mendalam.
Pokoknya mereka itu saya lihatnya itu sopan,
anggun seperti itu, rajin berdoa, kelihatan… itu
saya tertarik itu di situ (P2W1 24-26) Ketertarikan saat SD
tidak membuat P berniat untuk hidup membiara, hingga P terpanggil saat SMA kelas 2.
Oh… setelah kelas tiga SD keinginan itu hilang
tow, tidak ada. Jadi setelah kelas tiga SD itu sudah tidak ada niat tidak ada kepikiran itu, gak sampe kepikiran untuk masuk dalam kehidupan membiara. Waktu kelas tiga SD ya liat terus tertarik gitu tapi kan masih anak-anak jadi cuma
begitu saja, aa… terus muncul lagi pas SMA kelas
dua (P2W1 34-40) P mencari info
pembinaan hidup membiara.
aa… karena itu kan saya nengok kakak kelas saya,
dia kan tinggal di kesusteran tow he..eh.., terus saya ada.. ingin lagi kan ha..ah.. ingin lagi, ya muncul tiba-tiba, jadi saya ikut pembinaan. Awalnya saya tanya apakah di biara itu ada pembinaan calon suster gak, terus katanya biasanya ada tapi setiap minggu, jadi saya ikut setiap minggu (P2W1 42-48)
P nekat mengikuti pembinaan walaupun kakaknya tidak memperbolehkan.
Belum, sama sekali belum, cuma saya beritahu
kakak itu… bilang “masa kamu…gak
boleh…kamu kan jurusan IPA”, saya kan jurusan
Fisika, saya diam-diam saja.. tapi saya diam-diam
ikut pembinaan itu hehe… diam-diam… (P2W1 56-60) dan
(45)
Kakak yang nomor tiga, saya sendiri nomor enam (P2W1 64)
P memberitahu keluarga setelah P lulus dari pembinaan hidup membiara.
Hmmm.. sebelum… waktu itu kan saya beritahu
sudah.. ini tow.. sudah lulus om saya itu guru agama setuju sekali sama bapak itu setuju sekali,
nah mamak ini yang gak setuju… tapi ya mamak
juga ya lama-lama ikut setuju lah. Mamak saya sudah meninggal, mamak meninggal itu waktu saya SMP kelas tiga hmm.. (P2W1 71-77) P menghadapi
kekecewaan keluarga atas keputusannya membiara.
Ya… memang kalau kita di sana kan, kalau anak
perempuan itu kan kalau kita masuk biara kan kita tidak punya keturunan dan mungkin mereka rasa awalnya kayak apa..kecewa.. keliatan muka pada
sedih kayak begitu… (P2W1 88-92) Keluarga pada akhirnya
merestui keputusan yang P ambil.
tapi ya lama-lama mereka ikut juga sih keputusan. Ya kalau memang itu keputusan kamu ya jalani saja he..eh..kami mendukung (P2W1 92-94) P dekat dengan tantenya
yang mengasuh P sejak kecil.
Kalau saya itu kan dipiara, saya sejak kecil dipiara..saya paling dekat itu sama mamak kecil saya (tante), adek dari mamak saya gitu lho.. ha..eh.. terus saya lebih dekat dengan mamak piara saya gitu ha..eh.. (P2W1 97-100)
Keluarga mengijinkan setelah melihat keyakinan P dengan pilihannya.
Oh.. setuju, memang awalnya ya..berat ya, awalnya berat, terus kan saya.. mereka ikut saya
hehe… (P2W1 103-104) dan
Ya dengan kita penuh dengan keyakinan dan kita harus doa, doa terus, doa untuk mendapatkan hati mereka supaya mereka setuju he eh gitu hehe… (P2W1 112-114)
(46)
pengertian pada keluarga mengenai keputusannya.
memberikan pengertian pada mereka ha..eh.. ya memang agak..agak.. lama sih, tapi ya akhirnya juga mereka setuju mendukung (P2W1 117-120) Bapak membantu P
untuk meyakinkan anggota keluarga yang lain.
Itu bapak saya bapak, bapak itu….. bapak itu orangnya kuat doa….. pokoknya setiap setiap jam
doa, sampe sekarang pun umur 80 tahun tapi tetep doa doa kuat. Yah sejak saya awal memberitahu kalau saya punya niat untuk masuk biara dia setuju. Itu saya kan sering sakit sering sakit, kakak
saya yang lain bilang “sudah keluar saja, pulang saja”, kalau seperti itu bapak saya bilang
“ya..kalau kamu suruh keluar keluar aja, tapi nanti
besok kamu tanggung jawabnya sama Tuhan
Allah”, bapak saya ngomong gitu sama kakak -kakak saya (P2W1 124-134)
P menghadapi teman dekatnya yang tidak setuju dengan
keputusannya, tapi pada akhirnya teman itu mendukung.
Ya ada sih, waktu itu ada ada dari temen saya, temen deket saya, saya kan punya kenalan
itu…kami dari…kenalan itu dari SMP kelas 2 sampe tamat pun masih aaa… gitu… awalnya
tidak tidak mendukung tow tapi kemudian dia mendukung (P2W1 138-142)
Dalam komunitasnya P mengalami fase pasang surut.
Oh.. itu.. saya itu nekat, keinginan ya..
bagaimanapun ya akan gitu… Nah kalau setelah di
dalam itu (dalam komunitas) itu banyak pasang surutnya (P2W1 145-147)
Tantangan berat yang P alami saat dalam komunitas membuat P keluar dari asrama selama sehari.
Hal yang berat buat saya itu..apa..dalam komunitas
antara bersama… pokoknya antar sesama gitu, itu yang membuat…membuat… aa…waktu itu
hampir mau hampir mau..hampir mau keluar.. waktu itu juga pernah apa..aa..tinggalkan
(47)
tinggalkan komunitas pergi ke tempat lain, setelah itu memang waktu itu saya sudah..saya sudah tidak kuat lagi di dalam komunitas itu saya mau pergi saja, pergi saja sudah pokoknya sudah tidak kuat lagi kayaknya mau pergi saja, waktu saya pergi pun gak memberitahu siapa-siapa, tapi saya pergi bukan ke rumah orang tua tapi di rumah komunitas di tempat lain masih rumah punya komunitas tapi di tempat lain gitu, (P2W1 151-163)
Di tempat rekannya P menenangkan diri dengan berdoa dan terpikir untuk meninggalkan panggilannya.
setelah itu.. setelah saya pergi diam-diam,
malemnya itu saya memutuskan apakah saya harus
tinggalkan tinggalkan panggilan atau… malam itu
sepanjang malam saya tidak bisa tidur saya doa, saya doa rosario dan saya duduk sepanjang malam
itu paginya saya… kan waktu itu di rumah itu
cuma ada satu orang tow aa.. satu orang saja, saya masih tidur tow (P2W1 163-170)
P berbagi dengan salah satu anggota keluarga mengenai keinginannya untuk keluar dari komunitas.
paginya, waktu itu kan belum bawa hp, jadi saya telpon ke wartel, pagi-pagi saya telpon dari wartel saya telpon keluarga ini mamaknya kakak ipar saya kakak yang nomor tiga ini, mamak itu kan aktif aktif kegiatan-kegiatan di gereja kan aktif,
terus saya telpon, saya bilang “saya di sini ini saya
tidak kuat lagi saya mau..saya mau keluar saja
mengundurkan diri saja”, mamak saya bilang “kenapa?, kamu tidak boleh begitu, kamu ada
masalah ya ? kalau kamu ada masalah kamu ketemu sama pimpinan saja tow, sama pimpinan omong minta pindah ke tempat lain kalau kamu gak cocok kamu pindah ke tempat lain saja, ya
(1)
tentangan dari kedua orang tua, dia semakin nekat untuk memutuskan membiara.
Fase Pasang Surut
Fase pasang surut dalam proses seseorang mengambil suatu keputusan merupakan suatu hal yang wajar. Dalam tahapan yang dikemukakan oleh Janis dan Mann (1977), perasaan bimbang, rasa takut dan khawatir salah dalam mengambil keputusan, terjadi pada tahapan terakhir (adhering despite negative feedback). Ketika keputusan yang individu ambil menghasilkan respon negatif hal ini memungkinkan bagi individu untuk kembali membuat keputusan baru (kembali pada tahap pertama). Akan tetapi berdasarkan data yang diperoleh peneliti, tidak dipungkiri bahwa fase pasang surut ataupun kebimbangan ini muncul di setiap tahapan yang dikemukakan Janis dan Mann (1977).
Fase ini pun dialami oleh keempat partisipan. Adapun beberapa hal yang berbeda yang menjadi alasan kebimbangan masing-masing partisipan. Seperti pada partisipan keempat, fase pasang surut terjadi ketika dia nekat meninggalkan orang tuanya yang tidak mendukung keputusannya, dan ketika ibunya mengalami sakit setelah melihat perubahan penampilannya (menjadi samaneri). Perasaan takut durhaka pada kedua orang tuanya karena tidak memedulikan larangan mereka, membuatnya bimbang dan sempat berniat meninggalkan hidup membiara. Lain lagi yang terjadi pada partisipan pertama. Keharmonisan dalam keluarganya, dan perhatian yang diberikan oleh orang tuanya terutama ibunya, membuat dirinya sangat merindukan
(2)
keluarganya ketika berada jauh dari keluarga. Hal ini membuatnya sempat ingin kembali pulang dan meninggalkan kehidupan membiaranya.
Tidak hanya tantangan dari keluarga, akan tetapi komunitas dalam biara ikut andil besar dalam fase pasang surut keyakinan partisipan. Kehidupan dalam komunitas mengharuskan keempat partisipan untuk bertemu dengan banyak orang yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda-beda, dengan pola pikir yang berbeda. Keadaan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi keempat partisipan, seperti yang dialami oleh partisipan kedua dan ketiga. Perbedaan latar belakang dan pola pikir partisipan dengan rekan-rekannya, kadang kala membuat mereka salah paham yang dapat mendatangkan konflik di antara mereka.
Berbeda dari kedua partisipan (kedua dan ketiga), pada partisipan pertama dan keempat kesalahpahaman sesama rekan dalam komunitas tetap mereka alami, akan tetapi hal tersebut tidak menjadi masalah pada proses mereka menjalani hidup membiara.
Fase pasang surut ini dapat dilewati oleh keempat partisipan, dengan mereka tetap pada panggilan mereka hidup membiara. Dukungan yang diperoleh dari orang-orang disekitar mereka, membuat mereka tetap berjuang sampai akhir. Berbagai upaya juga dilakukan oleh keempat partisipan untuk tetap setia pada panggilannya.
Upaya yang dilakukan untuk setia pada panggilan
Untuk dapat tetap setia pada panggilan membiara, keempat partisipan melakukan berbagai upaya. Adapun upaya yang dilakukan
(3)
keempat partisipan agar tetap setia pada panggilannya, yang pertama adalah mengingat motivasi awal. Keempat partisipan akan mengingat kembali motivasi awal mereka untuk hidup membiara ketika mereka mengalami fase pasang surut. Partisipan mengingat kembali bagaimana perjuangan mereka untuk dapat membiara.
Upaya yang kedua yang dilakukan yaitu mendekatkan diri pada Tuhan, seperti berdoa pada Tuhan ketika ada masalah dalam kehidupan membiara mereka. Seperti halnya yang dilakukan oleh partisipan pertama, kedua, dan keempat, permasalahan yang mereka hadapi dalam hidup membiara tidak membuat mereka menjauh dari tujuan mereka, masalah yang mereka hadapi justru membuat mereka lebih beriman dan mantap pilihan yang telah diambil. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Charlys & Kurniati (2006), yang mengatakan bahwa ketika terjadi kebimbangan pada kehidupan membiara, maka seseorang akan datang kepada Tuhan, dan menjadikan Tuhan sebagai tujuan kehidupannya. Pada partisipan ke tiga dukungan dari guru dan teman komunitas lebih berperan dalam mengatasi permasalahan dalam hidup membiaranya.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil pembahasan analisis data, yang telah diperoleh dari hasil wawancara dan observasi keempat partisipan, pada bab sebelumnya. Beberapa
(4)
saran yang ditujukan bagi penelitian selanjutnya, bagi psikolog dan konselor, dan juga bagi masyarakat umum dan komunitas agama. A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis data, dari hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan mengenai proses pengambilan keputusan hidup membiara pada biarawati Katolik dan Buddha, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Ketiga partisipan memiliki ketertarikan pada kehidupan membiara sejak masih sekolah dasar, ketika mereka bertemu dengan rohaniawan (suster maupun bhikkhu). Rasa kagum pada rohaniawan tersebut menjadi awal dari minat mereka pada hidup membiara. Berbeda pada partisipan keempat, yang ketertarikan pada kehidupan membiara dirasakan saat duduk di bangku SMA, yang kemudian diperkuat setelah melihat kakaknya yang gagal (tidak mendapat ijin) untuk hidup membiara.
2. Pengaruh dari orang lain (significant other), menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi keempat partisipan dalam mengambil keputusan membiara. Pada partisipan pertama dan keempat, yang menjadi significant other bagi mereka merupakan anggota keluarga mereka sendiri. Significant other inilah yang membantu mereka dalam menumbuhkan minat mereka pada kehidupan mereka, dan significant other sekaligus menjadi salah satu inspirasi mereka di awal-awal mereka mengambil keputusan hidup membiara. Sedangkan pada partisipan kedua dan ketiga mereka yang menjadi significant other tidak berasal dari keluarganya sendiri. Seperti pada
(5)
partisipan kedua yang menjadikan suster yang dilihatnya saat masih kecil sebagai orang yang dikaguminya dan menjadi inspirasi baginya untuk mengambil keputusan membiara, dan pimpinan dan teman sejawat dalam komunitas menjadi orang-orang yang penting bagi partisipan kedua. Tidak jauh berbeda dengan partisipan kedua, pada partisipan keempat guru (bhante) dan senior-senior yang sudah dianggap oleh partisipan sebagai keluarganya, menjadi orang-orang yang mendukung dirinya untuk mantap mengambil keputusan membiara.
3. Ketiga partisipan sebelum memutuskan hidup membiara, ada perasaan hampa pada diri mereka dalam menjalani kehidupan mereka. Pada partisipan pertama merasakan kehidupan di luar komunitas biara membuatnya tidak merasa nyaman, sehingga itulah yang membuatnya mendekatkan diri pada komunitas biara dan bekerja di sana. Ketika panggilan datang pada dirinya partisipan merasakan kehidupannya memiliki keamanan dan memiliki tujuan hidup dengan melayani anak-anak cacat. Sedangkan pada partisipan ketiga, kehidupan dunia (di luar biara) sudah lama dijalaninya, hidup berkelebihan, dan pekerjaan yang mapan dengan gaji yang besar tidak membuatnya merasa hidup. Rasa kesia-sian telah bekerja keras dan memiliki uang yang banyak tanpa kehadiran keluarga membuat partisipan merasakan hampa pada dirinya. Kehilangan keluarga karena musibah, membuat dirinya tidak lagi memiliki tujuan dalam hidupnya. Ketika panggilan membiara itu datang partisipan merasakan kembali memiliki tujuan hidup dan
(6)
yang paling utama baginya adalah, dia menemukan keluarga di tengah-tengah komunitasnya. Hal yang berbeda terjadi pada partisipan keempat, rasa putus asa dengan kehidupannya karena penyakit yang dideritanya dan konflik yang sering terjadi antara dia dan kedua orang tuanya, membuat dirinya merasakan putus asa, dan dalam keputusasaannya itu partisipan memiliki kerinduan untuk menjalani hidup membiara. Saat panggilan itu datang pada dirinya, partisipan merasakan kembali memiliki tujuan dalam hidupnya, tujuan untuk dapat menjadi orang yang lebih baik lagi dan inilah waktu bagi dia untuk mendekat pada Pencipta dan menemukan kedamaian dalam hidupnya. Partisipan juga memiliki tujuan untuk membantu kedua orang tuanya agar lebih mendekatkan diri pada Sang Pencipta, sehingga keluarga mereka pun dapat dipulihkan.