dkk juga mengungkapkan, ada dua aspek yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Mario dan Peter 2010. Aspek-aspek tersebut antara lain :
a. Pengambilan Keputusan pada Situasi Afektif
Dalam situasi afektif, pengambilan keputusan yang diambil oleh individu akan mengakibatkan konsekuensi emosional yang
signifikan keuntungan atau kerugian, karena individu dihadapkan langsung dengan hasil keputusan yang mereka ambil Anna dkk,
2010. Sejalan dengan itu Mario dan Peter pun mengungkapkan hal yang serupa bahwa evaluasi afektif mengacu pada emosi dan
dorongan yang diasosiasikan dengan objek sikap. b.
Pengambilan Keputusan pada Situasi Kognitif Dalam situasi kognitif, keputusan individu tidak mengakibatkan
konsekuensi emosional yang signifikan, karena individu tidak langsung dihadapkan dengan hasil dari keputusan mereka Anna
dkk, 2010. Evaluasi kognitif juga mengacu pada pikiran dan penyesuaian mengenai objek sikap itu Mario Peter, 2010.
B. Hidup Membiara
1. Pengertian
Biara menurut “Kamus Besar Bahasa Indonesia” KBBI Daring oleh Sugono, 2008, adalah rumah atau asrama tempat para petapa dan
bisa juga diartikan sebagai bangunan tempat tinggal orang-orang laki- laki atau perempuan yg mengkhususkan diri terhadap pelaksanaan
ajaran agama di bawah pimpinan seorang ketua menurut aturan
tarikatnya. Hidup membiara, adalah gaya hidup yang dipahami sebagai bentuk mencintai penderitaaan dan menjauhi semua kenikmatan dunia.
Gaya hidup seperti ini disebut juga monastisime monasticism yang
mulai muncul sekitar akhir abad ke-3. Menurut Plato dalam Niko Dister, 1989: 19, setiap orang
mempunyai keinginan dasariah untuk mengatasi keterbatasannya dan mencapai keutuhan serta kepenuhan dalam persatuan. Plato menyebut
keinginan ini dengan “eros” yang berarti “cinta” dan “hasrat”. Manusia itu makhluk antara, ia terdiri dari yang terbatas dan yang tak terbatas.
Hatinya didiami oleh “eros” yang menghubungkan manusia dengan dewata. Karena jiwanya berasal dari dunia baka, sakit rindulah manusia
akan Nan Ilahi. Kerinduan itulah yang oleh plato disebut “eros”. Vergote menyebut keinginan manusia akan keabadian serta hasratnya
akan persatuan dengan Yang Ilahi itu “eros religius”. Istilah ini dengan tepat mengungkapkan hasrat manusia yang mendalam untuk
dibebaskan dari yang fana untuk memperolah keutuhan serta kepenuhan yang menghentikan segala kegelisahan hati. Pada zaman
Patristik 150-750 tarikh Masehi, tujuan hidup rahib dan rubiah tak lain dari mencari Tuhan. Itulah yang mereka anggap sebagai satu-satunya
keaktifan yang dapat memuaskan dahaga manusia yang terdalam.
2. Sejarah Hidup Membiara Agama Katolik
Monasticism Yun. monos , “satu, sendiri adalah bentuk kebiasaan
kehidupan religius asketis, di mana individu mengambil kaul kemiskinan, kemurnian, ketaatan, dan keseimbangan, memisahkan diri
dari masyarakat baik sendiri-sendiri atau dalam masyarakat. Tujuan dari monastisisme adalah untuk mengejar, di bawah bimbingan aturan
formal, kehidupan doa dan bekerja untuk kemuliaan Allah, bagi pengudusan pribadi, dan demi kebaikan Gereja dan dunia McBrien,
1989: 883. Sejak pada abad keempat, beberapa orang Kristen ingin
membaktikan dirinya semata-mata untuk hidup dalam kesederhanaan dan doa. Tidak lama setelah kelahiran gereja Kristen, banyak umat
ingin membaktikan dirinya secara total kepada Allah dan dengan demikian lahirlah gerakan hidup membiara. Sama seperti Yesus,
mereka pun mengasingkan diri ke padang gurun untuk berdoa Keene, 2006. Seperti yang terdapat dalam kitab Markus pasalnya yang ke 10
ayat 21 mengatakan “Pergilah, jualah apa yang kaumiliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh
harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku”. Santo Antonius dari Mesir yang lahir pada tahun 251-356, adalah
salah satu dari antara mereka yang hidup menyendiri. Antonius memberikan semua miliknya dan hidup menyendiri di padang gurun,
tetapi tidak lama kemudian dia mempunyai banyak pengikut. Untuk memulai hidup bertapa bersama, Antonius sendiri menghabiskan waktu
selama 20 tahun dalam keheningan penuh, mereka kemudian membentuk komunitas hidup membiara Keene, 2006. Hal yang sama
juga disampaikan oleh Jacobs 1987, pada abad ke-3 dan ke-4 di Palestina dan Mesir dalam padang gurun, di situ orang bertapa dan
biasanya mengikuti seorang guru dan lama kelamaan terjadilah kelompok pertapa disekitar seorang tokoh kesucian.
Banyak orang yang merasa tertarik akan cara hidup menyepi beliau, lalu menetap di dekatnya. Banyak pula orang datang berkunjung minta
didoakan atau kesembuhan maupun meminta nasihat beliau. Selain itu sejak pada zaman para rasul dan segera sesudahnya semangat kristiani
redup karena masyarakat hidupnya seringkali kurang kristiani, dan sejak saat itu kaum biara pun timbul untuk menghidupkan kembali
semangat kristiani yang sejati, memperlihatkan cita-cita kristiani di dalam gereja, kaum biara menjadi kelompok kecil di dalam gereja dan
menghidupkan semangat kristiani pada umat. Dalam kehidupan membiara para biarawan dan biarawati
mengikrarkan tiga kaul yang terdiri dari kaul kemurnian, ketaatan, dan kemiskinan yang nanti akan dijelaskan secara lengkap. Pada awalnya
ketiga kaul ini tidak diucapkan bagi para biarawati maupun biarawan, mereka hanya mengikatkan diri pada peraturan biara dan berusaha
sebaik mungkin “pengingkaran diri”, yang dipandang sebagai pokok hidup membiara. Dalam bentuk kehidupan itu tercantum pula
keperawanan atau kemurnian akan tetapi tidak dinyatakan secara khusus. Pada tahun 1400 ketiga kaul dengan terang disebutkan Jacobs,
1987. Para biarawan dan biarawati harus dan mau menjadi orang kristiani
yang sejati, dan pokok bagi hidup membiara adalah tetap iman Kristiani. Iman selalu berupa panggilan dan tuntutan, dapat dilihat
bagaimana Yesus memanggil Petrus, Paulus, atau Maria Magdalena,
atau semua orang yang mau mengikutiNya, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan
mengikut Aku” Markus 8 : 34. Jika pokok hidup membiara adalah iman, maka pusat intinya adalah kesatuan dengan Kristus. Kesatuan
yang menentukan dan mewarnai hidup. Percaya akan kristus berarti bahwa tidak ada jalan lain kepada Bapa
selain melalui Putra. Jadi iman berdasarkan panggilan, dan tanpa panggilan tidak ada iman. Panggilan ini berarti bahwa kita
diperbolehkan mengenal Kristus, dari dalam. Sungguh mengenal Kristus dari pusat hati kita. Panggilan bukan hanya dasar iman,
melainkan sekaligus juga intinya sebab panggilan berarti hubungan pribadi dengan Allah. Iman yang berpangkal pada panggilan berarti
iman yang sungguh memberi nilai hidup Jacobs, 1987. Maka menjadi jelaslah bahwa panggilan bukan sesuatu yang
ditambahkan. Panggilan adalah dasar. Juga panggilan khusus untuk menjadi biarawati. Kekhasan hidup membiara ialah mau menyatakan
sejelas-jelasnya bahwa hidup kristiani secara hakiki bersifat panggilan. Dan dasar hidup membiara kristiani adalah hidup terpanggil Jacobs,
1987. Misalnya saja dengan memilih pekerjaan tertentu atau dengan menjadi mempelai atau menetap disana atau disini. Tidak untuk kaum
biarawan, seluruh hidup mereka ditentukan oleh panggilan. Sekali lagi dikatakan bahwa pokok hidup membiara adalah
mengikuti Kristus. Selain iman yang menjadi pokok hidup membiara, ada juga yang menjadi sangat penting yaitu kebersamaan hidup dalam
iman akan Kristus itu sendiri. Hidup bersama dengan saling
meneguhkan dan menguatkan dalam iman, dan hidup bersama berarti harus ada pengaturan hidup bersama. Kalau mau saling meneguhkan
iman harus ada komunikasi iman. Jika membentuk suatu komunitas dalam Kristus, maka harus ada bentuk dan gaya hidup. Semula umat
Kristiani membedakan diri dari gaya hidup masyarakat kafir, tetapi abad ke-4 ketika masyarakat lama-kelamaan menjadi Kristen, maka
kekhas Kristiani mulai luntur. Pada saat itu ada orang-orang yang mengundurkan diri dari mayarakat ramai untuk mencari bentuk
kehidupan yang lebih khas Kristiani. Ini adalah titik pangkal dalam selibat. Bukan selibat sebagai janji saja, tetapi selibat sebagai gaya
hidup mereka. Hidup membiara berhubungan dengan kemampuan intuisi rohani
manusia, dimana intuisi rohani ini lebih merupakan suatu rahmat yang dianugerahkan, meski dapat dilatih secara akademik atau secara
pengalaman Emmanuel, 2009. Menurut Darminta, 2006 dalam Emmanuel, 2009 mengatakan bahwa hidup membiara terlepas dari
kemampuan inderawi, tetapi lebih nampak dalam hidup secara terarah ketujuan, secara merdeka dalam keterfokusan dan membuahkan
kemauan atau komitmen yang kuat. Dasar hidup bersama dalam membiara jelas bukan karena kesamaan
hobi atau sifat atau suku, tetapi karena panggilan Tuhan sendiri Markus 3:13-19. Seperti para murid Tuhan Yesus yang dipanggil dan
diutusNya sendiri Emmanuel, 2009. Masing-masing biarawan tetap pribadi yang lain yang berbeda dengan segala kekhasan, sifat, watak,
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena dasarnya adalah
panggilan Tuhan, hubungan pribadi masing-masing dengan Tuhan menjadi dasar yang kuat untuk hidup berkomunitas dalam membiara
Emmanuel, 2009.
3. Sejarah Hidup Membiara Agama Buddha