Pengaturan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Perkara Pidana Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana, Soesilo, RIBHIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1979, hal. 217

BAB II KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN

PERKARA PIDANA MENURUT HUKUM ACARA PIDANA

A. Pengaturan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam Pembuktian Perkara Pidana

1. Menurut HIR Herziene Inlands Reglement Pada masa HIR Herziene Inlands Reglement, keterangan ahli tidak termasuk alat bukti dalam pembuktian perkara pidana. Adapun yang dimaksud dengan alat-alat bukti adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu kejahatan di mana alat-alat tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya tindak pidana yang telah dilakukan oleh tertuduh. HIR tidak memandang keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, tetapi menganggapnya sebagai keterangan keahlian yang dapat dijadikan hakim menjadi pendapatnya sendiri, jika hakim menilai keterangan ahli tersebut dapat diterima. 43 Menurut Pasal 295 HIR disebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah : 44 a. kesaksian-kesaksian b. surat-surat c. pengakuan d. isyarat-isyarat. Selanjutnya dapat dilihat substansi alat-alat bukti yang sah menurut HIR yaitu : 43

R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana,

CV. Mandar Maju, Bandung, 2002, hal. 2 44

R. Soesilo, RIBHIR dengan Penjelasan, Politeia, Bogor, 1979, hal. 217

Universitas Sumatera Utara

a. Kesaksian-kesaksian sebagai bukti

Yang dimaksud dengan kesaksian yaitu keterangan lisan yang diberikan oleh orang-orang yang secara langsung ataupun tidak langsung menghayati adanya perbuatan kejahatan misalnya: 45 1. Orang-orang ynag langsung menjadi korban kejahatan 2. Orang-orang yang dengan mata kepala sendiri menyaksikan adanya perbuatan kejahatan 3. Orang yang secara tidak langsung mengetahui adanya perbuatan kejahatan Keterangan lisan seseorang ini disumpah terlebih dahulu tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat, dialami sendiri. Kesaksian yang tidak dilihat sendiri, akan tetapi mengenai hal-hal yang dikatakan oleh orang lain bukanlah merupakan kesaksian yang sah. Kesaksian seperti ini biasa disebut saksi de auditu. Menurut Pasal 80 HIR menyatakan bahwa menjadi saksi dalam suatu perkara pidana itu merupakan suatu kewajiban dan apabila dilalaikan ada sanksinya, akan tetapi tidak semua orang wajib menjadi saksi. Tiap-tiap orang yang tidak dikecualikan dalam undang-undang wajib memberikan kesaksian. Mengenai siapa-siapa orang yang dikecualikan itu ditentukan dalam pasal-pasal sebagai berikut : 46 45

R. Atang Ranoemihardja, Hukum Acara Pidana, Tarsito, Bandung, 1980, hal. 57