Patofisiologi. Pemeriksaan Pencitraan. PEMBESARAN PROSTAT JINAK

B. Meatus stenosis kongenital C. Striktur uretra D. Batu uretra E. Prostat hipertropi

2.3 PEMBESARAN PROSTAT JINAK

BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA BPH 2.3.1. Insiden. Pembesaran prostat jinak BPH merupakan penyakit pada laki-laki usia diatas 50 tahun yang sering dijumpai. Karena letak anatominya yang mengelilingi uretra, pembesaran dari prostat akan menekan lumen uretra yang menyebabkan sumbatan dari aliran kandung kemih. Signifikan meningkat dengan meningkatnya usia. Pada pria berusia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50, dan pada usia 80 tahun sekitar 80. Sekitar 50 dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik. Karena proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan maka efek perubahan juga terjadi perlahan-lahan Sjamsuhidajat, 1996. Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan diperkirakan ditemukan pada 50 pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang 5 pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki Indonesia yang menderita BPH. Dengan semakin membaiknya pembangunan dinegara kita yang akan memberikan dampak kenaikan umur harapan hidup, maka BPH akan semakin bertambah. Oleh karena itu BPH harus dapat dideteksi oleh para dokter, dengan mengenali manifestasi klinik dari BPH dan dapat dikelola secara rasional sehingga akan memberikan morbiditas dan mortalitas yang rendah dengan biaya yang optimal Rahardjo,1997.

2.3.2. Patofisiologi.

Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan karena hipersensitivitas otot detrusor berarti bertambahnya frekwensi miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi skor untuk menentukan berat keluhan klinik. Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih, dan timbul rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan terjadi kemacatan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena produksi urin terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intra vesika terus meningkat. Apabila tekanan vesika menjadi lebih tinggi dari ©2003 Digitized by USU digital library 10 pada tekanan spingter dan obstruksi, akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama kelamaan menyebabkan hernia atau hemorroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat terbentuk batu endapan didalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat pula menyebabkan sistisis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis Sjamsuhidajat ,1997.

2.3.3. Etiologi

Penyebab pasti BPH ini masih belum diketahui, penilitian sampai tingkat biologi molekuler belum dapat mengugkapkan dengan jelas etiologi terjadinya BPH. Dianggap adanya ketidak seimbangan hormonal oleh karena proses ketuaan. Salah satu teori ialah teori Testosteron T yaitu T bebas yang dirubah menjadi Dehydrotestosteron DHT oleh enzim 5 a reduktase yang merupakan bentuk testosteron yang aktif yang dapat ditangkap oleh reseptor DHT didalam sitoplasma sel prostat yang kemudian bergabung dengan reseptor inti sehingga dapat masuk kedalam inti untuk mengadakan inskripsi pada RNA sehingga akan merangsang sintesis protein. Teori yang disebut diatas menjadi dasar pengobatan BPH dengan inhibitor 5a reduktase Rahardjo,1997. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya BPH adalah : • Peranan dari growth factor faktor pertumbuhan sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. • Meningkatkan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati. • Teori sel stem menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan Purnomo,2000;Rahardjo, 1997. Gbr. 3-1.a: A. Prostat normal ; 1.uretra 2.kelenjar periuretra 3.kelenjar prostat,

B. Hiperplasi prostat ; 1.uretra yg terjepit 2.periuretra yang

hiperplasi 3.kelenjar asli prostat yang tertekan menjadi seperti simpai simpai prostat ©2003 Digitized by USU digital library 11 Gbr 3.1.b: Serabut otot yang tertekan membentuk surgical capsule. 2.3.4. Gejala Klinik Pembesaran kelenjar prostat dapat terjadi asimtomatik baru terjadi kalau neoplasma telah menekan lumen urethra prostatika, urethra menjadi panjang elongasil, sedangkan kelenjar prostat makin bertambah besar. Ukuran pembesaran noduler ini tidaklah berhubungan dengan derajat obstruksi yang hebat, sedangkan yang lain dengan kelenjar prostat yang lebih besar obstruksi yang terjadi hanya sedikit, karena dapat ditoleransi dengan baik. Tingkat keparahan penderita BPH dapat diukur dengan skor IPSS Internasional Prostate Symptom Score diklasifikasi dengan skore 0-7 penderita ringan, 8-19 penderita sedang dan 20-35 penderita berat Rahardjo,1997. Ada juga yang membagi berdasarkan derajat penderita hiperplasi prostat berdasarkan gambaran klinis: Sjamsuhidajat,1997 - Derajat I : Colok dubur ; penonjolan prostat, batas atas mudah diraba, dan sisa volume urin 50 ml - Derajat II : Colok dubur: penonjolan prostat jelas, batas atas dapat dicapai, sisa volume urin 50-100 ml - Derajat III: Colok dubur; batas atas prostat tidak dapat diraba, sisa volume urin100 ml - Derajat IV : Terjadi retensi urin total. Pada penderita BPH dengan retensi urin pemasangan kateter merupakan suatu pertolongan awal, selain menghilangkan rasa nyeri juga mencegah akibat-akibat yang dapat ditimbulkan karena adanya bendungan air kemih Sarim,1987. Gejala klinik yang timbul disebabkan oleh karena dua hal: 1. Obstuksi. 2. Iritasi. Gejala-gejala klinik ini dapat berupa Brown, 1982; Blandy, 1983 ; Burkit, 1990; Forrest,1990; Weinerth,1992 : • Gejala pertama dan yang paling sering dijumpai adalah penurunan kekuatan pancaran dan kaliber aliran urine, oleh karena lumen urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra mengecil dan tahanan di dalam urethra meningkat, sehingga kandung kemih harus ©2003 Digitized by USU digital library 12 memberikan tekanan yang lebih besar untuk dapat mengeluarkan urine. • Sulit memulai kencing hesitancy menunjukan adanya pemanjangan periode laten, sebelum kandung kemih dapat menghasilkan tekanan intra-vesika yang cukup tinggi. • Diperlukan waktu yang lebih lama untuk mengosongkan kandung kemih, jika kandung kemih tidak dapat mempertahankan tekanan yang tinggi selama berkemih, aliran urine dapat berhenti dan dribbling urine menetes setelah berkemih bisa terjadi. Untuk meningkatkan usaha berkemih pasien biasanya melakukan valvasa menauver sewaktu berkemih. • Otot-otot kandung kemih menjadi lemah dan kandung kemih gagal mengosongkan urine secara sempurna, sejumlah urine tertahan dalam kandung kemih sehingga menimbulkan sering berkemih frequency dan sering berkemih malam hari nocturia. • Infeksi yang menyertai residual urine akan memperberat gejala, karena akan menambah obstruksi akibat inflamasi sekunder dan oedem. • Residual urine juga dapat sebagai predisposisi terbentuknya batu kandung kemih. • Hematuria sering terjadi oleh karena pembesaran prostat menyebabkan pembuluh darahnya menjadi rapuh. • Bladder outlet obstruction ataupun overdistensi kandung kemih juga dapat menyebabkan refluk vesikoureter dan sumbatan saluran kemih bagian atas yang akhirnya menimbulkan hydroureteronephrosis. • Bila obstruksi cukup berat, dapat menimbulkan gagal ginjal renal failure dan gejala-gejala uremia berupa mual, muntah, somnolen atau disorientasi, mudah lelah dan penurunan berat badan. 2.3.5. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan phisik diagnostik yang paling penting untuk BPH adalah colok dubur digital rectal examination. Pada pemeriksaan ini akan dijumpai pembesaran prostat teraba simetris dengan konsistensi kenyal, sulkus medialis yang pada keadaan normal teraba di garis tengah, mengalami obliterasi karena pembesaran kelenjar. Oleh karena pembesaran kelenjar secara longitudinal, dasar kandung kemih kutubpole atas prostat terangkat ke atas sehingga tidak dapat diraba oleh jari sewaktu colok dubur. Jika pada colok dubur teraba kelenjar prostat dengan konsistensi keras, harus dicurigai suatu karsinoma. Franks pada tahun 1954 mengatakan: BPH terjadi pada bagian dalam kelenjar yang mengelilingi urethra prostatika sedangkan karsinoma terjadi di bagian luar pada lobus posterior Jonhson,1988; Burkit,1990. Kelenjar prostat Normal ©2003 Digitized by USU digital library 13 Kelenjar prostat Hiperplasia, ada pendorongan prostat kearah rektum Kelenjar prostat Karsinoma, teraba nodul keras Gbr. 3-2A : Digital Rectal Examination , Kelenjar Prostat Normal, Hiperplasia, Karsinoma. Gbr. 3-2B : Potongan horizontal kelenjar prostat normal, Hipertrofi, Karsinoma. ©2003 Digitized by USU digital library 14

2.3.6. Pemeriksaan Pencitraan.