Keturutsertaan tidak langsung. Konsep Penyertaan dalam Tindak Pidana
                                                                                tindak pidana, pelaku tidak langsung dapat dijatuhi hukuman. Demikian juga, untuk  menjatuhkan hukuman kepada pelaku tidak langsung, pelaku langsung
tidaklah  harus  dijatuhi  hukuman.  Hal  ini  karena  terkadang  pelaku  langsung memiliki  niat  yang  baik  sehingga  ia  tidak  dijatuhi  hukuman,  tetapi  pelaku
tidak langsung tetap dijatuhi hukuman atau pelaku langsung diampuni karena ia  masih  di  bawah  umur  atau  gila  sedangkan  pelaku  tidak  langsung  tetap
dijatuhi hukuman.
21
Unsur ketiga, turut berbuat tidak langsung bisa terjadi dengan jalan: 1.
Persepakatan. Persepakatan  bisa  terjadi  karena  adanya  rasa  saling  memahami  dan
karena kesamaan kehendak untuk memperbuat tindak pidana. Kalau tidak ada persepakatan  sebelumny
a,  maka  tidak  ada  “keturutsertaan“.  Jadi  tidak  ada “keturutsertaan“ kalau sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas
jarimah  yang  terjadi  dan  dikerjakan  bersama.  Jika  seseorang  bersepakat dengan  orang  lain  untuk  mencuri  kerbau,  kemudian  pembuat  langsung
memukul pemilik kerbau atau mencuri kerbau bukan milik orang yang dituju, maka  di  sini  tidak  ada  persepakatan  atas  jarimah  yang  terjadi.  Akan  tetapi
tidak  adanya  keturutsertaan  tidak  berarti  bahwa  persepakatan  itu  tidak
21
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 366
dihukum,  sebab  persepakatan  itu  sendiri  sudah  merupakan  perbuatan maksiat.
22
Dalam  hal  keturutsertaan  tidak  langsung,  Imam  Malik  mempunyai teori  yang  berbeda  dengan  fukaha  lainnya.  Ia  menganggap  orang  yang
bersepakat dengan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dan orang tersebut menyaksikan tindak pidana itu berlangsung, orang tersebut dianggap
sebagai  “pelaku  penyerta  langsung“,  bukan  pelaku  tidak  langsung. Demikianlah  teori  Imam  Malik  mengenai  pelaku  tidak  langsung  secara
mutlak,  baik  cara  mewujudkan  perbuatan  tidak  langsung  tersebut  melalui persepakatan, penghasutan, atau bantuan.
23
2. Menghasut
Yang  dimaksud  dengan  menghasut  ialah  membujuk  orang  lain  untuk memperbuat jarimah, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk diperbuatnya
jarimah.  Apabila  tidak  ada  bujukan  atau  hasutan,  niscaya  tidak  mungkin bujukan  atau  hasutan  dikatakan  sebagai  pendorong  seseorang  untuk
melakukan  tindak  pidana  itu,  baik  hasutan  itu  berpengaruh  maupun  tidak, karena  menghasut  itu  sendiri  adalah  suatu  perbuatan  maksiat  dan  perintah
untuk melakukan kemungkaran.
24
22
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 366-367.
23
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 367.
24
Alie, Yafie, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, hlm. 43
Perintah  bujukan  atau  paksaan  untuk  membunuh  dapat  dianggap sebagai hasutan. Perbedaan antara perintah bujukan dan pemaksaan, perintah
tidak memengaruhi kebebasan kehendak orang yang diperintah untuk memilih sehingga  ia  bisa  melaksanakan  tindak  pidana  itu  atau  meninggalkannya,
sedangkan  pemaksaan  memengaruhi  kebebasan  kehendak  orang  tersebut. Artinya, ia hanya bisa memilih antara dua hal, melakukan tindak pidana atau
menuai apa yang diancamkan kepadanya dan bersabar atasnya.
25
Apabila  orang  yang  memerintahkan  membujuk  itu  memiliki kekuasaan  atas  orang  yang  diperintah,  seperti  kekuasaan  ayah  terhadap
anaknya  atau  guru  terhadap  muridnya,  perintah  tersebut  bisa  disebut pemaksaan. Akan tetapi, apabila orang yang diperintah itu bukan anak kecil di
bawah  umur,  tidak  dungu  atau  gila,  dan  orang  yang  memerintah  tidak memiliki  kekuasaan  atas  dirinya,  perintah  tersebut  dianggap  bujukan  biasa
yang bisa menimbulkan tindak pidana atau tidak. Pada  kasus  adanya  kekuasaan  pada  diri  orang  yang  memerintahkan,
para fukaha membedakan antara orang yang diperintahkan itu sudah mumayiz atau  belum.  Jika  orang  yang  diperintahkan  itu  belum  mumayiz  dan  tidak
mungkin baginya menentang orang yang memerintahnya, berarti ia adalah alat bagi  orang  yang  memerintahnya  meskipun  ia  yang  melakukan  tindak  pidana
secara  langsung.  Dalam  kasus  seperti  ini,  orang  yang  memerintahkan  itu
25
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 368.
dianggap sebagai pelaku langsung dan ia tidak dianggap sebagai pelaku tidak langsung.
Imam  Malik  berpendapat  bahwa  apabila  orang  yang  menghasut  turut menyaksikan  dan  berada  di  tempat  kejadian  perkara  itu  berlangsung,  ia
dianggap  sebagai  pelaku  asli,  baik  ia  turut  membantu  pelaku  langsung maupun  tidak,  dengan  syarat  sekiranya  pelaku  langsung  tidak  melakukan
tindak pidana tersebut, ia sendiri yang akan melakukannya.
26
3. Bantuan
Orang  yang  membantu  orang  lain  dalam  melakukan  suatu  tindak pidana dianggap sebagai pelaku tidak langsung meskipun sebelumnya ia tidak
bersepakat  untuk  melakukan  tindak  pidana  tersebut.  Misalnya  orang  yang mengawasi jalan untuk memudahkan pencurian atau pembunuhan bagi orang
lain  pelaku,  ia  dianggap  sebagai  orang  yang  memberi  bantuan  kepada pelaku.  Demikian  pula  dengan  orang  yang  menggiring  korban  ke  tempat
kejadian perkara kemudian ia meninggalkannya untuk kemudian dibunuh atau dirampas  oleh  pelaku  tindak  pidana,  ia  dianggap  juga  sebagai  orang  yang
memberi bantuan kepada si pelaku. Para  fukaha  membedakan  antara  pelaku  langsung  dan  pembantu.
Menurut mereka pelaku langsung adalah orang yang melakukan atau mencoba melakukan perbuatan  yang dilarang, sedangkan  pembantu adalah orang  yang
26
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 368.
tidak melakukan atau mencoba melakukan, tetapi hanya membantu pelaku asli dengan  perbuatan-perbuatan  yang  tidak  ada  sangkut  pautnya  dengan
perbuatan  yang  dilarang.  Karena  itu,  ia  tidak  dianggap  sebagai  pelaku perbuatan tersebut.
Para fukaha berbeda pendapat mengenai hukum orang pertama yang memegang korban sehingga orang ketiga dapat membunuhnya. Sebagian dari
mereka,  yaitu  Imam  Abu  Hanifah,  Asy- Syafi’i,  dan  dan  pendapat  pertama
madzhab Hanbali, berpendapat bahwa orang yang memegang tersebut adalah pelaku penyerta sebagai pembantu, bukan pelaku langsung. Mereka beralasan
bahwa  meskipun  orang  yang  memegang  itu  menyebabkan  terjadinya pembunuhan  karena  perbuatannya  tersebut,  orang  lain  yang  melakukannya.
Dalam  hal  ini,  perbuatan  langsung  mengalahkan  sebab  jika  perbuatan langsung tersebut bukan didasari oleh paksaan absolut.
27
Sementara  itu,  sebagian  fukaha  yang  lain,  yaitu  Imam  Malik  dan pendapat kedua madzhab Hanbali, berpendapat bahwa orang yang memegang
dan  orang  yang  membunuh  keduanya  sama-sama  dianggap  sebagai  pelaku langsung  pembunuhan.  Mereka  beralasan  bahwa  orang  yang  membunuh  itu
yang melakukan pembunuhan, sedangkan orang  yang memegang itu menjadi penyebab  terjadinya  pembunhan.  Adapun  perbuatan  langsung  dan  sebab
berkedudukan  sama  dalam  hal  menciptakan  akibat  perbuatan  itu,  yaitu
27
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 369.
pembunuhan,  karena  suatu  akibat  tidak  akan  terjadi  jika  salah  satu  dari  dua perbuatan tidak terpenuhi.
Imam  Malik  menganggap  orang  yang  memberikan  bantuan  sebagai pelaku  langsung  pada  kasus  pidana  yang  sudah  direncanakan  dan  ada
persepakatan  sebelumnya,  jika  orang  yang  membantu  tersebut  hadir  dan menyaksikan  tindak  pidana  di  tempat  kejadian  perkara  atau  berada  di
dekatnya,  di  mana  sekiranya  ia  dimintai  bantuan  untuk  melakukan  pidana tersebut,  ia  tidak  terlambat  untuk  melakukannya.  Akan  tetapi,  apabila  tindak
pidana  itu  dilakukan  tanpa  ada  persepakatan  sebelumnya  dan  orang  yang membantu  tersebut  hadir  di  tempat  kejadian  perkara,  tetapi  ia  tidak  siap
melakukan tindak pidana sekiranya ia dimintai tolong untuk melakukannya, ia hanya  dianggap  sebagai  pelaku  tidak  langsung.  Adapun  para  fukaha  lainnya
menganggap  orang  yang  membantu  tersebut  sebagai  pelaku  tidak  langsung pada semua kasus apabila ia tidak melakukan tindak pidana secara langsung.
28
Pada  dasarnya,  kaidah  hukum  Islam  menetapkan  bahwa  hukuman- hukuman yang jumlahnya telah ditentukan, yakni dalam tindak pidana hudud
dan  kisas,  dijatuhkan  kepada  pelaku  langsung  tindak  pidana,  bukan  kepada pelaku  tidak  langsung.  Berdasarkan  perintah  tersebut,  siapa  saja  yang  turut
serta  dalam  tindak  pidana  hudud  dan  kisas,  tidak  dijatuhi  hukuman  hudud
28
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 370-371.
yang telah ditentukan jumlahnya, bagaimanapun bentuk kesertaannya. Dalam hal ini, ia dijatuhi hukuman takzir.
Jika  perbuatan  pelaku  tidak  langsung  bisa  dipandang  sebagai  pelaku langsung itu hanya sekedar alat  yang digerakkan oleh pelaku tidak langsung,
ia dijatuhi hukuman hudud atau kisas karena ia dikategorikan sebagai pelaku langsung, bukan sebagai pelaku tidak langsung.
Menurut  teori  Imam  Malik,  pelaku  tidak  langsung,  bagaimanapun cara  dan  bentuk  keturutsertaannya,  dianggap  sebagai  pelaku  langsung,  yakni
bila  ia  hadir  dan  menyaksikan  terjadinya  tindak  pidana  tersebut.  Hal  ini karena  apabila  pelaku  langsungasli  tidak  sanggup  melaksanakan,  ia  sendiri
pelaku  tidak  langsung  yang  akan  melaksanakan  atau  turut  serta  dengan orang lain dalam pelaksanaannya tersebut. Berdasarkan teori ini, pelaku tidak
langsung  akan  dijatuhi  hukuman  hudud  dan  kisas  seketika  dirinya  dianggap sebagai pelaku langsung.
29
29
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 372-373
50
                