Sementara  itu,  ulama  Malikiyah  mengatakan,  at-tam allu’  adalah
bersepakat  dan  berkomplot,  yaitu  ada  dua  orang  atau  lebih  yang  bermaksud untuk membunuh seseorang dan memukulinya. Jadi, at-
tamallu‘ menghendaki adanya kesepakatan  yang dilakukan sebelumnya  untuk  melakukan suatu aksi
bahwa  at-tawafuq pengeroyokan  yang terjadi  secara spontan dan kebetulan dalam suatu aksi pelanggaran tidak dianggap sebagai at-
tamallu‘. Akan tetapi, mereka  semua  tetap  dihukum  bunuh  apabila  mereka  memiliki  maksud  dan
niat untuk melakukan serta hadir dalam aksi tersebut, meskipun akhirnya yang melaksanakan  aksinya  hanya  salah  satu  saja  dari  mereka  sedangkan  yang
lainnya  hanya  melihat  dan  mengawasi  saja  misalnya,  namun  dengan  syarat jika  memang  seandainya  waktu  itu  mereka  dimintai  untuk  membantu  dalam
melaksanakan aksi itu, maka mereka akan membantu. Menurut Ulama Malikiyah, orang-orang yang terlibat dalam suatu aksi
pembunuhan  yang  sebelumnya  tidak  ada  kesepakatan  dan  perkomplotan  di antara  mereka,  maka  mereka  semua  tetap  dihukum  bunuh,  jika  memang
mereka ikut memukul secara sengaja dan aniaya dan korban mati di tempat itu juga, sementara pukulan-pukulan yang mereka lakukan tidak bisa terbedakan
antara  satu  dengan  yang  lainnya,  atau  bisa  terbedakan  akan  tetapi  tidak diketahui mana pukulan yang mematikan dan yang membunuh.
11
Hukuman  pelaku  langsung,  pada  dasarnya  banyaknya  pelaku  tindak pidana  tidak  mempengaruhi  besarnya  hukuman  yang  pantas  dijatuhkan  atas
11
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 564.
mereka,  yakni  sama  seperti  melakukan  tindak  pidana  sendirian.  Karena  itu, hukuman  yang  dijatuhkan  atas  orang  yang  turut  melakukan  tindak  pidana
pelaku-penyerta  adalah  sama  seperti  hukuman  atas  orang  yang  melakukan secara  sendirian  meskipun  ketika  sedang  bersama  dengan  lainnya,  mereka
tidak melakukan seluruh perbuatan yang membentuk tindak pidana itu.
12
Di  dalam  kasus  pembunuhan,  berdasarkan  kesepakatan  para  imam madzhab  empat,  secara  syara‘  wajib  menghukum  kisas  sekelompok  orang
karena  membunuh  satu  orang.  Hal  ini  dalam  rangka saddudz  dzaraa’i
menutup  celah-celah  yang  bisa  berpotensi  dijadikan  sebagai  pintu  masuk kepada  sesuatu  yang  terlarang.  Karena  jika  mereka  tidak  dikisas  semuanya,
tentunya  itu  akan  berdampak  pada  pelaksanaan  hukum  kisas  tidak  bisa dilakukan. Sebab jika demikian, tindakan pembunuhan dengan cara dilakukan
secara bersama-sama akan dijadikan sebagai trik dan rekayasa untuk terhindar dari jeratan hukuman kisas. Di samping itu, banyak kasus pembunuhan  yang
terjadi  dilakukan  secara  bersama-sama  oleh  sekelompok  orang,  karena biasanya suatu kasus pembunuhan tidak terjadi kecuali dilakukan dengan cara
bekerjasama oleh sekelompok orang.
13
Para sahabat cepat tanggap dalam mengantisipasi permasalahan seperti ini,  sehingga  mereka  mengeluarkan  fatwa  kisas  menyeluruh  terhadap  semua
anggota  komplotan  pembunuhan.  Kejadian  pertama  kali  kasus  seperti  ini
12
Abdul  Qadir  Audah,  At-Tasyri  Al- Jina’i  fi  Al-Islami  Muqaranan  bi  Al-Qanuni  Al-Wad’i,
juz II, hlm. 363.
13
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 560-561.
terjadi pada masa  kekhalifahan Umar  Ibnu Khattab,  yaitu  ada seorang suami meninggalkan  isterinya  di  kota  Shan’a  bersama  dengan  seorang  anak  dari
isterinya yang lain. Lalu si isteri memiliki pria idaman lain dan melakukan hal yang tidak baik. Perbuatan itu pun diketahui oleh si anak tersebut.
Si isteri itu kemudian berkata kepada pria idaman lainnya itu, “anak ini te
lah mengetahui perbuatan kita, karena itu, bunuhlah ia.“ Namun, si laki- laki itu menolak, hingga menyebabkan si  ist
eri itu pun “ngambek“ dan tidak mau  lagi  berhubungan  dengan  si  laki-laki  itu,  sehingga  si  laki-laki  itu  pun
akhirnya  memenuhi  permintaan  si  isteri  itu  untuk  membunuh  anak  tersebut. Lalu ia pun melakukan pembunuhan terhadap anak itu bersama-sama dengan
seorang  laki-laki  lain,  si  isteri  itu  sendiri  dan  pembantunya  dengan  cara memutilasi si anak dan menceburkannya ke dalam sumur. Kemudian kejadian
itu pun terungkap dan tersebar luas. Setelah kejadian itu, Amir Yaman menangkap laki-laki itu dan ia pun
mengakui  perbuatannya,  kemudian  para  pelaku  yang  lain  pun  ikut  mengakui perbuatan  mereka.  Amir  Yaman  kemudian  mengirim  sepucuk  surat  kepada
Umar  ibn  Khattab,  lalu  Umar  Ibn  Khattab  mengirim  surat  balasan  yang berisikan  supaya  mereka  semua  dihukum  bunuh  kisas.  Umar  ibn  Khattab
berkata,  “Demi  Allah,  seandainya  penduduk  Shan’a  ikut  bersama-sama
membunuh  anak  itu,  sungguh  aku  pasti  akan  menghukum  bunuh  mereka semua“.
14
2. Keturutsertaan tidak langsung.
Menurut Abdul Qadir Audah, keturutsertaan tidak langsung, َعَم  َتا ْ م ا َسَتم اكْي َش  َتْعَي
َلَع  ناَعإ ْ َأ  ْيَغ ضْ َح ْ مَ  ، ْيَلَع  اَعم ّْعف  اَكتْ إ  َلَع  ْيَغ ْلا  َلَع َ َناَعإا ْ َأ َضْي ْحَتلا ْ َأ َ اَتإا ادصاَ َ ْ كَي ْ َأ كْي شلا ْيف طْ َتْشَيَ  ،ّْع ْلا اَ َ
َ ْي َج
Artinya: “setiap  orang  yang  bersepakat  dengan  orang  lain  untuk
melakukan  suatu  perbuatan  yang  dapat  dijatuhi  hukuman  atasnya,  orang yang menghasut menggerakkan orang lain atau membantu dalam perbuatan
tersebut,  dengan  disyaratkan  adanya  kesengajaan  dalam  kebersepakatan, pen
ghasutan, dan pemberian bantuan tersebut“.
15
Mutasabbib  adalah  pihak  yang  melakukan  suatu  tindakan  yang biasanya bisa mengakibatkan kerusakan atau kebinasaan sesuatu. Tindakan itu
sendiri  sebenarnya  bukan  yang  secara  langsung  memunculkan  kebinasaan tersebut, akan tetapi melalui perantara sesuatu yang lain yaitu tindakan orang
lain yang melakukannya dengan keinginan sendiri.
16
Apabila  tindakan  pihak  mutasabbib  dianggap  sebagai  tindakan  yang melanggar  dan  melampaui  batas,  maka  hanya  dirinya  saja  yang  bertanggung
14
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 561.
15
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 365-366
16
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 574.
jawab.  Hal  ini  berdasarkan  kaidah,  “mutasabbib  tidak  dituntut bertanggungjawaban  kecuali  jika  ia  melakukan  tindakan  yang  melanggar“
apakah  itu  memang  sengaja  atau  tidak.  Atau  berdasarkan  kaidah,  “suatu tindakan  disandarkan  atau  dinisbatkan  kepada  mutasabbib  apabila  tidak  ada
perantaraan  yang  menengahi“  yaitu  ketika  tidak  dimungkinkan  untuk menuntut  pertanggungjawaban  dari  pelaku  langsung  karena  pelaku  langsung
adalah  orang  yang  tidak  mungkin  diminta  pertanggung  jawaban  atau  pelaku langsungnya  tidak  ada  atau  tidak  diketahui,  atau  tindakan  mutasabbib  lebih
kuat  efek  dan  lebih  dominan  dari  pada  tindakan  pelaku  langsung. Kesimpulannya,  pihak  mutasabbib  adalah  yang  harus  bertanggung  jawab
apabila tindakannya yang menjadi sebab itu lebih dominan daripada tindakan pelaku langsung.
17
Menurut  Jumhur  selain  ulama  Hanafiah,  dalam  kasus  pembunuhan pelaku  langsung  dan  pelaku  tidak  langsung  dapat  bersama-sama  dijatuhkan
hukuman.  Dalam  kasus  paksaan  untuk  melakukan  pembunuhan,  baik  pihak yang  memaksa  maupun  pihak  yang  dipaksa  keduanya  sama-sama  dikisas,
karena  pihak  yang  dipaksa  pada  faktanya  adalah  pihak  yang  menjalankan pembunuhan  secara  langsung,  sedangkan  pihak  yang  memaksa  adalah  pihak
yang menjadi penyebabnya mutasabbib. Dalam  kasus  pembunuhan  lain,  dimana  terdapat  pelaku  yang
berjumlah dua orang, salah satunya memegangi korban dan yang satunya yang
17
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 575.
melakukan  pembunuhan  terhadap  korban,  ulama  Malikiyah  memiliki pendapat  yang  berbeda  dengan  pendapat  ulama  madzhab  yang  lain,  yaitu
kedua-duanya  sama-sama  dikisas,  karena  pelaku  yang  bertugas  memegangi korban  adalah  sebagai  mutasabbib  dan  rekannya  yang  bertugas  membunuh
adalah sebagai pelaku langsung.
18
Yang dianggap turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang  yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan sesuatu perbuatan
yang  dapat  dihukum,  atau  menyuruh  orang  lain,  atau  memberikan  bantuan dalam perbuatan tersebut dengan disertai kesengajaan dalam persepakatan dan
menyuruh serta memberi bantuan.
19
Unsur-unsur  keturutsertaan  tidak  langsung  ada  tiga,  yaitu  sebagai berikut:
1. Perbuatan yang dapat dijatuhi hukuman pidanatindak pidana.
2. Cara  mewujudkan  perbuatan  tersebut,  yaitu  mengadakan
persepakatan, penghasutan, atau pemberian bantuan. 3.
Niat dari pelaku tidak langsung agar perbuatan yang dimaksudkan dapat terjadi.
20
Unsur  pertama,  untuk  terjadinya  keturutsertaan  disyaratkan  adanya perbuatan  yang  dapat  dijatuhi  hukuman  dan  perbuatan  tersebut  harus  terjadi
meskipun  tidak  harus  selesai  secara  sempurna.  Karena  itu,  dalam  percobaan
18
Wahbah Zuhaili, Fiqih Islam wa Adillatuhu juz VII, hlm. 576.
19
A. Hanafi,  Asas-Asas Hukum Pidana Islam, hlm. 162-163
20
Alie, Yafie, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II, hlm.41
tindak pidana, pelaku tidak langsung dapat dijatuhi hukuman. Demikian juga, untuk  menjatuhkan hukuman kepada pelaku tidak langsung, pelaku langsung
tidaklah  harus  dijatuhi  hukuman.  Hal  ini  karena  terkadang  pelaku  langsung memiliki  niat  yang  baik  sehingga  ia  tidak  dijatuhi  hukuman,  tetapi  pelaku
tidak langsung tetap dijatuhi hukuman atau pelaku langsung diampuni karena ia  masih  di  bawah  umur  atau  gila  sedangkan  pelaku  tidak  langsung  tetap
dijatuhi hukuman.
21
Unsur ketiga, turut berbuat tidak langsung bisa terjadi dengan jalan: 1.
Persepakatan. Persepakatan  bisa  terjadi  karena  adanya  rasa  saling  memahami  dan
karena kesamaan kehendak untuk memperbuat tindak pidana. Kalau tidak ada persepakatan  sebelumny
a,  maka  tidak  ada  “keturutsertaan“.  Jadi  tidak  ada “keturutsertaan“ kalau sudah ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas
jarimah  yang  terjadi  dan  dikerjakan  bersama.  Jika  seseorang  bersepakat dengan  orang  lain  untuk  mencuri  kerbau,  kemudian  pembuat  langsung
memukul pemilik kerbau atau mencuri kerbau bukan milik orang yang dituju, maka  di  sini  tidak  ada  persepakatan  atas  jarimah  yang  terjadi.  Akan  tetapi
tidak  adanya  keturutsertaan  tidak  berarti  bahwa  persepakatan  itu  tidak
21
Abdul Qadir Audah, At- Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami Muqaranan bi Al-Qanuni Al-Wad’i Juz
I, hlm. 366