Sesuai dengan sistem self assessment, maka Wajib Pajak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor
Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang wilayahnya meliputi tempat tinggal atau kedudukan Wajib Pajak untuk diberikan Nomor Pokok Wajib
Pajak. Di samping melalui Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan, pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak
juga dapat dilakukan melalui e-register, yaitu suatu cara pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak melalui media elektronik on-line internet.
2.1.5.2 Kewajiban Pembayaran, PemotonganPemungutan, dan Pelaporan Pajak Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya harus sesuai
dengan sistem self assessment, yaitu wajib melakukan sendiri penghitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak terutang.
2.1.5.3 Kewajiban Dalam Hal Diperiksa
Untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap
Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan terhadap Wajib Pajak yang bertujuan untuk meningkatkan
kepatuhan Wajib Pajak. Kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa adalah: 1.
memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor;
2. memperlihatkan danatau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan
usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak. Khusus untuk Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib memberikan kesempatan
untuk mengakses danatau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; 3.
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan lainnya guna kelancaran pemeriksaan;
4. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan; 5.
meminjamkan kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik, khususnya untuk jenis Pemeriksaan Kantor;
6. memberikan keterangan lain baik lisan maupun tulisan yang diperlukan.
2.1.5.4 Kewajiban Memberi Data Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib
memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur pada Pasal 35A Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang.
2.1.5.5 Hak Atas Kelebihan Pembayaran Pajak Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil
dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya terutang, maka
Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan dalam waktu 12 dua
belas bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Untuk Wajib Pajak yang termasuk kriteria Wajib Pajak Patuh, pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dapat dilakukan paling lambat 3 tiga bulan untuk Pajak Penghasilan dan 1 satu bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai sejak permohonan diterima dan
dilakukan tanpa pemeriksaan.
2.1.5.6 Hak Dalam Hal Wajib Pajak Dilakukan Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan dengan tujuan
menguji kepatuhan Wajib Pajak dan tujuan lain yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal dilakukan pemeriksaan, Wajib Pajak berhak:
1. meminta Surat Perintah Pemeriksaan;
2. melihat Tanda Pengenal Pemeriksa;
3. mendapat penjelasan mengenai maksud dan tujuan pemeriksaan;
4. meminta rincian perbedaan antara hasil pemeriksaan dan Surat Pemberitahuan;
5. hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan.
2.1.5.7 Hak untuk Mengajukan Keberatan, Banding, dan Peninjauan Kembali Berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal
Pajak, maka akan diterbitkan suatu surat ketetapan pajak yang dapat mengakibatkan pajak terutang menjadi kurang bayar, lebih bayar, atau nihil. Jika
Wajib Pajak tidak sependapat, maka dapat mengajukan keberatan atas surat ketetapan tersebut. Selanjutnya, apabila belum puas dengan keputusan keberatan
tersebut, maka Wajib Pajak dapat mengajukan banding. Langkah terakhir yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak dalam sengketa pajak adalah peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung.
2.1.5.8 Hak-Hak Wajib Pajak Lainnya 1.
Hak kerahasiaan bagi Wajib Pajak Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas
segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Di samping
itu, pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, seperti ahli
bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan.
2. Hak untuk pengangsuran atau penundaan pembayaran
Dalam hal-hal atau kondisi tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan penundaan pembayaran pajak.
3. Hak untuk penundaan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan
Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat menyampaikan perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan baik Pajak Penghasilan Badan
maupun Pajak Penghasilan Orang Pribadi. 4.
Hak untuk pengurangan Pajak Penghasilan Pasal 25 Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan pengurangan
besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25. 5.
Hak untuk pembebasan pajak Dengan alasan-alasan tertentu, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan
pembebasan atas pemotonganpemungutan Pajak Penghasilan. 6.
Hak untuk menerima pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak Wajib Pajak yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagai Wajib Pajak Patuh
dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dalam jangka waktu paling lambat 1 satu bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai dan
3 tiga bulan untuk Pajak Penghasilan sejak tanggal permohonan. 7.
Hak untuk mendapatkan pajak ditanggung pemerintah Dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau
dana pinjaman luar negeri, Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima oleh kontraktor, konsultan, dan supplyer utama ditanggung oleh
pemerintah. 8.
Hak untuk mendapatkan insentif perpajakan
Di bidang Pajak Pertambahan Nilai, untuk Barang Kena Pajak tertentu atau kegiatan tertentu diberikan fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau
Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut. Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai antara lain kereta api,
pesawat udara, kapal laut, buku-buku, perlengkapan TNIPOLRI yang diimpor maupun yang penyerahannya di dalam daerah pabean oleh Wajib Pajak
tertentu. Perusahaan yang melakukan kegiatan di kawasan tertentu seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Tidak Dipungut
antara lain atas impor dan perolehan bahan baku.
2.1.6 Sejarah Administrasi Perpajakan Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga
negara, Indonesia menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban dan hak kenegaraan bagi para warganya. Pada masa awal
kemerdekaan, pembaharuan sistem perpajakan dilakukan karena sistem perpajakan yang berlaku tidak sesuai dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi
masyarakat Indonesia. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak yang berlaku sejak masa penjajahan
sebagian besar merupakan warisan kolonial yang pada saat itu dibuat semata-mata hanya untuk menghimpun dana bagi pemerintah penjajah dalam rangka
mempertahankan dan memperbesar kekuasaannya. Oleh karena itu, pemungutan pajak saat itu dirasakan oleh rakyat sebagai beban yang berat, sebab baik
penetapan jumlah pajak, jenis pajak, maupun tata cara pemungutannya
dilaksanakan di luar rasa keadilan tanpa menghiraukan kemampuan serta menambah beban penderitaan dan jauh dari pertimbangan dan penghargaan atas
hak asasi rakyat. Pajak di saat itu hanya merupakan kewajiban semata-mata yang harus dilaksanakan rakyat dengan patuh.
Sesuai dengan Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Peraturan perundang-undangan perpajakan yang dibuat pada zaman pemerintahan penjajahan Belanda adalah antara lain:
Aturan Bea Meterai Tahun 1921, Ordonansi Pajak Perseroan Tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan Tahun 1932, Ordonansi Pajak Pendapatan
Tahun 1944. Meskipun terhadap berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan
sisa-sisa kolonial tersebut telah beberapa kali dilakukan upaya perubahan dan penyesuaian, tetapi karena berbeda falsafah yang melatarbelakanginya
serta sistem yang melekat kepada undang-undang tersebut, maka sepanjang perpajakan dilandasi ketentuan-ketentuan perundang-undangan
tersebut, belumlah bisa memenuhi fungsinya sebagai sarana yang dapat menunjang cita-cita bangsa dan pembangunan nasional yang sedang
dilaksanakan. Memasuki alam kemerdekaan, sejak proklamasi 17 Agustus 1945,
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan telah dilakukan perubahan, tambahan dan penyesuaian sebagai upaya
untuk menyesuaikan terhadap keadaan dan tuntutan rakyat dari suatu negara yang telah memperoleh kemerdekaannya Namun, perubahan-
perubahan tersebut di masa lalu lebih bersifat parsial, sedangkan perubahan yang agak mendasar baru dilakukan melalui Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan Pajak Pendapatan, Pajak Kekayaan dan Pajak Perseroan yang kemudian pelaksanaannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1967 yang selanjutnya terkenal dengan sistem MPS dan MPO. Sistem tersebut
merupakan penyempurnaan sistem pajak sesuai dengan tingkat perkembangan sosial ekonomi Indonesia. Meskipun demikian, upaya yang
telah dilakukan untuk mengubah berbagai peraturan perundang-undangan perpajakan tersebut, belumlah menjawab secara fundamental tuntutan dan
kebutuhan rakyat tentang perlunya seperangkat peraturan perundang- undangan perpajakan yang secara mendasar.
Peraturan perundang-undangan yang dimaksud harus dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang di dalamnya tertuang
ketentuan yang menjunjung tinggi hak warga negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan
sarana peran serta rakyat dalam bidang kenegaraan. Petunjuk akan perlunya perubahan yang mendasar sebenarnya telah tertuang jelas sebagai
amanat rakyat, seperti tersurat dan tersirat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yang antara lain berbunyi,
Sistem perpajakan terus disempurnakan, pemungutan pajak diintensifkan dan aparat perpajakan harus makin mampu dan bersih.
Oleh karena itu, undang-undang ini sebagai suatu undang-undang di bidang perpajakan yang dilandasi falsafah Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, harus berbeda dengan undang-undang perpajakan yang dibuat di zaman kolonial.
Perbedaan tersebut akan nyata terlihat dalam sistem dan mekanisme serta cara pandang terhadap Wajib Pajak yang tidak dianggap sebagai objek,
tetapi merupakan subjek yang harus dibina dan diarahkan agar mau dan mampu memenuhi kewajiban perpajakannya sebagai pelaksana kewajiban
kenegaraan. Di segi lain, tuntutan masyarakat terhadap adanya aparatur perpajakan
yang makin mampu dan bersih, dituangkan dalam berbagai ketentuan yang bersifat pengawasan dalam undang-undang ini.
Perbedaan falsafah dan landasan yang menjadi latar belakang dan dasar pembentukan undang-undang ini tercermin dalam ketentuan-ketentuan
yang mengatur sistem dan mekanisme pemungutan pajak. Sistem dan mekanisme tersebut pada gilirannya akan menjadi ciri dan corak tersendiri
dalam sistem perpajakan Indonesia karena kedudukan undang-undang ini yang akan menjadi ketentuan umum bagi peraturan perundang-undangan
perpajakan yang lain. Ciri dan corak tersendiri dari sistem pemungutan pajak tersebut adalah:
a.
bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian kewajiban dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan
bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang diperlukan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
b. tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pajak, sebagai
pencerminan kewajiban di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat Wajib Pajak sendiri. Pemerintah, dalam hal ini aparat
perpajakan, sesuai dengan fungsinya, berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
c. anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat
melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang terhutang self
assessment sehingga melalui sistem ini pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakan dengan lebih rapi, terkendali,
sederhana, dan mudah untuk dipahami oleh anggota masyarakat.
Berdasarkan ketiga prinsip pemungutan pajak tersebut, Wajib Pajak diwajibkan menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah
pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Selain daripada itu,
Wajib Pajak diwajibkan pula melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan. Dengan sistem ini diharapkan pelaksanaan administrasi perpajakan yang berbelit-belit dan birokratis
akan dihilangkan. Ciri dan corak sistem pemungutan pajak tersebut sangat berbeda dengan
sistem lama warisan zaman kolonial yang antara lain: a.
tanggung jawab pemungutan pajak terletak sepenuhnya pada penguasa pemerintahan seperti yang tercermin dalam sistem penetapan pajak
yang keseluruhannya menjadi wewenang administrasi perpajakan;
b. pelaksanaan kewajiban perpajakan, dalam banyak hal sangat tergantung
dari pelaksanaan administrasi perpajakan yang dilakukan oleh aparat perpajakan yang mengakibatkan anggota masyarakat sebagai Wajib
Pajak kurang mendapat pembinaan dan bimbingan terhadap kewajiban perpajakan dan kurang ikut berperan serta dalam memikul beban negara
dalam mempertahankan kelangsungan pembangunan nasional.
Jelaslah bahwa sistem pemungutan pajak yang ditentukan menurut undang-undang ini memberi kepercayaan lebih besar kepada anggota
masyarakat Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Selain itu, jaminan dan kepastian hukum mengenai kewajiban dan hak
perpajakan bagi Wajib Pajak lebih diperhatikan sehingga dapat merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di
masyarakat. Tugas administrasi perpajakan tidak lagi seperti yang terjadi pada waktu
yang lampau di mana administrasi perpajakan meletakkan kegiatannya pada tugas merampungkanmenetapkan semua Surat Pemberitahuan guna
menentukan jumlah pajak yang terutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar, tetapi menurut ketentuan undang-undang ini administrasi
perpajakan berperan aktif dalam melaksanakan pengendalian administrasi pemungutan pajak yang meliputi tugas-tugas pembinaan, penelitian,
pengawasan, dan penerapan sanksi administrasi. Pembinaan Wajib Pajak dapat dilakukan melalui berbagai upaya, antara
lain pemberian penyuluhan pengetahuan perpajakan baik melalui media massa maupun penerangan langsung dalam masyarakat.
Dengan landasan sebagaimana telah diuraikan, sebagai suatu uraian yang utuh dan menyeluruh serta sesuai dengan amanat yang tersurat dan tersirat
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, maka diadakan pembaharuan sistem dan hukum perpajakan di Indonesia yang dituangkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Perubahan tersebut
diharapkan dapat menunjang sepenuhnya laju pembangunan dan mempercepat terwujudnya pemerataan pendapatan masyarakat,
peningkatan serta perluasan tingkat kesadaran kewajiban perpajakan, perataan dan perluasan objek pajak, dan peningkatan penerimaan negara
sejalan dengan perkembangan pembangunan nasional sehingga mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sistem perpajakan yang
berlaku memberikan kepercayaan kepada subjek pajak untuk melaksanakan kewajiban serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat
mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meningkatkan pemerataan pendapatan masyarakat.
2.1.7 Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Pajak Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan
pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan organisasi,
ketatalaksanaan business process dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang
baik good governance. Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil
guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu, dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi
informasi dan komunikasi, serta perubahan lingkungan strategis, birokrasi pemerintahan dituntut untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika
tuntutan masyarakat. Sistem administrasi perpajakan modern diawali oleh reformasi birokrasi
yang telah dimulai sejak tahun 2002, dimotori oleh Departemen Keuangan dan
Direktorat Jenderal Pajak dipilih sebagai lokomotifnya mengingat kedudukan Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang sangat vital untuk stabilitas
ekonomi dan pembangunan nasional. Semangat reformasi birokrasi Direktorat Jenderal Pajak meliputi penguatan pada tiga pilar, yaitu:
1. penataan organisasi;
2. perbaikan proses bisnis; dan
3. pengembangan manajemen sumber daya manusia.
Oleh karena adanya program ini, terhitung pada tanggal 24 November 2008 secara resmi kantor pajak di seluruh Indonesia telah menerapkan sistem administrasi
perpajakan modern. Sebagai tahap pertama pilot project penataan organisasi Direktorat
Jenderal Pajak sebagai salah satu implementasi reformasi birokrasi, sesuai Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 65KMK.012002
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar, dibentuk dua
Kantor Pelayanan Pajak Large Taxpayers Office yang kemudian disebut Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar yang berlokasi di Jakarta dengan wilayah
kerja seluruh Indonesia dengan jumlah masing-masing Wajib Pajak sebanyak tiga ratus Wajib Pajak Badan terbesar secara nasional yang peresmiannya dilakukan
pada tanggal 9 September 2002. Keberhasilan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar dalam mengamankan penerimaan pajak dan mendapatkan
kepercayaan masyarakat menjadi titik awal dimulainya modernisasi pajak secara luas di tubuh Direktorat Jenderal Pajak dan selanjutnya, pelaksanaan program
modernisasi ini dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan sebagaimana ditampilkan dalam tabel berikut.
Tabel 2.1 Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Pajak
Waktu KantorWilayah
Jumlah Kantor Juli 2002
KPP Wajib Pajak Besar 2
Desember 2003 KPP BUMN
1
Desember 2004 s.d. Juni 2005 KPP Penanaman Modal Asing
KPP Badan dan Orang Asing KPP Perusahaan Masuk Bursa
KPP Madya Jakarta Pusat 6
2 1
1 Desember 2005
KPP Madya Batam 1
Mei 2006 KPP Madya Denpasar
KPP Madya Tangerang KPP Madya Bekasi
KPP Madya Pekanbaru 1
1 1
1
Desember 2006 Kantor Pusat
KPP Madya di wilayah potensial 1
13 2007
KPP Pratama di Jawa dan Bali 156
2008 KPP Pratama di Luar Jawa dan Bali
129 Sumber: Surat Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat
Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-644PJ.092012 tentang Peringatan Satu Dekade Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Pajak
Perbedaan utama dalam struktur yang telah modern ini adalah perubahan struktur organisasi Kantor Pelayanan Pajak pra-modern berdasarkan jenis pajak
menjadi Kantor Pelayanan Pajak pasca-modern berdasarkan fungsi pelayanan. Pelayanan perpajakan menjadi satu atap one stop service karena semua jenis
pelayanan perpajakan, baik jenis Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama, sedangkan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar dan Kantor Pelayanan Pajak Madya hanya melayani jenis
pajak Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai sehingga menyebabkan terjadi peleburan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan ke Kantor
Pelayanan Pajak Pratama. Proses penyelesaian keberatan hanya ada di Kantor Wilayah mengingat Kantor Wilayah tidak menjalankan fungsi pemeriksaan lagi
karena fungsi pemeriksaan sepenuhnya dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Pajak pasca-modern yang menyebabkan Kantor Pemeriksaan Pajak dilebur ke Kantor
Pelayanan Pajak. Struktur organisasi Kantor Pelayanan Pajak disusun berdasarkan fungsi,
yang meliputi fungsi tata usaha dan rumah tangga, pengolahan data dan informasi, pelayanan, penagihan, pemeriksaan, ekstensifikasi dan penyuluhan, serta
pengawasan dan konsultasi. Dalam pelaksanaan fungsi pengawasan dan konsultasi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang disebut Account
Representative bertanggungjawab melayani dan mengawasi seluruh hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak akan mendapat
kemudahan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya.
2.1.8 Penataan Tugas dan Fungsi Account Representative Salah satu bentuk dari perubahan reformasi birokrasi dalam perpajakan
yang merupakan perwujudan dari modernisasi perpajakan adalah dibentuknya Account Representative. Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor 178PJ2004 tentang Cetak Biru Blue Print Kebijakan Direktorat Jenderal Pajak Tahun 2001 sampai dengan Tahun 2010 yang menjelaskan tentang
bagaimana penyusunan strategi dan sasaran yang ingin dicapai dari tahun 2001 hingga tahun 2010 untuk dapat memodernisasi sistem perpajakan nasional, maka
sebagai penunjang keputusan tersebut dibentuklah Account Representative di Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengimplementasikan organisasi modern pada
tahun 2006. Dasar hukumnya adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 98KMK.012006 tentang Account Representative pada Kantor
Pelayanan Pajak yang Telah Mengimplementasikan Organisasi Modern, Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “Account Representative adalah pegawai yang diangkat
pada setiap Seksi Pengawasan dan Konsultasi di Kantor Pelayanan Pajak yang telah mengimplementasikan Organisasi Modern.”
Dalam Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 98KMK.012006 tentang Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak
yang Telah Mengimplementasikan Organisasi Modern disebutkan bahwa “persyaratan pegawai yang dapat diangkat sebagai Account Representative
meliputi: c.
lulus pendidikan formal paling rendah Diploma III; dan
d. pangkat paling rendah pada saat diusulkan adalah Pengatur Tingkat I
Golongan IId.” Pasal 2 menyebutkan bahwa
Account Representative mempunyai tugas: 6.
melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak;
7. bimbinganhimbauan dan konsultasi teknis perpajakan kepada Wajib
Pajak;
8. penyusunan profil Wajib Pajak;
9. analisis kinerja Wajib Pajak, rekonsiliasi data Wajib Pajak dalam
rangka intensifikasi; dan
10. melakukan evaluasi hasil banding berdasarkan ketentuan yang
berlaku.
Tugas melakukan pengawasan kepatuhan perpajakan Wajib Pajak berarti bahwa Account Representative adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang
ditugaskan untuk mengawasi Wajib Pajak dalam memenuhi kepatuhan kewajiban perpajakannya. Pengawasan ini dapat berupa pengawasan untuk memastikan
apakah Wajib Pajak sudah menghitung, memperhitungkan, dan membayar pajak sesuai dengan yang seharusnya; menentukan apakah Wajib Pajak sudah tepat
waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; mengawasi apakah Wajib
Pajak membayar tunggakan pajaknya bila ada, dsb. Tugas konsultasi teknis
perpajakan kepada Wajib Pajak berarti bahwa Account Representative adalah pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditugaskan menjadi konsultan internal
Direktorat Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak, dengan kata lain Account Representative
adalah mitra bagi Wajib Pajak dalam pemberian
bimbinganhimbauan berupa informasi dan pengetahuan perpajakan. Tugas pengawasan dan konsultasi ini menimbulkan kerancuan tugas pokok dan
fungsi Account Representative karena sangat kontradiktif. Akibatnya, petugas
Account Representative di lapangan seringkali kehilangan orientasi. Ketika sedang memberikan konsultasi, tetapi sekaligus malah melakukan pengawasan,
begitu juga sebaliknya.
Untuk meningkatkan kinerja Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama dan berdasarkan hasil evaluasi dalam rapat kerja
nasional Direktorat Jenderal Pajak tahun 2014, Direktur Jenderal Pajak memandang perlu dilaksanakan uji coba penataan tugas dan fungsi Account
Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama sehingga ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-13PJ2014 tentang Penunjukan
Kantor Pelayanan Pajak Pratama dalam Rangka Uji Coba Penataan Tugas dan Fungsi Account Representative pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Uji coba
penataan tugas dan fungsi Account Representative adalah serangkaian kegiatan menguji alternatif penataan tugas dan fungsi Account Representative yang berbeda
dari pelaksanaan tugas dan fungsi Account Representative saat ini untuk mendapat hasil atau kinerja yang lebih baik pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama. Uji coba
tersebut dilaksanakan mulai tanggal 17 Februari 2014 sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 melalui pemisahan Account Representative
yang menyelenggarakan tugas dan fungsi pemberian konsultasi dan penyelesaian
permohonan pelayanan Wajib Pajak dan Account Representative yang menyelenggarakan tugas dan fungsi pengawasan dan penggalian potensi Wajib
Pajak pada masing-masing Seksi Pengawasan dan Konsultasi. Kantor Pelayanan Pajak Pratama berikut ditunjuk untuk melaksanakan uji coba penataan tugas dan
fungsi Account Representative.
11. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur;
12. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bukittinggi;
13. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jambi;
14. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Serpong;
15. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kembangan;
16. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Kudus;
17. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Batu;
18. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bontang;
19. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Manado;
20. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ambon.
2.1.9 Kepatuhan Wajib Pajak Menurut
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74PMK.032012 tentang Tata Cara Penetapan dan Pencabutan Penetapan
Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak Pasal 2, untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak
dengan Kriteria Tertentu, yang dapat disebut sebagai Wajib Pajak Patuh, Wajib Pajak harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan,
b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali
tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga
pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 tiga tahun berturut-turut;
d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 lima tahun terakhir.
Yang dimaksud dengan tepat waktu dalam penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
a. penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan selama 3 tiga Tahun
Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu
dilakukan tepat waktu;
b. penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat dalam tahun
terakhir sebelum tahun penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November tidak lebih dari 3 tiga
Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut;
c. seluruh Surat Pemberitahuan Masa dalam tahun terakhir sebelum tahun
penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu untuk Masa Pajak Januari sampai November telah disampaikan; dan
d. Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud pada
huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
Yang dimaksud dengan tidak mempunyai tunggakan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah keadaan Wajib Pajak pada tanggal
31 Desember tahun sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu.
Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 huruf c adalah laporan keuangan yang dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang wajib disampaikan
selama 3 tiga tahun berturut-turut sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu.
2.2 Penelitian Terdahulu