Teori Asas Daya Beli

c. Teori Gaya Pikul Yang dimaksud dengan teori gaya pikul yaitu teori yang menjadikan dasar keadilan pemungutan pajak berdasarkan jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya. Oleh karena itulah asas keadilan menjadi suatu yang pokok dalam pemungutan pajak berdasarkan teori ini, dengan kata lain seorang Wajib Pajak yang pajaknya dipungut oleh fiskus harus diperlakukan secara adil dengan Wajib Pajak yang lain tanpa adanya tekanan dari beberapa pihak. W. J. Langen seperti yang dikutip oleh Bohari memberikan arti bahwa: “Gaya pikul adalah kekuatan untuk membayar uang kepada negara, jadi untuk membayar pajak, setelah dikurangi dengan minimum kehidupan basic needs”. 32 A. J. Cohen Stuart seperti yang dikutip oleh Bohari berpendapat bahwa: “Gaya pikul adalah sama dengan sebuah jembatan, yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendirisebelum dicoba untuk dibebaninya dan menyerahkan ajaranbahwa yang sangat diperlukan untuk kehidupan harus tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul”. 33 d. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti Teori ini mengajarkan bahwa negara merupakan sekumpulan dari individu- individu maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak dari warganya. Dan bagi warganya, bahwa membayar pajak termasuk rasa baktinya kepada negara. 34

e. Teori Asas Daya Beli

32 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, h. 38. 33 Ibid., h. 39. 34 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, h. 19. Menurut teori ini, bahwa fungsi dari pemungutan pajak yaitu untuk memelihara hidup masyarakat serta membawa ke arah tertentu. Dengan kata lain yaitu mengambil daya beli dari masyarakat untuk disalurkan kembali kepada masyarakat. 35 4. Asas Pemungutan Pajak Menurut Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and causes of the Wealth of Nations dikenal dengan nama Wealth of Nations terdapat empat asas pemungutan pajak yang dikenal dengan “four canons taxation” atau sering disebut dengan “The four Maxims” seperti yang dikutip oleh Ahmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, dengan uraian sebagai berikut: 36 a. Equality and Equity Dalam masalah equality seorang fiskus harus mengenakan pajak yang besarannya sama kepada setiap Wajib Pajak berdasarkan keadaan yang sama pada setiap Wajib Pajak. Oleh karena itulah apabila seorang Wajib Pajak mempunyai pengeluaran yang lebih besar dalam kebutuhan hidup primer bagi keluarganya, jika dibandingkan dengan Wajib Pajak yang mempunyai pengeluaran yang lebih kecil, maka pengenaan pajaknya akan berbeda walaupun dengan penghasilan yang sama. Lain halnya dalam masalah equity, bahwa seorang fiskus harus memperlakukan setiap Wajib Pajak dengan perlakuan yang adil. Akan tetapi tidak pada kasus-kasus tertentu dimana terdapat suatu perbedaan yang sangat signifikan, 35 Ibid., h. 19. 36 Ibid., h. 16-17. karena sesuatu yang diterapkan adil dalam sesuatu yang sifatnya umum belum tentu adil dalam sesuatu yang sifatnya khusus, dalam hal ini dalam suatu kasus tertentu. Equity atau kepatutan mempunyai fungsi, sebagai berikut: 1 Jus adjuvandi, untuk menyesuaikan hukum, dalam hal ini agar tidak melenceng dari hukum yang telah berlaku. 2 Jus sppelendi, untuk menambah hukum, karena dalam penerapannya terdapat kasus-kasus yang lebih kompleks. 3 Jus corrigendi, untuk mengoreksi hukum, karena dalam penerapannya terdapat beberapa masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memperoleh keadilan. 37 b. Certainty Dalam hal ini fiskus harus memberitahu Wajib Pajak dengan pasti dalam pembayaran pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak mengenai besaranya pajak yang harus dibayarkan, waktu pembayaran, tempat pembayaran, maupun cara pembayarannya. Dalam asas ini kepastian hukum tentang subjek pajak maupun objek pajak yang lebih ditekankan c. Conveniency of Payment Dalam hal ini fiskus harus memungut pajak pada saat yang mengenakkan atau pada saat Wajib Pajak merasa tidak terbebani atau dapat dikatakan juga pada saat yang tepat, yaitu pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. d. Low Cost of Collection 37 Ibid., h. 16. Dalam hal ini fiskus yang memungut pajak tidak boleh mengenakan biaya pemungutan yang besarannya lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah pajak yang masuk. Sedangkan menurut Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein dalam buku “Perpajakan”, yang termasuk dalam asas pemungutan pajak, yaitu: 38 a. Asas Domisili Yang dimaksud dengan domisili disini, yaitu negara dimana Wajib Pajak tinggal dan dikenakan pajak atas penghasilan Wajib Pajak yang tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang didapat dari dalam negeriu maupuan luar negeri. Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan bagi warga negara asing maka pajak dikenakan setelah menetap di negara Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya. b. Asas Sumber Dalam asas ini, apabila seseorang berpenghasilan dari Indonesia maka negara Indonesia berhak memungut pajak kepada orang tersebut baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, walaupun bertempat tinggal di Indonesia ataupun di luar Indonesia selama orang tersebut memperoleh penghasilan dari Indonesia. c. Asas Kebangsaan 38 Ibid., h. 20-21. Dalam asas ini pajak dikenakan atas hubungannya dengan kebangsaan suatu negara. Oleh karena itulah, apabila terdapat seseorang mempunyai hubungan kebangsaan maka ia akan dikenakan pajak walaupun bertempat tinggal di luar negeri. 5. Sistem Pemungutan Pajak P.J.A. Adriani seperti yang dikutip oleh Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan membagi sistem pemungutan pajak menjadi tiga bagian, yaitu: 39 a. Wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan Undang-undang. b. Adanya kerja sama antara wajib pajak dengan fiskus. c. Fiskus menentukan jumlah pajak yang terutang. Akan tetapi pada saat ini sistem pemungutan pajak dibedakan menjadi: 40 a. Official Assessment System Dalam sistem ini fiskus berperan aktif dalam menghitung dan menentukan besarnya pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan oleh fiskus. Dan sebaliknya wajib pajak berperan secara pasif dengan hanya membayar pajak yang ditentukan oleh fiskus. Di Indonesia sistem ini digunakan dalam memungut Pajak Bumi dan Bangunan PBB. b. Self Assessment System Dalam sistem ini wajib pajak berperan aktif dalam menghitung, menetapkan, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak yang terutang. Dan sebaliknya fiskus 39 Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005, ed.ke 1, h. 107. 40 Ibid., h. 108-109. berperan secara pasif dengan hanya mengawasi wajib pajak yang mengisi Surat Pemberitahuan SPT yang diberikan fiskus apakah sudah diisi dengan lengkap dan benar atau belum. Di Indonesia sistem ini digunakan dalam memungut Pajak Penghasilan PPh Orang Pribadi dan Badan serta Pajak Pertambahan Nilai PPN. c. With Holding System Dalam sistem ini pihak ketiga merupakan pihak yang berperan aktif dalam menghitung, menetapkan, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak yang terutang. Sedangkan fiskus dan wajib pajak berperan secara pasif. 6. Tata Cara Pemungutan Pajak 41 a. Stelsel Nyata Dalam stelsel nyata pemungutan pajak didasarkan oleh objek pajak atau penghasilan sesungguhnya yang diterima oleh Wajib Pajak dalam satu tahun pajak. Oleh karena itulah, besarnya jumlah pajak yang terutang menunjukkan kondisi yang sebenarnya dari Wajib Pajak. b. Stelsel Anggapan Dalam stelsel anggapan pengenaan pajak yang dibebankan kepada Wajib Pajak berdasarkan pada suatu anggapan yang ditunjukkan oleh Undang-undang. Dengan kata lain Wajib Pajak dapat mengetahui besarnya pajak terutang apabila penghasilan tahun berjalan disamakan dengan penghasilan tahun sebelumnya. Dan sebaliknya Wajib Pajak tidak dapat mengetahui besarnya pajak terutang apabila penghasilan tahun berjalan tidak disamakan dengan penghasilan tahun sebelumnya. 41 Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, h. 19-20. c. Stelsel Campuran Stelsel campuran merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pengenaan pajak dilakukan pada awal tahun berjalan berdasarkan anggapan yang ditentukan Undang-undang, dan kemudian jumlah pajak terutang dikoreksi pada akhir tahun. Apabila jumlah pajak yang ditentukan pada awal tahun lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pajak yang dihitung pada akhir tahun, maka koreksi dilakukan untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar. Dan apabila sebaliknya, maka koreksi dilakukan untuk menentukan besarnya pajak yang lebih dibayar dan dimintakan restitusi pengembalian.

F. Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai