Praktik pemungutan pajak pertambahan nilai dalam perspektif hukum islam

(1)

PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)

Oleh:

ANDRY KURNIAWAN NIM: 102046125283

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar

Sarjana Ekonomi Islam (S.E.I)

Oleh:

ANDRY KURNIAWAN NIM: 102046125283

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. Drs. H. Ahmad Yani, MA.

NIP: 150 269 678

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN

NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1)pada Program Studi Muamalat.

Jakarta, 19 Februari 2009 Disahkan oleh

Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

Ketua : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM (...) NIP. 150 210 422

Sekretaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH. (...) NIP. 150 318 308

Pembimbing I : Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. (...)

Pembimbing II: Drs. H. Ahmad Yani, MA. (...)

NIP. 150 269 678

Penguji I : Dr. Hasanuddin, M. Ag (...) NIP. 150 268 590

Penguji II : Dr. H. Yayan Sopyan, M. Ag (...) NIP. 150 277 991


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN

NILAI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pada tanggal 19 Februari 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1)

pada Program Studi Muamalat Jakarta, 7 Februari 2007 Disahkan oleh

Dekan,

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 150 210 422

PANITIA UJIAN

Ketua : Dr. Euis Amalia, M.Ag (...) NIP. 150 289 264

Sekretaris : H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, MH. (...) NIP. 150 318 308

Pembimbing I : Dra. Hj. Hafni Muchtar, SH., MH., MM. (...)

Pembimbing II: Drs. H. Ahmad Yani, MA. (...)

NIP. 150 269 678

Penguji I : Dr. Hasanuddin, M. Ag (...) NIP.

Penguji II : Dr. H. Yayan Sopyan, M. Ag (...) NIP.


(5)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 03 Maret 2009


(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Kehadirat Allah SWT, pemilik Alam Semesta. Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi di akhir zaman yang menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia.

Dalam menyelesaikan sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi bukanlah hal yang mudah, tetapi harus dilewati dengan berbagai rintangan yang tidak terduga sebelumnya. Tahap demi tahap dengan selalu memohon ridho kepada Allah SWT, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, dengan didukung oleh pihak-pihak dari luar.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum.

2. Ibu Dr. Euis Amalia, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Mu’amalat Konsentrasi Perbankan Syariah.

3. Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., MH., selaku Sekretaris Program Studi Mu’amalat Konsentrasi Perbankan Syariah.

4. Ibu Dra. Hj. Hafni Muchtar, S.H., MH., MM., selaku Pembimbing Skripsi. 5. Bapak Drs. H. Ahmad Yani, MA., selaku Pembimbing Skripsi.


(7)

6. Papah dan Mamah yang dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan serta senantiasa mencurahkan segala dukungan baik moril maupun materil. 7. Saudara-saudaraku Etty Widdyan, Erry Suryana, Irwan Supriyana, Andryana

Widdyan dan Andryani Widdyan, serta keponakanku: Arif Permana Putera yang selalu mengisi hari-hariku di rumah dengan canda dan tawa.

8. Irmalia yang selalu menyemangatiku baik dalam keadaan susah maupun senang. Dhanu, Oke, Fauzan, Azis, Arfah, Fidyar, Anggoro, serta rekan-rekan kampus, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Mengingat segala keterbatasan dan kemampuan, penulis menyadari masih adanya kekurang sempurnaan pada skripsi ini, kritik dan saran yang membangun selalu terbuka lebar demi perbaikan dalam penulisan skripsi selanjutnya.

Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi penulis.

Depok, 03 Maret 2009


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan ... 9

E. Review Terhadap Penelitian Terdahulu ... 10

F. Sistematika Penulisan... 14

BAB II KERANGKA TEORI A. Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai...15

B. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai ...19

C. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai ...21

D. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pengkreditannya...24

E. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai ...36

F. Subjek Dan Objek Pajak Pertambahan Nilai ...45

G. Pajak Pertambahan Nilai Yang Ditanggung Pemerintah...53

H. Faktur Pajak ...54


(9)

BAB III PRAKTIK PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN) DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

A. Perpajakan Memurut Hukum Islam ...61 1...P

engertian Hukum Islam...61 2...P

ajak Dalam Islam...63 3...S

ejarah Pemungutan Zakat Dan Pajak Dalam Islam ...64 4...D

asar Hukum Pemungutan Pajak Dalam Hukum Islam ...68 5...P

ersamaan Dan Perbedaan Antara Zakat Dan Pajak ...77 6...K

arakteristik Pajak Dalam Hukum Islam ...79 B. Analisa Praktik Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Menurut Perspektif

Hukum Islam...80

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ...84 B. Saran-saran...85


(10)

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Telaah ilmiah terhadap ajaran agama Islam adalah untuk kepentingan umum dalam kehidupan duniawi sebagai persiapan menghadapi kehidupan ukhrawi. Karena itu ajaran Islam tidak hanya mempelajari ataupun mendalami masalah teologi dan ritual semata, tetapi juga mencakup persoalan politik, ekonomi dan sosial budaya.

Islam memandang bahwa harta kekayaan dan penghasilan yang diperoleh oleh manusia dari berbagai kegiatan ekonomi merupakan harta yang dimiliki oleh Allah Swt. dan diamanatkan kepada manusia. Oleh karena itulah, di dalam harta tersebut terdapat hak orang lain dan salah satu cara untuk membelanjakan harta tersebut yaitu dengan membayar zakat untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya berdasarkan al-Qur’an dan hadits, serta membayar pajak kepada negara untuk digunakan dalam meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Hal ini sesuai dengan perkataan yang dilontarkan oleh Ali bin Abi Thalib, seperti yang dikutip oleh B. Wiwoho yang mengatakan bahwa negara itu ibarat sebuah taman. “Pagar yang menjaga keselamatan taman itu adalah undang-undang, yaitu kekuasaan yang wajib ditaati. Taat dan kepatuhan rakyat kepada undang-undang itulah yang menjadi sebab teguhnya pemerintahan. Pemerintah itu adalah ibarat pengembala dan pengawal keselamatan negara yang didukung oleh tentara yang kuat.


(11)

Tentara itu adalah alat negara yang harus ditanggung semua keperluannya oleh kas negara dan kas negara itu dikumpulkan dari rakyat…”1

Pada zaman Rasulullah saw., sisi penerimaan APBN terdiri atas kharaj

(sejenis pajak tanah), zakat, khums/ghanimah (pajak

5 1

dari harta rampasan perang),

jizyah (sejenis pajak atas badan orang non muslim), dan penerimaan lain-lain (diantaranya kaffarah/ denda).2 Lain halnya pada masa kekhalifahan Umar bin

Khaththab RA yang menerapkan ‘usyr (pajak

10 1

dari hasil perdagangan). Oleh

karena itulah ‘usyr bukan bersumber dari al-Qur’an dan bukan pula dari Sunnah nabi SAW, akan tetapi bersumber dari ijtihad para sahabat.3

Negara Indonesia merupakan negara yang besar dan tentunya dengan permasalahan yang besar pula, terutama dalam permasalahan di bidang perekonomian. Oleh karena itulah, pemerintah mempunyai tiga fungsi utama, yang oleh Musgrave dan Musgrave disebut sebagai Fiscal Function seperti yang dikutip oleh Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, yaitu:

1. Mengatasi masalah inefisiensi dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi,

1

B. Wiwoho., et., al., Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1992), Cet.ke 3, h.35.

2

Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, (Jakarta, Gema Insani Press, 2001), cet.ke 1, h. 25.

3

Quthb Ibrahim Muhammad, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2002), cet.ke 1, h. 100.


(12)

2. Mendistribusikan penghasilan dan kekayaan kepada masyarakat sehingga tercapai masyarakat yang adil dan makmur, serta

3. Untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul sebagai akibat dari fluktuasi perekonomian dan menjaga/ menjamin tersedianya lapangan kerja (memperkecil tingkat pengangguran) serta penjaga stabilitas harga. 4 Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari:

1. Bumi, air dan kekayaan alam. 2. Pajak-pajak, bea dan cukai.

3. Penerimaan Negara, Bukan Pajak (non tax). 4. Hasil Perusahaan Negara.

5. Sumber-sumber lain.5

Saat ini, pajak merupakan kontributor terbesar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita yang berarti perannya sangat besar bagi kelangsungan pembangunan bangsa ini.6 Pemerintah tidak dapat semena-mena untuk dapat menarik pendapatan yang berasal dari pajak. Oleh karena itulah, penarikan pajak yang dilakukan oleh pemerintah harus berdasarkan pada azas keadilan serta hukum pajak yang diletakkan dalam pasal 23 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 Republik

4

Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005), ed.ke 1, h. 3.

5

H. Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002), ed.Revisi, cet.ke 4, h. 11.

6

Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, (Yogyakarta, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2005), ed. 3, cet.ke 1, h. 2.


(13)

Indonesia yang berbunyi: “segala pajak untuk kegunaan kas negara berdasarkan undang-undang”.

Jadi setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan Undang-undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan Keputusan Presiden atau berdasarkan Peraturan Pemerintah atau berdasarkan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah daripada Undang-undang.7

Lain halnya dengan Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-undang pajak. Selain itu pula berbagai peraturan daerah, baik Peraturan Daerah Propinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang mengatur tentang pemberlakuan suatu jenis pajak daerah di suatu propinsi atau kabupaten/kota.

Lahirnya Undang-undang Pajak Nasional, sebagai pengganti undang-undang pajak yang berlaku sebelumnya yang isinya sebagian besar berasal dari zaman Hindia Belanda, seperti Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925, Ordonansi Pajak Kekayaan tahun 1932 dan Ordonansi Pajak Pendapatan tahun 1944.8 Merupakan salah satu faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan sampai sekarang, sehingga kelahirannya memiliki arti sejarah bagi bangsa dan negara. Undang-undang Pajak Nasional ini terdiri dari:

7

Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, (Bandung, PT. Rafika Aditama, 1998), ed. Revisi, cet.ke 5, h. 7.

8


(14)

1. Undang-undang No. 6 tahun 1983 yang telah diubah untuk kedua kalinya, dan terakhir dengan Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara Perpajakan.

2. Undang-undang No. 7 tahun 1983 yang telah diubah untuk ketiga kalinya, dan terakhir dengan Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).

3. Undang-undang No. 8 Tahun 1984 yang telah diubah untuk kedua kalinya, dan terakhir dengan Undang-undang No. 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN) dan Pajak Penjualan atas barang Mewah (PPnBM). 9

Selain undang-undang yang tertera pada undang-undang pajak nasional, terdapat undang-undang yang mengatur tentang pemungutan pajak, yaitu:

1. Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 12 tahun 1994.

2. Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Materai.

3. Undang-undang Nomor 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2000.

4. Undang-undang Nomor 18 tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

9


(15)

Undang-undang No. 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih dikenal dengan Undang-undang pajak Pertambahan Nilai 1984 merupakan salah satu produk reformasi sistem perpajakan nasional (tax reform) 1983. sebagai pengganti Undang-undang No. 19 Tahun 1951 Drt. Jo Undang-Undang-undang No. 35 Tahun 1953 tetang Pajak Penjualan, Undang-undang PPN 1984 ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1985.10 Dalam perjalanannya, UU Nomor 8 Tahun 1983 ini telah dua kali diubah yaitu:

1. Mulai 1 januari 1995 diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 meliputi pasal 1 sampai dengan pasal 17 berurutan.

2. Mulai 1 Januari 2001 diubah untuk yang kedua kalinya dengan UU Nomor 18 tahun 2000 meliputi pasal 1 sampai denga pasal 16C namun tidak berurutan. 11

Berdasarkan atas dasar hukum tersebut, maka pemerintah mewajibkan kepada warga negaranya untuk membayar pajak yang merupakan salah satu sumber utama pendapatan pemerintah pusat maupun daerah yang berguna untuk pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment, dan diambil dari sebagian kekayaan warganya tanpa mendapatkan prestasi-kembali dari negara dari pembayaran atau penyetoran pajak.

10

Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), ed. Revisi, cet.ke 6, h. 15.

11

Untung Sukardji, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2004), cet.ke 2, h. 16.


(16)

Oleh karena itulah apabila terdapat kelalaian dalam membayar atau menyetor pajak maka pemerintah yang dalam hal ini fiskus dapat menagih pajak dengan memberikan surat paksa berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pemungutan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000, akan tetapi apabila terdapat suatu perselisihan maka dapat ditindak dengan hukum yang berlaku, berdasarkan UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menggantikan UU No. 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai populer di Indonesia pada 1980-an karena relatif mudah bagi pemerintah untuk memungutnya. Berbeda dengan Pajak penghasilan (PPh) yang dipungut setelah berlalunya kurun waktu tertentu dan kemungkinan timbulnya perselisihan atas jumlah pajak yang harus dibayar, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dipungut tunai ketika barang terjual dan jumlahnya jelas. Sepintas, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tampak memang lebih mudah, tetapi ternyata menimbulkan ekses negatif pada harga dan jumlah yang diperdagangkan.12

Akan tetapi dari banyaknya Undang-Undang pajak yang berlaku di Indonesia, tidak terdapat Undang-Undang yang mendefinisikan pajak secara rinci. Hal ini tampaknya terkait dengan definisi pajak itu sendiri, yang apabila di definisikan maka akan terlihat jelas bahwa pajak itu merupakan salah satu alat kepentingan penguasa. 13 Berdasarkan latar belakang di atas, maka pada pembahasan ini penulis tertarik untuk

12

Adiwarman Azwar Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, h. 46.

13

Gusfahmi,Pajak menurut Syariah, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2007), ed.ke 1, h. 24.


(17)

membahas masalah perpajakan dengan judul “Praktik Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Perspektif Hukum Islam”. Pembahasan ini berdasarkan Undang-undang No. 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Pembatasan dan Perumusan Masalah

Masalah pajak adalah masalah negara dan setiap orang yang hidup dalam suatu negara harus berurusan dengan pajak, oleh karena itu masalah pajak juga menjadi masalah seluruh rakyat dalam negara tersebut. Dengan demikian setiap orang sebagai anggota masyarakat suatu negara harus mengetahui segala permasalahan yang berhubungan dengan pajak.

Dari latar belakang yang telah diuraikan, maka terlihat betapa seriusnya pemerintah dalam upaya untuk memungut pajak dari warga negaranya, walaupun tidak terdapat Undang-Undang yeng menjelaskan serara rinci dari definisi pajak itu sendiri. Tertarik dengan hal itu, maka pada pembahasan penelitian ini penulis berupaya mengkaji lebih jauh tentang pemungutan Pajak pertambahan Nilai (PPN). Penulis ingin merumuskan beberapa hal yang terkait dalam pembahasan skripsi ini sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan pajak dan zakat dalam Islam?

2. Bagaimanakah teori dan aplikasi peraktik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut hukum Islam?


(18)

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Pembahasan dalam penelitian ini secara umum bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang peraktik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Selanjutnya, di harapkan dapat memeperoleh gambaran yang jelas mengenai hal tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dengan jelas kedudukan pajak dan zakat dalam hukum Islam.

b. Untuk mengetahui dengan jelas teori dan aplikasi peraktik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut hukum Islam. 2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, yaitu :

a. Manfaat yang bersifat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang perpajakan di Indonesia, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN). b. Manfaat yang bersifat praktis, sebagai upaya bagi pemerintah untuk

membuat Undang-Undang yang mengatur tentang pemungutan pajak yang sesuai dengan hukum Islam.

Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian kualitatif normatif yaitu suatu penelitian yang bersumber dari bahan bacaan


(19)

yang dilakukan dengan cara penelaahan naskah. Data-data yang diperlukan dalam pembahasan skripsi ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan.

Adapun data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu yaitu data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku serta sumber lainnya yang berkaitan dengan materi skripsi ini. Dengan metode ini penulis memperoleh data dengan mengumpulkan, mempelajari serta menelaah buku-buku bacaan yang sesuai dengan judul penelitian.

Sedangkan untuk metode pengumpulan data, penulis menggunakan studi pustaka serta studi dokumentasi, yaitu metode yang didasarkan pada sumber dokumen atau bahan bacaan. Data yang telah terkumpul diseleksi dan disusun kemudian dianalisa dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu menerangkan secara sistematis dengan meneliti permasalahan yang ada pada tulisan ini untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan sehingga membentuk suatu karya tulis yang mencerminkan satu kesatuan yang utuh.

Adapun teknik penulisan dan penyusunan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”.

Review Terhadap Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian terdahulu, penulis hanya menemukan dua penulis lain yang membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai. Seperti yang dilakukan oleh Fauziah (Tahun 2005) yang berjudul “Perbandingan Mekanisme Penghitungan Pajak


(20)

Pertambahan Nilai Pada Kredit Kendaraan Bermotor dan Murabahah (Studi Kasus BNI Konvensional dan BNI Syariah)”.

Isi dari penelitian yang ditulis Fauziah yaitu: Pembahasan tentang Pengertian PPN, Mekanisme Pemungutan PPN, Objek dan Subjek PPN, Dasar Pengenaan Pajak, serta Tarif PPN, Pengertian Kredit dan Unsur-unsurnya, Jenis-jenis Kredit, Analisis Penentuan Besarnya kredit untuk konsumtif, Definisi Murabahah, Landasan Syariah, Jenis-jenis Murabahah serta aplikasinya dalam perbankan Islam.

Sedangkan kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan Fauziah yaitu:

a. Komposisi angsuran yang ada pada kredit kendaraan maupun murabahah hampir sama, yaitu sama-sama dalam angsuran tersebut terdiri dari nilai pokok dan harga jual termasuk PPN dan PPnBM. Yang membedakan yaitu, pada kredit terdiri dari bunga, sedangkan murabahah terdiri dari margin atau nisbah bagi hasil.

b. Komponen bungan terdiri dari cost of fund, biaya operasional, cadangan resiko kredit macet, laba yang diinginkan serta pajak.

c. Komponen murabahah terdiri dari peta persaingan, target pembiayaan, target dana pihak ketiga, target pendapatan, dan target biaya operasional.

d.Penghitungan kredit dengan Efektif In Area Rates/ Sliding Rate, sedangkan murabahah dengan Flat Rate.

e. Pengenaan PPN pada kredit kendaraan dan murabahah dilakukan sekali yaitu pada saat penyerahan barang dari supplier/dealer kepada nasabah.

f. Penghitingan PPN berdasarkan mekanisme kredit pajak.


(21)

Sedangkan penulis lainnya yaitu Nurahdiyani HM (tahun 2007) yang berjudul, Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Pajak Pertambahan Nilai Pada Produk Murabahah di Bank Muamalat Indonesia.

Isi dari penelitian Nurahdiyani yaitu: Pengertian serta jenis-jenis Pajak, Gambaran Umum Pajak Pertambahan Nilai, Pengertian, Mekanisme, Karakteristik, Tipe Pemungutan, Prinsip Pemungutan, Barang Kena Pajak, Jasa Kena Pajak, Objek dan Subjek PPN, Dasar Pengenaan serta Tarif PPN, Pengertian Murabahah, landasan Syariah, Syarat-syarat, Jenis murabahah kepada pemesan pembelian, aplikasinya dalam perbankan.

Sedangkan kesimpulan yang dapat diambil dari tulisan Nurahdiyani HM yaitu:

a. Bank Muamalat Indonesia mengenakan PPN hanya sekali yaitu pada saat pembelian barang kepada supplier.

b. Murabahah merupakan produk pembiayaan dalam rangkan perantaraan antara pemilik dana dan pengguna dana.

c. SK Dirjen Pajak No. 243 dan No. 271, tanggal 04 September 2003 menetapkan bahwa murabahah menjadi produk yang dikenai pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang masih berlaku.

d. Adanya ketidak pastian hukum dalam pengenaan PPN pada transaksi murabahah. Sedangkan pada pembahasan skripsi ini penulis membahas tentang PPN termasuk di dalamnya sejarah pemungutan, pengertian dasar pengenaan, penghitungan serta pengkreditannya, subjek dan objek, PPN yang ditanggung oleh


(22)

pemerintah, faktur pajak, dan karakteristik. Sedangkan dalam hukum Islam, penulis membahas tentang pengertian hukum Islam itu sendiri, pajak dalam Islam, sejarah pemungutan zakat dan pajak dalam Islam, dasar hukum pemungutan pajak dalam Islam, persamaan antara zakat dan pajak, serta karakteristik pajak dalam Islam.

Sedangkan kesimpulan dari tulisan ini yaitu:

a. Pajak dikenal dalam hukum Islam dengan sebutan al-dharibah yang memiliki arti beban, wajib, tetap, tentu, dan lain-lain. Sedangkan zakat memiliki arti bersih, suci, berkah, maslahat, dan berkembang. Diantara keduanya terdapat persamaan dan perbedaan.

b. Pajak Pertambahan Nilai tidak boleh dipungut, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Diantaranya yaitu, tidak adanya perbedaan dalam pengenaan tarif pajak yaitu orang yang berpenghasilan rendah serta orang yang berpenghasilan tinggi, tidak adanya kejelasan objek pajak baik yang halal maupun yang haram. Serta PPN tidak dapat diqiyaskan dengan ‘ushr karena ‘ushr merupakan penyeimbangatas apa yang dilakukan oleh orang kafi terhadap orang muslim.

Dari uraian tersebut diatas semua dapat ditarik kesimpulan bahwa skripsi yang ditulis oleh Fauziah (tahun 2005) dan Nurahdiyani HM (tahun 2007) serta penulis terdapat perbedaan dalam pemabahasannya walaupun berpusat pada pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, karena Fauziah (tahun 2005) dan Nurahdiyani HM (tahun 2007) membahas tentang pengenaan PPN pada produk murabahah dalam perbankan sedangkan penulis membahas tentang hukum Islam dari pemungutan PPN itu sendiri.


(23)

Sistematika Penulisan

Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi menjadi empat bab dengan perincian sebagai berikut :

Bab kesatu berisi tentang latar belakang ini menguraikan alasan dan ketertarikan penulis meneliti masalah ini, gambaran secara keseluruhan skripsi, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penulisan dan tehnik penulisan, review terhadap penelitian terdahulu serta sistematika penyusunan.

Bab kedua berisi tentang kerangka teori, pada bab ini penulis akan membahas secara sekilas tentang sejarah pemungutan PPN, pengertian PPN, dasar pengenaan PPN, penghitungan PPN serta pengkreditannya, pemungutan PPN, subjek dan objek PPN, PPN yang ditanggung pemerintah, faktur pajak, karakteristik PPN

Bab ketiga membahas tentang praktik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam perspektif hukum Islam, yang terdiri dari: pengertian hukum islam, pajak dalam Islam, sejarah pemungutan zakat dan pajak dalam hukum Islam, persamaan antara zakat dan pajak karakteristik pajak dalam hukum Islam, serta analisa praktik pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam perspektif hukum Islam.

Bab keempat adalah penutup, pada bab ini penulis memberikan kesimpulan-kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran.


(24)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Sejarah Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

Sejarah pemungutan pajak mengalami perubahan dari masa ke masa yang mana hal ini sesuai dengan perkembangan negara dan masyarakat pada waktu itu, baik dalam bidang kenegaraan maupun dalam bidang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, akan tetapi merupakan suatu pemberian sukarela oleh rakyat kepada raja dalam tujuannya untuk memelihara negara dari segala bentuk kepentingan dan ancaman.14

Akan tetapi dalam perkembangannya pemberian sukarela tersebut berubah sesuai dengan tema dasar penguasa untuk mensiasati rakyatnya agar bersedia menjadi abdi bagi kepentingannya. Dimana penguasa kala itu membangun mitos-mitos bahwa kekuasaan yang berada di tangannya merupakan kekuasaan yang langsung diterima dari Tuhan. Yang pada akhirnya mereka memungut upeti dari rakyatnya sebagai bentuk kesetiaan rakyat terhadap kepentingan penguasanya.15 Hal ini terkait dengan pernyataan E.R.A. Seligmen dengan artikelnya dalam Encyclopedia of the Social Sciences, seperti yang dikutip oleh Masdar F. Mas’udi, dengan pernyataan bahwa:

“Dalam tradisi pemerintahan kuno dan feodal, tax (upeti) telah dikenakan secara paksa tanpa kaitan apa pun dengan aspirasi keadilan. Pungutan ini umumnya

14

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002

), ed. Revisi, cet.ke 4, h. 1.

15

Masdar F. Mas’udi, Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1991), cet.ke 1, h. 104- 105.


(25)

dikenakan atas rakyat jelata yang tak punya pengaruh dan terhadap budak-budak belian”.16

Akan tetapi dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan penguasa saja, tetapi sudah mengarah terhadap kepentingan rakyat itu sendiri.

Dengan adanya perkembangan dalam masyarakat, maka upeti yang merupakan pemberian secara cuma-cuma dengan tidak meninggalkan sifat utamanya yaitu memaksa, kemudian dibuat suatu aturan yang lebih baik agar sifat memaksanya tetap dipertahankan namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Oleh karena itulah, rakyat diikut sertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak yang bertujuan untuk kepentingan rakyat itu sendiri.17 Dan aturan-aturan inilah yang nantinya menjadi cikal bakal dalam praktik pemungutan pajak yang saat ini berlaku yang disebut dengan Undang-undang.

Pajak Pertambahan Nilai ataupun Pajak Penjualan sudah dikenal sejak berabad-abad yang lalu seperti halnya Spanyol yang telah menerapkan pajak penjualan dengan nama “alcabala” dalam abad ke-14 serta di negara-negara lain yang berada di bawah pengaruhnya. Pajak ini dikenakan dengan tarif 10 %.18

Pada tahun 1916, Jerman menerapkan the Stamp Sales Tax untuk membiayai perang dan juga menutup dana yang besar. Pada tahun 1918 dikembangkan menjadi General Turnover Tax yang dikenakan atas seluruh penyerahan barang dan jasa yang

16

Ibid, h. 105.

17

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, hukum Pajak, (Jakarta, Salemba Empat, 2007), ed. 3, h. 5.

18

Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003), ed. Revisi, cet.ke 6, h. 10.


(26)

dilakukan oleh para pengusaha. Dikarenakan banyaknya protes dari para pengusaha kecil atas penerapan pajak tersebut. Pada tahun 1919 Carl Friedrich von Siemens, seorang konsultan pemerintah, mengusulkan the Refined Turnover Tax sebagai pengganti General Turnover Tax akan tetapi usulan ini tidak mendapat perhatian dari penerintah. Dan akhirnya pada tanggal 1 Januari 1968, Jerman menerapkan “Consumption Type Value Added Tax (VAT)” sebagai pengganti General Turnover Tax.19

Akan tetapi Perancis lah yang menerapkan VAT sampai tingkat pedagang besar pada tahun 1954, walaupun Jerman yang pertama kali mencetuskannya. Karena Perancis telah memperluas objek pajaknya sampai dengan penyerahan barang yang dilakukan pedagang eceran. Dan akhirnya negara-negara eropa mensyaratkan VAT bagi setiap negara calon anggota VAT.20

Sedangkan sejarah Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia yang termasuk kedalam kategori pajak tidak langsung, yaitu:21

a. Pajak Pembangunan I (PPbI)

Pajak pembangunan I yang dipungut secara resmi sejak tanggal 1 Juni 1947, dipungut atas rumah makan, penginapan, dan penyerahan jasa di rumah-rumah makan. PPb I merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, akan tetapi sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 1956 PPb I dipungut oleh Pemerintah Daerah sejak tahun 1957.

19

Ibid., h. 10.

20

Ibid., h. 11.

21


(27)

b. Pajak Peredaran 1950 (PPe 1950)

Pajak peredaran dikenakan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia. Dalam pemungutan pajak peredaran dikenakan tarif tunggal yaitu sebesar 2,5 %, dan bersifat kumulatif. Oleh karena itulah dalam penerapannya pajak ini hanya bertahan selama 9 bulan.

c. Pajak Penjualan 1951 (Pajak Pertambahan Nilai 1951)

Pajak penjualan ini di pungut berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1951 yang berlaku sejak tanggal 1 Oktober 1951, yang kemudian ditingkatkan menjadi menjadi undang-undang berdasarkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1953, dan dikenal dengan nama Undang-undang Pajak Penjualan 1951. Tingkat pemungutan dalam undang-undang ini merupakan single stage tax pada tingkat pabrikan sehingga dapat juga dinamakan a manufacturer’s sales tax. Dalam pelaksanaannya Pajak Penjualan ini bersifat kumulatif.

Undang-undang Pajak Penjualan ini mengalami perluasan objek pajak. Perluasan yang pertama dikenakan atas penyerahan 18 jenis jasa berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Prp dan Nomor 21 Prp Tahun 1959. Sedangkan perluasan yang kedua dikenakan atas pemasukan barang dari luar negeri ke Daerah Pabean22 berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1968, yang sebelumnya dikenal dengan nama Pajak Masuk berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Prp Tahun 1960.

22

Daerah Pabean seperti yang tertuang dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 18

Tahun 2000 adalah: “Wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang didalamnya berlaku Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan”.


(28)

d. Pajak Pertambahan Nilai 1984 (PPN 1984)

Untuk mengantisipasi sifat kumulatif Undang-undang Pajak Penjualan 1951 dan bersamaan dengan reformasi perpajakan nasional (tax reform) tahun 1983, maka Undang-undang Pajak Penjualan 1951 diganti dengan Undang–undang Nomor 8 tahun 1983 yang dikenal dengan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Pajak ini termasuk kedalam kelompok Non Cumulative Multi Stage Sales Tax, yang mulai berlaku secara efektif sejak tanggal 1 April 1985. Sifat non kumulatif dalam pajak ini terletak pada mekanisme pemungutannya yang dikenakan pada Nilai Tambah (Added Value) dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.

Pada akhir tahun 1994 diundangkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah yang mulai berlaku sejak 1995. Kemudian pada tahun 2000 diundangkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagai perubahan kedua Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.

B. Pengertian Pajak Pertambahan Nilai

Sebelum membahas tentang Pajak Pertambahan Nilai, ada baiknya kita mengerti apa yang dimaksud dengan pajak itu sendiri. Terdapat banyak definisi pajak yang dikemukakan oleh para ahli, baik dari dalam maupun dari luar negeri.

Diantaranya oleh P.J.A. Adriani:23

23

Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung, PT. Refika Aditama, 2003), ed. 4, cet.ke 1, h. 2.


(29)

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”.

Selain itu juga terdapat definisi yang dikemukakan oleh Rochmat Soemitro:24 “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.

Kemudian disempurnakan dengan beliau, yang isinya sebagai berikut: “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan ‘surplus’-nya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment”.25

Sedangkan yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai yaitu pajak yang dipungut atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam negeri.

Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak maka disebut dengan Pajak Masukan. Pajak Masukan sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pasal 1 ayat (24) yaitu: “Pajak masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dan/atau

24

Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, Perpajakan, (Yogyakarta, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2005), ed. 3, cet. ke 1, h. 2.

25


(30)

pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor barang Kena Pajak”.

Dan sebaliknya apabila Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dijual kepada pembeli maka Pengusaha Kena Pajak memungut Pajak Pertambahan Nilai kepada pembeli yang disebut dengan Pajak keluaran. Pajak keluaran sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pasal 1 ayat (25) yaitu: “Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak atau ekspor Barang Kena Pajak”.

Pajak Pertambahan Nilai merupakan selisih antara Pajak Masukan dengan Pajak Keluaran. Apabila Pajak Masukan lebih besar dibandingkan dengan Pajak Keluaran, maka Pengusaha Kena Pajak berhak untuk memperoleh pengembalian atau dikompensasikan dengan utang pajak dalam Masa Pajak berikutnya. Dan sebaliknya apabila Pajak Keluaran lebih besar dibandingkan dengan Pajak Masukan, maka Pengusaha Kena Pajak wajib menyetorkan selisihnya kepada kas negara.26

C. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagai mana tertuang dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas barang Mewah pasal 1 ayat (17) yaitu: “Dasar

26


(31)

Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang”.

a. Harga Jual

Harga jual sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (18) yaitu: “Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan barang Kena Pajak, tidak termasu Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak”.

b. Penggantian

Penggantian sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (19) yaitu: “Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak”.

c. Nilai Impor

Nilai impor sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (20) yaitu: “Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang itu”.


(32)

d. Nilai Ekspor

Nilai ekspor sebagaimana yang tertuang dalam pasal 1 ayat (26) yaitu: “Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh Eksportir”.

e. Nilai Lain

Nilai lain sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor KMK No. 251/ KMK.03/ 2002 tanggal 13 Mei 2002, dan mulai berlaku 1 Juni 2002 adalah sebagai berikut:

1) Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor.

2) Untuk pemberian cuma-cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak adalah harga jual atau penggantian setelah dikurangi laba kotor. 3) Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah harga jual

rata-rata.

4) Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan harga rata-rata per judul film.

5) Untuk persediaan barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.

6) Untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar.


(33)

8) Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

9) Untuk jasa anjak piutang adalah 5% dari jumlah seluruh Imbalan yang diterima berupa service charge, provisi dan diskon.

10)Untuk jasa pengiriman paket adalah 10% dari jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.

11)Untuk penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau jasa Kena Pajak antar cabang adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor.

12)Untuk penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pedagang Perantara atau melalui juru lelang adalah harga lelang.

D. Penghitungan Pajak Pertambahan Nilai Serta Pengkreditannya

Sebelum penulis membahas tentang penghitungan Pajak Pertambahan Nilai, maka penulis akan membahas besarnya tarif Pajak Pertambahan Nilai. Besarnya tarif Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan pasal 7 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, yaitu:

a. Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).

b. Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen).


(34)

c. Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).

Dalam hal ini pemerintah berwenang dalam menentukan besarnya tarif Pajak Pertambahan Nilai dengan tetap memakai tarif tunggal, berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana pembangunan.

Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai seperti yang telah tersebut di atas yaitu 10% (sepuluh persen) atau 0% (nol persen) dengan Dasar Pengenaan Pajak (Harga Jual, Penggantian, Nilai Ekspor, Nilai Impor, atau Nilai Lain menurut Ketetapan Menteri Keuangan). Dengan demikian besarnya Pajak Pertambahan Nilai dihitung dengan rumus sebagi berikut:

Besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang dihitung dengan menggunakan rumus di atas, merupakan besarnhya Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli.

Contoh :

PT. Ma’irandry adalah produsen roti yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Selama bulan Juni 2006 telah menyumbangkan kepada korban bencana gempa sebanyak 10.000 dos roti kering. Harga per dos roti kering adalah Rp 5.000,00 termasuk laba kotor sebesar 25%. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan barang Kena Pajak secara cuma-cuma kepada korban bencana gempa adalah sebesar Rp 4.000.000,00, yang dihitung sebagai berikut:


(35)

Harga Jual: 10.000 dos x Rp 5.000,00 ...= Rp 50.000.000,00 (-) Laba kotor: 25/125 x Rp 50.000.000,00 ...= Rp 10.000.000,00 Dasar Pengenaan Pajak ... ...= Rp 40.000.000,00 PPN yang terutang: 10% x Rp 40.000.000,00 ...= Rp 4.000.000,00 a. Ketentuan Umum Pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai

Ketentuan tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran adalah sebagai berikut:

1) Syarat utama pengkreditan pajak adalah Faktur Pajak.

2) Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran dilakukan pada Masa Pajak yang sama.

3) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.

4) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 pasal 9 ayat (3), maka apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha kena Pajak. Sedangkan dalam pasal 9 ayat (4) dijelaskan bahwa, apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat


(36)

dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Contoh :

PT Mekarsari sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha kena Pajak oleh Kantor Pelayanan Pajak Depok. Berikut ini adalah informasi berkaitan dengan Pajak masukan yang telah dibayar dan Pajak Keluaran yang dipungut oleh PT Mekarsari selama Masa Pajak Januari dan Februari 2006.

1) Masa Pajak Januari 2006

a) Pajak yang telah dibayar saat perolehan Barang Kena Pajak = Rp 9.000.000,00 b) Pajak Keluaran yang telah dipungut ...= Rp 5.000.000,00 2) Masa Pajak Februari 2006

a) Pajak yang telah dibayar saat perolehan Barang Kena Pajak = Rp 9.000.000,00 b) Pajak Keluaran yang telah dipungut ...= Rp 11.000.000,00 Besarnya pajak yang lebih dibayar untuk Masa Pajak Januari 2006 dan Februari 2006 adalah sebagai berikut:

1) Masa Pajak Januari 2006

a) Pajak Keluaran ...= Rp 5.000.000,00 b) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan...= Rp 9.000.000,00 c) Pajak yang lebih dibayar ...= Rp 4.000.000,00 2) Masa Pajak Februari 2006


(37)

b) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan ...= Rp 9.000.000,00 c) Pajak yang kurang dibayar ...= Rp 2.000.000,00 d) Pajak yang lebih dibayar pada Masa Pajak sebelumnya

(Januari 2006) ...= Rp 4.000.000,00 e) Pajak yang kurang dibayar Masa Februari 2006 ...= Rp 2.000.000,00 Pajak yang lebih dibayar sebesar Rp 2.000.000,00, dapat diajukan permohonan restitusi atau dikompensasi dengan Masa Pajak Maret 2006.

b. Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan

Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 9 ayat (8) dan pasal 16B ayat 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, bahwa Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan yaitu:

1) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

2) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha;

3) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan kombi kecuali sebagai barang dagangan atau disewakan;

4) Pajak Masukan atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah Pabean di dalam


(38)

Daerah Pabean, sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

5) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang bukti pungutan pajaknya berupa Faktur Pajak Sederhana;

6) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (5);

7) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean yang faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (6)27;

8) Pajak Masukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

9) Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang diketemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan;

27

Bunyi pasal 13 ayat (6), yaitu: Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak.


(39)

10)Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

c. Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto

Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 252/KMK.03/2002 dan Nomor 253/KMK.03/2002. pedoman menghitung yang berdasarkan keputusan tersebut adalah sebagai berikut:28

1) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak uang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran, sebesar 80% dari Pajak Keluaran; 2) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak uang dilakukan selain oleh

Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran, sebesar 70% dari Pajak Keluaran;

3) Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak, sebesar 40% dari Pajak Keluaran. 4) Pajak Keluaran dihitung dengan cara mengalikan nilai peredaran bruto

dan atau penerimaan bruto (tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai) yang terutang Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang bersangkutan dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai.

28


(40)

Sedangkan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang penghitungan PPh-nya tidak menggunakan norma penghitungan penghasilan neto berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 253/KMK.03/2002, yaitu apabila:29

1) Pengusaha Orang Pribadi atau Badan selaku Pedagang Eceran dengan jumlah peredaran bruto kurang dari Rp 600.000.000,00 dan atau lebih dari Rp 600.000.000,00 setahun serta mampu menyelenggarakan pembukuan.

2) Penyerahan barang dagangan yang dilakukan terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% (sepuluh persen) dari Harga Jual pada SPT Masa PPN.

3) Wajib membuat Faktur Pajak, memungut dan menyetor pajak yang terutang serta melaporkannya.

4) Pengkreditan Pajak Masukannya menggunakan pola yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Nomor 8 Tahun 1984.

Contoh:

Arif Permana mengelola sebuah toko elektronik “Suramadu”. Selain menjual barang-barang elektronik, Arif Permana juga melayani service perlengkapan elektronik. Pajak Penghasilan-nya dihitung menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto. Dalam bulan Juli 2005 memperoleh peredaran bruto:

29


(41)

1) Dari penyerahan barang elektronik Rp 55.000.000,00 termasuk Pajak Pertambahan Nilai;

2) Dari penyerahan service elektronik Rp 7.700.000,00 termasuk Pajak Pertambahan Nilai.

Pajak Masukan sehubungan dengan perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam bulan Juli 2005 berdasarkan Faktur Pajak Standar adalah Rp 3.450.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar ke kas negara untuk Masa Pajak Juli 2005 dihitung sebagai berikut:

1) Pajak keluaran:

a) Penyerahan Barang Kena Pajak =

10/110 x Rp 55.000.000,00 ... = Rp 5.000.000,00 b) Penyerahan Jasa Kena Pajak =

10/110 x Rp 7.700.000,00 ... = Rp 700.000,00

Rp 5.700.000,00 2) Pajak masukan:

a) Penyerahan Barang Kena Pajak =

80% x Rp 5.000.000,00 ... = Rp 4.000.000,00 b) Penyerahan Jasa Kena Pajak =

40% x Rp 700.000,00... = Rp 280.000,00

Rp 4.280.000,00 Pajak pertambahan Nilai disetor ke kas negara ...= Rp 1.420.000,00


(42)

d. Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusahan Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Tidak Terutang Pajak Pertambahan Nilai

1) Apabila penyerahan yang terutang dan tidak terutang dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.

2) Apabila penyerahan yang terutang dan tidak terutang tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 adalah sebagai berikut:

a) Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Barang Modal yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, serta kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Maka dihitung dengan rumus, sebagai berikut:

p’ x

T PM

p’ : Prosentase rata-rata penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain yang tidak terutang PPN dan atau dibebaskan dari PPN dalam satu tahun buku.

T : Masa manfaat Barang Modal yang ditentukan sebagai berikut: - untuk bangunan 10 tahun.

- untuk Barang Modal lainnya 5 tahun.

PM : Jumlah Pajak Masukan atas perolehan dan atau pemeliharaan Barang Modal yang telah dikreditkan.


(43)

Contoh:

Pada bulan April 2005 Ramadhan membeli generator listrik dengan maksud digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik.

1) Nilai Perolehan ...=Rp100.000.000,00 2) Pajak Pertambahan Nilai (Pajak Masukan) ...=Rp 10.000.000,00 Pajak Masukan sudah dikreditkan seluruhnya dalam SPT Masa PPN Masa Pajak April 2005. Selama tahun 2005 ternyata bahwa:

1) Untuk Masa 6 bulan I digunakan:

a) 45% untuk perumahan karyawan dan direksi; b) 55% untuk kegiatan pabrik.

2) Untuk Masa 6 bulan II digunakan:

a) 35% untuk perumahan karyawan dan direksi; b) 65% untuk kegiatan pabrik.

Rata-rata penggunaan di luar kegiatan usaha yang berhubungan langsung dengan usaha (p’) adalah:

2 % 35 % 45 +

= 40%

Masa manfaat Barang Modal 5 tahun .

Besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali untuk tahun 2005 adalah:

40% x

5

00 , 000 . 000 . 10 Rp


(44)

Jadi, Pajak Masukan yang harus dikembalikan untuk tahun 2005 adalah sebesar Rp 800.000,00. Sedangkan untuk tahun-tahun selanjutnya, maka harus memakai rumus yang sama dengan penyesuaian atas p’.

b) Pengusaha kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu campuran, menghasilkan atau memperdagangkan barang dan atau jasa, yang terutang Pajak Pertambahan Nilai dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai. Dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya. Maka wajib menghitung kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan dengan rumus, sebagai berikut:

• Barang Modal

• Bukan Barang Modal

Contoh:

PT Khayangan melakukan perhitungan kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan atas pembelian 2 buah truk yang digunakan dalam penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang PPN dan penyerahan yang tidak terutang PPN. Pajak Masukan sebesar Rp 50.000.000,00 (10/110 x Rp 550.000.000,00) atas pembelian

Y X

x

T PM

Y X

x PM

X : Jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang PPN atau yang dibebaskan dari pengenaan PPN selama satu tahun.

Y : Jumlah seluruh peredaran selama satu tahun buku.

T : Masa manfaat Barang Modal yang ditentukan sebagai berikut:

- untuk bangunan 10 tahun.

- untuk Barang Modal lainnya 5 tahun.


(45)

truk tersebut telah dikreditkan pada Masa PPN bulan Maret 2003. Masa manfaat truk sesuai dengan ketentuan yang berlaku selama 5 tahun. Untuk biaya operasional truk selama tahun 2003, telah dibeli BBM dari depo Pertamina sebesar Rp 4.000.000,00, dan PPN-nya sebesar Rp 400.000,00 telah dikreditkan.

Dari pembukuan diketahui bahwa jumlah penyerahan yang tidak terutang PPN selama tahun 2003 adalah Rp 150.000.000,00, sedangkan jumlah penyerahan yang terutang PPN sebesar Rp 750.000.000,00.

Pajak Masukan yang harus dikembalikan dihitung sebagai berikut: 1) Untuk Barang Modal:

0,00 750.000.00 Rp

0,00 150.000.00 Rp

X

5

,00 50.000.000 Rp

...= Rp 2.000.000,00

2) Untuk bukan Barang Modal:

0,00 750.000.00 Rp

0,00 150.000.00 Rp

X Rp 400.000,00...= Rp 80.000,00

Jumlah ...= Rp 2.080.000,00

E. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

1. Dasar Hukum Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

Pasal 1 angka 27 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah merumuskan bahwa: “Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha


(46)

Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut”.

2. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

Yang kedalam pemungut Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:30 a. Instansi Pemerintah

1) Kantor Perbendaharaan Negara.

2) Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah. b. Badan-badan tertentu:

1) Pertamina.

2) Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di bidang pertambangan.

3) Badan Usaha Milik Negara dan Milik Daerah. 4) Bank Pemerintah dan Bank Pembangunan Daerah. 5) Bank Indonesia

3. Teori Pemungutan Pajak31 a. Teori Asuransi

Yang dimaksud dengan asuransi di sini adalah sama dengan pengertian asuransi yang sudah kita kenal, yaitu untuk menjaga dan melindungi keselamatan dan keamanan jiwa dan juga harta benda. Jadi dalam teori ini dalam pemungutan pajak

30

Untung Sukardji, Pajak Pertambahan Nilai , h. 370.

31


(47)

dapat kita katakan bahwa negara berperan dalam melaksanakan tugasnya untuk melindungi semua orang dan juga harta bendanya.

Oleh karena itulah untuk mewujudkan semua itu maka diperlukan pembayaran pajak yang dikatakan sebagai premi yang harus dibayarkan oleh masing-masing orang. Akan tetapi dalam prakteknya masih terdapat banyak kejanggalan antara negara dengan perusahaan asuransi, diantaranya:

1) Ketika terdapat kerugian tidak terdapat penggantian oleh negara, karena yang mengganti kerugian tersebut adalah perusahaan asuransi. 2) Tidak adanya hubungan secara langsung antara pembayaran pajak

yang dianggap sebagai suatu premi dengan jasa yang diberikan oleh negara.

Akan tetapi dalam kenyataannya teori ini tetap dipertahankan karena dapat dijadikan dasar hukum dalam memungut pajak. Namun para ahli menganggap bahwa dalam pemungutan pajak berdasarkan teori ini tidaklah terdapat suatu keadilan, karena dapat merugikan salah satu pihak yaitu perusahaan asuransi.

b. Teori Kepentingan

Teori kepentingan adalah teori yang hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya berdasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Dalam teori inipun terdapat banyak sanggahan karena dalam ajarannya pajak dikacaukan dengan retribusi, sehingga memaksa untuk membayar pajak lebih banyak.


(48)

c. Teori Gaya Pikul

Yang dimaksud dengan teori gaya pikul yaitu teori yang menjadikan dasar keadilan pemungutan pajak berdasarkan jasa-jasa yang diberikan oleh negara kepada warganya. Oleh karena itulah asas keadilan menjadi suatu yang pokok dalam pemungutan pajak berdasarkan teori ini, dengan kata lain seorang Wajib Pajak yang pajaknya dipungut oleh fiskus harus diperlakukan secara adil dengan Wajib Pajak yang lain tanpa adanya tekanan dari beberapa pihak.

W. J. Langen seperti yang dikutip oleh Bohari memberikan arti bahwa: “Gaya pikul adalah kekuatan untuk membayar uang kepada negara, jadi untuk membayar pajak, setelah dikurangi dengan minimum kehidupan (basic needs)”.32

A. J. Cohen Stuart seperti yang dikutip oleh Bohari berpendapat bahwa: “Gaya pikul adalah sama dengan sebuah jembatan, yang pertama-tama harus dapat memikul bobotnya sendirisebelum dicoba untuk dibebaninya dan menyerahkan ajaranbahwa yang sangat diperlukan untuk kehidupan harus tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul”.33

d. Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti

Teori ini mengajarkan bahwa negara merupakan sekumpulan dari individu-individu maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak dari warganya. Dan bagi warganya, bahwa membayar pajak termasuk rasa baktinya kepada negara.34

e. Teori Asas Daya Beli

32

Bohari, Pengantar Hukum Pajak, h. 38.

33

Ibid., h. 39.

34


(49)

Menurut teori ini, bahwa fungsi dari pemungutan pajak yaitu untuk memelihara hidup masyarakat serta membawa ke arah tertentu. Dengan kata lain yaitu mengambil daya beli dari masyarakat untuk disalurkan kembali kepada masyarakat.35

4. Asas Pemungutan Pajak

Menurut Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into the Nature and causes of the Wealth of Nations (dikenal dengan nama Wealth of Nations) terdapat empat asas pemungutan pajak yang dikenal dengan “four canons taxation” atau sering disebut dengan “The four Maxims” seperti yang dikutip oleh Ahmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein, dengan uraian sebagai berikut:36

a. Equality and Equity

Dalam masalah equality seorang fiskus harus mengenakan pajak yang besarannya sama kepada setiap Wajib Pajak berdasarkan keadaan yang sama pada setiap Wajib Pajak. Oleh karena itulah apabila seorang Wajib Pajak mempunyai pengeluaran yang lebih besar dalam kebutuhan hidup primer bagi keluarganya, jika dibandingkan dengan Wajib Pajak yang mempunyai pengeluaran yang lebih kecil, maka pengenaan pajaknya akan berbeda walaupun dengan penghasilan yang sama.

Lain halnya dalam masalah equity, bahwa seorang fiskus harus memperlakukan setiap Wajib Pajak dengan perlakuan yang adil. Akan tetapi tidak pada kasus-kasus tertentu dimana terdapat suatu perbedaan yang sangat signifikan,

35

Ibid., h. 19.

36


(50)

karena sesuatu yang diterapkan adil dalam sesuatu yang sifatnya umum belum tentu adil dalam sesuatu yang sifatnya khusus, dalam hal ini dalam suatu kasus tertentu.

Equity atau kepatutan mempunyai fungsi, sebagai berikut:

1) Jus adjuvandi, untuk menyesuaikan hukum, dalam hal ini agar tidak melenceng dari hukum yang telah berlaku.

2) Jus sppelendi, untuk menambah hukum, karena dalam penerapannya terdapat kasus-kasus yang lebih kompleks.

3) Jus corrigendi, untuk mengoreksi hukum, karena dalam penerapannya terdapat beberapa masalah yang harus diselesaikan dalam rangka memperoleh keadilan.37

b. Certainty

Dalam hal ini fiskus harus memberitahu Wajib Pajak dengan pasti dalam pembayaran pajak yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak mengenai besaranya pajak yang harus dibayarkan, waktu pembayaran, tempat pembayaran, maupun cara pembayarannya. Dalam asas ini kepastian hukum tentang subjek pajak maupun objek pajak yang lebih ditekankan

c. Conveniency of Payment

Dalam hal ini fiskus harus memungut pajak pada saat yang mengenakkan atau pada saat Wajib Pajak merasa tidak terbebani atau dapat dikatakan juga pada saat yang tepat, yaitu pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan.

d. Low Cost of Collection

37


(51)

Dalam hal ini fiskus yang memungut pajak tidak boleh mengenakan biaya pemungutan yang besarannya lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah pajak yang masuk.

Sedangkan menurut Achmad Tjahjono dan Muhammad Fakhri Husein dalam buku “Perpajakan”, yang termasuk dalam asas pemungutan pajak, yaitu:38

a. Asas Domisili

Yang dimaksud dengan domisili disini, yaitu negara dimana Wajib Pajak tinggal dan dikenakan pajak atas penghasilan Wajib Pajak yang tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang didapat dari dalam negeriu maupuan luar negeri. Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan bagi warga negara asing maka pajak dikenakan setelah menetap di negara Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya.

b. Asas Sumber

Dalam asas ini, apabila seseorang berpenghasilan dari Indonesia maka negara Indonesia berhak memungut pajak kepada orang tersebut baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, walaupun bertempat tinggal di Indonesia ataupun di luar Indonesia selama orang tersebut memperoleh penghasilan dari Indonesia.

c. Asas Kebangsaan

38


(52)

Dalam asas ini pajak dikenakan atas hubungannya dengan kebangsaan suatu negara. Oleh karena itulah, apabila terdapat seseorang mempunyai hubungan kebangsaan maka ia akan dikenakan pajak walaupun bertempat tinggal di luar negeri.

5. Sistem Pemungutan Pajak

P.J.A. Adriani seperti yang dikutip oleh Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan membagi sistem pemungutan pajak menjadi tiga bagian, yaitu:39

a. Wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

b. Adanya kerja sama antara wajib pajak dengan fiskus. c. Fiskus menentukan jumlah pajak yang terutang.

Akan tetapi pada saat ini sistem pemungutan pajak dibedakan menjadi:40 a. Official Assessment System

Dalam sistem ini fiskus berperan aktif dalam menghitung dan menentukan besarnya pajak yang terutang berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan oleh fiskus. Dan sebaliknya wajib pajak berperan secara pasif dengan hanya membayar pajak yang ditentukan oleh fiskus. Di Indonesia sistem ini digunakan dalam memungut Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

b. Self Assessment System

Dalam sistem ini wajib pajak berperan aktif dalam menghitung, menetapkan, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak yang terutang. Dan sebaliknya fiskus

39

Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2005), ed.ke 1, h. 107.

40


(53)

berperan secara pasif dengan hanya mengawasi wajib pajak yang mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) yang diberikan fiskus apakah sudah diisi dengan lengkap dan benar atau belum. Di Indonesia sistem ini digunakan dalam memungut Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi dan Badan serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

c. With Holding System

Dalam sistem ini pihak ketiga merupakan pihak yang berperan aktif dalam menghitung, menetapkan, menyetorkan, dan melaporkan besarnya pajak yang terutang. Sedangkan fiskus dan wajib pajak berperan secara pasif.

6. Tata Cara Pemungutan Pajak41 a. Stelsel Nyata

Dalam stelsel nyata pemungutan pajak didasarkan oleh objek pajak atau penghasilan sesungguhnya yang diterima oleh Wajib Pajak dalam satu tahun pajak. Oleh karena itulah, besarnya jumlah pajak yang terutang menunjukkan kondisi yang sebenarnya dari Wajib Pajak.

b. Stelsel Anggapan

Dalam stelsel anggapan pengenaan pajak yang dibebankan kepada Wajib Pajak berdasarkan pada suatu anggapan yang ditunjukkan oleh Undang-undang. Dengan kata lain Wajib Pajak dapat mengetahui besarnya pajak terutang apabila penghasilan tahun berjalan disamakan dengan penghasilan tahun sebelumnya. Dan sebaliknya Wajib Pajak tidak dapat mengetahui besarnya pajak terutang apabila penghasilan tahun berjalan tidak disamakan dengan penghasilan tahun sebelumnya.

41


(54)

c. Stelsel Campuran

Stelsel campuran merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan stelsel anggapan. Pengenaan pajak dilakukan pada awal tahun berjalan berdasarkan anggapan yang ditentukan Undang-undang, dan kemudian jumlah pajak terutang dikoreksi pada akhir tahun.

Apabila jumlah pajak yang ditentukan pada awal tahun lebih kecil dibandingkan dengan jumlah pajak yang dihitung pada akhir tahun, maka koreksi dilakukan untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar. Dan apabila sebaliknya, maka koreksi dilakukan untuk menentukan besarnya pajak yang lebih dibayar dan dimintakan restitusi (pengembalian).

F. Subjek dan Objek Pajak Pertambahan Nilai

Yang termasuk dalam subjek pajak dalam Pajak Pertambahan Nilai seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, yaitu:

1. Pengusaha Kena Pajak.

Yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak yaitu pengusaha yang apabila melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto melebihi Rp. 600.000.000,00 selama satu tahun buku.

2. Pengusaha Yang Memilih Menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha Kecil yang memilih menjadi Pengusaha Kena Pajak, yaitu Pengusaha Kecil yang termasuk ke dalam:


(55)

b. Pedagang yang menjual Barang Kena Pajak kepada pengusaha Kena Pajak.

3. Orang Pribadi atau Badan yang Melakukan Pembangunan Rumahnya Sendiri Dengan Persyaratan Tertentu, berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 332/KMK.03/2002 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-387/PJ./2002 yaitu:

a. Pembangunan tersebut dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain.

b. Peruntukan bangunan tersebut adalah untuk tempat tinggal atau tempat usaha.

c. Luas bangunan 200 m2 atau lebih. d. Bangunan bersifat permanen.

e. Tidak dibangun dalam lingkungan real estate.

4. Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan barang Kena Pajak tidak berwujud atau jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

5. Subjek Pajak Pajak Pertambahan Nilai yang diwajibkan oleh Undang-undang dalam rangka membantu pemerintah melakukan mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.


(56)

Sedangkan yang termasuk objek pajak dalam Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, yaitu:

1. Penyerahan Barang Kena Pajak, berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut: a. Barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak. b. Barang yang tidak berwujud yang dikenakan merupakan barang Kena

Pajak tidak berwujud.

c. Penyerahan dilakukan di Daerah Pabean.

d. Penyerahan dilakuakan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan pengusaha yang bersangkutan.

2. Impor Barang Kena Pajak.

3. Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh pengusaha, berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:

a. Jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak. b. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean.

c. Penyerahan dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan pengusaha yang bersangkutan.

4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.


(57)

7. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan.

8. Penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

Barang Kena Pajak sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah barang yang berwujud dan tidak berwujud yang menurut sifat dan hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak yantg dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 pasal 4A ayat (2) dan Peraturan Pemerintah Nomor 144 tahun 2000 pasal 1 - 4, yaitu:

1. Barang hasil Pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, yaitu:

a. Minyak mentah

b. Gas bumi, dalam hal ini tidak termasuk gas bumi yang siap dikonsumsi langsung olrh masyarakat seperti elpiji;

c. Panas bumi; d. Pasir dan kerikil;


(58)

f. Biji besi, biji timah, biji emas, biji tembaga, biji nikel, dan biji perak serta biji bauksit.

2. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, yaitu:

a. Beras; b. Gabah; c. Jagung; d. Kedelai;

e. Garam baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium.

3. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya. Dalam hal ini baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh jasa boga atau catering.

4. Uang, emas batangan, dan surat-surat berharga.

Sedangkan Jasa Kena Pajak sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1 ayat (5) dan (6) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.


(59)

Jenis jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 pasal 4A ayat (3) dan Peraturan Pemerintah Nomor 144 tahun 2000 pasal 5 - 16, yaitu:

1. Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik, meliputi: a. Jasa dokter umum, dokterspesialis, dan doktergigi; b. Jasa dokter hewan;

c. Jasa ahli kesehatan seperti akupuntur, ahli gigi, ahli gizi, dan fisioterapi; d. Jasa kebidanan, dukun bayi;

e. Jasa paramedis, parawat;

f. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium; dan

g. Jasa pengobatan alternatif, psikolog, dan paranormal. 2. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:

a. Jasa pelayanan Panti Asuhan dan Panti Jompo;

b. Jasa pemadam kebakaran kecuali yang bersifat komersial; c. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan;

d. Jasa Lembaga Rehibilitasi kecuali yang bersifat komersial; e. Jasa pemakaman termasuk krematorium;

f. Jasa di bidang olah raga kecuali yang bersifat komersial. 3. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko;

4. Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi:


(60)

a. Jasa perbankan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak (perjanjian), serta anjak piutang;

b. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi; dan c. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.

5. Jasa di bidang keagamaan, meliputi: a. Jasa pelayanan rumah-rumah ibadah; b. Jasa pemberian khotbah atau dakwah; dan c. Jasa lainnya di bidang keagamaan.

6. Jasa di bidang pendidikan, meliputi:

a. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan

b. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus-kursus. 7. Jasa dibidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan Pajak Tontonan,

termasuk Jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma;


(61)

8. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial;

9. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air; 10.Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:

a. Jasa tenaga kerja;

b. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang Pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan c. Jasa penyelenggaraan latihan bagi tenaga kerja.

11.Jasa di bidang perhotelan, meliputi:

a. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan

b. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

12.Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, termasuk didalamnya jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan, pemberian Izin Usaha Perdagangan, pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, serta pembuatan Kartu Tanda Penduduk.


(1)

Oleh karena itulah, berdasarkan atas apa yang telah penulis uraikan, maka penulis berkesimpulan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diterapkan di Indonesia tidak boleh dipungut, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.


(2)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menguraikan, membahas serta menganalisa teori dan aplikasi peraktik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maka pada bab akhir ini penulis menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pajak dikenal dalam hukum Islam dengan sebutan al-dharibah yang memiliki arti beban, wajib, tetap, tentu, dan lain-lain. Sedangkan zakat memiliki arti bersih, suci, berkah, maslahat, dan berkembang. Zakat dan pajak memiliki beberapa persamaan, diantaranya yaitu: adanya paksaan, adanya pengelola, serta adanya tujuan yang sama. Selain itu zakat dan pajak juga memiliki beberapa perbedaan, diantaranya yaitu: nama, dasar hukum dan sifat kewajibannya, objek, persentase serta pemanfaatannya.

2. Dalam hukum Islam teori dan peraktik pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak dibenarkan adanya, karena tidak adanya kejelasan pengkonsumsian barang ataupun jasa baik yang halal ataupun yang haram. Selain itu pula, bahwa pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan kepada seluruh golongan masyarakat, maka dari itu golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah akan terkena pungutan dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehingga mereka akan mempunyai beban lebih. Pengenaan pajak


(3)

pada sejumlah jenis barang ataupun jasa pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan berdampak bahwa barang berada pada harga yang di atas sewajarnya. Jika Pajak Pertambahan Nilai (PPN) diqiyaskan dengan ‘Ushr adalah tidak benar adanya karena ‘ushr merupakan penyeimbang atas apa yang dilakukan oleh orang kafir kepada umat Islam. Berdasarkan itu semua, maka penulis berkesimpulan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi suatu pajak yang tidak boleh dipungut, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

B. Saran

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Majelis Ulama Indonesia (MUI) hendaknya membuat fatwa yang menyatakan

bahwa pajak (dharibah) dibolehkan dalam Islam berdasarkan Quran, al-Hadits serta ijma’ para sahabat. Akan tetapi, pajak yang dimaksudkan di sini yaitu bukanlah pajak seperti yang telah dipraktikkan di negara Indonesia. Oleh karena itulah, pajak-pajak di Indonesia perlu di reformasi terlebih dahulu agar sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam sebelum diperbolehkan.

2. Pajak (dharibah) merupakan suatu kewajiban tambahan selain zakat. Oleh karena itulah, hendaknya pajak (dharibah) dan zakat dikelola dalam satu pengelolaan di bawah pengawasan Departemen Keuangan RI (DepKeu). 3. Setidaknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemeritah meninjau

kembali RAPBN dalam setiap tahunnya, agar apa yang dicita-citakan dari pemungutan pajak dapat terealisasikan dengan baik dan benar.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta, Departemen Agama RI, 1997.

Abdullah, Muhammad ibn Bahram Darimi, Sunan al-Darimi, Beirut, Dar al-Fikr, Jilid 1, 1990.

Ali, M. Daud, Hukum Islam- Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta, Pustaka Asatruss, cet.ke-1, 2005.

Azwar Karim, Adiwarman, Ir., H., SE., M.B.A., M.A.E.P., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, , 2001.

Bohari, H., S.H., M.S.,Pengantar Hukum Pajak, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, ed. Revisi, cet.ke 4, 2002.

Brotodihardjo, R., Santoso, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT. Refika Aditama, ed. 4, cet.ke 1, 2003.

Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Edisi terj. oleh Ikhwan Abidin Basri, Jakarta, Gema Insani Press, cet.ke-1, 2000.

Dewi, Gemala, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan Dan Peransuransian Syari’ah Di Indonesia, Jakarta, Kencana, cet.ke 1, 2006.

Fani, Sumber Hukum Islam, Hukum Taklifi dan Hukum Wad’I,artikel diakses pada 4 Maret 2009 dari http://ahmadlabib.files.wordpress.com/2008/11/sumber-hukum-islamfani.ppt.

Gusfahmi, SE., MA., Pajak Menurut Syariah, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, ed.ke-1, 2007.

Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Jakarta, Gema Insani Press, cet.ke 5, 2007.

http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php.

Ibrahim Muhammad, Quthb, Kebijakan Ekonomi Umar bin Khaththab, Jakarta, Pustaka Azzam, cet.ke 1, 2002.


(5)

Ilyas, Wirawan B. dan Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta, Salemba Empat, ed. 3, 2007.

Inayah, Gazi, Teori Komprehensip Tentang Zakat dan Pajak, Edisi terj. Zainudin Adnan dan Nailul Falah, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya, cet.ke 1, 2003.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 253/KMK.03/2002, tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Dagangan Oleh Pedagang Eceran selain Yang Menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto.

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575KMK.04/2000, tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang Terutang Pajak Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak.

Mas’udi, Masdar F., Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) Dalam Islam, Jakarta, Pustaka Firdaus, cet.ke 1, 1991.

Muslim, Abi Husain bin Haj Qusyairi Naisaburi: Muhammad Fuad Abd al-Baqi, Shahih Muslim, Riyadh, Dar-Salam, Juli 1998.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor: PER- 159/ PJ./2006, tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar.

Peraturan Pemerintah Nomor: 144 Tahun 2000, tentang Jenis Barang Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Qardhawi, Yusuf, Fiqhu al-Zakat, Libanon, Beirut, cet.ke-2, 1973.

Rosdiana, Haula, Dra., M.Si., dan Drs. Rasin Tarigan, M.Si., Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, ed. 1, 2005.

Soemitro, Rochmat, Prof., Dr., H., S.H., Asas Dan Dasar Perpajakan I, Bandung, PT. Rafika Aditama, ed. Revisi, cet.ke 5, 1998.

Sukardji, Untung, Pajak Pertambahan Nilai, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, ed. Revisi, cet.ke 6, 2003.

__________, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, ed. Revisi, cet.ke 2, 2004.


(6)

Tjahjono, Achmad, Drs., M.M., Ak., dan Muhammad Fakhri Husein, SE., M.Si., Perpajakan, Yogyakarta, Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, ed. 3, cet. ke 1, 2005.

Undang-Undang No. 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2000, tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Peenjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM).

Wiwoho, B, et., al., Zakat dan Pajak, ,Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, cet.ke-3, 1992.