Perbedaan Loneliness Pada Individu Yang Melajang Ditinjau Dari Locus Of Control

(1)

P ERB ED AAN LO N ELIN ES S IN D IVID U YAN G

MELAJ AN G D ITIN J AU D ARI LO CU S O F CO N TR O L

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

Astry Evana Putri Yuni Haloho

(031301090)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

NOVEMBER, 2007


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur peneliti ucapkan kepada Allah Tritunggal yang dengan senantiasa menganugerahkan kesehatan dan terus memelihara peneliti sehingga peneliti merasa yakin bahwa tidak ada pekerjaan yang sia-sia untuk setiap kerja keras yang dilakukan demi menyelesaikan penelitian skripsi ini. Terima kasih ya Bapa atas kasih dan anugerah-Mu yang telah Engkau berikan bagiku. Penelitian ini berjudul ”Perbedaan Loneliness Pada Individu yang Melajang ditinjau dari locus of control” yang disusun sebagai skripsi psikologi klinis.

Selama menyusun skripsi ini, peneliti banyak mendapat dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD (K.GEH).

2. Ketua Program Studi Psikologi, Bapak dr. Chairul Yoel, Sp.A(K).

3. Ibu Arliza J. Lubis, M.Si, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, arahan, serta selalu meluangkan waktunya untuk membantu saya selama menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih ya bu buat ilmu-ilmu barunya, mungkin kalau tidak ada ibu pengetahuan tersebut tidak akan saya cari dan saya dapatkan, dan juga dorongan yang terus ibu berikan untuk lebih memacu semangat saya dalam menyelesaikan skripsi ini. Sekali lagi makasih banyak ya bu.

4. Bapak Ferry Novliadi, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas dukungan dan bimbingannya saat menyusun KRS.


(3)

5. Ibu Josetta M.R.T., M.Si dan Ibu Rodiatul H.S., M.Si sebagai dosen penguji seminar saya. Terima kasih buat saran dan masukan yang ibu berikan bagi kelanjutan skripsi saya.

6. Ibu Hasnida M.Si dan Ibu Lili Garliah M.Si atas kesediaan waktunya untuk meluangkan waktu menjadi dosen penguji bagi sidang skripsi saya.

7. Segenap dosen dan pegawai di lingkungan Program Studi Psikologi USU yang telah banyak membantu kelancaran penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak dan mamaku tersayang (R.Haloho dan H.Girsang), terimakasih yang tak terhingga buat kalian, tak ada kata yang cukup untukku mengukir ataupun menggambarkan rasa terima kasihku buat bapak dan mama. Terima kasih buat doa, dukungan, semangat, dan motivasi yang telah bapak dan mama berikan buatku. Aku tahu bagaimana perjuangan bapak dan mama hingga membuat kami seluruh anakmu seperti sekarang ini, doakan kami selalu agar kami dapat menjadi orang yang berguna dan dapat membanggakan bapak dan mama. 9. Keluarga yang sangat kukasihi, adik-adikku yang tersayang. Buat Wawan dan

Anna, makasih ya dek buat doa-doa dan dukungan kalian, walaupun kita jauh bukan berarti itu menjadi penghalang buat kita untuk tetap saling mengingatkan satu sama lain. Buat adikku Annie (my lovely sister), yang selalu ada dan terus bersamaku. Kalau dipikir, kita selalu berdua, selalu bersama-sama dan kita selalu tinggal berdua dalam satu kamar, sehingga kau cukup mengenal bagaimana sifatku. Terima kasih ya buat segala pengertian yang sudah kau berikan atas kecerewetan dan keegoisanku, buat dorongan-dorongannya, doa, kerajinanmu dalam membantuku, pokoknya buat


(4)

segalanya. Aku bangga denganmu dan teruslah berusaha buat skripsimu, jangan takut untuk mencoba karena kita nantinya tidak tahu akan apakah kita akan berhasil atau tidak bila kita tidak mau berusaha. Kita sama-sama berdoa buat itu, semangat ya ni!

10.Teman-teman di kos Pak Batu, Kak Minar makasih ya kak buat tumpangan nonton televisinya, kalau nggak ada kakak, kos terasa kosong habisnya nggak ada hiburan. Buat Tante Elvi, makasih ya tan buat dukungannya, cerewetannya, nasi gorengnya, kalau nanti nikah jangan lupa ngundang aku ya. Buat Sastra dan Nila, makasih buat dukungan dan doa kalian juga, dorongan kalian berarti buatku. Buat adik-adikku Eme, Ana, Melati, dan Herna, makasih ya dek buat dukungannya juga cerita-ceritanya. Dengan adanya kalian, kos terasa lebih ramai dan hidup, semangat ya buat kuliahnya! 11.Teman kosku yang lama, Sandy, Leli, Dian, Kak Nita, Kak Rini (alias si Rini)

makasih ya buat dukungan dan kebersamaan kita selama ini. Jangan lupakan aku kalau kalian sudah sukses.

12. Sahabat-sahabatku, Sari, Rosa, dan Ami. Terima kasih ya buat persahabatan kita yang sudah hampir 10 tahun, kebersamaan kita selama ini membuatku lebih mengerti arti sebuah persahabatan. Makasih buat conference callnya, enak juga ya ngomong berempat itu, walaupun bicaranya jadi ribut dan ngawur. Makasih buat dukungan, perhatian, dan doa kalian, maaf kalau aku agak telat nyusul kalian. Thanks for everytime that we share togother, seperti pepatah berkata seorang sahabat adalah orang yang membantu engkau saat engkau lupa untuk mengepakkan sayapmu dan aku bersyukur karena


(5)

menemukan hal tersebut didalam persahabatan kita. You all my true friend and hope it will be forever.

13.KK Elisyeva (Kak Juni, Yanti, Tina, dan Nova), makasih ya buat sharing kita selama ini, perhatian, dukungan, dan doa kalian. Terima kasih buat pertumbuhan rohani yang selama ini boleh kurasakan bersama kalian. Kalian adalah penghibur bagi jiwaku, bersama kalian aku bisa berbagi keluh kesah dan kebahagiaan.

14.Teman-teman terdekatku di kampus, Sondang, Wina, Erna, Corry, Fitri, Mei, dan Yanti. Terimakasih buat pertemanan kita selama ini di Psikologi, cerita-cerita kita, acara jalan-jalannya membuatku lebih mengenal karakter satu dengan yang lain. Biarlah pertemanan kita tidak berhenti sampai disaat kita sudah menjadi alumni, tetapi pertemanan kita boleh tetap berlanjut selamanya walau nantinya kita akan terpisah jauh. Tetap saling berhubungan ya teman. 15.Teman seperjuanganku di Klinis Sondang, Yanti, Jayanti, Devi, tetap

semangat ya ngerjain skripsinya. Buat Vivi, thanks buat waktu berbaginya dan selamat atas wisudanya ya, jangan lupa dengan janjimu hehehe. Buat nanda, makasih buat dukunganmu selama ini.

16. Teman-teman angkatan 2003, yang selama ini telah sama-sama berjuang, naomi, tari, risma, yang senantiasa menyemangatiku. Teman-teman lainnya yang tidak dapat kusebutkan satu persatu, terimakasih buat dukungan kalian kepadaku.


(6)

17.Kak Ade Psycholib, terimakasih ya kak buat kesabaranya dalam melayani diperpustakaan. Kak Ari dan Kak Devi yang telah membantu dalam pengurusan sidang, makasih ya kak.

18.Semua pihak yang telah membantu tapi tidak dapat disebutkan satu persatu. Akhir kata peneliti menyadari bahwa penelitian skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Segala kritik dan saran akan menjadi bahan masukan yang berartui bagi peneliti. Semoga penulisan penelitian ini pada akhirnya akan memberikan manfaat bagi semua pihak.

Medan, Juni 2007


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR DIAGRAM ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Tujuan Penelitian ... 7

I.C. Manfaat Penelitian ... 8

I.D. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

II.A. Loneliness pada Individu yang Melajang ... 11

II.A.1. Pengertian Loneliness ... 11

II.A.2. Tipe-tipe Loneliness ... 12

II.A.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Loneliness ... 13

II.A.4. Perasaan Loneliness ... 17

II.A.5. Penyebab Loneliness pada Individu yang Melajang ... 19

II.B. Locus of Control ... 26

II.B.1. Pengertian Locus of Control ... 26

II.B.2. Jenis Locus of Control ... 28


(8)

II.C. Dinamika Loneliness pada Individu yang Melajang ditinjau dari

Locus of Control ... 33

II.D. Hipotesis Penelitian ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37

III.B. Definisi Operasional Variabel ... 38

III.B.1. Loneliness ... 38

III.B.2. Locus of Control ... 40

III.C. Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampling ... 44

III.C.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 44

III.C.2. Teknik Pengambilan Sampel ... 45

III.D. Metode Pengumpulan Data ... 45

III.D.1. Skala Loneliness ... 47

III.D.2. Skala Locus of Control ... 48

III.E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 50

III.E.1. Validitas Alat Ukur ... 50

III.E.2. Reliabilitas Alat Ukur ... 51

III.E.3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 52

III.E.3.a. Hasil Uji Coba Skala Loneliness... 52

III.E.3.b. Hasil Uji Coba Skala Locus of Control ... 53

III.F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 55

III.F.1. Persiapan Penelitian ... 55


(9)

III.F.3. Pengolahan Hasil Penelitian ... 56

III.G. Metode Analisis Data ... 49

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ... 59

IV.A. Gambaran Subjek Penelitian ... 59

IV.A.1. Pengelompokan Subjek Berdasarkan Locus of Control ... 59

IV.A.2. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia... 61

IV.A.3. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Kelamin . 62 IV.A.4. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 62

IV.A.5. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Status Pekerjaan ... 63

IV.A.6. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 64

IV.B. Hasil Penelitian Utama ... 65

IV.B.1. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 65

IV.B.1.a. Uji Normalitas ... 66

IV.B.1.b. Uji Homogenitas ... 66

IV.B.2. Uji Hipotesa ... 67

IV.C. Analisa Tambahan ... 69

IV.C.1. Gambaran Mean Hipotetik dan Mean Empirik Loneliness 69 IV.C.2. Pengkategorisasian Subjek Penelitian Berdasarkan Loneliness ... 69


(10)

IV.D.1. Gambaran Aspek-aspek Loneliness Berdasarkan Locus of

Control ... 71

IV.D.2. Gambaran Aspek-aspek Locus of Control Berdasarkan Loneliness ... 72

IV.D.3. Gambaran Loneliness berdasarkan Usia ... 72

IV.D.4. Gambaran Loneliness berdasarkan Jenis Kelamin ... 73

IV.D.5. Gambaran Loneliness berdasarkan Tingkat Pendidikan .... 75

IV.D.6. Gambaran Loneliness berdasarkan Status Pekerjaan ... 76

IV.D.7. Gambaran Loneliness berdasarkan Tingkat Pendapatan .... 77

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN ... 78

V.A. Kesimpulan ... 78

V.B. Diskusi ... 79

V.C. Saran ... 84


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pengkategorisasian Loneliness ... 40

Tabel 2 Blue Print Skala Loneliness Sebelum Uji Coba... 48

Tabel 3 Blue Print Skala Locus of Control Sebelum Uji Coba... 50

Tabel 4 Hasil Uji Coba dan Distribusi Aitem Pada Skala Loneliness ... 53

Tabel 5 Hasil Uji coba dan Distribusi Aitem Pada Skala Locus of Control ... 54

Tabel 6 Gambaran Skor Locus of Control ... 60

Tabel 7 Pengkategorisasian Locus of Control ... 60

Tabel 8 Pengelompokan Subjek Penelitian Berdasarkan Locus of Control ... 61

Tabel 9 Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia ... 61

Tabel 10 Penyebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

Tabel 11 Penyebaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 63

Tabel 12 Penyebaran Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan ... 64

Tabel 13 Penyebaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 65

Tabel 14 Hasil Uji Normalitas dengan One Sample Kolmogorof-Smirnov Test ... 66

Tabel 15 Hasil Uji Homogenitas Pada Variabel Loneliness ... 67

Tabel 16 Analisa t-test Loneliness Ditinjau dari Locus of Control ... 68

Tabel 17 Deskripsi Skor Loneliness Berdasarkan Locus of Control... 68

Tabel 18 Perbandingan Mean Empirik dan Mean Hipotetik Pada Variabel Loneliness ... 69

Tabel 19 Kategorisasi Loneliness Berdasarkan Skor ... 69

Tabel 20 Kategorisasi Subjek Penelitian Berdasarkan Skor Loneliness ... 70


(12)

Tabel 22 Gambaran Aspek-aspek Locus of Control Berdasarkan Loneliness ... 72

Tabel 23 Hasil Perhitungan Anova Loneliness Berdasarkan Usia ... 73

Tabel 24 Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Usia ... 73

Tabel 25 Hasil Perhitungan t-test Loneliness Berdasarkan Jenis Kelamin ... 74

Tabel 26 Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Jenis Kelamin ... 74

Tabel 27 Hasil Perhitungan Anova Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendidikan 75 Tabel 28 Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 75

Tabel 29 Hasil Perhitungann t-test Loneliness Berdasarkan Status Pekerjaan ... 76

Tabel 30 Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Status Pekerjaan ... 76

Tabel 31 Hasil Perhitungan Anova Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendapatan 77 Tabel 32 Gambaran Skor Loneliness Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 77


(13)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1 Penyebaran Subjek Berdasarkan Usia ... 61

Diagram 2 Penyebaran Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 62

Diagram 3 Penyebaran Subjek Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 63

Diagram 4 Penyebaran Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan ... 64

Diagram 5 Penyebaran Subjek Berdasarkan tingkat Pendapatan ... 65


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki memasuki usia 23 tahun (Brehm, Campbell, Miller, & Perlman, 2002). Papalia, Olds, dan Feldman (2004) juga menyatakan bahwa usia yang ideal untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki adalah 20-25 tahun. Tingkatan usia ini merupakan usia terbaik untuk menikah, baik untuk memulai kehidupan rumah tangga maupun untuk mengasuh anak pertama (the first time parenting).

Di Indonesia, usia rata-rata seorang perempuan untuk menikah adalah 21 tahun dan usia rata-rata laki-laki untuk menikah adalah 24 tahun (Xenos dalam Sarwono, 2002). Akan tetapi, dalam beberapa waktu terakhir ini telah terjadi perubahan yang dramatis dimana orang menunda waktu untuk segera menikah. Di Amerika, seorang perempuan akan menikah ketika berusia 25 tahun dan laki-laki berusia 27 tahun, bahkan terdapat juga individu yang menunda pernikahannya lebih dari usia tersebut (Brehm et al, 2002). Begitu juga di Indonesia, banyak individu dewasa baik laki-laki maupun perempuan yang menunda hingga usia 24 sampai dengan 34 tahun (Jones dalam Robinson & Bessell, 2002). Dengan begitu, terbentuklah gaya hidup yang baru bagi orang dewasa di Indonesia.

Weiten dan Llyod (2006) menyatakan bahwa salah satu gaya hidup baru yang sangat menonjol adalah melajang (single life). Santrock (1995) menyatakan


(15)

bahwa terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dari hidup melajang yaitu waktu kerja yang fleksibel, melakukan mobilitas secara bebas, kehidupan pribadi yang tidak terganggu, dan adanya otonomi terhadap diri sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Sunarto (2000) yang berpendapat bahwa saat ini perkawinan bukan lagi menjadi prioritas utama bagi individu yang sudah mencapai usia dewasa.

Fenomena tersebut tentunya tidak sesuai dengan pernyataan Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang menyatakan bahwa individu yang sudah mencapai usia dewasa seharusnya sudah memiliki pasangan dan kemudian membentuk suatu keluarga. Erickson (dalam Myers, 1999) juga menyebutkan bahwa fokus utama yang seharusnya dilakukan individu ketika memasuki usia dewasa adalah menjalin hubungan intim dengan seseorang dan memiliki komitmen dengan pasangannya tersebut. Dalam hal ini, wujud dari komitmen tersebut adalah pernikahan yang merupakan suatu cara terbaik untuk mendapatkan seorang anak. Idealnya suatu pernikahan didalam akan terdapat keintiman, pertemanan, kedekatan, aktifitas seksual, persahabatan, dan pertumbuhan emosional (Papalia, Olds, & Feldman, 2004)

Menurut Stenberg (dalam Hogg & Vaughan, 2002) yang dimaksud dengan komitmen adalah perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan, dan berbagi dengan orang lain. Komitmen itu akan terjadi saat individu telah memiliki penilaian kognitif terhadap hubungan yang dijalaninya dan mempunyai niat untuk mempertahankan hubungan intim tersebut. Akan tetapi, bila individu dewasa mengalami kegagalan dalam memperoleh dan membentuk keintiman dengan


(16)

seseorang, maka individu akan merasakan keadaan yang sangat menyakitkan dan merasa dirinya tidak lengkap tanpa pasangan yang disebut dengan loneliness (Morris & Maisto, 2005). Oleh karena itu, penting bagi seorang individu baik laki-laki maupun perempuan untuk mulai membangun hubungan intim dengan orang lain dan kemudian berkomitmen dengan pasangannya.

Bagi individu dewasa, gaya hidup melajang ini kemudian dapat menjadi suatu masalah bagi dirinya. Santrock (1995) menyatakan bahwa terdapat keprihatinan pada orang dewasa yang muncul sebagai akibat dari melajang, antara lain ketiadaan hubungan intim dan mengalami loneliness. Weiten dan Llyod (2006) juga menyebutkan bahwa salah salah satu karakteristik yang melekat pada individu dewasa yang melajang adalah mereka mengalami loneliness karena tidak memiliki hubungan kedekatan emosional dengan seseorang.

Menurut Brehm et al (2002), hidup melajang dapat dikategorikan ke dalam beberapa sub kelompok yaitu belum pernah menikah (never married), berpisah atau bercerai (separated or divorced), dan janda (widowed). Pada kelompok yang belum pernah menikah, loneliness terjadi karena individu belum memiliki dan menemukan pasangan yang ideal bagi dirinya, sedangkan pada kelompok yang berpisah atau bercerai dan janda, loneliness yang terjadi disebabkan oleh kehilangan hubungan perkawinan yang dimiliki oleh individu. Berkaitan dengan adanya gaya hidup baru yang menonjol pada masa dewasa dini, yaitu melajang maka penelitian ini akan difokuskan pada individu yang belum pernah menikah (never married) .


(17)

Secara umum, orang yang melajang (baik laki-laki maupun perempuan) mengalami tingkat loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang sudah menikah (Brehm et al, 2002). Pernyataan tersebut dipertegas lagi oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang mengemukakan bahwa stereotip yang terdapat dikalangan orang yang melajang adalah bahwa mereka cenderung mengalami loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang telah menikah.

Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya loneliness pada individu yang melajang adalah ketika individu tersebut tidak lagi memiliki hubungan yang adekuat dengan seseorang ataupun pasangannya. Hal ini diperkuat lagi oleh Heffner (dalam Weiten & Llyod, 2006) yang mengemukakan bahwa loneliness yang terjadi karena retaknya hubungan yang romantis atau tidak memiliki seseorang yang khusus dalam hidup individu, maka dapat menimbulkan perasaan lonely yang semakin kuat.

Loneliness itu sendiri adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan perasaan yang tidak menyenangkan dan individu merasa bahwa hubungan yang dia inginkan tidak memberikan kepuasan pada dirinya (Sigelman & Rider, 2003). Adapun perasaan yang muncul saat individu merasa lonely adalah desperation, depression, impatient boredom, dan self-deprecation (Rubenstein & Shaver, dalam Brehm et al, 2002). Hal ini diperkuat lagi oleh McWhirter (dalam Rokach, 1998) yang menyatakan bahwa loneliness dapat menimbulkan perasaan depresi, keinginan untuk bunuh diri, sikap bermusuhan, alkoholik, menyalahkan diri


(18)

sendiri, dan penyakit psikosomatis. Hawkely et al (2003) menambahkan bahwa loneliness yang dialami oleh seseorang dapat membawa individu kepada penyakit yang lebih berbahaya baik kesehatan mental dan psikisnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa loneliness yang terjadi pada seseorang dapat membawa dampak yang negatif bagi kesehatannya. Di Indonesia, loneliness diartikan sebagai kesepian, namun pada penggunaannya loneliness mempunyai makna yang dalam dari kata kesepian. Untuk selanjutnya, penelitian ini akan menggunakan kata loneliness yang menggambarkan suatu keadaan atau situasi kesepian, sedangkan kata lonely menggambarkan perasaan kesepian yang dialami individu.

Loneliness yang dirasakan oleh individu dipengaruhi oleh pengatribusiannya terhadap penyebab dari loneliness yang dialami. Dane, Deaux, dan Wrightsman (1993) menyatakan bahwa loneliness yang dialami seseorang tergantung pada pengatribusian yang dilakukan terhadap penyebab ketidakbahagiaannya.

Proses mengatribusikan penyebab dari suatu kejadian atau peristiwa yang dialami oleh seseorang dikenal dengan istilah causal attribution (Brehm et al, 2002). Causal attribution ini merupakan penjelasan mengenai faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap peristiwa atau kejadian yang dialami oleh seseorang yaitu dari perilakunya atau hal lain di luar dirinya (Weiner, dalam Pervin, 2005). Di dalam causal attribution yang menjadi faktor penyebab munculnya loneliness adalah karakteristik kepribadian dan faktor situasional (Perlman & Peplau, dalam Brehm et al, 2002). Selanjutnya Brehm et al (2002) menyatakan bahwa karakteristik kepribadian memegang peranan yang besar terhadap terjadinya


(19)

loneliness pada seseorang. Adapun karakteristik kepribadian dalam causal attribution yang menjelaskan faktor kepribadian tersebut adalah locus of control (Rotter, dalam Pervin, 2005).

Rotter (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan locus of control merupakan suatu keyakinan bahwa kejadian atau peristiwa yang dialami oleh individu merupakan akibat dari perilakunya sendiri (internal) atau karena adanya faktor lain seperti nasib, keberuntungan dan pengaruh orang lain (eksternal). Ia juga menambahkan bahwa individu yang lebih berorientasi internal percaya bahwa peristiwa atau kejadian dalam hidupnya terjadi karena perilakunya sendiri. Sebaliknya, pada individu yang lebih berorientasi eksternal percaya bahwa kejadian atau peristiwa yang dialaminya diakibatkan oleh adanya faktor lain di luar dirinya.

Lebih lanjut, Stone dan Jackson (dalam Howard, 1996) berpendapat bahwa individu yang mempunyai locus of control internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol yang lebih dalam mengendalikan kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya, dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena kemampuan atau usahanya sendiri. Sebaliknya, pada individu yang mempunyai locus of control eksternal berkeyakinan bahwa mereka tidak mempunyai kontrol atau memiliki kontrol yang sedikit terhadap kejadian yang dialaminya.

Rotter (dalam Schultz & Schultz, 1994) menyatakan bahwa individu dengan locus of control internal dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki self-esteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik dibandingkan individu


(20)

dengan locus of control eksternal. Selain itu, individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab akan memberikan hasil yang positif. Sedangkan individu yang mengembangkan orientasi eksternal meyakini bahwa suatu kejadian ditentukan oleh kesempatan, tindakan orang lain dan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrolnya (Rotter, dalam Baron & Byrne, 1992).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu dengan locus of control internal akan menganggap bahwa dirinya memiliki kontrol yang lebih dalam menghadapi kejadian atau peristiwa yang dialaminya daripada individu dengan locus of control eksternal.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kuat lemahnya loneliness dipengaruhi locus of control baik internal maupun eksternal. Kedua jenis locus of control tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda dalam menghadapi loneliness yang dapat memperkuat atau memperlemah loneliness itu sendiri. Oleh karena itu, maka peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada perbedaan loneliness yang dialami individu lajang yang memiliki locus of control internal dan locus of control eksternal.

I.B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan loneliness pada individu lajang ditinjau dari locus of control, baik secara umum maupun berdasarkan aspek-aspek dari loneliness itu sendiri..


(21)

I.C. Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas ruang lingkup dan menambah wacana dalam ilmu psikologi khususnya psikologi klinis, psikologi kesehatan, psikologi kepribadian, psikologi sosial, dan psikologi perkembangan. Meskipun penelitian ini lebih berfokus pada pengembangan psikologi klinis dalam pemberian informasi mengenai loneliness yang dialami individu lajang dan locus of control. Namun, diharapkan hasil penelitian ini nantinya juga dapat memberi sumbangan pada pemahaman teoritis mengenai dinamika loneliness pada psikologi kesehatan, dan psikologi sosial, tugas perkembangan individu dewasa dini khususnya individu lajang pada psikologi perkembangan, serta kontribusi teoritis pada topik locus of control dalam pembahasan psikologi kepribadian..

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat dalam mengetahui gambaran loneliness.

b. Sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya loneliness yang menghambat individu lajang untuk menjalin hubungan dengan seseorang dan membentuk komitmen dengannya.

c. Hasil Penelitian ini diharapkan juga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dalam menemukan cara yang tepat untuk mengurangi


(22)

loneliness yang dialami oleh individu sehingga terhindar dari dampak negatif yang ditimbulkan loneliness.

d. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan ataupun pemahaman pada masyarakat bahwa locus of control sebagai salah satu faktor kepribadian perlu untuk diperhatikan, dimana factor tersebut turut mempengaruhi perilaku individu dalam keberhasilannya berinteraksi dengan orang lain.

I.D. Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang pemilihan masalah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti topik ini, tujuan penelitian yang merupakan fokus perhatian dalam penelitian ini, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Landasan Teori

Bab ini berisi pembahasan secara teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori tentang loneliness; pengertian loneliness, tipe-tipe loneliness, faktor-faktor yang mempengaruhi loneliness, perasaan loneliness, penyebab loneliness, locus of control; pengertian locus of control, jenis locus of control, aspek-aspek locus of control, dinamika perbedaan loneliness dengan locus of control dan hipotesa penelitian.


(23)

BAB III Metode Penelitian

Bab ini berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, karakteristik subjek penelitian dan teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data penelitian.

BAB IV Analisa dan Interpretasi Data

Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian yang membahas data-data penelitian ditinjau dari teori yang relevan.

BAB V Kesimpulan, Saran, dan Diskusi

Bab ini terdiri dari kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, diskusi penelitian, serta saran-saran yang diperlukan baik untuk penyempurnaan penelitian atau untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.


(24)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Loneliness Pada Individu yang Melajang II.A.1. Pengertian Loneliness

Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa dini, dewasa madya, maupun pada orang yang sudah lanjut usia (Weiten & Lloyd, 2006). Loneliness itu sendiri merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada interpretasi individu, dan setiap orang memiliki pengalaman loneliness yang berbeda-beda (Perlman & Peplau dalam Dane, Deaux, & Wrightsman, 1993). Menurut Peplau dan Perlman, loneliness adalah :

As a feeling of deprivation and dissatisfaction produced by discrepancy between the kind of social relations we want and the kind of social relations we have.

(Perlman & Peplau dalam Brehm, 2002 : p.394)

Loneliness akan muncul ketika individu merasakan kekurangan dalam hubungan sosial yang dimilikinya ataupun individu merasakan ketidakpuasan terhadap hubungan sosial yang sedang dijalaninya.

Lebih lanjut lagi, Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau, & Sears 2000) menambahkan bahwa loneliness mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan sebagai suatu tanda peringatan bagi individu yang memiliki kekurangan dalam hubungan sosial baik secara kualitas ataupun kuantitas. Kekurangan secara kualitas terjadi jika individu merasa bahwa hubungan sosial yang dimilikinya hanya bersifat superficial atau dirasa kurang memuaskan. Kekurangan secara kuantitas terjadi jika individu memiliki sedikit atau tidak memiliki teman yang diinginkannya.


(25)

Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa loneliness adalah perasaan tidak menyenangkan dan tidak nyaman yang muncul sebagai akibat dari kekurangan ataupun ketidakpuasan individu terhadap hubungan sosialnya baik secara kuantitas maupun kualitas.

II.A.2. Tipe-Tipe Loneliness

Menurut Weiss (Weiten & Llyod, 2006) dalam konteks interaksi sosial ada dua tipe loneliness, yaitu:

a. Social loneliness, terjadi ketika individu tidak puas dan merasa lonely karena kurangnya jaringan sosial dengan teman dan kenalan lainnya untuk melakukan kegiatan serta aktivitas yang menarik. Pada tipe ini dapat dikatakan bahwa individu merasakan loneliness secara kuantitas yang terjadi karena individu merasa memiliki sedikit teman.

b. Emotional loneliness, terjadi ketika individu tidak puas dan merasa lonely karena kurang atau terbatasnya kedekatan, kelekatan, dan ikatan hubungan yang intim dari orang tertentu (single intense relationship). Disini individu merasakan loneliness secara kualitas sebagai akibat dari hubungan intim yang tidak memuaskan atau tidak memiliki pasangan. Joyner et al (1999) menyatakan bahwa emotional loneliness ini dirasa lebih menyakitkan dan cenderung dianggap sebagai reaksi emosi yang negatif.

Kedua keadaan kesepian diatas dapat dirasakan dan dialami oleh setiap individu di dalam kehidupannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya loneliness akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut.


(26)

II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loneliness

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya loneliness pada seseorang antara lain:

a. Usia

Banyak orang beranggapan bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin merasa lonely, namun banyak penelitian yang membuktikan bahwa stereotip tersebut keliru. Hasil penelitian Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000) menemukan bahwa loneliness lebih tinggi terjadi diantara remaja dan dewasa muda, serta menjadi lebih rendah pada orang-orang yang sudah tua.

Brehm et al (2002) juga menyatakan bahwa orang dewasa muda menghadapi banyak sekali transisi sosial yang besar untuk mendapatkan identitas diri mereka (seperti meninggalkan rumah, merantau, memasuki dunia perkuliahan, dan memasuki dunia kerja yang full time) dimana semua peristiwa tersebut dapat menyebabkan terjadinya loneliness pada seseorang. Erickson (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan bahwa dengan terjadinya perubahan dan transisi sosial tersebut maka pada masa dewasa dini inilah masa terjadinya “krisis keterpencilan”, dan dalam masa ini seseorang sering sekali merasa lonely. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) menyatakan bahwa usia dewasa dini ini berkisar dari 19-39 tahun.

b. Status perkawinan

Secara umum, orang yang tidak menikah cenderung lebih merasa lonely dibandingkan orang yang menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack


(27)

dalam Brehm et al, 2002). Pernyataan tersebut dipertegas lagi oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik yang terdapat di kalangan individu yang hidup melajang adalah mereka cenderung mengalami tingkat loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sudah menikah.

Brehm et al (2002) mengelompokkan individu yang melajang ke dalam beberapa sub grup yaitu belum pernah menikah (never married), berpisah atau bercerai (separated or divorced), dan janda (widowed). Ia menyatakan bahwa loneliness yang terjadi pada individu yang berpisah, bercerai, dan janda merupakan reaksi terhadap hilangnya hubungan perkawinan (marital relationship) bukan akibat dari ketidakhadiran dari pasangan seperti pada individu yang belum pernah menikah (never married). Penelitian ini akan lebih difokuskan kepada individu yang belum pernah menikah (never married) dimana seperti yang dikemukakan Myers (1999) bahwa ketidakhadiran pasangan pada individu dapat membuat terjadinya loneliness yang menyakitkan.

Heffner (dalam Weiten & Llyod, 2006) juga mengemukakan bahwa retaknya hubungan yang romantis atau tidak memiliki seseorang yang khusus dalam hidup individu, dapat memperkuat perasaan lonely. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) menambahkan bahwa bahwa keadaan belum menikah dan belum memiliki pasangan pada individu dewasa dapat menimbulkan loneliness pada dirinya.


(28)

Hurlock (1999) juga mengemukakan bahwa saat individu memasuki usia dewasa dini, dia akan dihadapkan kepada tugas perkembangannya yaitu menemukan pasangan hidup dan membentuk suatu keluarga. Namun, ketika hal tersebut tidak terlaksana maka terjadilah loneliness pada individu. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Erickson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004) bahwa fokus utama dari indvidu dewasa dini adalah membangun sebuah hubungan intim dengan seseorang dan membentuk komitmen dengan pasangannya, apabila tidak terpenuhi maka individu akan mengalami loneliness yang mendalam.

Brehm et al (2002) juga menambahkan bahwa kurangnya ataupun tiadanya hubungan intim dengan orang lain, atau pasangan, dapat menyebabkan seseorang mengalami emotional loneliness. Hal ini dipertegas lagi oleh Morris dan Maisto (2005) yang menyatakan bahwa ketiadaan hubungan intim dengan seseorang yang khusus menimbulkan perasaan lonely yang menyakitkan.

c. Gender

Menurut Borys dan Perlman (dalam Dane, Deaux, & Wrightman, 1993), perempuan dan laki-laki menunjukkan frekuensi yang sama dalam mengalami loneliness. Meskipun demikian, perempuan lebih mudah menunjukkan ekspresi lonely daripada laki-laki dan sebagian besar laki-laki yang mengalami loneliness menyangkal bahwa dirinya sedang merasa lonely. Lebih lanjut, Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) menyebutkan bahwa laki-laki juga lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas dibandingkan dengan


(29)

perempuan. Hal ini disebabkan adanya stereotip gender yang berlaku dalam masyarakat bahwa laki-laki yang mengalami loneliness lebih sulit untuk diterima secara sosial dan cenderung ditolak dibandingkan perempuan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa laki-laki lebih mudah mengalami loneliness dibandingkan perempuan.

Spelman dan Rider (2003) menyebutkan bahwa loneliness pada perempuan lajang dapat semakin meningkat saat ia merasa sudah seharusnya memiliki pasangan tetapi pada kenyataannya belum memiliki ataupun menemukan pasangan yang ideal bagi mereka. Hal senada juga dikemukakan oleh Hurlock (1999) bahwa perempuan yang sudah mencapai usia tertentu untuk menikah, tetapi belum mempunyai pasangan hidup akan membuat mereka mengalami loneliness dan akan semakin meningkat ketika perempuan mendapat tekanan dari keluarga serta masyarakat untuk segera membentuk sebuah keluarga.

d. Karakteristik latar belakang keluarga

Hubungan antara orang tua dan anak dalam struktur keluarga berhubungan dengan munculnya loneliness. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih mengalami loneliness bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai semakin tinggi tingkat loneliness yang akan dialaminya saat dewasa. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada individu yang orang tuanya berpisah karena salah satunya meninggal.


(30)

Individu yang kehilangan orang tuanya karena meninggal ketika ia masih kanak-kanak mengalami loneliness yang berbeda saat dewasa dibandingkan dengan individu yang orang tuanya berpisah sejak masa kanak-kanak atau masa remaja. Brehm et al (2002) menyatakan bahwa proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orang tua yang bercerai untuk mengalami loneliness saat anak-anak tersebut menjadi dewasa.

e. Faktor sosial ekonomi

Weiss (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa tingkat status ekonomi seseorang akan mempengaruhi tingkat loneliness yang terjadi pada dirinya. Status ekonomi ini berhubungan dengan seberapa besar pendapatan yang diperoleh individu. Individu dengan pendapatan yang rendah cenderung mengalami loneliness lebih tinggi dibandingkan individu dengan pendapatan yang tinggi.

f. Pendidikan

Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang juga berkaitan dengan loneliness yang dialaminya, hal ini ditunjukkan oleh sebuah survey yang dilakukan oleh Page dan Cole’s (Brehm et al, 2002) yang menyatakan bahwa pendidikan mempunyai korelasi terbalik dengan loneliness yang dialami oleh seseorang.

II.A.4. Perasaan Loneliness

Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan ada 4 bentuk perasaan yang dialami oleh individu yang mengalami loneliness, yaitu:


(31)

a. Desperation

Desperation merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam dirinya, sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan yang nekat. Desperation ini ditandai dengan perasaan putus asa, tidak berdaya, takut atau khawatir, tidak memiliki harapan, ditinggalkan atau dibuang, dan diejek.

b. Impatient boredom

Impatient boredom adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kebosanan yang tidak tertahankan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari kejenuhan terhadap dirinya sendiri. Impatient boredom ini ditandai dengan munculnya perasaan tidak sabaran, menjemukan atau bosan, ingin berada ditempat lain, gelisah atau tidak tenang, marah, dan tidak mampu berkonsentrasi.

c. Self-deprecation

Self-deprecation adalah suatu kondisi dimana individu menyalahkan, mencela, ataupun mengutuk dirinya sendiri terhadap peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Self-deprecation ini ditandai dengan munculnya perasaan bahwa dirinya tidak menarik, rendah diri, bodoh, malu, dan tidak nyaman.

d. Depression

Depression adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang mendalam dan terus menerus ataupun dalam kondisi tertekan sehingga bila tidak diatasi dapat mengarahkannya pada tindakan bunuh diri. Depression ini ditandai dengan munculnya perasaan sedih, tertekan atau hilang semangat,


(32)

kosong atau hampa, terkucil, menyesali diri, murung, diasingkan, dan ingin bersama seseorang yang khusus.

Keempat perasaan tersebut dapat dirasakan secara bersamaan pada individu yang mengalami loneliness dengan kualitas berbeda-beda. Adapun munculnya penyebab perasaan lonely pada diri individu akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut.

II.A.5. Penyebab Loneliness Pada Individu yang Melajang

Ada empat hal yang dapat menyebabkan individu yang melajang mengalami loneliness yaitu:

a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki individu

Ada banyak alasan mengapa seseorang mungkin merasa tidak puas berkaitan dengan kualitas dan kuantitas hubungan yang dimilikinya. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang mengalami loneliness yaitu:

1. Being unattached: suatu keadaan dimana individu merasa lonely ketika dia tidak mempunyai pasangan, tidak memiliki pasangan seksual, ataupun berpisah dengan pasangannya.

2. Alienation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat dia merasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan oleh orang lain, dan tidak mempunyai teman dekat.


(33)

3. Being alone: suatu keadaan dimana individu merasa lonely ketika individu merasa dirinya selalu sendirian pulang ke rumah dan tidak ada seseorang yang menyambutnya.

4. Forced isolation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat dikurung dirumah, dirawat inap di rumah sakit, dan tidak bisa kemana-mana.

5. Dislocation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat individu merasa jauh dari rumah, memulai pekerjaan atau sekolah baru, terlalu sering melakukan perpindahan, dan sering melakukan perjalanan.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa loneliness pada individu yang melajang disebabkan oleh ketidakhadiran pasangan, berpisah dengan pasangannya, dirinya merasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan oleh orang lain, dan tidak mempunyai seseorang untuk berbagi. Loneliness tersebut dapat membawa dampak negatif bagi hubungan individu tersebut dengan individu lain. Contohnya, individu yang mengalami loneliness akan menerima orang lain dalam cara yang negatif (Jones, Wittenberg, & Weis dalam Myers, 1999). Pandangan negatif ini akan mempengaruhi keyakinan individu yang mengalami loneliness tersebut dan menyebabkan hilangnya kepercayaan sosial serta menjadi pesimis terhadap orang lain (Myers, 1999). Hal tersebut dapat menghambat individu itu dalam mengurangi tingkat loneliness mereka.

Weiten dan Lloyd (2006) juga menyatakan bahwa individu yang mengalami loneliness mempunyai pikiran yang tidak rasional tentang


(34)

keterampilan sosialnya, kemungkinan mereka dalam meraih suatu hubungan yang intim dengan seseorang, dan kemungkinan untuk ditolak. Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menambahkan bahwa individu yang mengalami loneliness menggunakan self-talk yang negatif sehingga hal tersebut mencegah mereka untuk mengejar atau meneruskan suatu keintiman dalam cara yang aktif dan positif dengan pasangannya. Individu yang mengalami loneliness dipersepsikan tidak dapat menyesuaikan diri oleh orang-orang yang mengenal mereka (Lau & Gruen; Rotenberg & Kmill dalam Baron & Byrne, 1992). Dengan demikian, loneliness yang terjadi pada individu melajang dapat menjadi semakin kuat sebagai akibat dari perilaku mereka tersebut dan akan membuat mereka terhambat untuk membangun hubungan intim dengan seseorang dan akhirnya tidak memiliki pasangan.

b. Perubahan terhadap apa yang diinginkan individu dari suatu hubungan

Loneliness dapat juga berkembang karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan individu dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan yang dimiliki oleh individu tersebut memuaskan, sehingga individu tersebut tidak mengalami loneliness. Akan tetapi, menurut Peplau & Perlman (dalam Brehm et al, 2002) di lain waktu hubungan tersebut dapat menjadi tidak lagi memuaskan karena terjadi perubahan pada apa yang diinginkan dari hubungan tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yang berbeda seperti perubahan mood dimana jenis hubungan yang diinginkan ketika senang mungkin berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan saat sedang sedih.


(35)

Peplau, Russell, dan Heim, serta Perlman dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002) menambahkan bahwa pertambahan usia juga dapat mempengaruhi keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Jenis pertemanan akan sangat menyenangkan saat individu berusia 15 tahun yang kemudian dapat menjadi tidak memuaskan ketika memasuki usia 25 tahun. Sebagai contoh, banyak orang yang memasuki usia dewasa tidak menginginkan keterlibatan emosional yang dekat dengan seseorang ketika mereka sedang mempersiapkan karirnya. Akan tetapi, saat karir sudah terbentuk dengan mapan, individu merasakan kebutuhan yang sangat besar terhadap suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional, dan bila tidak mendapatkannya maka akan menyebabkan munculnya loneliness.

c. Self esteem

Loneliness berhubungan dengan self-esteem yang rendah. McWhirter, Rubenstein, dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa orang yang memiliki self-esteem yang rendah akan merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial, misalnya berbicara di depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti ini, individu tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus dan akibatnya akan mengalami loneliness.

Hal ini juga didukung oleh Bruch, Hammer, dan Heimberg (dalam Baron & Byrne, 2002) yang menyebutkan bahwa individu yang tidak mampu secara sosial cenderung menjadi pemalu, memiliki self-esteem yang rendah, dan merasakan self-concious ketika berinteraksi dengan orang lain. Frankel &


(36)

Prentice-Dum (dalam Santrock, 1995) juga berpendapat bahwa individu yang mengalami loneliness dan memiliki self-esteem yang rendah akan cenderung menyalahkan diri sendiri lebih daripada yang seharusnya atas kekurangan mereka.

Pada individu yang melajang, self-esteem yang rendah, kecemasannya saat berhubungan dengan orang lain, dan tidak mau bertemu di dalam pertemuan-pertemuan sosial dapat menghalanginya untuk menjalin dan membangun hubungan dengan seseorang yang dia sukai sehingga dapat meningkatkan loneliness yang dialaminya.

d. Perilaku interpersonal

Menurut Brehm et al (2002), perilaku interpersonal individu yang mengalami loneliness akan menyulitkan individu itu untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Berbeda dengan individu yang tidak mengalami loneliness, individu yang mengalami loneliness akan menilai orang lain secara negatif, mereka tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan, dan berperilaku secara negatif terhadap orang lain, serta cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan. Orang-orang yang merasa loneliness juga cenderung menghabiskan waktu senggang mereka pada aktifitas yang sendiri, memiliki kencan yang sangat sedikit, dan hanya memiliki teman biasa atau kenalan (Bell; Berg & McQuinn dalam Baron & Byrne, 2002).

Individu yang mengalami loneliness merasa bahwa dirinya disingkirkan oleh lingkungan sekitarnya dan percaya bahwa mereka hanya memiliki sedikit


(37)

kesamaan dengan orang yang mereka temui (Myers, 1999). Selain itu, orang yang mengalami loneliness cenderung terhambat dalam keterampilan sosial (Baron & Byrne, 2002), menjadi pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum (Myers, 1999). Di dalam suatu percakapan, individu yang mengalami loneliness membuat sedikit pernyataan dan pertanyaan, lambat dalam memberikan respon, dan tidak memiliki ketertarikan untuk melanjutkan suatu topik dengan lawan bicara mereka (Hogg & Vaughan, 2002). Sebagai tambahan, individu yang mengalami loneliness cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial dan mereka juga menjadi lambat dalam membangun keintiman hubungan dengan orang lain (Check dalam Brehm et al, 2002). Dengan demikian, perilaku ini nantinya dapat membatasi kesempatan individu tersebut untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa pada individu yang melajang, loneliness yang dialaminya dapat disebabkan oleh perilaku interpersonal yang tidak sesuai dan akhirnya pengalaman tersebut menimbulkan ketidakbahagiaan dalam dirinya. Loneliness yang muncul karena perilaku interpersonal yang tidak tepat ini nantinya dapat membawa dampak yang negatif yaitu tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik dan menurunkan kesehatan mental serta fisiologis seseorang yang membawanya kepada kondisi yang serius (Hawkley et al, 2003).


(38)

e. Causal attribution

Proses dimana individu mengatribusikan faktor-faktor penyebab yang bertanggung jawab terhadap loneliness yang dialaminya (apakah dari pribadinya sendiri atau karena suatu keadaan) disebut dengan causal attribution (Pervin, 2005). Di dalam causal attribution, faktor yang berhubungan dengan munculnya loneliness adalah karakteristik pribadi individu dan keadaan lingkungan disekitarnya (Perlman & Peplau, dalam Brehm et al, 2002) yang mana karakteristik pribadi individu memegang peranan yang besar terhadap kemungkinan terjadinya loneliness dibandingkan dengan keadaan lingkungan sekitarnya (Brehm et al, 2002). Hal ini diperkuat oleh penelitian Jylha dan Jokela (dalam Rokach, 1998) yang menyatakan bahwa faktor kepribadian individu membuat individu lebih merasa lonely daripada faktor situasional.

Weiner (dalam Pervin, 2005) menyatakan bahwa salah satu faktor kepribadian dalam causal attribution yang diidentifikasi untuk menjelaskan karakteristik pribadi individu adalah locus of control. Rotter (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan bahwa locus of control adalah bagaimana suatu penyebab itu dipersepsikan individu berasal dari dirinya (internal) atau berasal dari luar (eksternal) diri individu. Weiner (dalam Pervin, 2005) menyebutkan bahwa locus of control dinamakan juga dengan locus of causality namun keduanya memiliki arti yang sama, dan selanjutnya pada penelitian ini akan menggunakan istilah locus of control yang dipakai oleh Rotter. Causal attribution berhubungan erat dengan perilaku interpersonal yang dilakukan


(39)

individu. Hal ini ditegaskan oleh Hogg & Vaughan (2002) yang menyatakan bahwa atribusi memiliki peranan yang sangat besar dalam hubungan interpersonal yang dilakukan oleh individu yaitu bagaimana individu menjalin suatu hubungan dengan individu lain. Jones (dalam Baron & Byrne, 1992) juga menyatakan bahwa individu yang mengalami loneliness disebabkan oleh kurang atau tidak adanya kontrol dari dalam dirinya untuk mengatasi keadaan tersebut.

Pada individu yang melajang, status dirinya yang belum menikah dan belum memiliki pasangan merupakan penyebab terjadinya loneliness. Ada individu yang menganggap dan mempersepsikan bahwa status melajangnya merupakan akibat dari perilakunya sendiri (internal). Ada pula yang menganggap faktor lainlah yang menyebabkan loneliness tersebut (eksternal).

Pada penelitian ini akan membahas lebih dalam mengenai locus of control yang dikemukakan oleh Rotter.

II.B. Locus Of Control

II.B.1. Pengertian Locus Of Control

Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menghadapi suatu situasi ataupun peristiwa yang dialaminya. Salah satu faktor individual yang mengendalikan peristiwa kehidupan seseorang adalah locus of control yang dimiliki individu tersebut. Cara perilaku mereka menghadapi situasi atau peristiwa tersebut tergantung pada persepsi individu. Konsep locus of control ini pertama


(40)

kali diidentifikasi untuk menjelaskan dimensi kepribadian oleh Rotter (dalam Feist & Feist, 2002).

Menurut Rotter locus of control adalah:

Our belief about the source of control of reinforcement

(Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994: p.416)

Dengan kata lain, locus of control ini merupakan keyakinan individu mengenai sumber dari pengendali perilakunya terhadap penguatan yang akan diterimanya. Penguatan (reinforcement) yang dimaksudkan adalah nilai dari sebuah peristiwa atau kejadian yang mengindikasikan suatu fungsi mengenai harapan seseorang yang mengarahkan akan terbentuknya penguatan pada masa yang akan datang, dapat berupa hadiah (reward) ataupun hukuman (punishment) (Rotter dalam Feist & Feist, 2002). Rotter (dalam Graffeo dan Silvestri, 2006) menambahkan reinforcement dalam locus of control adalah bahwa individu percaya perilakunya diarahkan oleh penguat dan hukuman serta penghargaan yang memiliki pengaruh ketika individu menginterpretasikan hasil dari tindakan yang dilakukannya.

Locus of control itu juga merupakan suatu cara dimana individu memiliki tanggung jawab terhadap peristiwa yang terjadi di dalam kontrol ataupun diluar kontrol dirinya (Rotter, dalam Schultz & Schultz, 1994). Pernyataan ini juga didukung oleh Lefcourt (dalam Partosuwido, 1993) bahwa locus of control adalah konsep yang berhubungan dengan kepercayaan mengenai penguatan internal dan eksternal dalam mengembangkan harapan secara umum tentang kemampuannya untuk menguasai hidupnya. Individu yang percaya bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya adalah karena hasil tingkah lakunya sendiri maka ciri kepribadiannya akan dikatakan memiliki harapan terhadap penguatan internal.


(41)

Sementara, individu yang percaya bahwa kejadian yang terjadi dalam hidup mereka adalah karena adanya faktor lain di luar dirinya, maka mereka dikatakan memiliki penguatan eksternal.

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas maka locus of control dapat didefenisikan sebagai keyakinan seseorang mengenai sumber pengendali perilakunya.

II.B.2. Jenis Locus Of Control

Rotter (dalam Schultz & Schultz, 1994) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal.

Internal locus of control indicates a belief that reinforcement is brought about by our own behavior. External locus of control indicates a belief that reinforcement is under the control of other people, fate or luck.

(Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994: p.416)

Locus of control internal mengindikasikan adanya keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya akan datang dari perilakunya sendiri. Sementara itu, locus of control eksternal mengindikasikan keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya berada dibawah pengaruh orang lain, nasib, ataupun keberuntungan.

Orang yang percaya bahwa mereka dapat mengontrol sendiri perilakunya (internal) akan menunjukkan perilaku yang berbeda pada berbagai situasi (Rotter, dalam Feist & Feist, 2002). Stone dan Jackson (dalam Howard, 1996) juga menjelaskan bahwa individu yang berorientasi pada locus of control internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol lebih dalam mengendalikan


(42)

kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena tindakan atau usahanya sendiri.

Individu dengan locus of control internal juga dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki self-esteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Selain itu, individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab akan memberikan hasil yang positif (Rotter, dalam Baron & Byrne, 1992).

Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal berkeyakinan bahwa perilaku dan kemampuan mereka tidak memberi penguatan terhadap mereka, memberi nilai yang rendah terhadap segala usaha yang dilakukan, dan mereka juga mempunyai sedikit keyakinan akan kemungkinan bahwa mereka dapat mengontrol hidupnya pada masa yang akan datang (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Individu yang mengembangkan orientasi eksternal juga meyakini bahwa suatu kejadian ditentukan oleh kesempatan, tindakan orang lain dan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol (Rotter dalam Baron & Byrne, 1992).

Lebih lanjut Rotter (dalam Feist & Feist, 2002) menambahkan bahwa locus of control eksternal melihat suatu perubahan karena adanya faktor dari luar, kejadian dan tindakannya seolah-olah disebabkan oleh adanya kekuatan di luar dirinya seperti nasib, kesempatan, ataupun kekuatan dari orang lain. Oleh karena itu, individu dengan locus of control eksternal beranggapan bahwa peristiwa yang


(43)

dialaminya merupakan akibat dari adanya faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan oleh dirinya.

Perbedaan locus of control pada seseorang ternyata dapat menimbulkan perbedaan pada aspek-aspek kepribadian yang lain. Rotter (Baron & Byrne, 1992) menyebutkan bahwa individu dengan locus of control internal ternyata lebih banyak menimbulkan pengaruh-pengaruh positif pada kepribadian. Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal lebih bersikap menerima (conform) terhadap pengaruh-pengaruh tesebut. Lebih lanjut, Rotter (dalam Szhultz & Szhultz) menjelaskan bahwa bila individu dengan locus of control internal gagal, maka mereka akan merasa bertanggung jawab terhadap kegagalannya. Rasa tanggung jawab ini disertai dengan sikap tidak mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Individu dengan locus of control eksternal merasa tidak harus bertanggung jawab terhadap kegagalan yang dihadapinya, karena kegagalan tersebut bukanlah akibat dari perbuatannya. Bersamaan itu pula mereka juga tidak merasa perbuatan dengan bekerja keras akan membawa pengaruh pada keberhasilan atau hasil yang diharapkan. Hal inilah yang membawa individu pada sikap pasrah menerima (conform) terhadap pengaruh-pengaruh yang menimpa dirinya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ada dua jenis locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal menganggap perubahan yang terjadi karena tindakan atau usahanya sendiri, dan kemampuan diri (ability). Individu dengan locus of control eksternal melihat perubahan karena faktor dari luar. Kejadian dan


(44)

tindakannya disebabkan karena kekuatan di luar dirinya seperti keberuntungan, kesempatan dan pengaruh orang lain.

II.B.3. Aspek-aspek Locus of Control

Di dalam locus of control, baik internal maupun eksternal, masing-masing jenis tersebut memiliki aspek yang turut mempengaruhinya. Adapun aspek-aspek tersebut antara lain:

a. Aspek locus of control internal: 1. Usaha

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialami dalam hidupnya ditentukan oleh usaha-usaha yang dilakukan oleh individu tersebut (Rotter Phares, 2005). Pada individu yang melajang bisa saja loneliness yang dialaminya disebabkan oleh kurangnya usaha individu dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisnya.

2. Kemampuan

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kemampuan dari dirinya sendiri (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Sebagai contoh, individu lajang mengalami loneliness ketika ia merasa kurang atau tidak mampu untuk menarik perhatian lawan jenisnya.


(45)

b. Aspek locus of control eksternal: 1. Nasib

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam hidupnya sudah ditakdirkan dan tidak dapat dirubah kembali (Rotter dalam Vaughan & Hogg, 2002). Pada individu yang melajang, keadaan loneliness yang dialaminya bisa terjadi karena ia merasa bahwa nasib sedang tidak berpihak padanya saat ingin membangun suatu hubungan dengan seseorang. 2. Kesempatan

Keyakinan individu bahwa faktor keberuntungan ataupun peluang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Rotter dalam Phares, 1992). Disini, individu yang melajang bisa saja merasa lonely disebabkan ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk dapat berkenalan dengan lawan jenisnya.

3. Pengaruh orang lain

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialaminya disebabkan oleh adanya pengaruh orang lain yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka (Rotter dalam Phares, 1992). Contohnya, saat individu tidak mempunyai dukungan yang lebih dalam membangun hubungan dengan seseorang dari orang-orang terdekatnya maka dapat menimbulkan perasaan lonely pada dirinya.


(46)

III.C. Dinamika Loneliness Pada Individu yang Melajang Ditinjau dari

Locus of Control

Perkawinan merupakan peristiwa normal dalam kehidupan manusia dimana setiap individu yang sudah mencapai usia dewasa, mereka akan dihadapkan dengan hal tersebut. Perkawinan akan terjadi saat individu sudah memiliki hubungan intim dengan seseorang dan komitmen dengan pasangannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Stenberg (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan bahwa komitmen akan terjadi saat individu merasakan adanya kedekatan emosional yang membuat individu berkeinginan untuk mempertahankan hubungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, keintiman dan komitmen menjadi suatu hal yang penting bagi individu dewasa.

Akan tetapi, sekarang ini banyak individu baik, laki-laki maupun perempuan yang menunda perkawinannya dan hidup melajang. Salah satu alasan individu menunda perkawinan mereka adalah mempersiapkan karir yang mapan dimana ketika mereka sedang fokus pada membangun karir, keterlibatan emosional dengan seseorang menjadi hal yang tidak begitu diinginkan (Perlman, Russel, & Heim, serta Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002).

Namun, pada akhirnya individu tetap merasakan kebutuhan yang sangat besar untuk memiliki seseorang yang dicintainya, bila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi ada kemungkinan individu akan mengalami loneliness (Rubenstein & Shaver dalam Brehm, 2002). Selain itu, ketidakhadiran pasangan bagi individu lajang menimbulkan emotional loneliness yang dirasa menyakitkan dan membawa reaksi negatif (Joyner et al, 1999) dan bila tidak juga terpenuhi dapat membawa


(47)

loneliness tersebut menjadi semakin kuat pada diri individu (Heffner dalam Weiten & Llyod, 2006). Dengan demikian merupakan suatu hal penting bagi setiap individu memiliki seseorang yang khusus di dalam hidupnya agar terhindar dari loneliness.

Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa loneliness menjadi masalah bagi individu melajang dimana setiap orang dapat memiliki interpretasi yang berbeda dalam memaknainya. Loneliness muncul saat individu merasakan kekurangan dan ketidakpuasan terhadap hubungan sosial yang dimilikinya baik secara kualitas maupun kuantitas (Perlman & Peplau dalam Taylor, Peplau, & Sears, 1999). Pada individu yang melajang, loneliness terjadi ketika individu merasakan adanya kekurangan ataupun ketidakpuasan yang disebabkan oleh tidak adanya hubungan kedekatan emosional dengan seseorang (Myers, 1999). Orang yang mengalami loneliness akan merasakan desperation, depression, impatient boredom, dan self-deprecation (Rubenstein & Shaver dalam Brehm et al, 2002). Keadaan tersebut perlu diatasi dengan segera karena dapat membawa dampak negatif bagi individu dimana mereka menunjukkan perilaku interpersonal yang buruk sehingga individu menjadi tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitar dan juga dapat menurunkan kesehatan mental serta fisiknya (Jones & Carver dalam Brehm et al, 2002)

Perilaku interpersonal berhubungan dengan causal attribution yang dilakukan oleh individu. Causal attribution ini merupakan penjelasan mengenai faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap peristiwa atau kejadian yang dialami oleh seseorang yaitu dari perilakunya atau hal lain di luar dirinya (Weiner


(48)

dalam Pervin, 2005). Di dalam causal attribution yang menjadi faktor penyebab munculnya loneliness yaitu karakteristik kepribadian dan faktor situasional (Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002), dimana karakteristik memegang peranan yang besar terhadap terjadinya loneliness pada seseorang (Brehm et al, 2002). Adapun karakteristik kepribadian dalam causal attribution adalah locus of control yaitu keyakinan individu dalam menjelaskan sumber penyebab keadaan yang dialaminya itu apakah disebabkan oleh perilakunya sendiri (internal) atau adanya faktor lain (eksternal) di luar dirinya (Rotter dalam Pervin, 2005).

Karakteristik individu yang lebih berorientasi internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol lebih dalam mengendalikan kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena tindakan atau usahanya sendiri, dibandingkan dengan individu yang lebih berorientasi eksternal yang meyakini bahwa mereka memiliki sedikit kontrol terhadap hidupnya (Rotter Baron & Byrne, 1992). Individu dengan locus of control internal juga dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki self-esteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik daripada individu dengan locus of control eksternal (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994).

Individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab terhadap kejadian atau peristiwa yang dialaminya. Sebaliknya, individu yang mengembangkan orientasi eksternal meyakini bahwa kesempatan, tindakan orang lain dan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrollah yang


(49)

bertanggung jawab terhadap kejadian atau peristiwa didalam hidupnya (Rotter Feist & Feist, 2002). Keberhasilan yang dirasakan karena usahanya sendiri jauh lebih membanggakan dibandingkan merasa berhasil karena kebetulan, akan tetapi kegagalan yang dialami oleh individu karena kurangnya usaha akan dianggap jauh lebih memalukan dibandingkan dengan kegagalan yang merasa orang lain tidak membantu (Rotter dalam Baron & Byrne, 1992). Pada individu yang mengalami loneliness, keadaan tersebut terjadi karena kurang atau tidak adanya kontrol dari dalam diri untuk mengatasinya (Jones dalam Bron & Byrne, 1992).

Berdasarkan uraian diatas, peneliti akan melihat apakah ada perbedaan loneliness yang dialami oleh individu dewasa dini yang melajang ditinjau dari locus of control. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah individu lajang yang lebih berorientasi internal dan individu lajang yang lebih berorientasi eksternal memiliki tingkat loneliness yang berbeda.

III.D. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah : ” ada perbedaan tingkat loneliness antara individu lajang dengan locus of control internal dan individu lajang dengan locus of control eksternal ”.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan bagaimana suatu penelitian dilakukan karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisis data, dan pengambilan keputusan hasil penelitian. Pembahasan dalam metode penelitian meliputi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, subjek penelitian, dan metode analisis data (Hadi, 2000). Penelitian yang dilakukan adalah penelitian komparasional yaitu penelitian yang membandingkan antara dua variabel untuk melihat apakah ada perbedaan antara kedua variabel tersebut.

III.A. Identifikasi Variabel Penelitian

Untuk dapat menguji hipotesis penelitian terlebih dahulu diidentifikasi variabel-variabel penelitian. Variabel-variabel yang terlibat didalam penelitian ini antara lain:

1. Variabel tergantung : Loneliness

2. Variabel bebas : Locus of control, terbagi dua yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal

Selain dari variabel yang dikemukakan diatas, terdapat juga variabel lain yang turut mempengaruhi variabel penelitian yang disebut dengan variabel kontrol. Adapun variabel kontrol tersebut antara lain: gender, usia, status perkawinan, status sosial ekonomi, dan pendidikan.


(51)

III.B. Definisi Operasional Variabel III.B.1. Loneliness

Loneliness adalah suatu bentuk perasaan tidak menyenangkan sebagai akibat dari kekurangan ataupun ketidakpuasan yang dirasakan individu terhadap hubungan sosial yang sedang dijalaninya karena tidak memiliki ikatan hubungan kedekatan emosional yang intim dengan seseorang.

Dalam penelitian ini loneliness diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan empat aspek perasaan lonely yang dikemukakan oleh Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002). Keempat aspek tersebut adalah: a. Desperation

Desperation merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam dirinya yang dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan nekat. Desperation ini ditandai dengan munculnya perasaan putus asa, tidak berdaya, takut atau khawatir, tidak memiliki harapan, ditinggalkan atau dibuang, dan diejek.

b. Impatient Boredom

Impatient boredom adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kebosanan yang tidak tertahankan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari kejenuhan terhadap dirinya sendiri. Impatient Boredom ini ditandai dengan munculnya perasaan tidak sabaran, menjemukan atau bosan, ingin berada ditempat lain, gelisah atau tidak tenang, marah, dan tidak mampu berkonsentrasi.


(52)

c. Self-deprecation

Self-deprecation adalah suatu keadaan dimana individu menyalahkan, mencela, ataupun mengutuk dirinya sendiri terhadap peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Self-deprecation ditandai dengan munculnya perasaan bahwa dirinya tidak menarik, rendah diri, bodoh, malu, dan tidak nyaman. d. Depression

Depression adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang mendalam dan terus menerus ataupun dalam kondisi tertekan sehingga bila tidak diatasi dapat mengarahkannya pada tindakan bunuh diri. Depression ini ditandai dengan munculnya perasaan sedih, tertekan atau hilang semangat, kosong atau hampa, terkucil, menyesali diri, murung, diasingkan, dan ingin bersama dengan seseorang yang khusus.

Tingkat loneliness yang dialami individu dilihat dari besarnya skor yang diperoleh pada Skala Loneliness. Semakin tinggi nilai skor total yang diperoleh, maka semakin tinggi pula tingkat loneliness yang dirasakan individu. Sebaliknya, semakin rendah nilai skor total yang diperoleh, maka semakin rendah pula tingkat loneliness yang dirasakan oleh individu.

Adapun penggolongan subjek dilakukan kedalam 3 kategori (Azwar, 2005) yaitu: kelompok yang memiliki tingkat loneliness tinggi (perasaan lonely indvidu semakin kuat), tingkat loneliness sedang (perasaan lonely individu tidak begitu kuat maupun lemah), dan tingkat loneliness rendah (perasaan lonely individu semakin lemah) dengan rumusan sebagai berikut :


(53)

Tabel 1

Pengkategorisasian Loneliness

X  M + 1 SD Tinggi

M + 1 SD < X  M – 1 SD Sedang

M – 1 SD < X Rendah

III.B.2. Locus of Control

Locus of control adalah suatu bentuk keyakinan individu mengenai sumber pengendali perilakunya (kemampuan untuk membangun interaksi dengan orang lain). Locus of control terbagi dua, baik secara internal (karena perilakunya sendiri), maupun secara eksternal (karena adanya faktor lain diluar dirinya). Locus of control ini berhubungan dengan hasil yang diperoleh individu berupa penguatan yang akan diterimanya, yaitu keberhasilan atau kegagalan dalam menjalin hubungan yang intim dengan seseorang.

Dalam penelitian ini locus of control diukur dengan menggunakan skala yang disusun berdasarkan aspek-aspek locus of control yang dikemukakan oleh Rotter yaitu:

a. Aspek locus of control internal: 1. Usaha

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialami dalam hidupnya ditentukan oleh usaha-usaha yang dilakukan oleh individu tersebut (Rotter dalam Phares, 1992).


(54)

2. Kemampuan

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kemampuan dari dirinya sendiri (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994).

b. Aspek locus of control eksternal: 1. Nasib

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam hidupnya sudah ditakdirkan dan tidak dapat dirubah kembali (Rotter dalam Vaughan & Hogg, 2002).

2. Kesempatan

Keyakinan individu bahwa faktor keberuntungan ataupun peluang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Rotter dalam Phares, 1992).

3. Pengaruh orang lain

Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialaminya disebabkan oleh adanya pengaruh orang lain yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka (Rotter dalam Phares, 1992).

Kecenderungan arah pusat kendali individu dilihat jumlah skor yang diperoleh pada Skala Locus of Control (baik Skala Locus of Control Internal maupun Skala Locus of Control Eksternal). Semakin tinggi nilai skor total yang diperoleh, maka semakin eksternal individu tersebut. Sebaliknya, semakin rendah nilai skor total yang diperoleh, maka semakin internal individu tersebut.


(55)

Berkaitan dengantujuan diberikannya Skala Locus of Control, yaitu untuk menggolongkan individu ke dalam 2 kelompok (yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal) maka pembagian kelompok akan didasarkan median yaitu nilai tengah dari skor yang diperoleh subjek yang tersusun dan telah diurutkan dari nilai skor terendah sampai dengan nilai skor yang tertinggi (Corcoran & Fisher, 1987). Dalam penelitian ini untuk menggolongkan individu akan didasarkan pada median empirik karena pengelompokan tersebut hanya dikenakan pada sampel penelitian ini saja. Nilai terendah dan nilai tertinggi nantinya disusun dan diurutkan berdasarkan hasil skor yang diperoleh individu.

Setelah definisi operasional dari variabel penelitian diatas, berikut ini adalah definisi operasional dari variabel kontrol.

a. Gender

Borys dan Perlman (dalam Dane, Deaux, & Wrightman, 1993) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan tetap menunjukkan frekuensi yang sama saat mengalami loneliness. Meskipun demikian, perempuan lebih mudah menunjukkan ekspresi lonely daripada laki, dimana sebagian besar laki-laki yang mengalami loneliness menyangkal bahwa dirinya sedang merasa lonely. Didalam penelitian ini, gender didefinisikan sebagai jenis kelamin subjek penelitian dan didata dalam skala

b. Usia

Usia dewasa dini (19-39 tahun) adalah tahapan usia dimana individu paling sering merasakan perasaan lonely (Papalia, Olds, dan Feldman, 2004). Oleh karena itu, penelitian ini hanya akan melibatkan individu yang berada pada


(56)

pada masa dewasa dini. Usia dewasa dini nantinya akan dikelompokkan menjadi 3 kelas berdasarkan cara statistik dengan panjang kelas 7 yaitu 19-25 tahun, 26-32 tahun, dan 33-39 tahun.

c. Status Perkawinan

Status perkawinan adalah keadaan individu yang sudah menikah atau belum menikah. Individu yang belum menikah berkaitan dengan kondisi seseorang yang sedang melajang dimana individu yang melajang cenderung mengalami loneliness lebih tinggi dibandingkan dengan yang sudah menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack dalam Brehm et al, 2002). Di dalam penelitian ini, status perkawinan akan dikontrol dengan memilih individu yang belum pernah menikah dan belum memiliki pasangan (pacar).

d. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi berhubungan dengan tingkat pendapatan yang dimiliki oleh individu. Individu dengan pendapatan rendah cenderung mengalami loneliness lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki pendapatan tinggi (Weiss dalam Brehm et al, 2002). Status sosial ekonomi ini akan dilibatkan dalam penelitian dengan mendata status pekerjaan dan pendapatan subjek. Untuk pendapatan subjek akan dibagi menjadi 3 yaitu subjek dengan pendapatan tinggi (Rp 3.000.001,00 – Rp > 4.000.000,00), pendapatan sedang (Rp 1.000.001,00 – Rp 3.000.000,00), dan pendapatan rendah (Rp < 500.000, -Rp 1.000.000,00).


(57)

d. Pendidikan

Survey yang dilakukan oleh Page dan Cole’s (Brehm, 2002) menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang memiliki korelasi terbalik dengan loneliness. Pada penelitian ini, pendidikan akan dilibatkan dalam penelitian dengan mendata tingkat pendidikan mulai dari tingkat pendidikan yang paling rendah (Sekolah Dasar) sampai dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Pacsa Sarjana).

III.C. Subjek Penelitian dan Teknik Pengambilan Sampling III.C.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Dalam suatu penelitian masalah populasi dan sampel yang dipakai merupakan satu faktor penting yang harus diperhatikan (Hadi, 2000). Populasi adalah sejumlah individu yang paling sedikit memiliki sifat yang sama. Adapun karakteristik dari populasi yang hendak diteliti ini sesuai dengan definisi operasional variabel kontrol yang telah dikemukakan diatas yaitu:

a. Berada pada usia dewasa dini (19-39 tahun) b. Belum menikah

c. Belum memiliki pasangan

d. Tingkat pendidikan minimal Sekolah Dasar (SD). Penentuan ini didasarkan pada asumsi bahwa tingkat pendidikan Sekolah Dasar dianggap dapat membaca kalimat yang ada dalam skala dan menulis respon mereka.

Menyadari luasnya keseluruhan populasi dan keterbatasan yang dimiliki peneliti, maka subjek penelitian yang dipilih adalah sebagian dari keseluruhan


(58)

populasi yang dikenakan dalam penelitian yang disebut dengan sampel (Hadi, 2000). Dalam penelitian ini jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 80 orang .

III.C.2. Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel menurut Kerlinger (2002) berarti mengambil suatu bagian dari populasi atau wakil (representasi) dari populasi tersebut. Pada penelitian ini, responden diperoleh melalui teknik non probability sampling secara incidental yang berarti pemilihan sampel dari populasi didasarkan pada faktor kebetulan dan kemudahan dijumpainya sampel yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian (Hadi, 2000).

Adapun teknik incidental sampling ini memiliki kelebihan dan kelemahan di dalam membuat kesimpulan dari suatu penelitian (Hadi, 2000). Hadi (2000) menyatakan bahwa kelebihan dari teknik ini adalah kemudahannya dalam menemukan sampel, menghemat biaya, waktu, tenaga, dan adanya keterandalan subyektifitas peneliti yaitu kemampuan peneliti untuk melihat bahwa subjek yang dipilih sudah sesuai dengan karakteristik yang telah ditetapkan. Akan tetapi, kelemahan dari teknik ini yaitu tidak dapat memberikan taraf keyakinan yang tinggi sehingga sulit untuk ditarik kesimpulan ataupun digeneralisasikan ke populasi lainnya. Selain itu, karena teknik ini mengandalkan subyektifitas dari peneliti mengakibatkan adanya kemungkinan terjadinya bias dalam pemilihan sampel.


(59)

III.D. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan dua skala yaitu Skala Loneliness dan Skala Locus of Control.

Skala merupakan suatu metode pengumpulan data yang berisi daftar pernyataan yang harus dijawab oleh subjek secara tertulis. Skala didasarkan pada laporan pribadi (self report) yang memiliki beberapa kelebihan, antara lain (Hadi, 2000):

1. Subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

2. Apa yang dinyatakan subjek pada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya. 3. Interpretasi subjek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya

adalah sama dengan apa yang dimaksud dengan peneliti.

Meskipun demikian, metode skala ini juga memiliki kekurangan dimana karena berupa laporan diri sehingga individu mungkin sekali merasa segan atau takut dalam memberikan jawaban tentang diri mereka. Hal tersebut tentunya akan membuat hanya beberapa hal saja yang sesuai atau dapat diselidiki dari diri individu sehingga dapat menghasilkan gambaran yang kurang teliti (Hadi, 2000). Untuk meminimalisir hal tersebut maka dibuatlah aitem favorabel dan aitem unfavorabel.

Pada penelitian ini, Skala Loneliness merupakan skala yang mengukur respon subjek terhadap loneliness yang dialaminya untuk melihat seberapa besar tingkat intensitasnya sehingga perlu dibuat aitem favorabel dan aitem unfavorabel.


(1)

18

Saya marah dengan keadaan saya saat ini karena belum juga

mendapatkan seorang pacar STS TS S SS

19

Kegagalan saya dalam membina hubungan dengan lawan jenis

bukan diakibatkan oleh kebodohan saya STS TS S SS

20

Ketiadaan hubungan yang khusus dengan seseorang membuat saya

merasa tertekan STS TS S SS

21

Saya merasa terkucil dari lingkungan karena status lajang yang saya

miliki STS TS S SS

22

Ketidakhadiran seorang pacar tidak membuat saya ingin melarikan

diri ke tempat lain STS TS S SS

23

Saya suka bertanya kepada diri saya sendiri mengapa hingga

sekarang ini, saya belum juga memiliki seorang pacar STS TS S SS 24 Ketiadaan seorang kekasih membuat hidup saya kurang berwarna STS TS S SS

25

Saya merasa kehilangan rasa percaya diri ketika tidak memiliki

seorang pacar STS TS S SS

26 Saya harus mempunyai pacar sesegera mungkin STS TS S SS

27

Pertanyaan mengenai siapa pacar saya sekarang ini membuat saya

merasa tidak nyaman STS TS S SS

28

Walaupun tanpa adanya seorang kekasih, tidak membuat saya

memutuskan hubungan dengan dunia luar STS TS S SS

29

Saya merasa orang-orang disekitar saya dingin dan tidak peduli

karena saya belum juga memiliki pasangan STS TS S SS

30

Ketiadaan seorang pacar membuat saya tidak percaya diri untuk

berkumpul dengan teman-teman saya yang sudah memiliki pasangan STS TS S SS

31

Walaupun saya belum juga memiliki pasangan, hal itu tidak

membuat saya khawatir STS TS S SS

32

Saya tidak merasa terasing saat berkumpul dengan orang-orang yang

telah berpasangan STS TS S SS

33

Saya merasa tersindir ketika orang lain membicarakan status lajang

yang saya miliki STS TS S SS

34 Ketiadaan pasangan membuat saya merasa ada yang kurang dari diri saya


(2)

35

Saya merasa diasingkan ketika tidak ada orang yang perduli terhadap

kehidupan pribadi saya STS TS S SS

36 Ketidakhadiran seorang pacar, tidak membuat saya merasa sedih STS TS S SS

37

Saya memiliki kerinduan untuk bisa bersama dengan seseorang yang

khusus STS TS S SS

38

Saya merasa gundah ketika orang tua menanyakan siapa pacar saya

saat ini STS TS S SS

39

Walaupun saya masih sendiri, hal itu tidak berarti saya akan

menerima siapapun untuk menjadi pacar saya STS TS S SS

40 Saya dapat menerima status lajang yang saya miliki STS TS S SS

41

Ketiadaan pasangan membuat saya sering merasa tidak sanggup

melakukan segala sesuatu STS TS S SS

42

Saya sering merasakan adanya kekosongan dalam diri saya karena

tidak mempunyai pacar STS TS S SS

Mohon Periksa Kembali Jawaban Anda Agar Tidak Ada Yang Terlewatkan


(3)

Bagian 2

PETUNJUK PENGISIAN

Pada bagian kedua ini akan disajikan 30 pernyataan

Anda diminta untuk memberikan pendapat atas pernyataan tersebut dengan cara memberi tanda checklist ( ) pada salah satu kotak pilihan jawaban yaitu YA dan TIDAK yang disediakan

Berikut ini contoh pengerjaannya:

YA TIDAK

1. Saya merasa mampu untuk mendapatkan seorang pacar

Jika Anda salah memberi tanda checklist ( ), maka beri tanda sama dengan ( = ) diatas jawaban yang salah, dan berilah tanda checklist ( ) pada jawaban yang sesuai

Contoh:

YA TIDAK 1.

Saya merasa mampu untuk mendapatkan seorang pacar

Pilihlah pernyataan benar-benar sesuai dengan diri Anda dan usahakan agar tidak ada satu pernyataan pun yang terlewatkan.

“ SELAMAT BEKERJA ”


(4)

YA TIDAK 1. Ketika saya sudah merasa tidak nyaman dengan status lajang yang

saya miliki, maka saya merasa seharusnya berkonsultasi dengan orang tua

YA TIDAK 2. Untuk bisa mendapatkan seorang pacar hanya diperlukan usaha dari

diri saya

YA TIDAK 3. Keberhasilan saya dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah

karena saya pandai memanfaatkan kesempatan yang ada

YA TIDAK 4. Keinginan untuk memiliki pacar diputuskan oleh diri saya sendiri

YA TIDAK 5. Tidak adanya pasangan di sisi saya merupakan faktor kebetulan saja

YA TIDAK 6. Untuk mendapatkan perhatian lawan jenis, saya harus terus

meningkatkan kemampuan saya dalam bergaul

YA TIDAK 7. Saya memperhatikan faktor nasib dalam mencari pasangan

YA TIDAK 8. Orang tua mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan

kriteria pasangan hidup saya

YA TIDAK

9. Bila saya berusaha untuk memperluas pergaulan yang saya miliki, saya yakin dapat memperoleh seorang pacar

YA TIDAK

10. Saya merasa bahwa kondisi saya yang tidak punya pacar merupakan takdir yang memang seharusnya terjadi

YA TIDAK

11. Saya menggunakan berbagai kesempatan untuk bergaul dengan lawan jenis


(5)

YA TIDAK 12. Kegagalan saya dalam membangun hubungan yang khusus dengan

seseorang dikarenakan nasib saya sedang tidak mujur

YA TIDAK

13. Kesendirian yang saya alami berhubungan dengan kurangnya kesempatan yang saya miliki

YA TIDAK

14. Saya percaya bahwa teman-teman saya dapat membuat saya memperoleh pasangan

YA TIDAK 15. Kesendirian yang saya alami saat ini karena saya kurang memiliki

waktu untuk bertemu dengan lawan jenis

YA TIDAK

16. Saya yakin dapat memperoleh pacar yang saya inginkan dengan usaha yang keras

YA TIDAK 17. Saya sering memperhatikan kesempatan yang ada untuk dapat

berkenalan dengan lawan jenis

YA TIDAK 18. Memang sudah nasib saya untuk tidak memiliki pacar pada saat ini

YA TIDAK 19. Kesendirian yang saya alami berkaitan dengan adanya pengaruh dari

orang-orang disekitar saya

YA TIDAK 20. Kemampuan saya dalam bergaul dengan orang lain merupakan modal

utama saya dalam memperoleh pasangan

YA TIDAK 21. Untuk memperoleh seorang pacar, saya membutuhkan bantuan dari

orang lain

YA TIDAK 22. Bagaimana cara saya mendapatkan pasangan tergantung pada


(6)

YA TIDAK 23. Kegagalan saya dalam mendapatkan pasangan berhubungan dengan

kurangnya dukungan dari orang terdekat saya

YA TIDAK

24. Saya yakin dapat menemukan pasangan hidup saya dengan hanya mengandalkan kemampuan saya saja

YA TIDAK 25. Nasib saya sering buruk bila berkaitan dengan mencari pasangan

Mohon Periksa Kembali Jawaban Anda Agar Tidak Ada Yang Terlewatkan