Perjanjian menurut Hukum Islam

BAB II LANDASAN TEORI

A. Perjanjian menurut Hukum Islam

1. Pengertian Setidaknya ada 2 dua istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-‘aqdu akad dan kata al-‘ahdu janji. 12 Yang pertama secara harfiah berarti perjanjian, perikatan dan permufakatan, sedangkan istilah yang kedua berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian. Dengan demikian istilah al-‘aqdu dapat disamakan dengan istilah perikatan atau verbintenis dalam KUHPer, sedangkan kata al-‘ahdu dapat dikatakan sama dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut-pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan, sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam QS. Ali Imran 3: 76. 13 . ☺ 12 G e m a la De w i, d kk, Hukum Pe rika ta n Isla m d i Ind o ne sia , c e t.II Ja ka rta : Ke nc a na , 2006, h. 45. 13 Fa turra hm a n Dja m il, d kk, Hukum Pe rja njia n Sya ria h d a la m Ko m p ila si Hukum Pe rika ta n Ba nd ung : PT C itra Ad itya Ba nkti, 2001, h. 248. Artinya: “Bukan demikian, sebenarnya siapa yang menepati janji yang dibuatnya dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” Menurut Subekti bahwa Perikatan lahir dari Perjanjian. Perikatan mengandung makna yang lebih luas karena munculnya perikatan juga bisa disamakan dengan istilah kontrak yang mensyaratkan perjanjian tersebut harus dituangkan secara tertulis, sedangkan perjanjian tidak mensyaratkan harus tertulis tapi lebih menekankan pada adanya kesepakatan yang hendak dicapai oleh para pihak yang berjanji. Rumusan akad di atas mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus setelah akad secara efektif mulai diberlakukan. Para ahli hukum Islam jumhur ulama memberikan definisi akad sebagai: “pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya.” 14 Pengertian akad juga dapat dijumpai dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 746PBI2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dalam ketentuan Pasal 1 ayat 3 dikemukakan bahwa akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab penawaran dan qabul penerimaan antara bank 14 G hufro n A. Ma s’ a d i, Fiq h Mua m a la h Ko nte kstua l Ja ka rta : PT Ra ja G ra find o Pe rsa d a , 2002, h. 76. dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip Syariah. Dengan demikian perjanjian menurut hukum Islam adalah kesepakatan kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam ikatan ijab dan qabul yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip Syariah. 2. Asas-Asas Perjanjian Menurut hukum Islam perjanjian atau akad harus memenuhi beberapa asas, jika asas ini tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya perikatan perjanjian tersebut. Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut: 15 a. Al-Hurriyah Kebebasan Asas ini merupakan prinsip dasar hukum Islam dan merupakan prinsip dasar pula pada perjanjian. Dalam artian para pihak bebas membuat suatu perjanjian atau akad freedom of making contract, bebas dalam menentukan objek perjanjian dan bebas menentukan dengan siapa ia akan membuat perjanjian, serta bebas menentukan bagaimana cara menentukan penyelesaian sengketa jika terjadi dikemudian hari. Para pihak bebas membuat perjanjian selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam, adanya kebebasan ini bertujuan untuk menghindari penindasan dan kesewenang-wenangan, penekanan serta penipuan. Bila 15 Dja m il, Hukum Pe rja njia n Sya ria h, h. 249. dalam praktek terjadi penekanan, pemaksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut tidak sah. Dasar hukum mengenai asas ini tertuang dalam QS. Al-Baqarah 2: 256: ⌧ … Artinya: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah...” Adanya kata-kata tidak ada paksaan ini, berarti Islam menghendaki dalam hal perbuatan apapun harus didasari oleh kebebasan untuk bertindak, sepanjang itu benar dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai Syariah. b. Al-Musawah Persamaan atau Kesetaraan Asas ini memberikan landasan bahwa kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antara satu dan lainnya. Sehingga pada saat menentukan hak dan kewajiban masing- masing didasarkan atas asas persamaan atau kesetaraan. Dasar hukum mengenai asas ini tertuang dalam QS. Al-Hujurat 49: 13: ⌧ Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki- laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi maha Mengenal.” Dari ketentuan tersebut, Islam menunjukkan bahwa semua orang mempunyai kedudukan yang sama didepan hukum equality before the law , sedangkan yang membedakan kedudukan antara orang satu dengan yang lainnya di sisi Allah adalah derajat ketakwaannya. c. Al-‘Adâlah Keadilan Pelaksanaan asas ini dalam suatu perjanjian akad menuntut para pihak untuk melakukan yang benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajibannya. Perjanjian harus senantiasa mendatangkan keuntungan yang adil dan seimbang, serta tidak boleh mendatangkan kerugian bagi salah satu pihak. Allah sangat mencintai umatnya yang berlaku adil, karena keadilan adalah salah satu sifat Allah SWT. Seperti ditekankan dalam QS. Al- Maidah 5: 8: … ... Artinya: “...berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa...” d. Ar-Ridhâ Kerelaan Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak, harus didasarkan pada kesepakatan bebas dari para pihak dan tidak boleh ada unsur paksaan, tekanan dan penipuan. Pernyataan untuk mengikatkan diri dalam perjanjian betul-betul muncul dari kesadaran dan keikhlasan untuk melakukan perjanjian. Apabila tidak ada kerelaan dalam perjanjian maka sama saja dengan telah terjadi kebatilan karena salah satu pihak merasa dirugikan atau ditekan. Dasar hukum adanya asas kerelaan dalam pembuatan perjanjian dalam QS. An-Nisa 4: 29: ⌧ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” e. Ash-Shidiq Kejujuran dan Kebenaran Dalam membuat perjanjian para pihak harus berusaha untuk terbuka mengenai kebutuhan dan kepentingan masing-masing tanpa ada maksud untuk memalsukan, mendustai dan menipu atau memperdaya pihak lain. Apabila asas ini tidak dijalankan maka akan merusak legalitas akad yang dibuat. Dasar hukum mengenai asas ini terdapat dalam QS. Al-Ahzab 33: 70: . Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.” f. Al-Kitâbah Tertulis Sebagaimana dalam hukum positif yang berlaku saat ini, bahwa dalam perjanjian harus dibuat tertulis. Pembuatan perjanjian secara tertulis, juga akan sangat bermanfaat jika dikemudian hari timbul sengketa sehingga terdapat alat bukti tertulis mengenai sengketa yang terjadi. 3. Syarat Sahnya Perjanjian Dalam ajaran Islam untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi rukun dan syarat dari suatu akad. Rukun adalah unsur yang mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal, peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut. 16 Dalam pembuatan perjanjian menurut hukum Islam ada beberapa unsur yang harus dipenuhi sebagai rukun sehingga perjanjian tersebut sah, yaitu: a. Shighat al-‘aqad Pernyataan Untuk Mengikatkan Diri 16 Ib id ., h. 252. Adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan qabul. Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Qabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang dilakukan oleh pihak pertama. Para ulama fiqh mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan qabul agar memiliki akibat hukum, yaitu sebagai berikut: 17 1 Jalâ’ul ma’na yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki. 2 Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qabul. 3 Jazmul irâdataini yaitu antara ijab dan qabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu dan tidak terpaksa. Adapun shighat al-‘aqad dapat dilakukan secara lisan, tertulis atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan qabul, dan dapat pula berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul. Para ulama menyatakan hal tersebut dalam: 18 “Tulisan itu sama dengan ungkapan lisan” b. Mahal al-‘aqad Objek Akad 17 Ib id ., h. 253. 18 We nd ra Yuna ld i, Po tre t Pe rb a nka n Sya ria h d i Ind o ne sia Ja ka rta : C e ntra lis, 2007, h. 60. Sesuai dengan bentuk perjanjian maka objek akad bermacam- macam sesuai dengan perjanjian yang dilakukan. Agar suatu akad dapat dipandang sah, objek akad memerlukan syarat sebagai berikut: 1 Telah ada pada waktu akad diadakan. 2 Dibenarkan oleh syara’ nash. 3 Dapat ditentukan dan diketahui 4 Dapat diserahkan pada waktu akad terjadi. c. Al-‘âqidain Pihak-Pihak Yang Berakad Pihak-pihak yang berakad harus sama-sama mempunyai kecakapan melakukan tindakan hukum dalam artian sudah dewasa dan sehat akalnya. Sedangkan, jika perjanjian dibuat oleh orang yang tidak mempunyai kecakapan, misalnya melibatkan anak-anak maka ia harus diwakili oleh walinya. Dan untuk menjadi wali harus memenuhi persyaratan dalam hal kecakapan untuk menjalankan tugas secara sempurna, persamaan pandangan agama antara wali dan yang diwakilinya, adil, amanah dan mampu menjaga kepentingan orang yang berada dalam perwaliannya. 19 d. Maudhû’ al-‘aqad Tujuan Akad Setiap akad yang dibuat tentunya mempunyai tujuan tertentu, karena itu tujuan dari akad menjadi satu hal yang penting dari syarat akad. 19 Ab d ul G ho fur Ansho ri, Po ko k-Po ko k hukum Pe rja njia n Isla m d i Ind o ne sia Yo g ya ka rta : C itra Me d ia , 2006, h. 22. Dalam hukum positif yang menentukan tujuan perjanjian adalah undang- undang, sedangkan dalam syariah Islam yang menentukan tujuan akad adalah yang memberikan syari’at Al-Syari’ yaitu Allah SWT. Menurut ulama fiqh, hanya diketahui melalui syara’ dan harus sejalan dengan kehendak syara’. Atas dasar itu, setiap akad yang mempunyai tujuan atau akibat hukum yang tidak sejalan dengan syara’ hukumnya tidak sah. Tujuan akad memperoleh tempat penting untuk menentukan suatu akad dipandang sah atau tidak. Agar tujuan akad dianggap sah, maka harus memenuhi syarat: 20 1 Tujuan hendaknya baru ada pada saat akad diadakan. 2 Tujuan akad harus berlangsung terus dari awal akad sampai akhir akad. 3 Tujuan akad harus dibenarkan oleh syara’. 4. Berakhirnya Perjanjian Dalam konteks hukum Islam, perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan berakhir jika terpenuhi tiga hal sebagai berikut: 21 a. Berakhirnya masa berlaku akad Biasanya dalam sebuah perjanjian telah ditentukan saat kapan suatu perjanjian akan berakhir, sehingga dengan lampaunya waktu, maka secara 20 Ahm a d Azha r Ba syir, Asa s-Asa s Hukum Mua m a la t Hukum Pe rd a ta Isla m Yo g ya ka rta : UII Pre ss, 2000, h. 99. 21 Ib id ., h. 30. otomatis perjanjian akan berakhir, kecuali kemudian ditentukan lain oleh para pihak. b. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad Hal ini biasanya terjadi jika ada salah satu pihak yang melanggar ketentuan perjanjian, atau salah satu pihak mengetahui jika dalam pembuatan perjanjian terdapat unsur kekhilafan atau penipuan. Kekhilafan bisa menyangkut objek perjanjian error in objecto, maupun mengenai orangnya error in persona. c. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia Dalam Islam, bila telah meninggal anak Nabi Adam maka putuslah seluruh hubungannya dengan dunia, artinya dengan meninggalnya subjek perjanjian maka perjanjian otomatis berakhir. 22 5. Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perjanjian Syariah a. Dari segi subjek akad atau pihak yang melakukan akad: 1 Para pihak harus cakap melakukan perbuatan hukum, artinya orang dewasa dan bukan yang secara hukum berada dibawah pengampuan atau perwalian. Bila seseorang yang berada dibawah perwalian maka dalam melakukan perjanjian wajib diwakili oleh wali. 2 Indentitas para pihak dan kedudukan para pihak harus jelas. 3 Tempat dan waktu perjanjian dibuat harus jelas. b. Dari segi tujuan dan objek akad 22 Yuna ld i, Po tre t Pe rb a nka n Sya ria h, h. 63. 1 Disebutkan dengan jelas tujuan dari akad yang dibuat. 2 Objek akad harus tidak bertentangan dengan undang-undang, syara’, kepatutan dan moral. c. Adanya kesepakatan dalam hal yang berkaitan dengan: 1 Waktu perjanjian; baik sejak dimulainya perjanjian sampai berakhirnya perjanjian. 2 Jumlah dana; dana yang dibutuhkan, margin bagi hasil, biaya-biaya yang diperlukan dan hal-hal emergency yang memerlukan biaya. 3 Mekanisme kerja. 4 Jaminan; bagaimana kedudukan jaminan, besar jaminan dan hal yang berkaitan lainnya. 5 Penyelesaian; cara yang ditempuh bila terjadi perselisihan sengketa. 6 Objek yang diperjanjikan dan cara-cara pelaksanaannya. d. Adanya persamaan kesetaraan kesederajatan keadilan 1 Dalam hal menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban antara bank dan nasabah. 2 Dalam penyelesaian ketika mengalami kegagalan usaha dan jaminan. e. Pilihan hukum Pilihan hukum yang dimaksud adalah bila terjadi sengketa maka hukum yang dipakai adalah hukum Islam.

B. Kerjasama Syirkah