Pengaturan Penerbangan Sipil Hukum Internasional
penerbangan yang ada baik perusahaan penerbangan milik pemerintah maupun swasta. Pengaturan penerbangan ini hendaknya memperhatikan berbagai bidang
atau aspek yang berhubungan dengannya mengingat penerbangan ini mempunyaikaitan yang sangat luas dengan aspek lainnya. Keseluruhan
pengaturan itu membutuhkan adanya pengaturan yang terpadu, menyeluruh, up to date, sistematis dan memperhatikan kepentingan umum menghendaki suatu multi
airlines sistem yang efektif serta efesien
Menurut E. Suherman, Hukum Penerbangan Hukum Udara dalam artisempit merupakan suatu lapangan hukum tersendiri, mengingat bahwa
lapangan hukum ini mengatur objek yang mempunyai sifat yang tersendiri. Namun di samping itu, pendapat penulis lain yang mengatakan bahwa hukum
penerbangan tidaklah lebih dari pada umpulan norma-norma yang diambil dari lapangan hukum lain, seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang,
dan Hukum Antarnegara, yang diberlakukan dalam hukum penerbangan, menurut E. Suherman pendapat yang negatif ini sulit untuk dibenarkan.
22
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi “The Contracting States recognize the every state has complete and exclusive sovereignty over the
airspace above its territory” mengutip kembali Pasal Konvensi Paris 1919 yang berbunyi “The high contracting States recognize that ever power has complete
and exclusive over the airspace above its territory” yang pernah diperdebatkan apakah ruang udara tersebut benar-benar bebas, kecuali untuk mempertahankan
1. Konvensi Chicago 1944
22
Ibid
kedaulatan negara di bawahnya atau terbatas seperti laut teritorial sebagaimana diatur dalam hukum laut internasional atau ada lintas damai bagi pesawat udara
asing. Perdebatan tersebut dapat diselesaikan saat Konvensi Paris 1919 ditandatangani.
Setelah Perang Dunia Pertama berakhir disepakati bahwa tiap negara mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh berdasarkan hukum kebiasaan
internasional sebagaima diatur dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang diambil kembali dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944. Dalam hubungan ini, pengakuan
kedaulatan di udara tidak terbatas pada negara anggota, melainkan juga berlaku terhadap bukan negara anggota Konvensi Chicago 1944. Hal ini jelas dengan
adanya istilah every state. Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 lebih menjelaskan lagi bahwa untuk
keperluan Konvensi Chicago 1944 yang dimaksudkan adalah batas wilayah Negara state territory. Dengan demikian, secara tegas bahwa berlaku juga
terhadap bukan negara anggota. Lebih lanjut walaupun tidak secara tegas disebutkan semua Negara mengakui bahwa tidak ada negara manapun yang
berdaulat di laut lepas high seas. Lebih lanjut Konvensi Chicago 1944 juga tidak membuat pengertian apa yang dimaksudkan dengan wilayah udara airspace,
namun demikian, pengertian tersebut dapat meminjam penafsiran Mahkamah Internasional Permanent Court of International Justice dalam kasus sengketa
Eastern Greenland. Dalam kasus tersebut ditafsirkan “The natural meaning of the term is its geographical meaning,” yaitu ruang dimana terdapat udara air.
Lingkup yurisdiksi teritorial suatu Negara diakui dan diterima oleh negara
anggota Konvensi Chicago 1944 terus ke atas sampai tidak terbatas dan ke bawah bumi sepanjang dapat dieksploitasi
23
Penerbangan khususnya dan transportasi umumnya memang harus dikelola berlandaskan kebenaran-kebenaran dari bangsa yang beradab yang telah
dituangkan dalam berbagai SARPs Standart and Recommended Practicengas. keamanan dan keselamatan transportasi.
24
Konvesi Chicago 1944 adalah instrument hukum internasional khususnya hukum internasional Publik
Konvensi Chicago 7 Desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 April 1947. Uni Soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini
membatalkan konvensi Paris 1919, demikian juga konvensi Inter Amerika Havana 1928. Seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago mengakui validitas
kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000.
25
Hak prerogatif negara anggota dilakukan untuk menghindari konsekuensi prinsip kedaulatan di udara sebagaimana diuraikan di atas. Sepanjang menyangkut
. Konvensi Chicago 1944 termasuk sebagai instrument hukum internasional serta hubungan antar lembaga dan lembaga yang
dibentuk oleh Konvensi Chicago 1944. Selain itu Konvensi Chicago merupakan sumber hukum untuk Penerbangan Sipil internasional maupun penerbanagan Sipil
Nasional. 2. Hak Prerogatif
23
K. Martono, Op. Cit., hal. 18.
24
http:eezcyank.blogspot.com diakses tanggal 12 Mei 2015
25
Mochtar Kusumaadmaja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung 1996 hal 1
hak penerbangan traffic right, Konvensi Chicago 1944 membedakan antara penerbangan internasional tidak berjadwal dengan penerbangan initernasional
berjadwal. Kepada penerbangan internasional tidak berjadwal diberi sedikit kelonggaran, sedangkan untuk penerbangan internasional berjadwal tetap harus
memperoleh izin lebih dahulu. Mengenai penerbangan internasional berjadwal, pesawat udara asing diberi hak yang sama dengan perusahaan penerbangan
nasional dalam penggunaan fasilitas bandar udara dan navigasi penerbangan, sedangkan daerah terlarang prohibited area berlaku terhadap pesawat udara
nasional, pesawat udara asing baik berjadwal maupun tidak berjadwal
26
Sepanjang menyangkut angkutan udara internasional khususnya mengenai pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara,
3. Angkutan Udara Internasional Sepanjang menyangkut teknis dan operasional penerbangan, pembahasan
di dalam konferensi penerbangan sipil internasional berjalan dengan lancar, kecuali pembahasan di bidang ekonomi angkutan udara. Sepanjang pembahasan
di bidang ekonomi angkutan udara, mengalami banyak kesulitan dibandingkan dengan pembahasan di bidang teknis dan operasi penerbangan internasional.
Sepanjang menyangkut ekonomi angkatan udara, pendapat di dalam sidang terpecaya menjadi empat kelompok masing-masing pendapat Amerika
Serikat serta pendukungnya pendapat lnggris beserta pendukungnya Pendapat Kanada dan usul gabungan joint proposal antara Australia dengan Selandia
Baru.
26
Ibid., hal 20
kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara, Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas
angkutan udara dan tarif angkutan udara, pemerintah jangan mencampuri. Amerika Serikat berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi penerbangan,
jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, dan tarif angkutan udara diatur sendiri oIeh perusahaan penerbangan yang bersangkutan berdasarkan hukum
pasar supply and demand. Biarlah perusahaan penerbangan mengatur sendiri sesuai dengan kemampuannya.
Posisi Amerika Serikat demikian, di samping memang filosofi liberal di Amerika Serikat, didukung dengan adanya kesepakatan tidak tertulis antara
Amerika Serikat dengan Inggris pada saat Perang Dunia Kedua. Semasa Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat dengan Inggris mempunyai kesepakatan bahwa
Amerika Serikat menyediakan pesawat udara transport jarak jauh, sementara Inggris menyediakan pesawat udara tempur fighter. Akibat perjanjian tidak
tertulis tersebut, sesudah Perang Dunia Kedua berakhir armada Inggris lumpuh cipple sementara itu armada Amerika Serikat dengan mudah diubah menjadi
pesawat udara komersial sehingga Amerika Serikat tidak takut dan khawatir menghadapi armada nasional Inggris. Sebaliknya Inggris tidak memiliki jalan lain,
kecuali harus melindungi armada nasionalnya untuk bersaing dengan armada Amerika Serikat.
27
Sepanjang menyangkut ekonomi angkutan udara internasional, posisi Inggris dalam konferensi penerbangan sipil di Chicago tahun 1944 mengenai rute
27
Ibid., hal 21
penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara, maupun tarif angkutan udara sepenuhnya diatur oleh pemerintah. Tidak ada
penerbangan internasional yang dapat dilakukan dari atau ke Inggris, termasuk jajahannya tanpa persetujuan dari pemerintah Inggris. Posisi demikian memang
disadari oleh Inggris. Tidak ada jalan lain selain harus melindungi armada nasionalnya terhadap persaingan dengan armada negara lain, terutama Amerika
Serikat.
28
Posisi Kanada yang berkaitan dengan angkutan udara internasional adalah mengusulkan dibentuk International Air Authority yang akan menentukan
pengaturan rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tarif angkutan udara internasional. Menurut Kanada,
rute penerbangan, frekuensi penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan udara tidak ditentukan oleh perusahaan penerbangan
seperti usul Amerika Serikat, tetapi diatur oleh International Air Authority. Demikian pula Kanada juga berpendapat bahwa rute penerbangan, frekuensi
penerbangan, jenis pesawat udara, kapasitas angkutan udara dan tariff angkutan udara tidak ditentukan oleh pemerintah seperti usul Inggris, tetapi diatur oleh
International Air Authority.
29
Usul gabungan joint proposal yang disampaikan oleh Australia dan Selandia Baru dibentuk perusahaan penerbangan yang saham-sahamnya dimiliki
oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional yang dibentuk dan perusahaan penerbangan internasional tersebut melakukan rute-rute
28
Ibid., hal 22
29
Ibid
penerbangan internasional seperti dari Melbourne ke London dan sebaliknya, sedangkan rute regional maupun nasional dilayani oleh perusahaan penerbangan
yang ada di daerah bersangkutan. Usul gabungan yang diajukan oleh Australia dengan Selandia Baru rersebut ditolak oleh konferensi, tetapi usul tersebut
mengilhami lahirnya Pasal 77 Konvensi Chicago 1944.28 Di dalam Pasal tersebut dikatakan tidak ada larangan pembentukan perusahaan penerbangan internasional
yang dioperasikan bersama international joint operation agency.
30
Kegagalan untuk menyepakati pertukaran hak-hak penerbangan tersebut secara multilateral tetap diusahakan untuk mengurangi tingkat kegagalan, oleh
karena itu, konferensi penerbangan sipil internasional tersebut masih berusaha dengan mengesahkan “International Air Services Transit Agreement dan
International Air Transport Agreement” yang telah dibahas di atas. Di samping itu, konferensi penerbangan sipil internasional juga mengesahkan dokumen
tentang “International Civil Aviation, signed at Chicago on 7 December 1944, Interim Agreement on International Civil Aviation” yang melahirkan “Provisional
Semua usul yang dikemukakan oleh Amerika Serikat, Inggris, Kanada maupun usul gabungan Australia dengan Selandia Baru ditoIak oleh konferensi
penerbangan sipil internasional sehingga melahirkan Pasal 6 Konvensi Chicago 1944. Menurut Pasal tersebut tidak ada penerbangan internasional berjadwal dapat
dilakukan ke negara anggota lainnya, kecuali telah memperoleh izin lebih dahulu. Izin demikian biasanya diatur dalam perjanjian angkutan udara internasional
timbale balik.
30
Ibid., hal 23
International Civil Aviation Organization” dan “Chicago Standard Form Agreement” yang akan digunakan sebagai panduan dalam pembuatan perjanjian
angkutan udara internasional timbal balik. 4. Operasi Penerbangan
Sebagaimana disebutkan di atas, sepanjang menyangkut keselamatan penerbangan, khususnya ketentuan yang berkenaan dengan operasi penerbangan,
konferensi penerbangan sipil internasional sepakat hampir semua ketentuan yang pernah diatur dalam Konvensi Paris 1919 maupun Konvensi Havana 1928
disetujui untuk diatur kembali dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan- ketentuan operasi penerbangan tersebut antara lain penerbangan tanpa penerbang
pilotless, terbang di daerah terlarang, pendaratan di bandara yang ditetapkan, peraturan yang berlaku untuk operasional, lalu lintas udara, pencegahan wabah
kolera, tipes, cacar air, penyakit kuning, dan lain-lain, pencarian dan pertolongan pada kecelakaan pesawat udara, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara,
pesawat udara dalam bahaya, investigasi kecelakaan pesawat udara, dokumen penerbangan, sertifikasi awak pesawat udara dan pesawat udara, peralatan, dan
lain-lain.
31
Pesawat udara nasional maupun asing dilarang terbang di atas daerah terlarang prohibited area atau daerah terbatas restricted area untuk menjamin
keselamatan penerbangan aviation safety, ekonomi nasional national prosperity, maupun keamanan nasional national security. Larangan tersebut
5. Daerah Terlarang Prohibited Area
31
Ibid., hal 24
berlaku umum terhadap pesawat udara mana pun juga, tidak boleh diskriminasi. Bila pesawat udara asing dilarang terbang di daerah tersebut, pesawat udara
nasional juga harus dilarang. Penentuan daerah terlarang hanya didasari atas pertimbangan keamanan nasional national security, keselamatan penerbangan
aviation safety maupun kemakmuran nasional national prosperity. Tidak boleh penentuan daerah terlarang atas pertimbangan politik seperti pernah dilakukan
oleh India, di mana pesawat udara milik Pakistan dilarang terbang dari Pakistan Barat ke Pakistan Timur sekarang bernama Bangladesh, melalui rute
penerbangan yang biasanya digunakan, tetapi pesawat udara tersebut diperintahkan terbang melalui jalur penerbangan yang sangat jauh sehingga
memakan biaya operasi yang sangat besar. Bila pesawat udara asing maupun nasional terlanjur berada di daerah
terlarang, pesawat udara tersebut segera diinformasikan agar pesawat udara segera meninggalkan daerah terlarang. Namun demikian, bila mereka tidak menyadari
posisinya, pesawat udara tersebut dikejar dan dipaksa untuk mendarat di bandar udara airport atau pangkalan udara airbase yang berdekatan. Pesawat udara
tersebut tidak boleh ditembak, karena penembakan pesawat udara sipil bertentangan dengan semangat keselamatan yang diatur dalam Konvensi Chicago
1944, bertentangan dengan ajaran hukum doctrine tentang bela diri maupun bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Semangat konvensi Chicago 1944 adalah keselamatan penerbangan safety first, sedangkan ajaran hukum tentang bela diri mengatakan bahwa tindakan
penembakan pesawat udara terhadap pesawat udara sipil, tidak seimbang dengan
kesalahan yang dilakukan oleh pesawat udara sipil yang terlanjur terbang di daerah larangan terbang. Pesawat udara sipil yang ditembak jelas bertentangan
dengan hak-hak asasi manusia karena pesawat udara sipil tidak dipersenjatai, padahal pesawat udara yang menembak dipersenjatai.
32
Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional berhak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negaranya, baik
untuk operasi penerbangan nasional maupun internasional yang berasal atau ke Negara tersebut. Namun demikian, peraturan tersebut harus berlaku terhadap
semua pesawat udara nasional maupun internasional. Bila negara tersebut mengeluarkan peraturan harus mempertimbangkan keselamatan penerbangan
sipil. Hukum dan regulasi penerbangan yang berlaku adalah hukum nasional negara tersebut, kecuali pesawat udara yang terbang di atas laut lepas akan
berlaku hukum internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Chicago 1944 beserta peraturan pelaksanaannya.
6. Hukum dan Regulasi
33
Pesawat udara nasional maupun asing, kecuali melakukan, pendaratan darurat hanya dapat diizinkan melakukan pendaratan pada bandar udara yang
dilengkapi dengan petugas bea cukai customs, imigrasi immigration dan karantina quarantine baik karantina tumbuh-tumbuhan hewan maupun
7. Customs Immigration Quarantine, dan Wabah Penyakit
32
Ibid., hal 25
33
Ibid., hal 26
kesehatan. Semua penumpang maupun barang yang diterima maupun yang akan dikirim harus mematuhi hukum dan regulasi negara tersebut.
34
Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional, khususnya harus bebas dari wabah penyakit kolera, tipus, cacar air, penyakit
kuning, dan flu burung.
35
Di dalam hukum internasional setiap pesawat udara sipil yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai tanda pendaftaran
dan kebangsaan nationality and registration mark. Oleh karena negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional
harus bekerjasama erat, saling menjamin terselenggaranya penerbangan internasional yang bebas dari wabah penyakit tersebut. Konsultasi terus menerus
berlangsung tanpa ada kecurigaan yang tidak baik terhadap negara anggota lainnya. Dalam hal-hal tertentu di suatu negara melarang penumpang turun dari
pesawat udara sebelum diadakan disinsektisasi oleh negara tersebut. 8. Pendaftaran dan Kebangsaan Pesawat Udara
36
Pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara menggunakan prinsip pendaftaran tunggal. Tidak ada
pesawat udara secara resmi diakui mempunyai pendaftaran ganda dual registration,
37
Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh
pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari
34
Pasal 13 Konvensi Chicago 1944.
35
Pasal 14 Konvensi Chicago 1944.
36
Pasal 20 Konvensi Chicago 1944
37
Pasal 18 Konvensi Chicago 1944
negara tempat didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional. Pesawat
udara yang telah sehingga pesawat udara dapat didaftarkan bilamana telah dihapuskan pendaftaran sebelumnya. Pesawat udara yang melakukan penerbangan
internasional harus menampilkan display tanda pendaftaran dan kebangsaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Konvensi Chicago 1944.
Konvensi Chicago 1944 tidak mengatur persyaratan pendaftaran sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919. Menurut konvensi Chicago 1944
prosedur dan tata cara serta persyaratan pendaftaran pesawat udara diatur berdasarkan hukum dan regulasi hukum nasional negara yang bersangkutan. Oleh
karena itu, dapat terjadi perbedaan persyaratan pendaftaran pesawat udara dari satu negara ke negara yang lain.
Persyaratan pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Pesawat udara memperoleh tanda kebangsaan dan pendaftaran dari Negara tempat
pesawat udara didaftarkan. Pesawat udara yang telah memperoleh pendaftaran dan kebangsaan mempunyai status hukum sebagai warga negara dari negara tempat
didaftarkan yang pada gilirannya memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam hukum nasional maupun hukum internasional.
Pesawat udara yang telah memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan mempunyai hak untuk memperoleh pelayanan bila melakukan penerbangan dalam
negeri maupun penerbangan internasional. Sebaliknya pesawat udara tersebut
mempunyai kewajiban mematuhi semua hukum dan regulasi penerbangan nasional maupun internasional. Sebagai warga negara dari negara tempat
didaftarkan, pesawat udara juga sebagai subjek hukum internasional. Dengan demikian, pesawat udara juga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dalam hal pesawat udara melakukan pelanggaran hukum, maka pesawat udara tersebut dapat disita oleh negara yang bersangkutan.
Pesawat udara harus mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Demikian pula pesawat angkasa maupun kapal laut. Hal ini berbeda dengan
kendaraan darat. Kendaraan darat tidak wajib mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan. Dahulu sebelum tahun 1926 ada konvensi internasional yang
mengharuskan pendaftaran dan kebangsaan kendaraan darat, tetapi sesudah tahun 1926, tidak ada konvensi yang mengharuskan kendaraan darat mempunyai tanda
pendaftaran dan kebangsaan. Pendaftaran kendaraan darat yang sekarang ada bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan, tetapi untuk
keperluan statistik kriminal, dan administrasi bukan untuk memperoleh tanda pendaftaran dan kebangsaan.
38
Setiap negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai kewajiban melaporkan pendaftaran pesawat udara didaftarkan di
negara tersebut. Di samping itu, atas permitaan negara lain, negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional juga mempunyai kewajiban untuk
memberi tahu pesawat udara yang didaftarkan dengan kepemilikannya. Setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan international harus dilengkapi
38
Ibid., hal 29
sertifikat pendaftaran dan kebangsaan certificate of registration mark. Dalam hal pesawat udara yang terbang internasional tidak dilengkapi dengan sertifikat
pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara, merupakan pelanggaran hukum nasional maupun hukum internasional.
39
Investigasi kecelakaan pesawat udara diatur dalam Pasal 26 Konvensi Chicago 1944, dalam hal terjadi kecelakaan pesawat udara di wilayah negara
9. Pencarian dan Pertolongan Kecelakaan Pcsawat Udara Dalam hal terjadi kecelakaan pesawat udara, negara tempat kecelakaan
pesawat udara terjadi mempunyai kewajiban untuk mengambil langkah-langkah tertentu untuk memberi pertolongan pesawat udara yang menghadapi bahaya atau
mengalami kecelakaan. Negara tempat pesawat udara menghadapi bahaya wajib mengizinkan pemilik pesawat udara atau pejabat negara tempat pesawat udara
didaftarkan untuk memberi bantuan atau langkah-langkah yang mungkin diperlukan oleh pesawat udara yang menghadapi bahaya. Dalam hal pesawat
udara hilang, perlu ada kerja sama dalam pencarian dan pertolongan terhadap pesawat udara yang menghadapi bahaya. Pelaksanaan pencarian dan pertolongan
tersebut diatur lebih lanjut dalam Annex 12 Konvensi Chicago 1944. Pencarian dan pertolongan pesawat udara dalam hukum nasional Indonesia
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pada tataran regional telah diatur dalam perjanjian secara multilateral di antara Negara-
negara Asean. 10. Investigasi Kecelakaan Pesawat Udara
39
Ibid., hal 30
anggota Organisasi Penerbangan Sipil internasional, negara tersebut mempunyai kewajiban untuk mengadakan investigasi penyebab kecelakaan pesawat udara.
Sepanjang hukum nasional mengizinkan, prosedur dan tata cara investigasi kecelakaan pesawat udara mengacu kepada rekomendasi yang diberikan oleh
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Berdasarkan ketentuan tersebut berarti kedudukan hukum nasional lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan
hukum internasional negara tempat pesawat udara didaftarkan negara pendaftar diberi kesempatan untuk mengirim perwakilan resmi guna menyaksikan proses
investigasi kecelakaan pesawat udara. Hal ini diperlukan karena sebagian besar catatan mengenai dokumentasi pesawat udara yang bersangkutan ada di negara
tempat pesawat udara didaftarkan. Sebagai implementasi ketentuan Pasal tersebut telah dikeluarkan Annex 13 Konvensi Chicago 1944 tentang Aircraft Accident
Investigation sebagai panduan bagi negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional untuk melakukan investigasi kecelakaan pesawat udara.
Dalam hukum nasional Indonesia, investigasi kecelakaan pesawat udara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,
namun demikian perlu dicatat di sini bahwa tujuan investigasi kecelakaan pesawat udara adalah untuk mencegah jangan sampai terjadi kecelakaan pesawat udara
dengan sebab yang sama, bukan untuk mencari siapa yang salah dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
11. Dokumen Penerbangan Setiap penerbangan internasional harus memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh hukum internasional, dalam hal ini Konvensi Chicago 1944.
Menurut Pasal 29 Konvensi Chicago 1944 setiap pesawat udara yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan dokumen penerbangan yang
terdiri dari; a sertifikat pendaftaran dan kebangsaan certificate of registration pesawat
udara; a sertifikat kelaikan udara certificate of airworthiness;
b sertifikat kecakapan certificate of competency semua awak pesawat
udara; c buku perjalanan penerbangan log book;
d bila pesawat udara tersebut dilengkapi dengan peralatan radio, harus dilengkapi dengan sertifikat stasiun radionya;
e bila pesawat udara mengangkut penumpang harus dilengkapi dengan daftar penumpang passenger’s manifest, baik nama dan tempat
keberangkatannya; f bila pesawat udara mengangkut kargo, harus dilengkapi dengan daftar
barang cargo manifest beserta perinciannya; g deklarasi umum general declaration.
40
12. Amunisi Kecuali atas persetujuan dari negara tempat pesawat udara melakukan
penerbangan, tidak ada pesawat udara yang mengangkut amunisi atau bahan- bahan yang digunakan untuk perang, diangkut melalui ruang udara negara
anggotaOrganisasi Penerbangan Sipil Internasional Iainnya. Setiap negara berhak
40
Ibid., hal 32
mengatur pengangkutan amunisi atau barang-barang yang digunakan untuk perang melewati wilayah udara mereka. Pengaturan tersebut bersifat seragam
sesuai dengan rekomendasi dari Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional. Dalam hukum internasional pengaturan bahan-bahan berbahaya tersebut
direkomendasikan dalam Annex 18 Konvensi Chicago 1944. Setiap negara berhak untuk menolak pengangkutan tersebut atas pertimbangan keselamatan aviation
safety dan keamanan nasional national security. Larangan pengangkutan tersebut berlaku baik untuk penerbangan pesawat udara nasional maupun pesawat
udara asing nondiscrimination treatment. 13. Sertifikasi Pesawat Udara dan Awak Pesawat Udara
Semua pesawat udara yang digunakan untuk melakukan penerbangan internasional harus mempunyai sertifikat kelaikan udara certificate of
airworthiness Sertifikat kelaikan udara tersebut dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Dalam hal pesawat udara dioperasikan bersama secara
internasional joint international operation, salah satu negara harus ditunjuk sebagai Negara pendaftar pesawat udara yang berhak mengeluarkan sertifikat
kelaikan udara. Sertifikat kelaikan udara tersebut dapat diakui sah oleh negara tempat pesawat udara melakukan penerbangan over flown state, bilamana
persyaratan untuk memperoleh sentifikat kelaikan udara tersebut minimum sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan pensyaratan yang direkomendasikan oleh
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional. Dalam hal sewa guna usaha leasing pesawat udara tanpa diikuti dengan
awak pesawat udara dry lease, negara pendaftar sebagai negara lessor dapat
mendelegasikan kepada negara perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara lessee state untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun
sertifikat kecakapan certificate of competency awak pesawat udara. Misalnya Garuda Indonesia menyewa pesawat udara Martin Air registrasi PH Belanda.
Maka pemerintah Belanda mendelegasikan kepada pemerintah Indonesia sebagai negara tempat perusahaan penerbangan yang menyewa pesawat udara tanpa awak
pesawat udara untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan awak pesawat udara.
Pendelegasian wewenang untuk mengeluarkan sertifikat kelaikan udara maupun sertifikat kecakapan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah
Indonesia tersebut tidak berlaku terhadap negara ketiga karena pendelegasian tersebut hanya bersifat bilateral antara Belanda dengan Indonesia, kecuali Belanda
dan Indonesia meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944. Bila Belanda maupun Indonesia telah meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago 1944,
pendelegasian tersebut dapat diakui oleh negara selain Belanda dan Indonesia, sepanjang negara tersebut juga meratifikasi Pasal 83 bis Konvensi Chicago
1944.
41
Setiap sertifikat kelaikan udara certificate of airworthiness maupun sertifikat kecakapan certificate of competency yang secara sah dikeluarkan oleh
negara tempat pesawat udara didaftarkan wajib diakui sah oleh negara anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional lainnya. Pengakuan tersebut dapat
dilakukan bila persyaratan untuk memperoleh sertifikat kecakapan tersebut sama
41
Ibid., hal 34
atau di atas persyaratan minimum yang direkomendasikan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagaima disebutkan di atas, yang secara terus
menerus ditumbuhkembangkan. Setiap kapten penerbang atau awak pesawat udara lainnya yang melakukan penerbangan internasional harus dilengkapi dengan
sertifikat kecakapan certificate of competency yang sah dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Namun demikian, negara tempat pesawat udara
melakukan penerbangan internasional tersebut berhak untuk tidak mengakui sertifikat yang dikeluarkan oleh negara tempat pesawat udara didaftarkan. Semua
sertifikat pendaftaran pesawat udara aircraft registration, sertifikat kelaikan udara certificate of airworthiness, sertifikat kecakapan semua awak pesawat
udara certificate of competency harus dibawa dalam penerbangan internasional. Disamping itu, selama penerbangan internasional juga harus dilengkapi dengan
buku harian perjalanan log book yang berisikan terutama pesawat udara beserta awak pesawat udara dalam formulasi yang terus menerus ditumbuhkembangkan
oleh Organisasi Penerbangan Sipil lnternasional.
42
Tidak ada sertifikat kelaikan udara atau sertifikat kecakapan awak pesawat udara yang ditandatangani endorsed otomatis dapat berlaku untuk penerbangan
internasional kecuali telah memperoleh persetujuan dari negara tempat pesawat udara tersebut melakukan penerbangan.
43
ICAO merupakan suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa dan berkedudukan di Montreal. Badan ini secara resmi mulai berdiri pada tanggal 4
April 1947, sebagai kelanjutan dari PICAO Provisional International Civil
42
Pasal 33 Konvensi Chicago 1944
43
Pasal 40 Konvensi Chicago 1944.
Aviation Organization, yang mulai berfungsi setelah konvensi Chicago 1944, maksud dan tujuan dari ICAO adalah untuk mengembangkan prinsip-prinsip dan
tehnik-tehnik navigasi udara internasional dan membina perencanaan dan perkembangan angkutan udara internasional.
44
Kebijakan-kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya melalui keputusan yang diambil dalam sidang
Umum dan Sidang Council, adalah kebijakan-kebijakan berlandaskan kebenaran- kebenaran ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kebijakan ICAO yang dituangkan dalam 18 Annex dan berbagai dokumen turunannya yang selalu dan terus-menerus diperbarui melalui amandemen-
amandemen adalah kebijakan-kebijakan yang diputuskan berdasarkan kebenaran yang dapat dipertanggung jawabkan yaitu kebenaran-kebenaran ilmiah yang
diperoleh dari berbagai penelitian dan pengembangan Research and Development dari berbagai disiplin ilmu yang terkait baik dalam bentuk teori
maupun model-model analisis.
45
Delapan belas Annex Konvensi Chicago 1944 pada dasarnya merupakan standart kelayakan yang ditunjukkan kepada seluruh anggota ICAO untuk
menjamin keselamatan penerbangan internasional, namun dalam prakteknya SARPs ini juga ditujukan untuk standar kelayakan kelayakan udara pada
penerbangan internasional. Annex ini juga menjadi landasan-landasan ICAO untuk membentuk International Standart and Recommended Proctices
ISRPsSARPs adapun delapan belas Annex tersebut adalah Convention On
44
Yaddy Supriadi, Keselamatan Penerbangan Teori Problematika, Telaga Ilmu Indonesia, Tanggerang,2012, hal.1
45
Ibid
International Civil Aviation Annex 1 to 18 International Civil Aviation Organization.
46
46
AchmadMoegandi, Mengenal dunia Penerbangan Sipil, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1996, hal 78
Annex1 - Personal Licensing: memuat pengaturan tentang izin bagi awak pesawat mengatur lalu lintas udara dan personil pesawat udara.
2.Annex2 - Rules of The Air: aturan-aturan yang berkaitan dengan penerbangan secara visual dan penerbangan dengan menggunakan instrument.
3.Annex3 - Meterological Service for International Air Navigation: memuat ketentuan mengenai layanan meteorology cal bagi navigasi internasional dan
pemberitahuan hasil observasi meteorology dari pesawat udara. 4.Annex4 - Aeronautical Charts: pengaturan tentang spesifikasi peta aeronautical
yang digunakan dalam penerbangan internasional. 5.Annex5 - Units of Measurement to be Used in Air and Ground Operation:
ketentuan mengenai satuan-satuan ukuran yang digunakan dalam penerbangan. 6.Annex 6 - Operation Aircraft: mengatur tentang spesifikasiyang akan menjamin
dalam keadaan yang sama, penerbangan diseluruh dunia berada pada tingkat keamanan diatas tingkat minimum yang telah ditetapkan.
7.Annex 7- Aircraft Nationality and Registration Marks: membuat persyaratan- persyaratan umum untuk pendaftaran dan identifikasi pesawat udara.
8.Annex8 - Airworthiness of Aircraft: pengaturan tentang standar kelayakan udara dan pemeriksaan pesawat udara berdasarkan prosedur yang seragam.
9.Annex9 – Facilitation: ketentuan mengenai standar fasilitas-fasilitas Bandar dara yang akan menunjang kelancaran dan masuknya pesawat udara, penumpang
dan cargo di Bandar Udara. 10.Annex10 - Aeranutical Communications: mengatur tentang prosedur standar,
sistem, dan peralatan komunika Annex11 - Air Traffic Service: memuat tentang pengadaan dan pengawasan
terhadap lalu lintas udara, informasi penerbangan dan layanan pemberitahuan serta peringatan mengenai keadaan bahaya.
12.Annex12 - Search and Rescuce: memuat ketentuan tentang pengorganisiran dan pemberdayaan fasilitas dalam mendukung pencarian pesawat yang hilang.
13.Annex13 - Aircraft Accident Investigation: ketentuan tentang keseragaman dan pemberitahuan investigasi, dan laporan mengenai kecelakaan pesawat.
14.Annex 14 – Aerodrome : ketentuan tentang spesifikasi dan desain dan kegiatan dibandar udara.
15.Annex15 - Aeronautical Information: metode untuk mengumpulkan cara penyebaran informasi yang dibutuhkan dalam operasional dalam penerbangan.
16.Annex16 - Enviromental Protectum: memuat ketentuan mengenai sertifikat ramah lingkungan, pengawasan terhadap kebisingan yang ditimbulkan oleh emisi
dari mesin udara. 17.Annex 17 - Enviromental Protectum: ketentuan mengenai perlindungan
keamanan penerbangan sipil internasional dari tindakan melawan hukum. 18.Annex18 - The Safe Transport of Dangerous Godds by Air: mengatur tentang
tanda, cara mengepak, dan pengangkutan cargo yang berbahaya
Kebijakan-kebijakan penerbangan yang dibuat oleh suatu Negara yang berkaitan dengan keselamatan safety dan keamanan security harus berdasarkan
paradigma-paradigma yang dipakai oleh ICAO yang telah dituangkan dalam 18 Annexdan berbagai dokumen turunannya. ICAO tidak pernah membuat target
zero accident. Zero accident adalah sasaran yang tidak pernah akan tercapai
unachievable goal. Dalam Global Aviation Safety Plan GASP target yang ingin dicapai ICAO adalah mengurangi jumlah kecelakaanfatal iseluruh Negara,
mengurangi secara signifikan angka kecelakaan accident rates terutama dikawasan yang angka kecelakaannya tinggi, berupaya agar pada akhir tahun 2011
tidak ada satu kawasanpun yang angka kecelakaannya dua kali angka kecelakaan seluruh dunia. Yang harus dibuat dan ditetapkan Negara dan dilakukan upaya-
upaya pencapaiannya adalah an acceptable level of safety, jumalah kecelakaan yang bisa diterima dalam sekian ribu atau juta kali penerbangan.
47
47
Ibid
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mempunyai peran yang sangat signifikan bagi perkembangan penerbangan sipil diindonesia, teritama dibidang
bantuan teknik. Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak 27 april 1950 juga telah menikmati baebagai bantuan dari
organisasi tersebut, walaupun Indonesia juga harus membayar iuran tahunan sebagai anggota. Dalam bidang pendidikan penerbangan, Indonesia telah
memperoleh bantuan teknis sejak 20 Agustus 1950 pada saat Menteri Perhubungan Ir.H.Juanda meresmikan pendidikan penerbangan yang pada saat itu
bernama Akademi Penerbangan Indonesia API di curug, Tangerang. Bantuan tersebut berupa tenaga ahli dibidang penerbangan, peralatan pendidikan
penerbangan maupun peralatan navigasi penerbangan. Dengan bantuan tersebut Indonesia telah mampu mencetak tenaga terdidik dengan instruktur dari Amerika
Serikat, Inggris, Kanada, Denmark, dan Swedia, disamping tenaga Indonesia sendiri yang dikirim ke luar negeri.
48
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sebagai organisasi internasional merupakan badan khusus special agency PBB tidak hanya
berperan dalam adviser maupun pegawasan pembangunan Bandar udara, pengadaan sistem komunikasi, navigasi penerbangan, desain pesawat udara,
modernisasi peralatan penerbangan, menciptakan standar peraturan penerbangan dan berbagai peraturan penerbangan yang ditugaskan kepada Komisi Navigasi
Penerbangan Air Navigation Commision data tata cara operasi penerbangan.
49
Kepatuhan terhadap standar penerbangan internasional adalah aspek yang sangat fundmental. Ada kurang lebih 10.000 standar dan 40 Quasi-Standaryang
tercantum dalam Annex 1-8 ICAO beserta dokumen dan sirkulernya circular. Bila suatu Negara tidak pernah mengirim perbedaan differences kepada ICAO
maka berarti Negara tersebut harus mematuhi semua standard yang dibuat ICAO. Indonesia termasuk Negara yang tidak pernah mengirim nota perbedaan kepada
ICAO. Ini berarti Indonesia harus mematuhi semua standar yang telah ditetapkan ICAO. ICAO selalu membuat dan merubah standar-standar yang tertuang dalam
Pasal-pasal Annex maupun pedoman-pedoman dalam dokumen dan circular
48
H.K.Martono,S.H.,LLM Dkk, Hukum udara Nasional dan Internasional Publik, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, hal.335.
49
Ibid., hal 336
ICAO sesuai dengan perkembangan penelitian dan teknologi penerbangan. Di masa lalu ICAO seolah-olah tidak peduli dan tidak mau tahu apakah standar itu
dipatuhi dan dilaksanakan oleh suatu Negara atau tidak. Dalam posisi ini ICAO berperan sebagai Passive International Standar Setting Body. Perannya hanya
membuat standar-standar yang berlaku bagi penerbangan sipil Internasional. Kini peran ICAO telah berubah, ICAO saat ini melakukan tiga peran.
ICAO bukan hanya berperan sebagai pembuat standar saja, tetapi juga peran kedua memonitor kepatuhan compliance yaitu memonitor pelaksanaan
standar-standar yang telah ditetapkan untuk kemudian peran ketiga meminta segera Negara mematuhi dan melaksanakan standar-standar yang belum atau tidak
dipatuhi. ICAO kini berperan sebagai Proactive International Regulatory Body. Untuk mengetahui kepatuhan Negara terhadap standar-standar yang telah
ditetapkan, ICAO membuat program Universal Safety Oversigh Safety Audit ASOAP. Hasil audit ICAO merupakan dokumen yang sangat kuat powerfull
untuk memaksa Negara anggota ICAO mematuhi standar keamanan dan keselamatan penerbangan sipil.
50