Tanggungjawab terhadap penumpang akibat kecelakaan dalam pesawat

arti keselamatan penerbangan sebagai berikut, Penerbangan adalah perihal menjaga selamat. 55 55 W. J. S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986,hal 363 ,Penerbangan : perbuatan terbang; perjalanan dengan pesawat terbang; segala sesuatu yang berkaitan dengan lalu lintas udara., dan Sipil adalah bukan militer. Bila dibandingkan dengan modal transportasi lainnya baik darat maupun air ketentuan dalam model tansportasi udara jelas jauh lebih rumit karenanya segala pertimbangan serta pelayanan terkait erat dengan keselamatan penerbangan harus benar-benar dipikirkan dalam satu dekade lebih Pemerintah Indonesia sendiri cukup fokus terhadap masalah dunia penerbangan, terlebih jasa penerbangan komersial. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya sejumlah kebijakan pemerintah yang mengatur tentang keamanan dan keselamatan penerbangan, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 Tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Disusul dengan sejumlah Keputusan Menteri Nomor 5 Tahun 2006 tentang premajaan Armada Pesawat Udara Kategori Transport untuk Angkutan Udara Penumpang. Dalam sejumlah kebijakan tersebut dipaparkan mengenai ketentuan keamanan dan keselamatan yang harus dipatuhi selama dalam melakukan penerbangan. Dari bagian-bagian yang tersebut diatas maka kerugian-kerugian yang dapat ditimbulkan akibat suatu kecelakaan pesawat udara, dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu: a. Kerugian material, berupa musnahnya harta benda penumpang yang biasanya mencapai puluhan atau ratusan juta rupiah, dan juga kerugian karena musnahnya pesawat terbang itu sendiri. b. Kerugian inmaterial, berupa kerugian yang timbul karena penumpang meninggal dunia, menderita luka-luka dan mengalami penderitaan badani Lainnya Pada mulanya tidak terdapat kesulitan dalam menerapkan Pasal 17 onvensi Warsawa 1929 tersebut, sehingga kurang mendapat perhatian mengenai isi Pasal tersebut. Namun akhir-akhir ini masalah yang menyangkut macam kerugian yangdapat diberikan santunan berdasarkan Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929 tersebut telah sangat menarik perhatian kalangan pengadilan maupun para sarjana. Masalah yang menimbulkan kontoversial terhadap putusan pengadilan yang menarik perhatian para sarjana tersebut adalah tentang pengertian kerugian yang diderita sehubungan dengan penafsiran dari ungkapan penderitaan badani lainnya bodily injury dari Pasal 17 Konvensi Warsawa 1929. Dalam peristiwa-peristiwa kecelakaan pesawat biasa yang menyebabkan penumpang meninggal dunia atau luka-luka, penerapan Pasal 17 Konvensi Warsawa tersebut tidak banyak mengalami kesulitan, namun timbulnya peristiwa- peristiwa pembajakan pesawat udara atau kegiatan-kegiatan sabotase sejak tahun 70-an telah menimbulkan kesulitan dalam penerapan Pasal tersebut. Dalam suatu peristiwa pembajakan pesawat udara, sebagian besar atau seluruh penumpang secara fisik mungkin tidak mengalami gangguan baik langsung atau tidak langsung pembajak, namun mereka mungkin mengalami penderitaan mental atau non fisik lainnya yang sangat karena ketakutan yang mencekam atas keselamatan jiwanya selama pembajakan berlangsung, bahkan penderitaan tersebut sering berlangsung setelah peristiwa pembajakan berakhir. Adapun akibat hukum yang dimaksudkan dalam uraian ini menyangkut mengenai hak-hak penumpang atas ganti rugi dan santunan yang diberikan oleh pihak pengangkut akibat terjadinya kecelakaan pesawat udara. Dewasa ini ternyata masih banyak korban kecelakaan pesawat udara yang tidak mengerti hak- haknya yang seharusnya mereka terima berdasarkan perlindungan hukum yang berlaku sebagai akibat kecelakaan pesawat udara. Di dalam praktek penerbangan, mereka-mereka yang disebutkan diatas haknya mendapat perlindungan hukum, yaitu sebagaimana diuraikan dibawah ini: 1. Awak Pesawat Udara crew Berdasarkan peraturan perburuhan, mereka memperoleh tunjangan hari tua pensiun, tunjangan pengabdian, misalnya lima tahun masa kerja dan lain-lain tergantung dari perusahaan. Disamping perlindungan hukum berdasarkan peraturan perburuhan dan asuransi sebagai awak pesawat udara. Awak pesawat udara kadang-kadang juga diasuransikan kepadaasuransi tenaga kerja ASTEK. 2. Awak Pesawat Udara cadangan extra crew Diatas dikemukakan bahwa pesawat udara cadangan adalah karyawan perusahaan penerbangan, tetapi mereka belum menjalankan tugasnya mengoperasikan pesawat udara untuk perlindungan extra crew perlu adanya dokumen pengangkut yang berupa tiket agar mereka memperoleh santunan sewajarnya. Extra crew yang mempunyai tiket secara otomatis sebagai penumpang pesawat udara yang tiba gilirannya berhak memperoleh santunan sebesar Rp. 10.000.000,- 3. Peninjau observasi dalam penerbangan Para peninjau dalam hal ini dapat dari pegawai pemerintah maupun dari staf atau karyawan perusahaan penerbangan. Mereka semua status hukumnya bukanlah awak pesawat udara, bukan extra crew maupun bukan penumpang apabila mereka tidak diberi tiket, karena kehadiran mereka tidak dilindungi dengan dokumen pengangkutan yang diperlukan. Suatu prinsip umum di dunia penerbangan, bahwa siapapun dan apapun yang ada didalam pesawat udara harus dilindungi dengan dokumen penerbangan. Dengan adanya dokumen tersebut dapat diketahui status hukum orang maupun barang yang ada dalam pesawat udara, sehingga secara yuridis semua memperoleh perlindungan hukum. 4. Penumpang Pesawat Udara Penumpang pesawt udara adalah pihak yang mengadakan perjanjian dengan perusahaan penerbangan. Penumpang besedia membayar harga tiket dan pengangkut sanggup membawa penumpang ketempat tujuan. Perjanjian tersebut, dibuktikan adanya dokumen pengangkutan yang berupa tiket pesawat udara atau surat muatan udara Article 30. The following shall be deemed to be State aircraft: aMilitary aircraft bAircraft exclusively employed in state service, such as Posts, Customs, Police. Every other aircraft shall be deemed to be private aircraft. All state aircraft other than military, customs and police aircraft shall be treated as private aircraft and as such shall be subject to all the provisions of the present Convention. Menurut Pasal 30 ini pesawat udara terdiri atas pesawat udara militer, pesawat udara yang sepenuhnya digunkan dinas pemerintahan seperti bea cukai, polisi, dan pesawat udara lainnya. Semua pesawat udara selain pesawat udara militer, dinas pemerintahan seperti bea cukai dan polisi harus diperlakukan sebagai pesawat udara sipil private aircraft dan pesawat udara tersebut berlaku ketentuan yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Pasal 31 Konvensi Paris 1919 berbunyi “Every Aircraft commanded by a person in military service detailed for the purposed shall be deemed to be a military aircraft”, yang berarti bahwa setiap pesawat yang diperintahkan oleh seseorang yang bekerja dalam dinas militer dengan tujuan yang khusus dianggap sebagai pesawat udara militer. Dalam Pasal 68 Undang-Undang no.1 Tahun 2009 berbunyi “Dalam keadaan tertentu pesawat udara negara dapat dipergunakan untuk keperluan angkutan udara sipil dan sebaliknya.” Yang dimaksudkan dengan keadaan tertentu adalah apabila Pemerintah memerlukan transportasi untuk angkutan udara, sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara negara, Pemerintah dapat menggunakan pesawat udara negara. Pemerintah dapat menggunakan pesawat udara negara menjadi pesawat udara sipil sesuai dengan persyaratan pesawat udara sipil. begitu juga sebaliknya apabila pemerintah memerlukan pesawat udara untuk kegiatan negara sedangkan yang tersedia hanya pesawat udara sipil, maka pesawat udara sipil dapat diubah menjadi pesawat udara negara sesuai dengan persyaratan pesawat udara negara. Mengingat pesawat udara militer merupakan salah satu bagian dari pesawat udara negara, maka penggunaan pesawat udara ini haruslah mendapatkanijin dari pihak atau instansi yang berwenang. Dalam hal ini penggunaan pesawat udara militer harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Perhubungan Indonesia dan Panglima Komando Operasi Koops I dan Koops II. Rencana kegiatan angkutan udara yang diselenggarakan oleh pemerintah haruslah memuat data tentang jenis dan jumlah pesawat udara yang dioperasikan; pusat kegiatan operasi penerbangan; sumber daya manusia yang terdiri dari teknisi dan personel pesawat udara; serta kesiapan dan kelayakan operasi. 56 1. Status pesawat udara, yakni apakah dimiliki oleh negara, perorangan atau badan swasta; Pesawat udara angkut militer ini digunakan secara operasional, dalam artian pesawat militer akan beroperasi disaat dibutuhkan. Penerbangan dari pesawat Hercules sendiri ada 2 dua macam, yaitu penerbangan yang berjadwal dan penerbangan tidak berjadwal. Penerbangan berjadwal dari pesawat militer terbatas pada latihan terbang dan pengiriman logistic secara rutin untuk keperluan TNI-AU sendiri, sedangkan penerbangan yang tidak berjadwal sesuai kebutuhan, keperluan dan atas perintah dari pemegang Komando. Menjadi sebuah catatan dalam penggunaan sebuah pesawat udara harus memperhatikan beberapa hal yaitu: 56 H.K. Martono, Hukum Udara Nasional dan Internasional Publik. Jakarta: RajaGrafindo Persada 2012, hal 245. 2. Tujuan penggunaan atau bentuk kegiatan-kegiatan pesawat udara itu sendiri; 3. Kepentingan kegiatannya, yakni apakah digunakan untuk kepentingan negara yang bersangkutan itu sendiri ataukah digunakan untuk kepentingan suatu organisasi internasional; 4. Kemudian perlu diteliti pula apakah penggunaan tersebut bersangkut paut dengan kepentingan perdamaian atau kepentingan di luar itu. Dalam penggunaan pesawat udara negara dalam hal ini penggunaan pesawat udara militer juga harus memperhatikan hal-hal tersebut diatas. Dimana semua pesawat udara militer yang akan beroperasi atau digunakan haruslah jelas bentuk tujuan dari penggunaan atau bentuk-bentuk kegiatan pesawat udara militer tersebut, kepentingan dari kegiatan pengangkutan yang kemudian diteliti apakah penggunaan dari pesawat udara militer ini untuk penggunaan kepentingan perdamaian ataupun di luar kepentingan perdamaian itu. 65 BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENUMPANG PESAWAT MILITER JIKA TERJADI KECELAKAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

C. Aspek Hukum Penggunaan Pesawat Militer senagai Pesawat Transportasi

Dalam peristiwa-peristiwa kecelakaan pesawat biasa yang menyebabkan penumpang meninggal dunia atau luka-luka, penerapan Pasal 17 Konvensi Warsawa tersebut tidak banyak mengalami kesulitan, namun timbulnya peristiwa- peristiwa pembajakan pesawat udara atau kegiatan-kegiatan sabotase sejak tahun 70-an telah menimbulkan kesulitan dalam penerapan Pasal tersebut. Dalam suatu peristiwa pembajakan pesawat udara, sebagian besar atau seluruh penumpang secara fisik mungkin tidak mengalami gangguan baik langsung atau tidak langsung pembajak, namun mereka mungkin mengalami penderitaan mental ataunon fisik lainnya yang sangat karena ketakutan yang mencekam atas keselamatan jiwanya selama pembajakan berlangsung, bahkan penderitaan tersebut sering berlangsung setelah peristiwa pembajakan berakhir.

D. Perlindungan Hukum Terhadap Penumpang Pesawat Militer Jika

Terjadi Kecelakaan Penerbangan dan angkutan udara dengan sendirinya terdapat risiko-risiko tertentu, yang dapat menimbulkan kerugian pada berbagai pihak. pesawat Pada peristiwa kecelakaan udara maka kerugian yang mungkin ditimbulkan pada pihak adalah sebagai berikut: 57 1. Pemilik pesawat udara, berupa kehilangan pesawat udara; 2. Penumpang atau ahliwarisnya dalam hal penumpang tewas; 3. Pemilik barangmuatan yang diangkut; 4. Pihak ketiga. Pihak yang mungkin bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi pada kecelakaan pesawat udara tersebut adalah: 58 1. Pembuat pesawat udara; 2. Pembuat bahan bakar; 3. Perusahaan penerbangan atau pegawainya; termasuk awak pesawat; 4. Pengatur lalu lintas udara; 5. Penumpang; 6. Pemilik barangmuatan; 7. Pihak ketiga. Pada saat ini yang sudah diatur secara khusus dalam Hukum Udara Internasional adalah tanggung jawab pengangkut, pihak yang menyelenggarakan penerbangan, dan penumpang atau pemilik barang. Sedangkan dalam Hukum Udara Nasional diatur tentang tanggung jawab pengangkut, penumpang atau pemilik barang. Mengenai tanggung jawab pada angkutan udara sebagaimana diatur dalam konvensi Warsawa, Konvensi Roma, Protokol Guatemala, Protokol 57 E. Suherman, Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara dan Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan, Bandung:Alumni, 1979, hal.18 58 Ibid