64
2.3 Kerangka Konsep dan Kerangka Teori 2.3.1 Kerangka Konsep
2.3.1.1 Konsep Konvergensi dan Divergensi
Konvergensi dan divergensi yang merupakan proses dalam peristiwa tutur adalah dua aspek dalam akomodasi. Seseorang dalam bertutur atau
berinteraksi selalu berusaha untuk menyesuaikan tuturannya dengan mitra tuturnya. Proses penyesuaian itu apabila menuju ke arah penyamaan tuturan
dengan mitra tuturnya disebut konvergensi, tetapi apabila menuju ke arah ketidaksesuaian disebut divergensi. Dengan kata lain seorang penutur
berusaha mengakomodasikan tuturannya dengan mitra tuturnya agar tercapai keseimbangan atau kesesuaian di antara mereka.
Weinreich 1954: 359 dalam Auer Peter, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill 2005: 2 mendefinisikan konvergensi sebagai kesamaan yang parsial
yang selanjutnya meningkat pada adanya perbedaan. Konvergensi dan divergensi adalah gagasan yang berhubungan, yakni mengacu pada proses dan
hasil dari proses tersebut. Selanjutnya, Auer Peter, Frans Hinskens, dan Paul Kerswill 2005: 4 menjelaskan bahwa proses perubahan bahasa hanya
menyelesaikan hal-hal yang ada dibalik perubahan bahasa, baik secara intrasistemik misalnya, perubahan bunyi secara leksikal yang menyebar
maupun di antara variasi bahasa yang berdekatan misalnya, dialek atau gayastyle. Dalam dialektologi tradisional banyak perhatian telah diberikan
Universitas Sumatera Utara
65 pada variasi intrasistemik. Alam dan manusia dianggap berpotensi
menjelaskan lokasi batas dialek sebagai hasil dari divergensi dialek atau tidak konvergensi.
Dalam Masinambow 1976: 139-140 dijelaskan bahwa konvergensi terjadi karena adanya persamaan aspek struktur bahasa A dengan bahasa B
atau sebaliknya pada masyarakat yang bilingualisme. Misalnya, persamaan pola urutan konstituen sintaksis tertentu. Persamaan pola dapat juga terjadi
tanpa adanya persentuhan langsung antara bahasa A dan bahasa B. Ini terjadi karena adanya hubungan genetis cognat yang sama dari dua bahasa itu.
Dalam rangka interaksi antaretnis sehubungan dengan penelitiannya persamaan pola sebelum persentuhan mengakibatkan pengukuhan
reinforcement dari persamaan itu, sedangkan perubahan pola berbeda yang menjadi identik menghasilkan penyimpangan dari norma bahasa yang
dipengaruhi. Dalam penelitian Mahsun 2005 dijelaskan bahwa terjadinya
konvergensi dan divergensi dalam masyarakat bahasa adalah karena adanya kesepadanan adaptasi linguistik dengan adaptasi sosial. Adaptasi linguistik
adalah proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa yang lain atau kedua-duanya saling melakukan hal yang sama, sehingga bahasanya
menjadi lebih serupa, mirip, atau sama, antara satu sama lain. Adaptasi sosial adalah proses yang terjadi akibat adanya kontak sosial yang melibatkan dua
Universitas Sumatera Utara
66 kelompok yang memiliki perbedaan budaya atau ras melakukan penyesuaian
satu sama lain atau salah satu di antaranya, sehingga memiliki sejumlah solidaritas budaya yang cukup untuk mendukung terciptanya eksistensi
kehidupan yang solider dan harmoni di antara mereka. Apabila adaptasi sosial lebih tinggi melalui adaptasi linguistik, akan terbentuklah kondisi harmoni,
tetapi sebaliknya, apabila adaptasi sosial rendah, kondisi tidak harmonilah yang terbentuk. Ini berkaitan dengan penyesuaian bahasa atau pilih bahasa
atau konvergensi dan divergensi bahasa. Di sini Mahsun menerapkan konsep konvergensi dan divergensi dengan menghubungkannya dengan situasi dalam
masyarakat demi terciptanya keharmonisan dalam sosial masayakat. Konsep ini tidak sepenuhnya menjadi acuan dalam penelitian ini. Konsep konvergensi
dan divergensi yang dimaksudkan di sini adalah adanya upaya masyarakat untuk menyesuaikan tuturannya dengan mitra wicaranya sehingga komunikasi
di antaranya dapat terjalin. Munculnya variasi bahasadialek dalam kajian sosiolinguistik ditandai
dengan adanya perbedaan daerah, status sosial penuturnya, usia, ragam, gender, dan keetnisan. Dengan mengandalkan teori ini, akan diperoleh variasi
bahasa dari proses konvergensi dan divergensi karena penutur berusaha menyeimbangkan tuturannya. Penutur berusaha mengakomodasikan tuturan
dengan mitra wicaranya atau sebaliknya, baik itu dengan cara penyederhanaan tuturan maupun pembakuan tuturan ke arah yang lebih formal. Semua tuturan
Universitas Sumatera Utara
67 yang dihasilkan penutur ketika berinteraksi akan selalu bervariatif bergantung
pada siapa yang bertutur, kepada siapa, bagaimana, kapan, dan topik apa. Dalam hubungannya dengan penelitian ini adalah bahwa penelitian ini
mengamati sejauh mana penutur dialek BMA mengakomodasikan tuturannya pada mitra tuturnya yang berbeda etnis. Jadi, konvergensi dan divergensi yang
diamati dari peristiwa tutur ini adalah pilih bahasa atau campur bahasa yang akan muncul dan ini dapat disejajarkan dengan campur kode atau alih kode,
yang merupakan peristiwa yang lazim dalam masyarakat yang multilingual. Linguistik historis komparatif diakronis diterapkan dalam penelitian
ini juga mengamati bagaimana konvergensi dan divergensi dialek yang muncul. Apabila variasi yang muncul itu masih menujukkan retensi dari
bahasa protonya, artinya telah terjadi konvergensi. Namun, apabila variasi itu merupakan bentuk yang inovatif, baik yang masih dapat ditelusuri
kekognatannya dengan bahasa proto atau tidak berada dalam etimon yang sama dengan bahasa kognatnya, artinya telah terjadi divergensi. Divergensi
merupakan pemisahan ketika terjadi inovasi, yaitu ketika keluarga bahasa sebagai suatu keseluruhan mengalami pemisahan.
Dalam Auer Peter, Hinskens Frans, dan Paul Kerswill 2005: 3 dijelaskan bahwa manifestasi dari divergensi dialek sangat tampak jelas dalam
sejarah bahasa. Proses yang cukup panjang membedakan bahasa Proto Indo Eropa ke dalam keluarga bahasa dan keluarga bahasa ke dalam bahasa-bahasa
Universitas Sumatera Utara
68 yang terjadi dalam prasejarah linguistik. Hasil divergensi direpresentasikan
secara visual dalam garis cabang diagram pohon dalam linguistik sejarah. Dalam Mbete 2002:13 dijelaskan bahwa jika kesamaan dan kemiripan yang
ditemukan setelah perbandingan yang dilakukan secara cermat dan sistematis tidak hanya dijelaskan sebagai pinjaman dari bahasa kerabat dan nonkerabat,
tidak hanya diterima sebagai gejala kebetulan, dan tidak hanya diterima sebagai kecenderungan semesta, kekuatan divergensi menjadi tumpuan
teoretis tentang adanya warisan bersama. Warisan bersama itu dihipotesiskan sebagai berasal dari protobahasa yang sama pula. Dengan demikian, melalui
hipotesis keterhubungan keasalan dan hipotesis keteraturan perubahan, protobahasa dapat dijajaki dan dirakit kembali sebagai suatu sistem.
Analisis konvergensi dan divergensi ini memanfaatkan sejumlah perubahan bunyi dari leksikon yang dibandingkan. Selain itu, linguistik
historis komparatif dalam kajian ini juga dimanfaatkan dalam upaya penelusuran kekognatannya apakah lebih dekat pada bahasa penuturnya atau
lebih dekat kepada bahasa mitra tuturnya. Bila penutur yang berakomodasi itu menggunakan bahasa Indonesia, penelusuran kognat dilakukan bertumpu pada
bahasa Melayu. Pembakunya adalah Kamus Bahasa Melayu Wilkinson. Variasi bahasa yang dibandingkan, yaitu leksikon, disusun dalam perangkat
ciri-ciri yang berkorespondensi dalam wujud korespondensi fonemis. Korespondensi dalam kajian ini disebut juga sebagai perubahan bunyi yang
Universitas Sumatera Utara
69 muncul secara teratur, sedangkan yang muncul secara tidak teratur disebut
variasi. Jadi, variasi-variasi bahasa yang muncul itu akan dikaji dengan teori ini apakah kemunculannya beraturan atau tidak beraturan. Langkah terakhir,
setelah diperoleh perangkat ini adalah penelusuran bagaimana bahasa proto itu merefleksikan variasi itu.
Singkatnya, kajian konvergensi dan divergensi dalam disertasi ini berlandaskan pada konsep dasar bahwa masyarakat yang berbeda latar
belakang geografi, etnis, dan sejarah cenderung memodifikasi tuturannya menjadi sama atau berbeda dengan gaya tutur mitra tuturnya. Masyarakat
yang selalu cenderung menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam berinteraksi sehingga tuturannya menjadi sama merupakan proses
konvergensi. Sebaliknya, apabila ada kecenderungan untuk memodifikasikan tuturan sehingga menjadi tidak mirip atau berbeda merupakan proses
divergensi. Terjadinya pemodifikasian tutur melalui peristiwa konvergensi dan divergensi menyebabkan terjadinya perubahan dalam bahasa, tetapi
perubahan yang dihasilkan berbeda. Perbedaan perubahan ini juga terjadi karena tidak semua pelaku konvergensi dan divergensi memodifikasi fitur
linguistik yang sama pada derajat yang sama dan situasi yang sama. Di samping itu, juga tidak semua penutur berkonvergensi atau berdivergensi pada
situasi tutur tertentu. Perubahan yang berbeda inilah yang mengakibatkan terjadinya variasi bahasa lihat Francis 1983: 15 dalam Dhanawaty 2004: 2.
Universitas Sumatera Utara
70 Apabila masyarakat yang merupakan komunitas tutur itu terpisah
dengan komunitas tutur lainnya, berada dalam wilayah geografi yang berbeda, lama-kelamaan akan mengalami pergeseran, baik lafal maupun kosa katanya.
Dalam kajian dialek peristiwa akomodasi ini termasuk dalam jenis akomodasi jangka panjang long-term accomodation lihat Trudgill 1986 karena
sifatnya menjadi permanen dan menjadi identitas bagi sekelompok komunitas yang berbeda latar belakang sejarah atau geografi. Pada sisi lain, adanya
upaya menyamakan tuturan dengan mitra tuturnya karena adanya perbedaan sosial dan situasi tutur yang juga dapat mewujudkan konvergensi dan
divergensi bahasadialek termasuk dalam jenis akomodasi jangka pendek short-term accomodation karena sifatnya tidak permanen. Namun, sifat yang
tidak permanen ini apabila berlangsung secara terus menerus dan konsisten dengan perubahanpergeseran yang diwujudkannya, akibat adanya keinginan
untuk berakomodasi, akan dapat menjadi suatu identitas atau ciri yang permanen dalam suatu komunitas tutur. Selanjutnya, identitas itu tetap ada
ketika mereka berinteraksi dengan latar sosial dan situasi yang berbeda. Dalam kajian lingusitik diakronis gejala seperti ini dapat disejajarkan dengan
variasi untuk akomodasi jangka pendek dan korespondensi untuk akomodasi jangka panjang.
Dari uraian di atas disimpulkan bahwa konvergensi dan divergensi dapat dikaji secara sinkronis maupun diakronis. Kedua-duanya bertumpu pada
Universitas Sumatera Utara
71 usaha menyamakan dan membedakan. Dalam kajian sinkronis adanya
akomodasi tuturan dari para peserta tutur dapat berwujud konvergensi dan divergensi. Apabila proses penyesuaian itu menuju ke arah penyamaan tuturan
dengan mitra tuturnya disebut konvergensi, tetapi apabila menuju ke arah ketidaksesuaian disebut divergensi. Secara diakronis, disebut konvergensi
apabila variasi yang muncul itu masih menujukkan retensi dari bahasa protonya. Sebaliknya disebut divergensi apabila variasi itu merupakan bentuk
yang inovatif, baik yang masih dapat ditelusuri kekognatannya dengan bahasa proto maupun tidak berada dalam etimon yang sama dengan bahasa
kognatnya.
2.3.1.2 Konsep Variasi Bahasa
Istilah variasi dalam konsep penelitian ini merupakan padanan dari kata variety dan bukan variation. Variation dipadankan dengan kevariasian
atau keragaman. Karena itu, istilah variasi di sini dapat disejajarkan dengan ragam menurut istilah yang dipakai oleh Asim Gunarwan.
Variasi bahasa bukan hanya terjadi karena penuturnya tidak homogen, melainkan juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan juga
beragam. Secara garis besar variasi dapat dibedakan atas variasi yang bersifat internal dan yang bersifat eksternal. Variasi yang bersifat internal terjadi
karena adanya faktor-faktor intralinguistik, misalnya mencakup perbedaan
Universitas Sumatera Utara
72 realisasi morfem {-s} pemarkah jamak dalam bahasa Inggris yang
direlisasikan sebagai [s], [z], [iz], atau [Ø]. Variasi yang bersifat eksternal terjadi karena adanya faktor-faktor ekstralinguistik, seperti perbedaan
wilayah, dimensi sosial, dan situasi tutur. Variasi yang bersifat internal lebih hakiki, yang merupakan ciri alamiah sebuah bahasa dan ini dianggap sebagai
variasi dalam linguistik, sedangkan variasi yang bersifat eksternal bukan ciri yang hakiki dan karenanya mudah berubah sesuai dengan faktor-faktor
eksternal tadi. Sehubungan dengan pandangan de Sussure, keragaman bahasa terjadi pada tingkat parole dan bukan pada tingkat langue, sedangkan variasi
atau ragam berada pada tingkat langue. Alasannya adalah karena dalam wujud ragamvariasi itu telah terkandung aspek sosial yang turut membentuk variasi
tersebut dan akhirnya menjadi sistem dalam variasi bahasadialek tersebut. Ini dapat disejajarkan dengan etik dan emik konsep Pike. Karena itu, dalam
kajian sosiolinguistik dan dialektologi variasi yang dikaji adalah variasi bahasa yang bersifat eksternal band. Nababan 1984 dan Gunarwan 2004.
Variasi bahasa dapat dibedakan berdasarkan a latar belakang geografi, b latar belakang sosial penutur, c medium yang digunakan, d
pokok pembicaraan, dan d latar belakang sejarah. Variasi bahasa berdasarkan latar belakang geografi disebut dialek. Dialek ini lazim disebut
sebagai dialek regional atau dialek geografi. Variasi bahasa berdasarkan latar belakang sosial penuturnya disebut juga sosiolek atau dialek sosial. Dialek ini
Universitas Sumatera Utara
73 berkenaan dengan dimensi sosial penutur, seperti etnis, usia, pendidikan, jenis
kelamin, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi. Variasi yang ketiga, yaitu berdasarkan medium yang digunakan adalah bahasa tulis
dan bahasa lisan. Berdasarkan pokok pembicaraan bahasa dibedakan atas bahasa ilmu, bahasa hukum, bahasa niaga, bahasa jurnalistik, dan bahasa
sastra. Variasi yang terakhir, yaitu berdasarkan latar belakang sejarah atau variasi historis, dibedakan atas bahasa yang inovatif dan bahasa konservatif.
Kedua jenis variasi yang terakhir ini diacu dari sejauhmana bahasa tuturan mengalami perkembangan dari bahasa protonya. Bila bertahan atau terwaris
secara linier berarti konservatif. Sebaliknya, bila mengalami perubahan atau pergantian disebut inovatif.
Variasi regional, variasi sosial, dan variasi historis merupakan objek kajian dialektologi, sebaliknya, variasi bahasa berdasarkan medium atau
pokok pembicaraan yang juga dikenal sebagai ragam atau register merupakan objek kajian sosiolinguistik. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh
Halliday. Halliday 1979: 184 dan lihat juga Kridalaksana 1993: 42 mengklasifikasikan variasi bahasa sebagai dialek dan register. Dialek adalah
variasi bahasa yang terjadi karena adanya perbedaan pemakai bahasa, sedangkan register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya.
Lebih lanjut Petyt 1980: 11 – 16 berpendapat bahwa dialek adalah variasi yang berbeda dari bahasa yang sama. Istilah dialek mengacu pada
Universitas Sumatera Utara
74 perbedaan antara jenis-jenis bahasa yang berbeda kosa kata atau bahasanya,
begitu pula pelafalannya. Hal ini berbeda dengan aksen yang semata-mata mengacu pada perbedaan lafal.
Pada kajian dialek, variasi bahasa tidak hanya dapat direkam dalam wilayah geografi dan variasi bahasa tidak semata-mata bergantung pada
transkripsi fonetis saja tanpa memperhatikan sistem dan struktur bahasa atau dialek yang diperamati. Kajian dialek harus memahami bahwa variasi bahasa
dapat muncul karena bahasa mempunyai sistem tersendiri dan mempunyai sistem fonemik dalam struktur fonologi bahasa tersendiri. Sistem fonemik,
misalnya dapat dikaji berdasarkan prinsip 1 penyebaran bunyi yang saling melengkapi, 2 kesamaan bunyi, 3 adanya pasangan minimal Petyt 1980:
119-120; Chambers dan Trudgill 2004: 43-35. Kajian dialek yang berdasarkan pada tempat yang berbeda-beda
disebut geografi dialek. Wardhaugh 1988: 42 menjelaskan bahwa geografi dialek adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan usaha pembuatan
peta pada distribusi ciri-ciri variasi linguistik yang menunjukkan asal lokasi bahasa tersebut. Selanjutnya, variasi-variasi linguistik tersebut sampai pada
usaha memetakan sebagaimana langkah akhir penelitian geografi dialek. Selanjutnya, Trudgill 1984: 33 memberikan gambaran tentang tujuan
kerja dialektologi, yaitu membuktikan kesinambungan dan perkembangan sejarah bahasa dan menyediakan sebagai suatu dasar sejarah terhadap studi
Universitas Sumatera Utara
75 lebih lanjut yang dapat diukur. Seorang dialektolog secara khusus
memusatkan perhatian pada perekaman dan pemeliharaan dialek yang lebih kuno sebelum dialek tersebut punah.
Beberapa ahli memberi pendapat tentang kerja dialektologi, seperti Bloomfield 1995: 333 – 334 mengatakan bahwa geografi dialek tidak hanya
membantu kita untuk mengilhami fakor-faktor di luar bahasa, tetapi juga melalui bukti-bukti berupa bentuk-betuk peninggalan dan stratifikasi-
stratifikasi, memberikan banyak hal yang terperinci mengenai sejarah setiap bentuk. Begitu juga dengan Collins 1986: 75 mengatakan bahwa
penyelidikan geografi dialek sangat penting untuk menentukan batas-batas dialek serta menyelidiki jaringan dialek dari segi linguistik.
Berdasarkan uraian di atas semakin jelas bahwa variasi yang akan dibahas dalam penelitian ini mencakup variasi regional, variasi sosial, dan
variasi historis. Kajian variasi regional dalam penelitian ini adalah mengamati kemungkinan variasi dialek yang muncul dari dua dialek yang dituturkan oleh
peserta tutur saat berinteraksi. Kedua dialek tersebut adalah DTB dan DBB yang status kedialektalannya telah diuji secara geografis dan historis. Kajian
variasi sosial yang dimaksudkan di sini adalah mengamati variasi dialek yang muncul saat peserta tutur yang berbeda etnis berinteraksi. Selanjutnya, kajian
variasi historis adalah membandingkan variasi dialek yang muncul dari dua kajian sebelumnya dan kemudian membandingkannya dengan bahasa proto.
Universitas Sumatera Utara
76 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa objek kajian dialektologi
yang mengamati variasi bahasa adalah variasi regional, variasi sosial, dan variasi historis. Ini berbeda dengan objek kajian sosiolinguistik yang
mengamati variasi bahasa berdasarkan medium atau pokok pembicaraan yang juga dikenal sebagai ragam atau register. Dialek adalah variasi bahasa yang
terjadi karena adanya perbedaan pemakai bahasa, sedangkan register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya. Variasi regional adalah variasi
bahasadialek berdasarkan perbedaan tempat atau daerah. Variasi sosial adalah variasi bahasadialek berdasarkan perbedaan sosial penutur, seperti
etnis, usia, pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi. Jadi, variasi bahasa adalah keragaman yang terjadi
karena adanya kegiatan interaksi sosial yang dilakukan peserta tutur sangat beragam. Variasi bahasa ini bersifat internal dan eksternal. Bersifat internal
karena adanya perbedaan di dalam bahasa itu sendiri, seperti perbedaan fonologi, sedangkan bersifat eksternal adalah karena adanya perbedaan di luar
bahasa, seperti perbedaan geografi, sosial, sejarah, dan sebagainya.
2.3.1.3 Konsep Pemahaman Timbal Balik Mutual Intelligibility
Istilah mutual intelligibility atau pemahaman timbal balik pertama kali dikemukakan oleh Voegelin dan Haris 1951 untuk menyatakan persetujuan
pada pendapat Guiraud 1978: 28 dalam Mahsun 1995: 112. Dijelaskan
Universitas Sumatera Utara
77 bahwa pada dua bahasa atau dialek yang bertetangga akan terjadi proses
peminjaman unsur-unsur kosa kata, struktur, dan cara pelafalan. Hal ini mengisyaratkan bahwa telah ada pemahaman timbal balik antara dua bahasa
atau dialek yang bertetangga. Lebih lanjut, Mahsun 1995: 113 menjelaskan bahwa pemahaman
timbal balik memiliki prinsip bahwa jarak spasial berbanding lurus dengan tingkat pemahaman. Maksudnya, suatu daerah pakai isolek memiliki
pemahaman timbal balik sesuai dengan jarak kedekatannya dengan pusat penyebaran. Semakin dekat dengan pusat penyebaran, semakin tinggi tingkat
pemahaman timbal baliknya. Sebaliknya, semakin jauh dari pusat penyebaran, semakin rendah pemahaman timbal baliknya. Namun demikian, terdapat mata
rantai pemahaman continuum. Konsep pemahaman timbal balik ini dapat disejajarkan dengan teori
gelombang Scmidt 1843-1901. Dikatakan bahwa bahasa-bahasa digunakan secara berantai dalam suatu wilayah tertentu dan dipengaruhi oleh perubahan-
perubahan yang terjadi pada suatu tempat tertentu. Perubahan-perubahan ini menyebar ke semua arah, seperti halnya gelombang dalam sebuah kolam yang
disebabkan oleh barang yang dijatuhkan ke dalam kolam itu. Dengan kata lain, perubahan-perubahan linguistik dapat tersebar seperti gelombang pada
sebuah wilayah bahasa dan tiap perubahan dapat meliputi suatu wilayah yang tidak tumpang tindih dengan wilayah terdahulu. Daerah yang berdekatan
Universitas Sumatera Utara
78 dengan pusat penyebaran akan lebih banyak menunjukkan persamaan
penyebarannya lihat Saussure 1988 [terj]: 336 – 345 dan Keraf 1984: 110. Konsep pemahaman timbal balik antarpenutur secara kualitatif
merupakan parameter pembeda pengertian dua istilah, yaitu bahasa dan dialek. Secara kuantitatif pembeda bahasa dan dialek dapat dilakukan dengan
perhitungan statistik yaitu, dialektometri. Jika parameter pemahaman timbal balik diterapkan secara kualitatif, penutur bahasa yang berbeda atau dialek
yang berbeda dapat diamati pada tingkat pemahaman timbal baliknya, yaitu ada yang tinggi dan ada yang rendah atau bahkan sangat rendah sehingga
tidak tercapai lagi efek komunikasi antarpenutur. Bila kadarnya tinggi, yang dihadapi bukan bahasa melainkan dialek. Sebaliknya, jika tingkatnya rendah
atau sangat rendah dan tidak terjadi pemahaman timbal balik, yang dihadapi bukan dialek melainkan bahasa band. Fernandez 1992.
Chambers dan Trudgill 2004: 3-4 membedakan konsep bahasa dengan dialek menggunakan konsep pemahaman timbal balik. Dijelaskan
bahwa bahasa adalah sekumpulan dialek yang bersifat saling memahami mutually intelligible antara satu dengan lainnya. Konsep ini
mengimplikasikan bahwa penentuan isolek sebagai dialeksubdialek bertumpu pada prinsip: Apabila penutur-penutur dari satu atau lebih sistem isolek yang
melakukan kontak dengan menggunakan isoleknya masing-masing terdapat pemahaman timbal balik satu sama lain, isolek-isolek tersebut merupakan
Universitas Sumatera Utara
79 dialeksubdialek dari satu bahasa; sebaliknya, apabila dalam kasus di atas
tidak terdapat pemahaman timbal balik, isolek-isolek itu harus dianggap masing-masing sebagai bahasa yang berbeda.
Namun, penentuan bahasa, dialek, atau subdialek dengan cara pemahaman timbal balik tidak selalu tegas. Dua isolek yang secara geografis
berdekatan letaknya akan dapat memahami satu sama lain tanpa kesulitan, sehingga kita mengatakan mereka berbicara dalam bahasa yang sama,
meskipun di antara sistem isoleknya terdapat perbedaan kosa kata, gramatika, ataupun sistem fonologi. Namun, jika penutur dari dua wilayah yang
berlawanan yang secara geografis berjauhan melakukan komunikasi dengan menggunakan isoleknya sendiri-sendiri, mungkin saja antarmereka tidak lagi
terjadi pemahaman timbal balik karena perbedaan di antara isoleknya begitu tinggi jumlahnya. Secara umum terdapat tingkat-tingkat pemahaman timbal
balik antara pemahaman secara spontan dengan ketidakpahaman mutlak. Di sisi lain, pemahaman timbal balik mungkin terjadi pada pokok masalah
tertentu, sedangkan pada pokok masalah yang lain tidak terdapat pemahaman timbal balik. Seorang Prancis misalnya, umumnya mengerti dengan mudah
apa yang dikatakan orang Quebec, tetapi begitu ia menggunakan bahasa Inggris, ia mungkin mendapat kesulitan untuk berinteraksi dengan montir atau
pelayan restoran. Seperti yang dinyatakan Martinet 1987: 150, bahwa pemahaman timbal balik yang pada mulanya tidak ada akan menjadi hilang
Universitas Sumatera Utara
80 dan selanjutnya terjadi pemahaman timbal balik pada saat kewaswasan awal
hilang dan beberapa korelasi sistematika mulai dikenali. Misalnya seorang Denmark dan seorang Norwegia akan saling memahami bahwa yang
dikatakan [sk] oleh yang satu diucapkan [s] oleh yang lain, seperti pada kata [ski]. Kasus di Indonesia dapat diilustrasikan pada contoh bahasa Simalungun
dan bahasa Karo. Dengan perjalanan sejarah yang cukup panjang kedua dialek ini menjadi dua bahasa yang berbeda. Namun, pada beberapa kosa kata masih
dapat dipahami oleh kedua penutur yang berbeda itu, misalnya kata [mb
rgh] ‘dingin’ dalam bahasa Karo diucapkan [mborgoh] ‘dingin’ dalam bahasa Simalungun. Analisis awal membuktikan bahwa ada perbedaan
ucapan dalam kedua bahasa tersebut, yaitu [ ə] dalam bahasa Karo
berkorespondensi dengan [o] dalam bahasa Simalungun. Begitupun analisis
lebih lanjut masih tetap diperlukan lagi lihat juga Mahsun 1995: 114.
Lebih lanjut Mahsun 1995: 114 – 115 menguraikan bahwa adanya tingkatan dalam pemahaman timbal balik, serta adanya pokok-pokok masalah
tertentu tempat terjadinya pemahaman timbal balik itu membuat kesulitan dalam menerapkan metode ini bagi penentuan isolek sebagai bahasa, dialek,
atau subdialek. Belum lagi ditambah oleh kemungkinan seorang linguis memasukkan unsur luar seperti unsur politis dalam penentuan tersebut
sehingga meskipun terjadi pemahaman timbal balik, tetapi karena isolek itu digunakan pada negara yang berbeda, dianggap sebagai bahasa yang berbeda.
Universitas Sumatera Utara
81 Sebagai contoh isolek-isolek Norwegia, Swedia, dan Denmark sekarang
diangap sebagai bahasa yang berbeda meskipun antarpenuturnya masih terdapat pemahaman timbal balik. Demikian pula antara bahasa Indonesia dan
bahasa Malaysia atau bahasa Melayu Brunei. Meskipun terdapat pemahaman timbal balik, tetap dikatakan sebagai tiga bahasa yang berbeda karena
perbedaan politis. Kesukaran penentuan istilah dialek atau bahasa selalu menjadi
persoalan. Ada bermacam kriteria yang digunakan untuk menetapkan batas antara bahasa dan dialek. Perbedaan kriteria ini terjadi karena acuannya
disesuaikan dengan sudut pandang linguistik yang dipilih. Dari segi ilmu bahasa struktural, bahasa merupakan sistem tanda yang berartikulasi ganda
yang berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia Martinet 1987: 32. Artikulasi ganda maksudnya, pengungkapan
makna-makna lewat bentuk yang tidak terbatas jumlahnya dan bentuk tersebut diungkapkan dengan bantuan bunyi bahasa yang terbatas jumlahnya.
Sebaliknya, dialek merupakan bahasa yang tersendiri karena mempunyai sistem tersendiri. Karena itu, dalam ilmu bahasa struktural tidak ada tempat
untuk istilah dialek. Dari segi ilmu sosiolinguistik, bahasa sudah dibakukan sebagai bahasa
budaya. Bahasa tersebut kemudian menjadi titik tolak untuk menilai bahasa lain. Apabila persamaan yang ada cukup tinggi dengan bahasa yang dipakai
Universitas Sumatera Utara
82 sebagai parameter, tetapi belum dibakukan sebagai bahasa budaya, bahasa itu
lazim disebut sebagai dialek. Di sini dialek mengandung konotasi “negatif” karena dalam arti ini dialek selalu merupakan penilaian dari hasil
perbandingan dengan salah satu bahasa yang dianggap lebih unggul. Dalam ancangan linguistik diakronis, bahasa dan dialek termasuk
rangkaian istilah yang menggambarkan bermacam-macam tingkat persamaan leksikal yang dapat ditemukan di antara pasangan variasi bahasa yang
dibandingkan. Peringkat persentase tersebut dapat memberi penjelasan bagaimana hubungan dengan variasi bahasa tertentu pula.
Mutual Intelligibility atau pemahaman timbal balik adalah adanya pemahaman antara dua peserta tutur saat berinteraksi. Namun, konsep
pemahaman timbal balik antarpenutur dalam kajian dialek haruslah dibatasi pada bahasadialek yang berasal dari etimon yang sama atau serumpun.
Perbedaan jarak waktu pisah dan letak geografis yang berjauhan akan memungkinkan pemahaman timbal balik antara dua dialek atau lebih akan
semakin rendah, tetapi apabila jarak waktu pisah dan letak geografis berdekatan akan mungkin pemahaman timbal baliknya tinggi. Ini harus
dibedakan dengan bilingualitasmultilingualitas seseorang terhadap bahasa yang tidak serumpun karena penutur yang bilingualitasmultilingualitas akan
selalu muncul pemahaman timbal balik dengan mitratuturnya.
Universitas Sumatera Utara
83
2.3.1.4 Konsep Ciri Pembeda
Ciri pembeda adalah ciri yang menandai suatu fonem segmental. Dalam kajian fonologi generatif ciri pembeda merupakan satuan terkecil. Ciri
pembeda ini merupakan unsur-unsur terkecil fonetik, leksikal, dan suatu transkripsi yang dibentuk oleh kombinasi dan rangkaian band. Chomsky
1968: 64 dalam Putra 2007: 39. Misalnya, bunyi [i] ditandai dengan seperangkat ciri yang kompleks, yaitu [+silabis, -konsonan, +tinggi, -
belakang, dan –bulat]. Konsep ciri pembeda atau distinctive feature pertama kali
diperkenalkan oleh N. Trubetzkoy dari aliran Praha. Dia menemukan adanya ciri-ciri pada bunyi segmental dalam konteks yang kontras. Kontras yang
diamatinya ada yang bersifat bilateral dan ada juga yang bersifat multilateral. Kontras-kontras inilah yang membedakan antara satu bunyi segmental dan
bunyi segmental lain. Kontras ini menunjukkan ciri pembeda. Misalnya, kontras antara bunyi [p] dan [b] lihat Asmah 1995: 13. Ciri pembeda juga
dikemukakan oleh Roman Jakobson dan Moris Halle. Bedanya dengan Trubetzkoy adalah dalam penggolongan utama Jakobson dan Halle 1971;
Jakobson, Cherry dan Halle 1971 dalam Asmah 1995: 15. Jakobson dan Halle membagi ciri pembeda ini atas dua jenis, yaitu ciri prosodi dan ciri
inherent. Pada sisi lain Chomsky dan Halle dalam The Sound Paterns of English 1958 memperkenalkan lima jenis ciri, yaitu ciri golongan utama
Universitas Sumatera Utara
84 major class features, ciri rongga cavity features, ciri cara artikulasi
manner of articulative features, ciri sumber source features, dan ciri prosodi prosodic features. Selanjutnya, mereka membagi ciri golongan
utama yang terdiri atas tiga pasangan kontras, yaitu 1 nyaring – taknyaring sonorant – nonsonorant, 2 vokalis – bukan vokalis, 3 konsonantal –
bukan konsonantal lihat Asmah 1995: 18-19. Oposisi binner-nya Jakobson dijelaskan oleh Chomsky dan Halle
bahwa ciri-ciri bersifat binner hanya pada tataran penggolongan atau fonemis sistematis, sedangkan pada fonetis sistematis, ciri-ciri itu tidak harus binner
Schanne 1992: 28. Dengan mengadopsi pendapat Chomsky dan Halle, ciri
pembeda dapat dipilah menjadi 1 golongan utama: a silabis [i, e,
Ε, , a, o, u], b sonoran [ i, e,
Ε, , a, o, u, m, n, 1, Ý, l, r, w, y], c konsonantal [p, b, t, d, c
, j, k, g, s, z, ⊗, l, r, m, n, 1, Ý]; 2 ciri cara artikulasi: a malar
kontinuan [i, e, Ε, , a, o, u, s, z, ⊗, l, r, m, n, 1, Ý], b penglepasan
tertunda [c , j, Ý], c kasar striden [s, z, h, ⊗], dan d nasal [m, n, 1, Ý],
e lateral [l] ; 3 ciri daerah artikulasi: a anterior [p, b, s, z, l, r, m, n] dan
koronal [t, d, s, z, r, l, c
, j, n, Ý]; 4 ciri batang lidah: a tinggi [i, u, c,
j , k, g, 1, Ý, w, j], b rendah [a, , h], c belakang [u, o, k, g, ⊗, 1, w],
dan d ciri bentuk bibir: bulat [u, o, w]; 5 ciri tambahan: a tegang [vokal i, e, a, o, u dan konsonan], b bersuara [konsonan bersuara]; 6 ciri prosodi: a
Universitas Sumatera Utara
85 tekanan [i
, e, a, o, u] dan b panjang [i:, a:, o:, u:] Schane
1992: 28 – 35 dan band. Putra 2007.
Dari konsep di atas disimpulkan bahwa ciri pembeda adalah satuan terkecil dalam kajian generatif. Ciri pembeda ini terdiri atas 1 golongan
utama, 2 ciri cara artikulasi, 3 ciri daerah artikulasi, 4 ciri batang lidah, 5 ciri tambahan, dan 6 ciri prosodi.
2.3.1.5 Konsep Korespondensi dan Variasi
Unsur-unsur bahasadialek yang ditemukan disusun dalam sebuah perangkat perbandingan. Ciri-ciri yang dibandingkan selanjutnya disusun
dalam perangkat korespondensi. Korespondensi adalah perubahan bunyi yang muncul secara teratur pada sejumlah data yang diamati, sementara perubahan
bunyi yang muncul secara tidak teratur disebut variasi. Korespondensi berdasarkan sudut pandang dialektologi adalah suatu kaidah perubahan yang
berkaitan dengan aspek linguistik dan aspek geografi. Dari aspek linguistik, perubahan yang berupa korespondensi itu terjadi karena persyaratan
lingkungan linguistik tertentu dan variasi terjadi bukan karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu. Karena itu, data yang menyangkut peubahan
bunyi yang berupa variasi terbatas pada satu atau dua contoh saja. Dari aspek geografi, kaidah perubahan bunyi disebut korespondensi jika sebaran leksem-
leksem yang menjadi realisasi kaidah perubahan bunyi itu terjadi pada daerah
Universitas Sumatera Utara