Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia

(1)

SERIBU, INDONESIA

AKHMAD RIZALI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

AKHMAD RIZALI. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia. Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI, LILIK BUDI PRASETYO, dan HERMANU TRIWIDODO.

Penelitian ini mempelajari keanekaragaman semut pada berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu, Indonesia. Tujuan penelitian adalah (1) mengukur dan mempelajari berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan sistem informasi geografi (SIG), (2) mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, dan (3) mempelajari pola distribusi dan keberadaan spesies semut di Kepulauan Seribu. Penelitian dilaksanakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu yang secara geografi terbentang antara 106°20’ - 106°50’ BT dan 05°20’ - 06°00’ LS. SIG digunakan untuk melakukan pemetaan dan pengukuran karakteristik pulau yang merupakan lokasi pengambilan contoh semut. Jarak isolasi pulau yang terukur berkisar antara 2,2 - 62,6 km, sedangkan luas pulau antara 1,00 - 52,87 ha. Pengambilan contoh semut dilakukan dengan metode koleksi intensif dalam plot pada keseluruhan patch di suatu pulau. Kurva akumulasi spesies digunakan untuk menduga keseluruhan spesies semut yang ada. Berdasarkan total plot contoh yang dilakukan, spesies semut yang berhasil dikoleksi di Kepulauan Seribu mencapai 96,87% yaitu berdasarkan nilai incidence-base coverage estimator (ICE). Secara keseluruhan spesies semut yang ditemukan di Kepulauan Seribu berjumlah 48 spesies yang termasuk dalam 5 subfamili dan 28 genus. Komposisi dan kekayaan spesies semut yang ditemukan pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu memiliki perbedaan. Analisis multidimensional scalling (MDS) digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut yang digambarkan dalam grafik dua dimensi. Secara umum terlihat bahwa terdapat kecenderungan karakteristik pulau yaitu luas pulau, jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga mempengaruhi keanekaragaman semut di suatu pulau. Terkait dengan pola distribusi dan keberadaan spesies semut, berdasarkan hasil analisis dengan canonical correspondence analysis (CCA) menunjukkan bahwa masing-masing karakteristik pulau memiliki pengaruh terhadap jenis spesies semut tertentu. Polyrachis abdominalis keberadaannya dipengaruhi oleh peningkatan jarak isolasi pulau. Beberapa spesies cryptic seperti Amblyopone sp.01 of SKY, Hypoponera sp.4 dan Ponera sp. 1, hanya ditemukan pada pulau-pulau yang lokasinya dekat dengan Pulau Jawa. Spesies semut endemik tidak ditemukan di Kepulauan Seribu dari hasil penelitian ini. Sebaliknya, spesies semut eksotik berhasil ditemukan yaitu Anoplolepis gracilipes, Solenopsis geminata dan Paratrechina longicornis yang ketiganya dikenal bersifat invasif. A. gracilipes dan S. geminata hanya ditemukan pada pulau-pulau yang memiliki dermaga saja.


(3)

SERIBU, INDONESIA

AKHMAD RIZALI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(4)

Indonesia

Nama : Akhmad Rizali

NIM : A451030021

Program studi : Entomologi - Fitopatologi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Entomologi dan Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(5)

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul tesis ini adalah “Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc. dan Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi serta bantuan dengan penuh keikhlasan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.

Kepada Dr. Christian H. Schulze, disampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan teknis-ilmiahnya. Prof. Seiki Yamane atas bantuan dan kesediaannya untuk mengecek ulang spesimen dan identifikasi semut hingga tingkat spesies. Selain itu kepada Anna Spengler dan Peter Hartmann penulis juga mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya selama penelitian.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) atas izin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di Kepulauan Seribu. Penelitian ini dibiayai oleh Center for Conservation and Insect Studies (CCIS) – Peka Indonesia Foundation, Hibah Tim Pasca Sarjana - DIKTI, dan Universitas Bayreuth - Jerman.

Kepada kedua orang tua tercinta - Ayahanda Inhakam dan Ibunda Siti Aminah (alm.), istri, dan seluruh saudara disampaikan terima kasih karena atas doa merekalah penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana, IPB. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan pahala yang tak terhingga.

Kepada rekan-rekan sekalian, anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, IPB; anggota tim Hibah Pascasarjana; dan rekan-rekan Peka Indonesia, yang telah memberikan dukungan dan doa selama pelaksanaan penelitian. Tak lupa ucapkan terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan jagawana Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu atas kesediaanya dalam menemani selama pengambilan contoh semut. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat dan berguna bagi yang memerlukannya.

Bogor, Juni 2006


(6)

Penulis dilahirkan di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 15 April 1977 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari ayah bernama Inhakam dan ibu bernama Siti Aminah (alm).

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Wungu, Madiun dan pada tahun yang sama melanjutkan ke IPB melalui jalur Undangan Masuk Perguruan Tinggi Negeri (USMI). Penulis memilih Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan (sekarang menjadi Departemen Proteksi Tanaman) - Fakultas Pertanian, dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf peneliti di Center for Conservation and Insect Studies (CCIS) – Peka Indonesia Foundation. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister Sains, Program Studi Entomologi dan Fitopatologi diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari tempat penulis bekerja.

Penulis pernah mengikuti pelatihan yang terkait dengan bidang yang diminati yaitu (1) pelatihan taksonomis muda yang diselenggarakan oleh ARCBC (ASEAN Regional Center for Biodiversity Conservation) pada tahun 2002 dan (2) pelatihan GIS (Geographical Information Systems) yang diselenggarakan oleh SCGIS (Society for Conservation GIS) dan ESRI (Environmental Systems Research Institute) pada tahun 2005. Selain itu penulis juga aktif mengikuti organisasi seperti menjadi anggota PEI (Perhimpunan Entomologi Indonesia) dan ANeT (international network for ant research (myrmecology) in Asia).


(7)

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

2 KARAKTERISASI PULAU BERDASARKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) ... 3

Pendahuluan ... 3

Bahan dan Metode ... 4

Lokasi Penelitian ... 4

Pengambilan Data Karakteristik Pulau di Lapangan ... 4

Pemetaan Pulau ... 6

Pengukuran Jarak Isolasi dan Luas Pulau ... 6

Hasil dan Pembahasan ... 7

Akurasi Pemetaan Pulau ... 7

Karakteristik 18 Pulau di Kepulauan Seribu ... 9

Kesimpulan ... 18

3 HUBUNGAN KARAKTERISTIK PULAU DENGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU ... 19

Pendahuluan ... 19

Bahan dan Metode ... 20

Lokasi Penelitian ... 20

Pengambilan Contoh Semut ... 22

Analisis Data ... 23

Hasil dan Pembahasan ... 24

Estimasi Kekayaan Spesies Semut ... 24

Hubungan Keanekaragaman Semut dengan Karakteristik Pulau... 27


(8)

KEPULAUAN SERIBU ... 32

Pendahuluan ... 32

Bahan dan Metode ... 33

Lokasi Penelitian ... 33

Pengambilan Contoh Semut ... 34

Analisis Data ... 34

Hasil dan Pembahasan ... 35

Kekayaan Spesies Semut di Kepulauan Seribu ... 35

Keanekaragaman Spesies Semut pada Berbagai Habitat ... 38

Keberadaan dan Pola Distribusi Spesies Semut ... 41

Kesimpulan ... 47

5 PEMBAHASAN UMUM ... 48

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

Kesimpulan ... 50

Saran ... 50


(9)

Halaman

1 Diskripsi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan

SIG ... 10 2 Perbandingan data hasil pengukuran secara manual dan data

sekunder (SK Gubernur DKI Tahun 2000) dengan pengukuran berdasarkan SIG ... 17 3 Diskripsi lokasi penelitian semut meliputi karakteristik 18 pulau di

Kepulauan Seribu beserta jumlah plot contoh dan waktu pelaksanaan

penelitian ... 21 4 Kekayaan spesies semut pada masing-masing pulau di Kepulauan

Seribu ... 25 5 Jenis spesies semut yang ditemukan dan keberadaannya pada

pulau-pulau di Kepulau-pulauan Seribu ... 36 6 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat tanah atau

serasah dan permukaan tanah ... 39 7 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat permukaan

tanah dan vegetasi ... 39 8 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada keseluruhan habitat


(10)

Halaman

1 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu ... 5 2 Pengukuran jarak pulau di Kepulauan Seribu dengan Pulau Jawa

menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 ... 7 3 Posisi relatif hasil pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen... 8 4 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Untung Jawa, (b) Pulau Rambut, dan (c) Pulau

Onrust ... 11 5 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Pari, (b) Pulau Lancang Besar, dan (c) Pulau Bokor .. 12 6 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Pramuka, (b) Pulau Tidung Kecil, dan (c) Pulau

Payung Besar ... 13 7 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Kotok Besar, (b) Pulau Paniki, dan (c) Pulau Semak Daun ... 14 8 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Bundar, (b) Pulau Putri Barat, dan (c) Pulau Bira

Kecil ... 15 9 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Dua Timur, (b) Pulau Penjaliran Barat, dan (c)

Pulau Nyamplung ... 16 10 Penempatan plot pengambilan contoh semut pada pulau dengan jenis

penggunaan lahan (1) heterogen dan (2) homogen ... 22 11 Kurva akumulasi spesies semut di Kepulauan Seribu ... 26 12 MDS komposisi spesies semut dari tiap pulau di Kepulauan Seribu

berdasarkan indeks kemiripan Sorenson. Pengelompokan pulau berdasarkan (a) luas pulau, (b) jarak isolasi pulau, (c) jenis penggunaan lahan, dan (d) keberadaan dermaga ... 29


(11)

SERIBU, INDONESIA

AKHMAD RIZALI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

AKHMAD RIZALI. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia. Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI, LILIK BUDI PRASETYO, dan HERMANU TRIWIDODO.

Penelitian ini mempelajari keanekaragaman semut pada berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu, Indonesia. Tujuan penelitian adalah (1) mengukur dan mempelajari berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan sistem informasi geografi (SIG), (2) mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, dan (3) mempelajari pola distribusi dan keberadaan spesies semut di Kepulauan Seribu. Penelitian dilaksanakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu yang secara geografi terbentang antara 106°20’ - 106°50’ BT dan 05°20’ - 06°00’ LS. SIG digunakan untuk melakukan pemetaan dan pengukuran karakteristik pulau yang merupakan lokasi pengambilan contoh semut. Jarak isolasi pulau yang terukur berkisar antara 2,2 - 62,6 km, sedangkan luas pulau antara 1,00 - 52,87 ha. Pengambilan contoh semut dilakukan dengan metode koleksi intensif dalam plot pada keseluruhan patch di suatu pulau. Kurva akumulasi spesies digunakan untuk menduga keseluruhan spesies semut yang ada. Berdasarkan total plot contoh yang dilakukan, spesies semut yang berhasil dikoleksi di Kepulauan Seribu mencapai 96,87% yaitu berdasarkan nilai incidence-base coverage estimator (ICE). Secara keseluruhan spesies semut yang ditemukan di Kepulauan Seribu berjumlah 48 spesies yang termasuk dalam 5 subfamili dan 28 genus. Komposisi dan kekayaan spesies semut yang ditemukan pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu memiliki perbedaan. Analisis multidimensional scalling (MDS) digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut yang digambarkan dalam grafik dua dimensi. Secara umum terlihat bahwa terdapat kecenderungan karakteristik pulau yaitu luas pulau, jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga mempengaruhi keanekaragaman semut di suatu pulau. Terkait dengan pola distribusi dan keberadaan spesies semut, berdasarkan hasil analisis dengan canonical correspondence analysis (CCA) menunjukkan bahwa masing-masing karakteristik pulau memiliki pengaruh terhadap jenis spesies semut tertentu. Polyrachis abdominalis keberadaannya dipengaruhi oleh peningkatan jarak isolasi pulau. Beberapa spesies cryptic seperti Amblyopone sp.01 of SKY, Hypoponera sp.4 dan Ponera sp. 1, hanya ditemukan pada pulau-pulau yang lokasinya dekat dengan Pulau Jawa. Spesies semut endemik tidak ditemukan di Kepulauan Seribu dari hasil penelitian ini. Sebaliknya, spesies semut eksotik berhasil ditemukan yaitu Anoplolepis gracilipes, Solenopsis geminata dan Paratrechina longicornis yang ketiganya dikenal bersifat invasif. A. gracilipes dan S. geminata hanya ditemukan pada pulau-pulau yang memiliki dermaga saja.


(13)

SERIBU, INDONESIA

AKHMAD RIZALI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(14)

Indonesia

Nama : Akhmad Rizali

NIM : A451030021

Program studi : Entomologi - Fitopatologi

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota

Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Entomologi dan Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(15)

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul tesis ini adalah “Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc. dan Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi serta bantuan dengan penuh keikhlasan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.

Kepada Dr. Christian H. Schulze, disampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan teknis-ilmiahnya. Prof. Seiki Yamane atas bantuan dan kesediaannya untuk mengecek ulang spesimen dan identifikasi semut hingga tingkat spesies. Selain itu kepada Anna Spengler dan Peter Hartmann penulis juga mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya selama penelitian.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) atas izin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di Kepulauan Seribu. Penelitian ini dibiayai oleh Center for Conservation and Insect Studies (CCIS) – Peka Indonesia Foundation, Hibah Tim Pasca Sarjana - DIKTI, dan Universitas Bayreuth - Jerman.

Kepada kedua orang tua tercinta - Ayahanda Inhakam dan Ibunda Siti Aminah (alm.), istri, dan seluruh saudara disampaikan terima kasih karena atas doa merekalah penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana, IPB. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan pahala yang tak terhingga.

Kepada rekan-rekan sekalian, anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, IPB; anggota tim Hibah Pascasarjana; dan rekan-rekan Peka Indonesia, yang telah memberikan dukungan dan doa selama pelaksanaan penelitian. Tak lupa ucapkan terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan jagawana Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu atas kesediaanya dalam menemani selama pengambilan contoh semut. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat dan berguna bagi yang memerlukannya.

Bogor, Juni 2006


(16)

Penulis dilahirkan di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 15 April 1977 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari ayah bernama Inhakam dan ibu bernama Siti Aminah (alm).

Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Wungu, Madiun dan pada tahun yang sama melanjutkan ke IPB melalui jalur Undangan Masuk Perguruan Tinggi Negeri (USMI). Penulis memilih Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan (sekarang menjadi Departemen Proteksi Tanaman) - Fakultas Pertanian, dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf peneliti di Center for Conservation and Insect Studies (CCIS) – Peka Indonesia Foundation. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister Sains, Program Studi Entomologi dan Fitopatologi diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari tempat penulis bekerja.

Penulis pernah mengikuti pelatihan yang terkait dengan bidang yang diminati yaitu (1) pelatihan taksonomis muda yang diselenggarakan oleh ARCBC (ASEAN Regional Center for Biodiversity Conservation) pada tahun 2002 dan (2) pelatihan GIS (Geographical Information Systems) yang diselenggarakan oleh SCGIS (Society for Conservation GIS) dan ESRI (Environmental Systems Research Institute) pada tahun 2005. Selain itu penulis juga aktif mengikuti organisasi seperti menjadi anggota PEI (Perhimpunan Entomologi Indonesia) dan ANeT (international network for ant research (myrmecology) in Asia).


(17)

Halaman

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

1 PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 2

2 KARAKTERISASI PULAU BERDASARKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) ... 3

Pendahuluan ... 3

Bahan dan Metode ... 4

Lokasi Penelitian ... 4

Pengambilan Data Karakteristik Pulau di Lapangan ... 4

Pemetaan Pulau ... 6

Pengukuran Jarak Isolasi dan Luas Pulau ... 6

Hasil dan Pembahasan ... 7

Akurasi Pemetaan Pulau ... 7

Karakteristik 18 Pulau di Kepulauan Seribu ... 9

Kesimpulan ... 18

3 HUBUNGAN KARAKTERISTIK PULAU DENGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU ... 19

Pendahuluan ... 19

Bahan dan Metode ... 20

Lokasi Penelitian ... 20

Pengambilan Contoh Semut ... 22

Analisis Data ... 23

Hasil dan Pembahasan ... 24

Estimasi Kekayaan Spesies Semut ... 24

Hubungan Keanekaragaman Semut dengan Karakteristik Pulau... 27


(18)

KEPULAUAN SERIBU ... 32

Pendahuluan ... 32

Bahan dan Metode ... 33

Lokasi Penelitian ... 33

Pengambilan Contoh Semut ... 34

Analisis Data ... 34

Hasil dan Pembahasan ... 35

Kekayaan Spesies Semut di Kepulauan Seribu ... 35

Keanekaragaman Spesies Semut pada Berbagai Habitat ... 38

Keberadaan dan Pola Distribusi Spesies Semut ... 41

Kesimpulan ... 47

5 PEMBAHASAN UMUM ... 48

6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

Kesimpulan ... 50

Saran ... 50


(19)

Halaman

1 Diskripsi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan

SIG ... 10 2 Perbandingan data hasil pengukuran secara manual dan data

sekunder (SK Gubernur DKI Tahun 2000) dengan pengukuran berdasarkan SIG ... 17 3 Diskripsi lokasi penelitian semut meliputi karakteristik 18 pulau di

Kepulauan Seribu beserta jumlah plot contoh dan waktu pelaksanaan

penelitian ... 21 4 Kekayaan spesies semut pada masing-masing pulau di Kepulauan

Seribu ... 25 5 Jenis spesies semut yang ditemukan dan keberadaannya pada

pulau-pulau di Kepulau-pulauan Seribu ... 36 6 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat tanah atau

serasah dan permukaan tanah ... 39 7 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat permukaan

tanah dan vegetasi ... 39 8 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada keseluruhan habitat


(20)

Halaman

1 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu ... 5 2 Pengukuran jarak pulau di Kepulauan Seribu dengan Pulau Jawa

menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 ... 7 3 Posisi relatif hasil pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen... 8 4 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Untung Jawa, (b) Pulau Rambut, dan (c) Pulau

Onrust ... 11 5 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Pari, (b) Pulau Lancang Besar, dan (c) Pulau Bokor .. 12 6 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Pramuka, (b) Pulau Tidung Kecil, dan (c) Pulau

Payung Besar ... 13 7 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Kotok Besar, (b) Pulau Paniki, dan (c) Pulau Semak Daun ... 14 8 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Bundar, (b) Pulau Putri Barat, dan (c) Pulau Bira

Kecil ... 15 9 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan

Seribu; (a) Pulau Dua Timur, (b) Pulau Penjaliran Barat, dan (c)

Pulau Nyamplung ... 16 10 Penempatan plot pengambilan contoh semut pada pulau dengan jenis

penggunaan lahan (1) heterogen dan (2) homogen ... 22 11 Kurva akumulasi spesies semut di Kepulauan Seribu ... 26 12 MDS komposisi spesies semut dari tiap pulau di Kepulauan Seribu

berdasarkan indeks kemiripan Sorenson. Pengelompokan pulau berdasarkan (a) luas pulau, (b) jarak isolasi pulau, (c) jenis penggunaan lahan, dan (d) keberadaan dermaga ... 29


(21)

semut (∆) dengan karakteristik pulau (panah). Spesies yang berposisi di pusat tidak dimunculkan namanya karena terlalu padat ... 43 14 Pola distribusi dan keberadaan spesies semut cryptic di Kepulauan

Seribu ... 44 15 Pola distribusi dan keberadaan spesies semut invasif di Kepulauan

Seribu ... 45 16 Pola distribusi dan keberadaan beberapa spesies semut yang


(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Studi keanekaragaman spesies pada kepulauan selalu mengaitkan kekayaan spesies dengan luas pulau dan jarak isolasi pulau tersebut dari sumber kolonisasi. Hubungan kekayaan spesies dengan luas dan jarak isolasi pulau telah dibahas mendalam oleh MacArthur & Wilson (1967) melalui model equilibrium (kesetimbangan) dalam teori biogeografi kepulauan. Semakin luas ukuran suatu pulau maka kekayaan spesies yang ada di dalamnya semakin tinggi. Ukuran pulau yang luas menjadikan keanekaragaman habitatnya tinggi, sehingga peluang keberadaan niche yang sesuai semakin tinggi pula (MacArthur & Wilson 1967). Semakin jauh jarak suatu pulau dari sumber kolonisasi maka kekayaan spesiesnya semakin rendah. Jauhnya jarak suatu pulau menjadi hambatan bagi spesies tertentu untuk melakukan migrasi ke pulau tersebut. Sehingga hanya spesies yang memiliki kemampuan dispersal (penyebaran) tinggi yang dapat melakukan migrasi ke pulau tersebut.

Perkembangan penelitian yang dilakukan memunculkan paradigma baru mengenai teori biogeografi kepulauan. Whittaker (1998) mengemukakan bahwa sejarah geologi pulau, fragmentasi habitat, dan intensitas gangguan manusia juga dapat mempengaruhi keanekaragaman spesies pada suatu pulau selain faktor luas dan jarak isolasi pulau. Bahkan menurut Brown & Lomolino (2000) kekayaan spesies pada suatu pulau ternyata tidak dalam equilibrium. Kekayaan spesies pada suatu pulau tidak hanya dipengaruhi oleh luas area dan jarak isolasi pulau tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik pulau yang lain. Pengaruh karakteristik pulau dijelaskan oleh Lomolino (2000) melalui model tripartite yang menggambarkan bahwa migrasi, kepunahan, dan evolusi sebagai fungsi dari karakteristik pulau. Karakteristik pulau akan mempengaruhi migrasi, kepunahan, spesiasi, dan keberadaan spesies endemik di suatu pulau.

Penelitian ini akan mempelajari keanekaragaman semut pada berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu, Indonesia. Kepulauan Seribu dipilih untuk tempat penelitian karena dianggap mewakili kepulauan daerah tropik dan


(23)

terdiri atas banyak pulau dengan berbagai variasi penggunaan lahan. Menurut Alamsyah (2003) Kepulauan Seribu terdiri atas 106 pulau dengan luas tiap pulaunya kurang dari 1 km2. Beberapa pulau seperti pulau-pulau di bagian utara telah dijadikan sebagai daerah konservasi yaitu Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, karena pulau-pulau telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan akibat aktivitas manusia, bahkan berdasarkan laporan UNESCO (1997) beberapa pulau telah hilang. Sistem informasi geografi (SIG) akan digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan pemetaan dan karakterisasi pulau tempat pengambilan contoh semut dilaksanakan.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Adapun tujuan khusus berdasarkan topik-topik penelitian adalah (1) mengukur dan mempelajari berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG, (2) mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, dan (3) mempelajari pola distribusi dan keberadaan spesies semut di Kepulauan Seribu.

Manfaat Penelitian

Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai (1) gambaran kondisi pulau-pulau di Kepulauan Seribu dan (2) keanekaragaman semut yang ada di Kepulauan Seribu. Gambaran kondisi pulau-pulau di Kepulauan Seribu bermanfaat untuk referensi penelitian berikutnya yang akan menghubungkan keanekaragaman spesies dengan kondisi pulau di Kepulauan Seribu. Keanekaragaman semut yang diperoleh pada berbagai kondisi pulau di Kepulauan Seribu juga dapat memberikan informasi mengenai arti penting pulau kecil di daerah tropik untuk pengaturan keanekaragaman semut.


(24)

KARAKTERISASI PULAU BERDASARKAN SISTEM

INFORMASI GEOGRAFI (SIG)

PENDAHULUAN

Dewasa ini sistem informasi geografi (SIG) telah banyak dimanfaatkan untuk penelitian ekologi seperti di antaranya mempelajari pola dan distribusi spasial organisme (Wadsworth & Treweek 1999). Komponen spasial yang berguna untuk mengetahui hubungan interaksi organisme dengan lingkungannya (Gilbert 1997) memungkinkan diukur secara kuantitatif dengan menggunakan SIG. Demikian juga interaksi antar spesies dalam skala lanskap yang mempelajari perpindahan spesies antar patch habitat sangat terbantu dengan SIG (Tischendorf & Fahrig 2000). SIG juga mempermudah dalam studi monitoring spesies invasif melalui pemetaan distribusi pada ekosistemnya berdasarkan lanskap, bioiklim, dan faktor yang memfasilitasi proses invasi (Joshi et al. 2004). Bahkan SIG juga digunakan dalam ilmu genetika sebagai perangkat untuk mempermudah melakukan modeling, seperti penelitian Manel et al. (2003) yang menghubungkan genetika populasi suatu spesies dengan ekologi lanskap.

Menurut Aronoff (1995) SIG merupakan suatu sistem berbasiskan komputer yang memiliki kemampuan menangani data bereferensi geografi meliputi pemasukan data, manajemen data, analisis dan manipulasi data, serta menghasilkan data. Dalam penggunaannya, SIG memerlukan komponen berupa komputer, perangkat lunak, data-data geografi, dan sumberdaya manusia untuk mengoperasikannya. Salah satu perangkat lunak SIG yang banyak digunakan adalah ArcView yang dikembangkan ESRI (Environmental Systems Research Institute). Perangkat lunak tersebut dapat digunakan untuk melakukan analisis fungsi-fungsi dasar SIG seperti membuat peta dan analisis statistik data spasial (Prahasta 2002). Fungsi-fungsi SIG khusus juga dapat dilakukan dengan ArcView yaitu dengan menggunakan ekstensi ArcView. Di antara ekstensi yang digunakan untuk melakukan analisis data spasial adalah patch analyst (Rempel et al. 1998). Perangkat lunak tersebut mempermudah untuk melakukan pengukuran


(25)

dan penjabaran data spasial meliputi ukuran, bentuk patch, dan keanekaragaman lanskap.

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan mempelajari berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG. Perangkat lunak ArcView akan digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan pemetaan dan pengukuran karakteristik pulau. Hasil yang diperoleh akan digunakan untuk mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu yang terbentang antara 106°20’ - 106°50’ BT dan 05°20’ - 06°00’ LS dengan variasi luas dan jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa yang berbeda-beda (Gambar 1). Informasi awal mengenai pulau-pulau di Kepulauan Seribu diperoleh berdasarkan (1) peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999) dan (2) SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No.1986/2000 Tanggal 27 Juli 2000. Pulau terdekat dengan Pulau Jawa yang dipilih adalah Pulau Onrust, sedangkan yang terjauh Pulau Dua Timur. Luas pulau bervariasi antara 0,75 ha (Pulau Semak Daun) hingga 41,32 ha (Pulau Pari). Umumnya di setiap pulau telah banyak mengalami gangguan manusia yaitu berdasarkan keberadaan pemukiman dan dermaga di pulau tersebut. Walaupun demikian pada beberapa pulau masih memiliki kondisi hutan yang baik seperti Pulau Rambut dan Pulau Bokor.

Pengambilan Data Karakteristik Pulau di Lapangan

Data karakteristik pulau yang akan diukur dan dipelajari pada penelitian ini adalah (1) jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa, (2) luas pulau, (3) bentuk pulau, (4) tipe penggunaan lahan, dan (5) keberadaan dermaga. Pengambilan data jarak isolasi, luas, dan bentuk pulau dilakukan dengan metode pengukuran pulau di


(26)

lapangan menggunakan GPS (global positioning system), sedangkan tipe penggunaan lahan dan keberadaan dermaga melalui pengamatan secara visual.


(27)

Pengukuran pulau atau pemetaan pulau di lapangan pada penelitian ini menggunakan GPS Garmin Etrex Vista. Peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999) digunakan untuk memberikan gambaran awal pada saat pengukuran pulau di lapangan. Pengukuran pulau dilakukan bila GPS telah mencapai tingkat akurasi di bawah 20 m yaitu dengan cara mengelilingi pulau sepanjang garis pantai, sehingga akan diperoleh data keliling pulau dan sekaligus bentuk pulau.

Pemetaan Pulau

Data hasil pengukuran di lapangan dengan GPS yang diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalam komputer dengan menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 (ESRI 2002). Bentuk pulau dan jenis penggunaan lahan pulau dipetakan dengan melakukan digitasi on-screen pada peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999). Hasil pengukuran pulau di lapangan digunakan sebagai referensi geografi sebelum digitasi dilakukan. Peta yang dihasilkan dibuat dalam dua sistem koordinat yaitu degree minute second (DMS) dan universal transver mercator (UTM). DMS digunakan untuk pembuatan peta lokasi penelitian sehingga dapat diperlihatkan posisi koordinat dari masing-masing pulau, sedangkan UTM digunakan untuk melakukan pengukuran karakteristik pulau.

Pengukuran Jarak Isolasi dan Luas Pulau

Pengukuran jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan measure tool dalam perangkat lunak ArcView 3.3. Jarak suatu pulau ditentukan berdasarkan jarak terdekat pulau dengan tepi pantai Pulau Jawa (Gambar 2). Jarak terdekat diperoleh dengan cara melakukan eksplorasi jarak (d”) untuk mendapatkan jarak terdekat (d) antara suatu pulau dengan tepi pantai Pulau Jawa.

Luas dan struktur lanskap masing-masing pulau diukur dengan menggunakan patch analyst (Rempel et al. 1998) yang merupakan perangkat lunak ekstensi ArcView. Hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak tersebut adalah berupa data-data kuantitatif dari masing-masing pulau di antaranya


(28)

adalah luas (area), keliling (perimeter), bentuk (MSI = mean shape index), dan keanekaragaman lanskap (Elkie et al. 1999).

d = jarak pengukuran terdekat, d” = jarak pengukuran jauh

Gambar 2 Pengukuran jarak pulau di Kepulauan Seribu dengan Pulau Jawa menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Akurasi Pemetaan Pulau

Pemetaan yang dilakukan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu dibedakan menjadi dua yaitu pemetaan lapangan dan pemetaan on-screen. Pemetaan lapangan merupakan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan GPS yang dijadikan sebagai sumber acuan untuk membuat peta pulau dengan menggunakan teknik digitasi on-screen. Gambar 3 menunjukkan posisi relatif antara pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen. Pengukuran di lapangan hasilnya cenderung sama dengan digitasi on-screen berdasarkan peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999). Titik-titik hasil pengukuran di lapangan terlihat sama mengikuti sepanjang pinggir pulau baik pada Pulau Pari


(29)

maupun Pulau Putri Barat. Pengukuran di lapangan sangat berguna untuk melakukan koreksi geografi terhadap peta. Koreksi yang dilakukan bertujuan untuk menetapkan posisi yang sebenarnya dan memberikan ketepatan pada saat pengukuran variabel pulau termasuk di dalamnya luas dan jarak isolasi pulau.

☼ : pengukuran di lapangan

Gambar 3 Posisi relatif hasil pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen

Keakuratan pengukuran di lapangan bergantung pada penutupan kanopi dan keberadaan awan. Kondisi pulau dengan penutupan kanopi yang tinggi menjadikan GPS tidak dapat menangkap satelit dengan baik, demikian juga pada saat cuaca sedang berawan. Hal tersebut menjadikan tingkat akurasi atau ketepatan posisi menjadi rendah. Walaupun demikian, penelitian ini menggunakan ketepatan akurasi GPS di bawah 20 meter. Apabila akurasi masih di atas 20 meter maka tidak dilakukan pengukuran pulau. Keakuratan dan ketepatan posisi titik pada saat pengukuran di lapangan juga ditentukan oleh jenis GPS yang digunakan. GPS dengan tingkat akurasi tinggi akan menghasilkan data dengan tingkat akurasi yang tinggi pula.

Pari


(30)

Karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu

Jenis penggunaan lahan dari 18 pulau di Kepulauan Seribu disajikan dalam gambar peta penggunaan lahan (Gambar 4 – 9). Jenis penggunaan lahan tiap pulau adalah berdasarkan peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999), sehingga tidak menggambarkan kondisi sebenarnya pada saat penelitian dilakukan. Walaupun demikian berdasarkan pengamatan secara visual di lapangan yang dilakukan (ground check) terdapat kesamaan jenis habitat di dalamnya, sedangkan luas tiap patch habitat berbeda. Jenis penggunaan lahan tiap pulau juga didiskripsikan berdasarkan kelas penggunaan lahan yaitu I - IV (Tabel 1). Perbedaan jenis penggunaan lahan adalah berdasarkan keberadaan rumah, hutan dan gangguan manusia di pulau tersebut. Pulau yang masuk dalam kelas I, seperti Pulau Rambut dan Pulau Bokor (Tabel 1), merupakan pulau dengan jenis penggunaan lahan hanya terdiri atas hutan dan dengan intensitas gangguan manusia rendah. Pulau Onrust dan Pulau Lancang Besar termasuk ke dalam kelas IV (Tabel 1) karena kedua pulau tersebut hanya terdiri atas perumahan dan dengan intensitas gangguan manusia tinggi. Pulau Onrust sering dikunjungi manusia karena merupakan daerah tempat wisata. Sedangkan Pulau Lancang Besar, merupakan pulau yang padat penduduknya sehingga gangguan habitat yang ada di pulau tersebut sangat tinggi. Informasi intensitas gangguan manusia berguna untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi gangguan habitat pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu.

Bentuk masing-masing pulau di Kepulauan Seribu selain dapat langsung dilihat melalui gambar (Gambar 4 – 9), kompleksitasnya juga dapat diketahui berdasarkan nilai MSI (Tabel 1). MSI merupakan indeks yang menggambarkan kompleksitas bentuk suatu pulau, semakin tinggi nilai MSI suatu pulau maka bentuk pulau tersebut semakin kompleks. Di Kepulauan Seribu bentuk pulau paling sederhana adalah Pulau Dua Timur yaitu dengan nilai MSI 0,9071, sedangkan bentuk paling kompleks adalah Pulau Tidung Kecil dengan MSI 2,6143 (Tabel 1).

Data jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa yang diperoleh berdasarkan SIG berkisar antara 2,2 – 62,6 km (Tabel 1). Pulau dengan jarak isolasi terjauh adalah


(31)

Pulau Dua Timur, sedangkan yang terdekat Pulau Onrust (Tabel 1, Gambar 1). Terdapat sedikit perbedaan antara hasil pengukuran dengan SIG dan pengukuran secara manual (Tabel 2) yaitu dengan perbedaan jarak berkisar antara 0 - 6 km. Perbedaan terjauh adalah hasil pengukuran pada Pulau Putri Barat (Tabel 2). Pengukuran jarak secara manual adalah pengukuran berdasarkan peta sehingga dimungkinkan terdapat kesalahan pada saat pengukuran. Walaupun demikian, ketepatan pengukuran dengan menggunakan SIG relatif bergantung pada akurasi dan jenis GPS yang digunakan pada saat digitasi di lapangan dilakukan.

Tabel 1 Diskripsi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG

No Pulau Jarak (km)1)

Luas

pulau (ha) MSI

2) Penggunaan

lahan 2) Dermaga

3)

1. Onrust 2,2 8,23 0,9295 IV P 2. Rambut 4,2 45,80 1,3272 I P 3. Untung Jawa 4,8 39,12 2,0181 III P 4. Bokor 7,0 16,34 1,0267 I P 5. Lancang Besar 9,4 26,43 1,3542 IV P 6. Pari 16,1 52,87 2,3955 III P 7. Payung Besar 20,8 22,74 2,1066 III P 8. Tidung kecil 22,8 19,71 2,6143 II P 9. Pramuka 28,6 19,92 1,7803 III P 10. Semak Daun 31,2 1,00 1,1740 I A 11. Kotok Besar 34,2 22,65 1,2382 II P 12. Paniki 35,1 5,80 1,6019 I A 13. Bira Kecil 43,2 8,62 1,0032 II P 14. Putri Barat 45,9 9,63 1,3327 II P 15. Bundar 52,6 5,76 1,9667 II P 16. Nyamplung 54,9 8,96 1,3493 I A 17. Penjaliran Barat 59,6 21,65 0,9292 I A 18. Dua Timur 62,6 21,42 0,9071 I A

1)

Jarak = jarak isolasi pulau tersebut dari Pulau Jawa

2)

MSI = mean shape index, indeks yang menggambarkan bentuk pulau

2)

I = hutan dengan intensitas gangguan manusia rendah, II = perumahan dan hutan dengan intensitas gangguan manusia rendah, III = perumahan dan hutan dengan intensitas gangguan manusia tinggi, IV = perumahan dengan intensitas gangguan manusia tinggi

3)


(32)

Gambar 4 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Untung Jawa, (b) Pulau Rambut, dan (c) Pulau Onrust

(c) (b) (a)


(33)

Gambar 5 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Pari, (b) Pulau Lancang Besar, dan (c) Pulau Bokor

(c) (b) (a)


(34)

Gambar 6 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Pramuka, (b) Pulau Tidung Kecil, dan (c) Pulau Payung Besar

(c) (b) (a)


(35)

Gambar 7 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Kotok Besar, (b) Pulau Paniki, dan (c) Pulau Semak Daun

(c) (b) (a)


(36)

Gambar 8 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Bundar, (b) Pulau Putri Barat, dan (c) Pulau Bira Kecil

(c) (b) (a)


(37)

Gambar 9 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Dua Timur, (b) Pulau Penjaliran Barat, dan (c) Pulau Nyamplung

(c) (b) (a)


(38)

Tabel 2 Perbandingan data hasil pengukuran secara manual dan data sekunder (SK Gubernur DKI Tahun 2000) dengan pengukuran berdasarkan SIG

Jarak pulau (km) 1) Luas pulau (ha) No Pulau

Manual 2) SIG 3) SK Gubernur 4) SIG 3) 1. Onrust 3 2,2 12,00 8,23 2. Rambut 5 4,2 20,00 45,80 3. Untung Jawa 6 4,8 40,10 39,12 4. Bokor 7 7,0 18,00 16,34 5. Lancang Besar 10 9,4 15,13 26,43 6. Pari 16 16,1 41,32 52,87 7. Payung Besar 21 20,8 20,86 22,74 8. Tidung kecil 22 22,8 17,40 19,71 9. Pramuka 27 28,6 16,00 19,92 10. Semak Daun 29 31,2 0,75 1,00 11. Paniki 30 35,1 3,00 5,80 12. Kotok Besar 32 34,2 20,75 22,65 13. Putri Barat 40 45,9 8,29 9,63 14. Bira Kecil 43 43,2 7,30 8,62 15. Bundar 49 52,6 1,28 5,76 16. Nyamplung 54 54,9 6,58 8,96 17. Penjaliran Barat 57 59,6 17,90 21,65 18. Dua Timur 62 62,6 18,48 21,42

1)

Jarak pulau = jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa

2)

Manual = pengukuran berdasarkan peta rupabumi Kepulaun Seribu (Bakosurtanal 1999)

3)

SIG = pengukuran dan penghitungan dengan menggunakan ArcView 3.3

4)

SK Gubernur = SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No.1986/2000, Tanggal 27 Juli 2000

Hasil pengukuran luas pulau dengan menggunakan SIG berkisar antara 1 ha (Pulau Semak Daun) hingga 52, 87 ha (Pulau Pari) (Tabel 1). Hasil pengukuran dengan SIG berbeda dengan data berdasarkan SK Gubernur Tahun 2000, bahkan perbedaan hingga mencapai 25,8 ha yaitu pada Pulau Rambut (Tabel 2). Perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan secara pasti melalui penelitian ini. Diduga terdapat perbedaan dalam metode pengukuran dan penetapan standar wilayah pulau yang menjadi faktor penyebab ketidaksamaan luas pulau.

Data hasil pengukuran berdasarkan SIG akan digunakan pada penelitian selanjutnya yaitu untuk mempelajari hubungan antara karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Data berdasarkan SIG dinilai lebih


(39)

menggambarkan kondisi pulau yang sebenarnya karena pengukuran pulau di lapangan dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh semut, dan lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan hasil pengukuran pulau pada saat itu.

KESIMPULAN

Penggunaan SIG memudahkan dalam pengukuran karakteristik pulau. Bentuk pulau dapat langsung diketahui pada saat melakukan pengukuran pulau di lapangan dengan menggunakan GPS. Perangkat lunak ArcView mempermudah dalam proses pengambilan data dari GPS, pengukuran karakteristik pulau (luas, jarak isolasi, dan bentuk pulau), dan penampilan data (pembuatan peta penggunaan lahan). Luas dan jarak isolasi pulau dapat diukur secara tepat dengan menggunakan perangkat lunak ArcView. Walaupun demikian, keakuratan penggunaan SIG untuk pengukuran karakteristik pulau ditentukan oleh sumber data (keakuratan GPS yang digunakan) dan kondisi lapangan (kondisi cuaca dan penutupan kanopi pulau).


(40)

HUBUNGAN KARAKTERISTIK PULAU DENGAN

KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU

PENDAHULUAN

Semut merupakan kelompok hewan terestrial paling dominan di daerah tropik (Atkins 1980). Semut berperan penting dalam ekosistem terestrial sebagai predator, scavenger, herbivor, detritivor, dan granivor, serta memiliki peranan yang unik dalam interaksinya dengan organisme lain seperti tumbuhan atau serangga lain (Holdobler & Wilson 1990). Keberadaan semut sangat terkait dengan kondisi habitatnya. Menurut Andersen (2000) terdapat faktor pembatas utama yang mempengaruhi keberadaan semut yaitu suhu rendah, habitat yang tidak mendukung untuk pembuatan sarang, sumber makanan yang terbatas, dan daerah jelajah yang tidak mendukung. Adanya aktivitas dan keberadaan manusia juga mempengaruhi keanekaragaman semut pada suatu ekosistem (Suarez et al.

1998; Gibb & Hochuli 2003; Graham et al. 2004; Schoereder et al. 2004). Beberapa spesies semut bahkan telah beradaptasi dan hidupnya berasosiasi sangat dekat dengan manusia, sehingga disebut sebagai semut tramp. Beberapa spesies semut tramp memiliki sifat invasif dan selalu membuat sarang di sekitar struktur yang dibuat oleh manusia (Schultz & McGlynn 2000), serta memiliki mekanisme kolonisasi khusus sebagai hasil adaptasi terhadap gangguan manusia (Gibb & Hochuli 2003). Spesies semut yang bersifat invasif tersebut juga dapat menjadi faktor pembatas keberadaan semut yang lain (Suarez et al. 1998; Andersen 2000; Holway et al. 2002; Hill et al. 2003).

Keberadaan semut di daerah kepulauan dapat dipengaruhi oleh luas pulau dan jarak isolasi pulau tersebut dengan pulau utama. Semakin luas ukuran suatu pulau maka akan semakin tinggi keanekaragaman semutnya (Wilson 1961). Model equilibrium dalam teori biogeografi kepulauan yang dikemukakan oleh MacArthur & Wilson (1967) dapat digunakan untuk memprediksi jumlah spesies semut di suatu pulau berdasarkan luas dan jarak isolasi pulau tersebut dari sumber kolonisasi. Karakteristik pulau yang lain seperti umur pulau atau sejarah


(41)

gangguan habitat pada suatu pulau juga dapat mempengaruhi keanekaragaman semut di pulau tersebut. Hasil penelitian Badano et al. (2005) pada kepulauan di danau buatan Cabra Corral yang terletak di Timur Laut Argentina menunjukkan bahwa umur pulau memiliki kontribusi dalam pembentukan struktur komunitas semut di dalamnya.

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Karakteristik pulau yang digunakan merupakan hasil pengukuran dengan sistem informasi geografi (SIG) meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga. Data berdasarkan SIG dinilai lebih menggambarkan kondisi pulau yang sebenarnya karena (1) pengukuran pulau di lapangan dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh semut, dan (2) lokasi pengambilan contoh ditentukan berdasarkan hasil pengukuran pulau pada saat itu.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu penelitian lapangan dan penelitian laboratorium. Penelitian lapangan adalah kegiatan pengambilan contoh semut di Kepulauan Seribu. Penelitian lapangan dilaksanakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu yang terbentang antara 106°20’ - 106°50’ BT dan 05°20’ - 06°00’ LS. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan SIG, karakteristik pulau meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga berbeda-beda untuk setiap pulaunya (Tabel 3). Luas pulau bervariasi antara 1 ha (Pulau Semak Daun) hingga 52,87 ha (Pulau Pari). Pulau terdekat dengan Pulau Jawa adalah Pulau Onrust yaitu 2,2 km, sedangkan pulau terjauh Pulau Dua Timur yaitu 62,6 km. Penggunaan lahan terdiri atas tiga jenis yaitu (1) pulau yang hanya terdapat perumahan (seperti Pulau Onrust), (2) pulau yang terdapat hutan dan perumahan (seperti Pulau Untung Jawa), dan (3) pulau yang hanya terdiri atas hutan (seperti Pulau Bokor).


(42)

Umumnya di setiap pulau telah banyak mengalami gangguan manusia yaitu ditunjukkan dengan keberadaan dermaga di pulau tersebut. Walaupun demikian, ada beberapa pulau yang tidak memiliki dermaga seperti Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Dua Timur (Tabel 3).

Penelitian laboratorium merupakan kegiatan penanganan spesimen semut hasil koleksi di lapangan. Penanganan spesimen yang dilakukan meliputi kegiatan sortasi dan identifikasi spesimen semut yang dilaksanakan di Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor.

Tabel 3 Diskripsi lokasi penelitian semut meliputi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu beserta jumlah plot contoh dan waktu pelaksanaan penelitian

No Pulau Jarak (km)1)

Luas pulau (ha)

Penggunaan lahan 2)

Dermaga

3) Jumlah

plot

Waktu pengambilan contoh

1. Onrust 2,2 8,23 R P 7 8 Mei 2005

2. Rambut 4,2 45,80 H P 11 9 - 10 Mei 2005

3. Untung Jawa 4,8 39,12 HR P 17 10 - 12 Mei 2005

4. Bokor 7,0 16,34 H P 10 5 Mei 2005

5. Lancang Besar 9,4 26,43 R P 15 6 - 7 Mei 2005

6. Pari 16,1 52,87 HR P 20 1, 2, 4 Mei 2005

7. Payung Besar 20,8 22,74 HR P 16 6 - 8 April 2005 8. Tidung kecil 22,8 19,71 HR P 11 15-16 April 2005 9. Pramuka 28,6 19,92 HR P 17 26, 29 April 2005 10. Semak Daun 31,2 1,00 H A 8 12 Maret 2005 11. Kotok Besar 34,2 22,65 HR P 15 30 April 2005

12. Paniki 35,1 5,80 H A 8 10-11 Maret 2005

13. Bira Kecil 43,2 8,62 HR P 8 13-14 April 2005 14. Putri Barat 45,9 9,63 HR P 9 12 April 2005

15. Bundar 52,6 5,76 HR P 9 28 April 2005

16. Nyamplung 54,9 8,96 H A 8 27 April 2005

17. Penjaliran Barat 59,6 21,65 H A 12 10 April 2005

18. Dua Timur 62,6 21,42 H A 9 9 April 2005

1)

Jarak = jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa

2)

H = hutan, R = perumahan, HR = hutan dan perumahan

3)


(43)

Pengambilan Contoh Semut

Pengambilan contoh semut dilaksanakan dari bulan Maret hingga Mei 2005 (Tabel 3). Setiap pulau dilakukan pengambilan contoh semut pada plot berukuran 5 m x 5 m dengan jumlah plot bergantung pada jenis penggunaan lahan (keanekaragaman patch) di suatu pulau dan kelengkapan spesies semut yang diperoleh. Pulau yang heterogen, plot pengambilan contoh semut ditempatkan mewakili keseluruhan patch (Gambar 10). Spesies semut pada suatu pulau dinilai lengkap (mewakili keseluruhan spesies semut yang ada di suatu pulau) apabila tidak ditemukan lagi spesies semut yang baru dengan penambahan jumlah plot.

■ : plot pengambilan contoh semut

Gambar 10 Penempatan plot pengambilan contoh semut pada pulau dengan jenis penggunaan lahan (1) heterogen dan (2) homogen

Pulau Lancang Besar

Pulau Pramuka

Pulau Semak Daun

Pulau Bokor (1)


(44)

Setiap plot dilakukan pengambilan contoh semut dengan metode koleksi intensif (Bestelmeyer et al. 2000; Delabie et al. 2000; Hashimoto et al. 2001). Koleksi intensif semut dilakukan pada tiga habitat yaitu (1) di dalam serasah atau tanah, (2) di atas permukaan tanah, dan (3) pada tumbuhan (vegetasi). Lama pengambilan contoh semut untuk satu plot berkisar 15 – 30 menit. Jenis semut yang sama pada satu plot hanya dikoleksi beberapa individu saja, sehingga data kekayaan spesies yang diperoleh berupa data presence-absence atau ada tidaknya spesies semut pada suatu plot.

Semut yang dikoleksi dimasukkan dalam micro tube yang berisi alkohol 70% dan diberi label. Selanjutnya spesimen semut tersebut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan sortasi dan identifikasi. Identifikasi awal dilakukan sampai tingkat morfospesies genus dengan menggunakan buku Identification Guide to The Ant Genera of The World (Bolton 1997) dan selanjutnya spesimen dikirim kepada ahli taksonomi semut (Prof. Seiki Yamane, Universitas Kagoshima - Jepang) untuk dilakukan pengecekan ulang dan identifikasi hingga tingkat spesies.

Analisis Data

Kelengkapan pengambilan contoh semut di Kepulauan Seribu yang dilakukan ditampilkan dalam bentuk kurva akumulasi spesies (Colwell & Coddington 1994; Willot 2001). Kelengkapan pengambilan contoh semut ditunjukkan berdasarkan kurva kejenuhan, yang berarti bahwa jumlah plot yang digunakan dapat menggambarkan keseluruhan spesies semut yang ada di Kepulauan Seribu. Kurva tersebut diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak EstimateS 5 (Colwell 1997). Kurva akumulasi spesies yang halus dihasilkan dengan melakukan pengacakan sebanyak 50 kali.

Kekayaan spesies semut yang terdapat pada suatu pulau atau keseluruhan pulau diduga dengan menggunakan incidence-based coverage estimator (ICE) yang merupakan penduga kekayaan spesies berdasarkan data presence-absence

(Colwell & Coddington 1994). Nilai ICE diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak EstimateS 5 (Colwell 1997).


(45)

Indeks Sorenson (Magurran 1988) digunakan untuk mengetahui kemiripan komposisi dan kekayaan spesies semut antar pulau. Indeks tersebut dihitung dengan menggunakan Biodiv 97 yang merupakan perangkat lunak macro untuk Microsoft Excel (Messner 1997). Matrik kemiripan yang diperoleh kemudian dianalisis lanjut dengan menggunakan analisis multidimensional scaling (MDS) (Hair et al. 1998; Cheng 2004). Kemiripan kekayaan spesies semut antar pulau adalah berdasarkan kedekatan jarak antar obyek yang digambarkan pada grafik dua dimensi. Ketepatan obyek pada posisinya ditunjukkan dari nilai stress. Semakin rendah nilai stress (mendekati nol) maka posisi obyek semakin tepat. Perangkat lunak Statistica for Windows 5.0 (StatSoft 1995) digunakan untuk melakukan analisis MDS.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Estimasi Kekayaan Spesies Semut

Metode koleksi intensif telah digunakan untuk pengambilan contoh semut pada keseluruhan habitat di setiap plot meliputi habitat tanah atau serasah, permukaan tanah, dan vegetasi. Hal tersebut untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai kekayaan spesies semut yang ada pada suatu pulau, sehingga data kekayaan spesies semut tersebut dapat dibandingkan dengan data kekayaan spesies semut yang pada pulau yang lain. Penelitian ini menggunakan kurva akumulasi spesies dan penduga ICE (Colwell & Coddington 1994) untuk mengetahui kekayaan spesies suatu pulau berdasarkan jumlah plot yang dilakukan pada pulau tersebut. Berdasarkan keseluruhan plot (210 plot) yang digunakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu, spesies semut yang ditemukan berjumlah 48 spesies yang termasuk dalam 5 subfamili dan 28 genus (Tabel 4).

Kelengkapan pengambilan contoh semut berdasarkan penduga ICE pada tiap pulau berbeda-beda (Tabel 4). Prediksi kekayaan spesies semut terendah pada Pulau Onrust yaitu hanya ditemukan 67,02 % dari total spesies semut yang ada di pulau tersebut, sedangkan prediksi tertinggi pada Pulau Payung Besar yaitu


(46)

96,70 % spesies semut berhasil ditemukan dari total spesies semut yang ada. Rendahnya prediksi kekayaan spesies semut berdasarkan ICE pada Pulau Onrust dan beberapa pulau yang lain disebabkan kurangnya jumlah plot pengambilan contoh yang dilakukan. Penentuan cukup tidaknya plot pengambilan contoh sesuai dengan ICE sulit diprediksi di lapangan. Pengambilan contoh semut diprediksi kelengkapannya di lapangan berdasarkan tidak ditemukannya lagi spesies semut yang baru dengan ditambahnya jumlah plot. Hal tersebut dilakukan untuk efisiensi pelaksanaan penelitian di lapangan.

Tabel 4 Kekayaan spesies semut pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu Total spesies

No Pulau Subfamili Genus

Obs 1) Sp (%) ICE 2)

1. Onrust 3 10 14 20,89 (67,02)

2. Rambut 5 21 34 49,37 (68,87)

3. Untung Jawa 4 21 29 37,42 (77,50)

4. Bokor 4 20 32 36,51 (87,65)

5. Lancang Besar 4 18 27 31,06 (86,93)

6. Pari 5 24 34 37,18 (91,45)

7. Payung Besar 4 18 24 24,82 (96,70) 8. Tidung Kecil 5 21 26 31,89 (81,53)

9. Pramuka 5 20 30 36,86 (81,39)

10. Semak Daun 4 13 17 21,43 (79,33) 11. Kotok Besar 4 19 29 36,20 (80,11)

12. Paniki 5 20 27 30,85 (87,52)

13. Bira Kecil 5 21 27 29,11 (92,75) 14. Putri Barat 5 19 27 30,39 (88,85)

15. Bundar 4 18 25 29,12 (85,85)

16. Nyamplung 5 19 28 34,25 (81,75) 17. Penjaliran Barat 5 14 21 26,07 (80,55) 18. Dua Timur 5 14 19 26,47 (71,78)

Total 5 28 48 49,55 (96,87)

1)

Obs = kekayaan spesies semut dari hasil observasi

2)

ICE = incidence-based coverage estimator, prediksi keseluruhan spesies semut; Sp = jumlah spesies semut berdasarkan prediksi, % = persentase spesies hasil observasi dengan spesies hasil prediksi


(47)

26 Gambar 11 Kurva akumulasi spesies semut di Kepulauan Seribu

0 10 20 30 40 50 60 70

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 170 180 190 200 210

Jumlah plot

Ju

m

la

h

sp

esi

es

Spesies ICE 96.87%


(48)

Nilai prediksi ICE yang sempurna memungkinkan diperoleh apabila dilakukan sensus dan dengan jumlah unit pengambilan contoh yang banyak (Colwell & Coddington 1994). Tingginya perbedaan spesies antar plot yang diperoleh menyebabkan nilai prediksi ICE menjadi rendah setelah dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak EstimateS 5 (Tabel 4). Nilai prediksi ICE yang rendah pada jumlah plot rendah ditunjukkan dari fluktuasi nilai prediksi jumlah spesies semut pada kisaran unit pengambilan contoh 1 sampai 20 plot (Gambar 11).

Walaupun demikian, secara keseluruhan pengambilan contoh semut yang dilakukan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa 96,87 % spesies semut berhasil diperoleh dari penelitian ini (Tabel 4). Hal tersebut berarti bahwa pengambilan contoh semut telah lengkap dan dapat menggambarkan keseluruhan spesies semut yang ada di Kepulauan Seribu. Pengambilan contoh yang lengkap ditunjukkan dengan kejenuhan kurva akumulasi spesies hasil observasi (Gambar 11).

Hubungan Keanekaragaman Semut dengan Karakteristik Pulau

Komposisi dan kekayaan spesies semut yang ditemukan pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu memiliki perbedaan (Tabel 4). Perbedaan tersebut diduga terkait dengan karakteristik masing-masing pulau yang berbeda meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga. Analisis MDS digunakan untuk mengetahui hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut yang ada di dalamnya. Kemiripan komposisi spesies semut antar pulau yaitu berdasarkan indeks Sorenson yang digunakan dinilai lebih dapat menggambarkan hubungannya dengan karakteristik pulau dibandingkan hanya berdasarkan jumlah spesies semut. Hal tersebut sejalan dengan Cheng (2004) yang menyatakan bahwa MDS merupakan cara terbaik untuk menggambarkan variasi dari keanekaragaman spesies bila dibandingkan dengan analisis multivariat yang lain.

Hasil analisis MDS menunjukkan bahwa secara umum terdapat kecenderungan karakteristik pulau mempengaruhi keanekaragaman semut. Luas


(49)

pulau yang berbeda cenderung memiliki perbedaan keanekaragaman semut. Komposisi spesies semut pada kelompok luas pulau antara 0 - 20 ha (L1) terlihat berbeda pengelompokannya dengan kelompok pulau dengan luas di atas 20 ha (L2) (Gambar 12a). Hal tersebut sejalan dengan Wilson (1961) bahwa terdapat hubungan antara luas suatu pulau dengan keanekaragaman semut di dalamnya. Ukuran pulau yang luas akan mendukung pertambahan ukuran populasi spesies semut karena tersedianya sumber makanan dan habitat yang sesuai (MacArthur & Wilson 1967). Walaupun demikian, adanya irisan antara L1 dan L2 menunjukkan bahwa perbedaan luas pada beberapa pulau memiliki komposisi spesies semut yang sama. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan luas pulau di Kepulauan Seribu yang rendah dan pengaruh karakterisitik pulau yang lain.

Jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa juga cenderung memiliki hubungan dengan komposisi spesies semut. Hal tersebut berdasarkan adanya pemisahan antara kelompok pulau dengan kisaran jarak 0 – 15 km (J1), 16 – 31 km (J2), 32 – 47 km (J3), dan 48 – 63 km (J4) (Gambar 12b). Jarak isolasi suatu pulau terkait dengan kemampuan dispersal (penyebaran) spesies semut untuk melakukan migrasi ke suatu pulau. Semakin jauh jarak isolasi suatu pulau dari utama (sumber kolonisasi) maka semakin tinggi hambatan spesies semut untuk melakukan migrasi ke pulau tersebut. MacArthur & Wilson (1967) menyatakan bahwa spesies dengan kemampuan menyebar rendah, tidak akan ditemukan pada pulau yang terisolasi sangat jauh dengan sumber kolonisasi. Walaupun demikian, hasil penelitian ini belum dapat menyimpulkan batas jarak isolasi pulau yang menyebabkan perbedaan keanekaragaman semut. Hal tersebut ditunjukkan menyatunya kelompok J3 dengan J1 dan J4 (Gambar 12b).

Pulau dengan jenis penggunaan lahan berbeda juga cenderung memiliki keanekaragaman semut yang berbeda pula (Gambar 12c). Hal ini ditunjukkan dengan adanya pemisahan antara kelompok pulau yang memiliki jenis habitat hutan (H), hutan dan perumahan (HR), dan perumahan saja (R). Adanya irisan antara H, HR, dan R menunjukkan bahwa beberapa pulau memiliki kemiripan spesies semut walaupun jenis penggunaan lahannya berbeda. Hal tersebut diduga disebabkan masih terdapatnya habitat yang sesuai untuk spesies semut tertentu.


(50)

Karakteristik pulau yang lain diduga juga memberikan pengaruh keanekaragaman semut yang ada.

1 = Pulau Onrust, 2 = Pulau Rambut, 3 = Pulau Untung Jawa, 4 = Pulau Bokor, 5 = Pulau Lancang Besar, 6 = Pulau Pari, 7 = Pulau Payung Besar, 8 = Pulau Tidung Kecil, 9 = Pulau Pramuka, 10 = Pulau Semak Daun, 11 = Pulau Kotok Besar, 12 = Pulau Paniki, 13 = Pulau Bira Kecil, 14 = Pulau Putri Barat, 15 = Pulau Bundar, 16 = Pulau Nyamplung, 17 = Pulau Penjaliran Barat, 18 = Pulau Dua Timur

L1 = 0 – 20 ha, L2 = > 20 ha

J1 = 0 – 15 km, J2 = 16 – 31 km, J3 = 32 – 47 km, J4 = 48 – 63 km H = hutan, R = perumahan, HR = hutan dan perumahan

P = ada dermaga, A = tidak ada dermaga

Gambar 12 MDS komposisi spesies semut dari tiap pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan indeks kemiripan Sorenson. Pengelompokan pulau berdasarkan

(a) luas pulau, (b) jarak isolasi pulau, (c) jenis penggunaan lahan, dan (d) keberadaan dermaga

13 4 15 18 11 5 16 1 12 6 7 17 9 14 2 10 8 3

-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 Dimension 1 -1.4 -1.2 -1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 D imensi on 2 stress: 0,1718 J1 J2 J3 J4 13 4 15 18 11 5 16 1 12 6 7 17 9 14 2 10 8 3

-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 Dimension 1 -1.4 -1.2 -1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 D imensi on 2 stress: 0,1718 HR R H 13 4 15 18 11 5 16 1 12 6 7 17 9 14 2 10 8 3

-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 Dimension 1 -1.4 -1.2 -1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 D imensi on 2 stress: 0,1718 L1 L2 13 4 15 18 11 5 16 1 12 6 7 17 9 14 2 10 8 3

-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 Dimension 1 -1.4 -1.2 -1.0 -0.8 -0.6 -0.4 -0.2 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 D imensi on 2 stress: 0,1718 P A (a) (b) (c) (d)


(51)

Keberadaan dermaga pada suatu pulau juga terlihat cenderung mempengaruhi keanekaragaman semut pada suatu pulau. Hal ini ditunjukkan dengan pemisahan yang sangat jelas antara kelompok pulau yang ada dermaga di dalamnya (P) dan kelompok pulau yang tidak ada dermaganya (A) (Gambar 12d). Keberadaan dermaga berhubungan dengan kemudahan manusia mengakses pulau tersebut sehingga memfasilitasi penyebaran spesies semut tertentu. Spesies semut

tramp misalnya sangat terbantu dengan keberadaan manusia (Schultz & McGlynn 2000; Gibb & Hochuli 2003). Keberadaan manusia dan semut tramp akan mempengaruhi keanekaragaman semut pada suatu habitat (Suarez et al. 1998; Andersen 2000; Holway et al. 2002; Gibb & Hochuli 2003; Hill et al. 2003; Graham et al. 2004; Schoereder 2004).

Beradasarkan hal tersebut di atas, kombinasi keseluruhan karakteristik pulau memiliki hubungan yang kuat terhadap keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Pulau yang luas dan dengan jenis penggunaan lahan hutan memiliki keanekaragaman semut yang tinggi, walaupun ditentukan juga oleh jarak isolasi pulau tersebut dengan Pulau Jawa. Pulau Pari misalnya, dengan luas pulau 52,87 ha memiliki kekayaan spesies semut sama tingginya dengan Pulau Rambut yang memiliki luas pulau lebih rendah (45,80 ha) tapi dengan jarak isolasi dari Pulau Jawa lebih dekat (Tabel 4). Kedua pulau tersebut memiliki jenis penggunaan lahan yang berbeda. Keseluruhan habitat di Pulau Rambut adalah hutan dengan tingkat gangguan manusianya rendah. Sedangkan jenis penggunaan lahan Pulau Pari adalah kombinasi antara perumahan dan hutan.

Jarak isolasi pulau yang dekat juga tidak selalu menentukan tingginya keanekaragaman spesies semut pada suatu pulau. Pulau Onrust misalnya, keanekaragaman semut yang ada pada pulau tersebut paling rendah walaupun jaraknya paling dekat dengan Pulau Jawa. Habitat yang sangat terganggu diduga menyebabkan banyak spesies semut yang tidak dapat bertahan atau bahkan mengalami kepunahan, sehingga menjadikan tidak banyak ditemukannya spesies semut pada pulau tersebut. Spesies semut yang mendominasi Pulau Onrust adalah kelompok semut tramp yang hidup berasosiasi dengan manusia. Tingginya intensitas gangguan pada Pulau Onrust karena pulau tersebut merupakan daerah


(52)

wisata yang selalu dikunjungi manusia. Lokasinya yang sangat dekat dengan Pulau Jawa menjadikan akses manusia ke pulau tersebut sangat mudah. Bahkan, berdasarkan PEMDA DKI (2003) gangguan habitat di Pulau Onrust telah terjadi sejak penjajahan Belanda yaitu digunakan untuk tempat perbaikan kapal dan juga pernah dijadikan sebagai benteng pertahanan.

KESIMPULAN

Metode koleksi intensif merupakan cara yang efektif untuk dapat menggambarkan kekayaan spesies semut pada suatu pulau. Hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut dapat diketahui dengan menggunakan analisis MDS. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh karakteristik pulau yaitu meliputi luas area, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga pada pulau tersebut. Kombinasi keseluruhan karakteristik pulau memiliki hubungan yang kuat terhadap keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Pulau yang luas dengan jenis penggunaan lahan hutan dan memiliki jarak yang dekat dengan pulau Jawa memiliki keanekaragaman semut yang tinggi walaupun terdapat dermaga di dalamnya.


(53)

POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI

KEPULAUAN SERIBU

PENDAHULUAN

Keberadaan spesies pada suatu habitat tidak terlepas dari kemampuan distribusi dan adaptasi spesies tersebut (Whittaker 1998). Kemampuan distribusi dan adaptasi spesies semut bergantung pada jenis spesiesnya (Holldobler & Wilson 1990). Adanya aktivitas dan keberadaan manusia dapat mempengaruhi keberadaan spesies semut dan pola distribusinya pada suatu daerah (Suarez et al. 1998; Gibb & Hochuli 2003; Graham et al. 2004; Schoereder 2004), bahkan beberapa spesies semut telah beradaptasi dan hidup bersama dengan manusia (semut tramp). Beberapa spesies semut tramp bersifat invasif dan selalu membuat sarang di sekitar struktur yang dibuat oleh manusia (Schultz & McGlynn 2000), serta memiliki mekanisme kolonisasi khusus sebagai hasil adaptasi dengan gangguan manusia (Gibb & Hochuli 2003).

Konversi habitat yang dilakukan manusia dan keberadaan spesies invasif menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik atau penggantian lokal biota oleh spesies pendatang yang dapat co-exist dengan manusia (McKinney & Lockwood 2001; Olden et al. 2004). Spesies semut endemik cenderung rentan dengan perubahan habitat dan tidak mampu bersaing dengan spesies semut invasif. Kemampuan adaptasi dan mekanisme tertentu yang dimiliki semut invasif menjadikan keberadaannya dapat mempengaruhi spesies semut lain (Holway et al. 2002; Hill et al. 2003). Sebagai contoh penelitian Hill et al. (2003), semut invasif

Anoplolepis gracilipes mempengaruhi komunitas invertebrata lain bahkan

beberapa di antaranya mengalami kepunahan.

Di daerah kepulauan, keberadaan spesies semut selain dipengaruhi oleh luas pulau dan jarak isolasi pulau dari sumber kolonisasi (MacArthur & Wilson 1967; Wilson 1961) juga dipengaruhi sejarah geologi pulau dan sejarah gangguan habitat yang ada di pulau tersebut. Walaupun demikian, informasi mengenai biogeografi semut belum banyak diketahui (McGlynn 1999). Informasi masih


(54)

terbatas pada distribusi semut di dunia (McGlynn 1999). Pulau yang terisolasi dan habitatnya tidak terganggu oleh manusia memiliki peluang sangat tinggi terdapat spesies endemik di dalamnya Lomolino (2000). Tingkat gangguan manusia tinggi pada suatu pulau akan selalu diikuti dengan keberadaan spesies semut tramp atau invasif di dalamnya.

Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keberadaan dan pola distribusi spesies semut di Kepulauan Seribu. Keberadaan dan pola distribusi spesies terkait dengan sejarah pulau dan tingkat gangguan habitat oleh manusia di pulau tersebut (Whittaker 1998). Kepulauan Seribu yang berlokasi dekat dengan Jakarta menjadikan tingkat gangguan habitat sangat tinggi. Tiap-tiap pulau memiliki sejarah gangguan habitat yang berbeda, seperti gangguan habitat Pulau Onrust telah terjadi sejak penjajahan Belanda (PEMDA DKI 2003).

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Seribu yang secara geografi terbentang antara 106°20’ - 106°50’ BT dan 05°20’ - 06°00’ LS. Pengambilan contoh semut dilakukan pada 18 pulau yang memiliki perbedaan karakteristik pulau meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga. Luas pulau bervariasi antara 1 ha (Pulau Semak Daun) hingga 52,87 ha (Pulau Pari). Pulau terdekat dengan Pulau Jawa adalah Pulau Onrust yaitu 2,2 km, sedangkan pulau terjauh Pulau Dua Timur yaitu 62,6 km. Penggunaan lahan terdiri atas tiga jenis yaitu (1) pulau yang hanya terdapat perumahan (seperti Pulau Onrust), (2) pulau yang terdapat hutan dan perumahan (seperti Pulau Untung Jawa), dan (3) pulau yang hanya terdiri atas hutan (seperti Pulau Bokor). Umumnya di setiap pulau telah banyak mengalami gangguan manusia yaitu ditunjukkan dengan keberadaan dermaga di pulau tersebut. Walaupun demikian, ada beberapa pulau yang tidak memiliki dermaga seperti Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Dua Timur.


(55)

Pengambilan Contoh Semut

Pengambilan contoh semut dilaksanakan dari bulan Maret hingga Mei 2005. Setiap pulau dilakukan pengambilan contoh semut pada plot berukuran 5 m x 5 m dengan jumlah plot bergantung pada jenis penggunaan lahan (keanekaragaman

patch) di suatu pulau dan kelengkapan spesies semut yang diperoleh. Pulau yang

heterogen, plot pengambilan contoh semut ditempatkan mewakili keseluruhan

patch. Spesies semut pada suatu pulau dinilai lengkap (mewakili keseluruhan

spesies semut yang ada di suatu pulau) apabila tidak ditemukan lagi spesies semut yang baru dengan penambahan jumlah plot.

Setiap plot dilakukan pengambilan contoh semut dengan metode koleksi intensif (Bestelmeyer et al. 2000; Delabie et al. 2000; Hashimoto et al. 2001). Koleksi intensif semut dilakukan pada tiga habitat yaitu (1) di dalam serasah atau tanah, (2) di atas permukaan tanah, dan (3) pada tumbuhan (vegetasi). Lama pengambilan contoh semut untuk satu plot berkisar 15 – 30 menit. Jenis semut yang sama pada satu plot hanya dikoleksi beberapa individu saja, sehingga data kekayaan spesies yang diperoleh berupa data presence-absence atau ada tidaknya spesies semut pada suatu plot.

Semut yang dikoleksi dimasukkan dalam micro tube yang berisi alkohol 70% dan diberi label. Selanjutnya spesimen semut tersebut dibawa ke laboratorium untuk dilakukan sortasi dan identifikasi. Identifikasi awal dilakukan sampai tingkat morfospesies genus dengan menggunakan buku Identification

Guide to The Ant Genera of The World (Bolton 1997) dan selanjutnya spesimen

dikirim kepada ahli taksonomi semut di Jepang untuk dilakukan pengecekan ulang dan identifikasi hingga tingkat spesies.

Analisis Data

Habitat utama suatu spesies semut diduga dengan menggunakan frekuensi keberadaan spesies pada habitat tertentu. Data frekuensi diperoleh berdasarkan proporsi ditemukannya spesies ke-i pada habitat ke-j dari keseluruhan plot pengambilan contoh semut yang dilakukan (210 plot). Persamaan untuk menentukan keberadaan spesies semut adalah:


(56)

Hubungan keberadaan spesies semut dengan karakteristik pulau di Kepulauan Seribu dipelajari dengan menggunakan canonical correspondence

analysis (CCA) (ter Braak 1996). CCA merupakan teknik analisis multivariat

yang menghubungkan struktur komunitas spesies dengan karakteristik lingkungan yang diketahui. Hubungan spesies dengan karakteristik lingkungan digambarkan melalui grafik ordinasi. Karakteristik lingkungan ditampilkan berupa anak panah, sedangkan spesies berupa titik. Kedekatan posisi spesies dengan karakteristik lingkungan menunjukkan spesies tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan karakteristik lingkungan tersebut. CCA dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak Canoco 4.5 (ter Braak & Šmilauer 2002). Selain itu, keberadaan dan pola distribusi spesies semut pada karakteristik pulau tertentu juga dipetakan dengan menggunakan grafik sederhana. Jenis spesies yang dipetakan dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu (1) spesies cryptic, (2) spesies invasif dan (3) spesies semut yang hanya ditemukan pada jarak isolasi pulau tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kekayaan Spesies Semut di Kepulauan Seribu

Kekayaan spesies semut yang ditemukan di Kepulauan Seribu berjumlah 48 spesies yang termasuk dalam 5 subfamili dan 28 genus. Keseluruhan spesies tersebut tersebar pada 18 pulau, beberapa spesies hanya ditemukan pada pulau tertentu dan bahkan hanya pada habitat tertentu saja (Tabel 5). Spesies semut

Amblyopone sp.01 of SKY, Hypoponera sp.04, dan Ponera sp.01 hanya

ditemukan pada pulau tertentu saja. Hal tersebut diduga karena ketiga spesies semut tersebut hanya bisa beradaptasi pada pulau tertentu atau kondisi habitat tertentu saja. Selain itu, spesies-spesies tersebut diduga tidak memiliki kemampuan menyebar yang baik.

100 x 210 j -ke habitat pada i -ke spesies ditemukan plot jumlah (%) spesies Keberadaan =


(1)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah :

1. Penggunaan SIG memudahkan baik dalam proses pengambilan data di lapangan maupun pada tahap analisis data. Dengan SIG akan diperoleh ketepatan dan keakuratan hasil pengukuran karakteristik pulau.

2. Penggunaan metode koleksi intensif untuk koleksi semut cukup efektif untuk menggambarkan kekayaan spesies semut di Kepulauan Seribu.

3. Jumlah plot pengambilan contoh yang diperlukan pada pulau dengan kondisi habitat heterogen lebih banyak dibandingkan dengan habitat yang homogen, walaupun demikian pada pelaksanaanya jumlah plot dibatasi untuk efisiensi pelaksanaan penelitian di lapangan.

4. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh berbagai karakteristik pulau yaitu luas area, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga pada pulau tersebut. Kombinasi keseluruhan karakteristik pulau mempengaruhi keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu.

5. Pola distribusi dan keberadaan spesies semut di Kepulauan Seribu juga dipengaruhi oleh karakteristik pulau. Spesies semut cryptic berpotensi digunakan sebagai indikator karena hanya ditemukan pada karakteristik pulau tertentu. Gangguan habitat menyebabkan hilangnya spesies semut tertentu pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu.

Saran

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya. Di antara hal-hal yang dapat disarankan adalah :

1. Jumlah plot minimal untuk pengambilan contoh semut pada pulau-pulau di Kepulauan Seribu adalah 20 plot. Hal tersebut untuk mendapatkan nilai prediksi kekayaan semut yang tinggi di setiap pulaunya. Diperlukan jumlah plot lebih banyak pada pulau dengan jenis penggunaan lahan heterogen.


(2)

51 2. Tidak ditemukannya spesies endemik pada penelitian ini menjadi informasi

penting untuk penelitian selanjutnya. Sensus pada keseluruhan habitat yang ada pada suatu pulau akan memperbesar kemungkinan menemukan spesies endemik di Kepulauan Seribu.

3. Pengaruh keberadaan spesies semut invasif pada pulau dapat dipelajari lebih mendalam pada penelitian selanjutnya. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan keanekaragaman semut pada suatu pulau dipengaruhi oleh keberadaan spesies invasif pada pulau tersebut.

4. Tidak adanya spesies semut Odontoponera denticulata menarik untuk dipelajari lebih lanjut, dengan mengingat bahwa spesies semut ini dominan dan umum ditemukan di Pulau Jawa.


(3)

Alamsyah AT. 2003. Sealand regionism: new paradigm for water based settlement development of the Jakarta metropolitan area. Di dalam: Seventh International Congress of Apsa Hanoi 2003. Planning Theory and History. [terhubung berkala]. http://www.hau.edu.vn/apsa2003/

Andersen AN. 2000. Global ecology of rainforest ants: functional groups in relation to environmental stress and disturbance. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Press. Aronoff S. 1995. Geographic Information Systems: A Management Perspective.

Canada: WDL Publications.

Atkins MD. 1980. Introduction to Insect Behavior. New York: MacMillan Publishing.

Badano EI et al. 2005. Species richness and structure of ant communities in a dynamic archipelago: Effects of island area and age. J Biogeography 32: 221-227.

[Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 1999. Kepulauan Seribu. [peta rupabumi]. [Di dalam]: Peta Rupabumi Digital Indonesia. Berwarna, skala 1 : 25.000. Lembar 111, 112, 1210-113, 1210-114, 1210-131, 1210-132, 1210-133, 1210-411, 324, 1110-342, 1110-622, 1209-434.

Bestelmeyer BT et al. 2000. Field techniques for the study of ground-dwelling ants. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants:

Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity.

Washington: Smithsonian Institution Press.

Bolton B. 1997. Identification Guide to the Ant Genera of the World. London: Harvard University press.

Brown WL. 2000. Diversity of Ants. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Press.

Brown JH, Lomolino MV. 2000. Concluding remarks: historical perspective and the future of island biogeography theory. Global Ecology & Biogeography 9: 87–92

Cheng C. 2004. Statistical approaches on discriminating spatial variation of species diversity. Bot Bull Acad Sin 45: 339-346.

Colwell RK. 1997. EstimateS 5: Statistical estimation of species richness and shared species from samples. [terhubung berkala]. http://www.viceroy.eeb. uconn.edu/estimates. [17 Desember 1997].


(4)

53 Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through

extrapolation. Philosophical Transactions: Biological Sciences 345: 101-118.

Delabie JHC, Fisher BL, Majer JD, Wright IW. 2000. Sampling effort and choice and methods. In Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants:

Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity.

Washington: Smithsonian Institution Press.

Elkie PC, Rempel RS, Carr AP. 1999. Patch Analyst User’s Manual: A Tool for Quantifying Landscape Structure. Ontario, Canada: Queen’s Printer.

[ESRI] Environmental Systems Research Institute. 2002. ArcView GIS 3.3. New York: ESRI.

Gibb H, Hochuli DF. 2003. Colonisation by a dominant ant facilitated by anthropogenic disturbance: affects on ant assemblage composition, biomass and resourse use. Oikos 103: 469-478.

Gilbert M. 1997. A user-friendly PC-based GIS for forest entomology: an attemp to combine existing software. Di dalam: Grègoire JC, Liebhold AM, Stephen FM, Day KR, Salom SM, editor. Integrating Cultural Tactics into

the Management of Bark Beetle and Reforestation Pest. USDA Forest

Service General Technical Report.

Gonzalez A. 2000. Community relaxation in fragmented landscapes: the relation between species richness, area, and age. Ecology Letters 3: 441-448.

Graham JH et al. 2004. Habitat disturbance and the diversity and abundance of ants (Formicidae) in the Southeastern Fall-Line Sandhills. J Insect Science 4(30): 1-15. [terhubung berkala]. http://www.insectscience.org/4.30

Hair JF et al. 1998. Multivariate Data Analysis 5th eds. USA: Prentice-Hall International.

Hashimoto Y, Yamane S, Mohamed M. 2001. How to design an inventory method for ground-level ants in tropical forests. Nature and Human Activities 6: 25-30.

Hill M, Holm K, Vel T, Shah NJ, Matyot P. 2003. Impact of the introduced yellow crazy ant Anoplolepis gracilipes on Bird Island, Seychelles. Biodiversity and Conservation 12: 1969-1984.

Holway DA , Lach L, Suarez AV, Tsutsui ND, Case TJ. 2002. The causes and consequences of ant invasions. Annu Rev Ecol Syst 33: 181-233.

Hölldobler B, Wilson EO. 1990. The Ants. Canada: Hardvard University Press. Hunter MD. 2002. Landscape structure, habitat fragmentation, and the ecology

of insects. Agricultural and Forest Entomology 4: 159-166.

Ito F et al. 2001. Ant species diversity in the Bogor Botanical Garden, West Java, Indonesia, with descriptions of two new species of the genus Leptanilla (Hymenoptera: Formicidae). Tropics 10(3): 379-404.


(5)

Joshi C, de Leeuw J, van Duren IC. 2004. Remote sensing and GIS apllications for mapping and spatial modelling of invasive species. Di dalam: The XXth

ISPRS Congress “Geo Imagery Bridging Continents”. Istanbul Turkey,

12-23 July 2004. Proceeding Vol. XXXV. [terhubung berkala]. http://www.isprs.org/istanbul2004/ comm7/papers/132.pdf

Lomolino MV. 2000. A call for a new paradigm of island biogeography. Global Ecology & Biogeography 9: 1–6

MacArthur RH, Wilson EO. 1967. The Theory of Island Biogeography. New Jersey: Princeton University Press.

Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey: Princeton University Press.

Manel S, Schwartz MK, Luikart G, Taberlet P. 2003. Landscape genetics: combining landscape ecology and population genetics. Trends in Ecology and Evolution 18: 189-197. [terhubung berkala]. http://tree.trends.com McGlynn TP. 1999. The worldwide transfer of ants: geographical distribution

and ecological invasions. J Biogeography 26: 535-548.

McKinney ML, Lockwood JL. 2001. Biotic homogenization: a sequential and selective process. Di dalam: Lockwood JL, McKinney ML, editor. Biotic

Homogenization. New York: Kluwer Academic.

Messner S. 1997. Biodiversity Calculator. Würzburg: Universität Würzburg. Olden JD, Poff NL, Douglas MR, Douglas ME, Faucsh KD. 2004. Ecological

and evolutionary consequences of biotic homogenization. Trends in Ecology and Evolution 19(1): 18-24.

Peck SL, McQuaid B, Campbell CL. 1998. Using ant spesies (Hymenoptera: Formicidae) as a biological indicator of agroecosystem condition. J. Entomol. Soci. America. 27: 1102-1110.

[PEMDA DKI] Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2003. Pulau Onrust. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman.

Prahasta E. 2002. Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView. Bandung: Penerbit Informatika.

Rempel R, Carr A, Elkie P. 1998. Patch Analyst. Sustainable Forest Management Network and The Ontario Ministry of Natural Resourches. Ontario, Canada: Northwest Science and Technology. [terhubung berkala]. http://flash.lakeheadu.ca/~rrempel/patch.htm

Rizali A et al. 2005. Ant Diversity in Tropical Urban Areas: The Role of Tramp Species in Shaping an Ant Community in Indonesia. [Poster]. Student Conference on Conservation Science, University of Cambridge, 22 - 24 March 2005.


(6)

55 Schoereder JH, Sobrinho TG, Ribas CR, Campos RBF. 2004. Colonization and

extinction of ant communities in a fragmented landscape. Austral Ecology 29:391-398.

Schultz TR, McGlynn TP. 2000. The interactions of Ants with other organisms. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants:

Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity.

Washington: Smithsonian Institution Press.

Statsoft. 1995. Statistica for Windows Release 5.0. Tulsa: StatSoft.

Suarez AV, Bolger D, Case TJ. 1998. Effects of fragmentation and invasion on native ant communities in Coastal Southern California. Ecological Society of America 79(6): 2041-2056.

ter Braak CJF. 1996. Unimodal Models to Relate Species to Environment. Wageningen: DLO-Agricultural Mathematics Group.

ter Braak CJF, Šmilauer P. 2002. Canoco version 4.5 : Software for Canonical Community Ordination. Wageningen: Biometris.

Tischendorf L, Fahrig L. 2000. On the usage and measurement of landscape connectivity. Oikos 90:7-19.

[UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 1997. The missing islands of Pulau Seribu (Indonesia). Di dalam: Economic and Business Review Indonesia. No. 262, April 23, 1997 pp. 38-39. [terhubung berkala]. http://www.unesco.or.id/

Wadsworth R, Treweek J. 1999. GIS for Ecology: An Introduction. England: Addison Wesley Longman Limited.

Whittaker RJ. 1998. Island Biogeography: Ecology, Evolution, and Conservation. New York: Oxford University Press.

Willott SJ. 2001. Species accumulation curves and the measure of sampling effort. Journal of Applied Ecology 38: 484-486.

Wilson EO. 1961. The nature of the taxon cycle in the Melanesian ant fauna. American Naturalist 95: 169-193