Pengaruh Bakteri Asam Laktat Terhadap Perubahan Raffinose Family Oligosaccharides (RFO) Pada Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata)

(1)

SKRIPSI

PENGARUH BAKTERI ASAM LAKTAT TERHADAP PERUBAHAN

RAFFINOSEFAMILYOLIGOSACCHARIDES (RFO) PADA PROSES

PEMBUATAN TEPUNG LABU KUNING (Cucurbitamoschata)

Oleh

HURRY ZAMHOOR PRATAMA F24052173

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PENGARUH BAKTERI ASAM LAKTAT TERHADAP PERUBAHAN

RAFFINOSEFAMILYOLIGOSACCHARIDES (RFO) PADA PROSES

PEMBUATAN TEPUNG LABU KUNING (Cucurbitamoschata)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

HURRY ZAMHOOR PRATAMA F24052173

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

Judul Skripsi : Pengaruh Bakteri Asam Laktat Terhadap Perubahan Raffinose Family Oligosaccharides (RFO) Pada Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata)

Nama : Hurry Zamhoor Pratama

NIM : F24052173

Menyetujui, Pembimbing I

(Prof. Dr. Ir. Rizal Sjarief SN, DESS) NIP: 19480409 197302 1 001

Pembimbing II

(Sri Usmiati, S.Pt, M.Si) NIP: 19681123 199803 2 001

Mengetahui, Ketua Departemen

(Dr. Ir. Dahrul Syah) NIP: 19650814 199002 1 001


(4)

Hurry Zamhoor Pratama. F24052173. PENGARUH BAKTERI ASAM

LAKTAT TERHADAP PERUBAHAN RAFFINOSE FAMILY

OLIGOSACCHARIDES (RFO) PADA PROSES PEMBUATAN TEPUNG LABU KUNING (Cucurbita moschata). Di bawah bimbingan Rizal Sjarief SN dan Sri Usmiati. 2010

RINGKASAN

Buah labu kuning (Cucurbita moschata) kaya akan pro-vitamin A dan di Indonesia dapat diolah menjadi berbagai panganan tradisional. Buah labu kuning diduga mengandung senyawa penyebab flatulensi. Senyawa tersebut dikenal dengan Raffinose Family Oligosaccharides (RFO), yaitu rafinosa, stakiosa dan verbaskosa. Senyawa RFO dapat direduksi dengan bantuan enzim α-galaktosidase yang berasal dari mikroba.

Penelitian ini dimaksudkan untuk menurunkan kadar RFO menggunakan bakteri asam laktat (BAL) pada proses pembuatan tepung labu kuning. Empat spesies BAL yang digunakan yaitu L. plantarum, L. brevis, B. longum dan L. mesenteroides. Perlakuan diberikan dengan merendam irisan buah labu kuning dalam suspensi BAL dengan populasi 106 dan 107 CFU/ml. Dari penelitian ini dapat dilihat besar penurunan kadar RFO dan pengaruh perendaman terhadap kadar β-karoten dan rendemen.

Hasil penelitian menunjukkan buah labu kuning segar mengandung rafinosa (612,0 mg/100 g bk), stakiosa (36,3 mg/100 g bk), dan verbaskosa (6,0 mg/100 g bk). Pemberian perlakuan perendaman dalam suspensi bakteri asam laktat dan perbedaan jumlah populasinya menghasilkan reduksi RFO yang relatif sama. Kadar RFO tepung labu kuning terendah adalah perlakuan perendaman dengan bakteri B. longum dengan populasi 107 CFU/ml sebesar 550,54 ppm atau turun sebesar 8,75% selama perendaman. Perlakuan perendaman dengan bakteri B. longum dengan populasi 107 CFU/ml juga menghasilkan kadar rafinosa dan stakiosa terendah masing-masing sebesar 389,25 ppm (turun 7,77%) dan 149,82 ppm (turun 18,47%). Kadar verbaskosa terendah diperoleh tepung labu kuning perlakuan perendaman dengan bakteri L. plantarum dengan populasi 107 CFU/ml sebesar 7,53 ppm atau turun sebesar 56,75% selama perendaman.

Kadar β-karoten buah labu kuning segar adalah 0,74 mg/100 g bb. Kadar akhir β-karoten tepung labu kuning relatif sama antara tepung labu perlakuan dan kontrol. Berdasarkan besaran nilai, kadar β-karoten tepung labu kontrol tanpa rendam adalah 269,62 ppm, perendaman dengan air destilata adalah 230,65 ppm, dan perendaman dengan bakteri rata-rata adalah 238,44 ppm. Perlakuan populasi bakteri 107 CFU/ml menghasilkan kadar β-karoten 239,50 ppm lebih tinggi dari perlakuan populasi 106 CFU/ml sebesar 237,39 ppm.

Perlakuan perendaman menyebabkan penurunan rendemen irisan labu kering tetapi perbedaan perlakuan spesies bakteri dan jumlah populasinya menghasilkan rendemen yang relatif sama. Perlakuan perendaman dengan bakteri asam laktat menghasilkan rendemen rata-rata sebesar 3,52%, kontrol perendaman dengan air destilata sebesar 3,57%, dan kontrol tanpa rendam sebesar 5,93%.


(5)

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis yang dilahirkan di Jakarta pada tanggal 12 Oktober 1987 merupakan putra pertama dari pasangan Bapak M. Zamzam dan Ibu Dwi Setyawati. Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Pertiwi Pamulang, SD Negeri Pamulang I, SLTP Negeri 1 Pamulang dan SMA Negeri 1 Ciputat. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui undangan seleksi masuk pada tahun 2005 tanpa memiliki jurusan. Setelah setahun kuliah, penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) dengan Mayor Teknologi Pangan.

Penulis pernah mengikuti acara-acara seminar atau pelatihan, diantaranya Seminar Mahasiswa Teknologi Pangan dan Ilmu Gizi Tingkat Nasional, yang diselenggarakan oleh HIMITEPA IPB, Pelatihan Sistem Manajemen Halal, Pelatihan ISO 9001 dan 22000, dan lain-lain.

Sebagai syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Departemen ITP dan memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis memilih untuk melakukan penelitian di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor dan menulis skripsi yang berjudul “Pengaruh Bakteri Asam Laktat Terhadap Perubahan Raffinose Family Oligosaccharides (RFO) Pada Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata)” pada tahun 2010.


(6)

KATA PENGANTAR





Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh subhanahu wa ta’ala dan sholawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad

b

. Atas kehendak dan karunia-Nya, penelitian dan skripsi yang berjudul “Pengaruh Perendaman Menggunakan Bakteri Asam Laktat Pada Proses Pembuatan Tepung Labu Kuning (Cucurbita moschata)dapat diselesaikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini diselesaikan dengan bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu dan Ayah di rumah yang senantiasa mendo‟akan penulis. 2. Prof. Dr. Ir. Rizal Sjarief SN, DESS selaku pembimbing akademik. 3. Sri Usmiati, S.Pt, M.Si selaku pembimbing di Balai Litbang Pascapanen. 4. Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji.

5. Dra. Sri Yuliani, Apt. selaku ketua tim penelitian di Balai Litbang Pascapanen.

6. Pak Heru, Pak Ato, Pak Yudi, Pak Tri, Pak Sis, Mba Ika, Bu Ning, staf dan teknisi di Balai Litbang Pascapanen yang telah banyak membantu selama penelitian.

7. Rino Hidayat, teman seperjuangan dan teman satu tim: Sri dan Tri yang telah membantu selama penelitian.

8. Siyam yang membantu editing.

9. Yusup, Ela, dan Hera atas konsultasi statistiknya.

10. Para moderator forum Pustakaku.net yang membantu menyediakan jurnal-jurnal.

11. Para penghuni Wisma At-Tauhid: Bombay, Angga, Dimas, Hasan, Mas Eko dan teman-teman terbaik: Achid, Asep, Adit, Agung Ridwan, Sunanto yang selalu menyemangati.

12. Para anggota grup “Dukung Hurry Menyelesaikan Skripsinya” di FB yang sudah menyemangati penulis.


(7)

Semoga Alloh membalas seluruh kebaikan yang telah diberikan. Terakhir, penulis berharap semoga hasil penelitian dan skripsi ini bermanfaat bagi dunia teknologi pangan dan bidang-bidang lain yang terkait dengan penelitian ini.

Bogor, Juni 2010 Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

RINGKASAN ... iv

RIWAYAT HIDUP PENULIS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

A.LATAR BELAKANG ... 1

B.TUJUAN PENELITIAN ... 2

C.MANFAAT PENELITIAN ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A.LABU KUNING ... 3

B.OLIGOSAKARIDA KELUARGA RAFINOSA (RAFFINOSE FAMILY OLIGOSACCHARIDES/ RFO) ... 6

C.KAROTENOID DAN ß-KAROTEN ... 8

D.BAKTERI ASAM LAKTAT ... 10

1. Lactobacillusplantarum ... 11

2. Lactobacillusbrevis ... 11

3. Bifidobacteriumlongum ... 12

4. Leuconostocmesenteroides ... 13

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 15

A.BAHAN DAN ALAT ... 15

1. Bahan ... 15

2. Alat ... 15

B.TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ... 15

C.METODE PENELITIAN ... 15


(9)

a. Aktivasi dan propagasi ... 16

b. Pembuatan kultur kerja ... 16

c. Penentuan lama perendaman ... 17

2. Penelitian utama ... 17

3. Pembuatan tepung labu kuning ... 18

a. Persiapan bahan ... 18

b. Pengeringan menggunakan pengering kabinet ... 19

4. Perlakuan dan rancangan percobaan ... 19

5. Metode Analisis ... 20

a. Analisis Angka Lempeng Total/ Total Plate Count (TPC) (BAM, 2009) ... 20

b. Analisis Kadar β-karoten ... 21

c. Analisis Kadar Oligosakarida ... 21

d. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995)... 22

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A.PENELITIAN PENDAHULUAN ... 23

1. Pembuatan kultur kerja ... 23

2. Pemilihan lama perendaman ... 24

B.PENELITIAN UTAMA ... 24

1. Kadar Oligosakarida ... 24

a. Rafinosa ... 27

b. Stakiosa ... 31

c. Verbaskosa ... 33

2. Kadar β-karoten ... 37

3. Rendemen ... 40

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 42

A.SIMPULAN ... 42

B.SARAN ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Buah labu kuning ... 3

Gambar 2 Struktur oligosakarida golongan RFO... 7

Gambar 3 Struktur β-karoten ... 9

Gambar 4 Diagram alir pembuatan kultur kerja ... 16

Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan tepung labu kuning ... 18

Gambar 6 Pengering kabinet ... 19

Gambar 7 Kultur kerja dengan media ekstrak jaring-jaring... 23


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Komposisi kimia buah labu kuning per 100 gram ... 5

Tabel 2 TPC (CFU/ml) kultur kerja dua konsentrasi media ekstrak jaring-jaring . 23 Tabel 3 Enumerasi bakteri asam laktat pada kultur kerja ... 24

Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap kadar senyawa total RFO (ppm) ... 25

Tabel 5 Reduksi total RFO (%) tepung labu kuning setelah perlakuan ... 27

Tabel 6 Pengaruh perlakuan terhadap kadar rafinosa (ppm) ... 28

Tabel 7 Reduksi rafinosa (%) tepung labu kuning setelah perlakuan ... 29

Tabel 8 Pengaruh perlakuan terhadap kadar stakiosa (ppm) ... 31

Tabel 9 Reduksi stakiosa (%) tepung labu kuning setelah perlakuan ... 32

Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap reduksi verbaskosa (ppm) ... 34

Tabel 11 Reduksi verbaskosa (%) tepung labu kuning setelah perlakuan ... 35

Tabel 12 Pengaruh perlakuan terhadap kadar β-karoten (ppm) ... 38


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Foto-foto proses pengolahan ... 49

Lampiran 2. Foto-foto hasil pengeringan ... 51

Lampiran 3. Rekapitulasi data perlakuan ... 52

Lampiran 4. Data TPC kultur kerja ... 53

Lampiran 5. Peak HPLC standar oligosakarida dan β-karoten ... 54

Lampiran 6. Peak HPLC analisis oligosakarida ... 55

Lampiran 7. Peak HPLC analisis b-karoten ... 56


(13)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Labu kuning (Cucurbita moschata) merupakan salah satu jenis tanaman yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Buah labu kuning selama ini telah populer dibuat kolak dan disayur padahal pemanfaatannya bisa diperluas dengan menerapkan teknologi pengolahan lebih lanjut misalnya menjadi tepung. Dalam bentuk tepung, labu kuning dapat diolah menjadi produk turunan lainnya yang lebih beragam atau dapat dengan mudah dikombinasikan (komposit) dengan tepung lainnya. Tepung komposit labu kuning telah diaplikasikan dalam pembuatan roti dan bubur bayi.

Pembuatan tepung dari labu kuning sebenarnya bukan hal yang baru. Beberapa negara maju di Amerika dan Eropa telah menjadikan tepung labu kuning sebagai salah satu komoditi industri lokal. Di Indonesia, industri tepung labu kuning belum banyak berkembang karena kebutuhan pasar akan tepung labu kuning masih relatif kurang.

Labu kuning mengandung zat gizi penting. Salah satu komponen terpenting dalam labu kuning adalah β-karoten dan karotenoid lainnya. Hal ini bisa diketahui dari warna daging buah labu tersebut yang menunjukkan tingginya kandungan karotenoid pada buah labu kuning. Senyawa β-karoten merupakan pro-vitamin A dan di dalam tubuh akan diubah menjadi vitamin A. Labu kuning diharapkan bisa menjadi solusi dalam permasalahan defisiensi vitamin A. Defisiensi vitamin A cukup menjadi masalah utama di Indonesia. Sebagian besar balita di Indonesia mengalami defisiensi vitamin A subklinis.

Berdasarkan pengalaman empiris, seseorang yang mengkonsumsi labu kuning terlalu banyak maka pencernaan akan terasa kembung karena banyak terbentuk gas, keadaan ini disebut dengan flatulensi. Kemungkinan, pada buah labu kuning terdapat senyawa oligosakarida yang menjadi penyebab flatulensi. Senyawa tersebut dikenal dengan Raffinose Family Oligosaccharides (RFO), yaitu rafinosa, stakiosa dan verbaskosa. Oligosakarida umumnya terdapat pada biji-bijian, kacang-kacangan, dan ubi-ubian. Flatulensi terjadi karena RFO yang terkonsumsi tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh. Sistem pencernaan mamalia


(14)

tidak memiliki enzim α-galaktosidase untuk memutus ikatan α-galaktosida pada RFO. Oligosakarida yang berada di usus besar akan difermentasi oleh mikroba. Flatulensi bisa menjadi masalah yang cukup serius walaupun tidak berakibat toksik. Flatulensi terjadi karena terjadi penumpukan gas-gas yang menyebabkan mual, keram perut, diare, dan ketidaknyamanan pada perut. Efek flatulensi menjadi salah satu penyebab dari kurang termanfaatkannya buah labu kuning.

Pada proses penepungan labu kuning, oligosakarida terutama RFO dapat direduksi sebelum proses pengeringan. Untuk dapat mereduksi RFO diperlukan enzim α-galaktosidase yang dapat diperoleh dari mikroba seperti bakteri, kapang, dan khamir. Permasalahan lain dalam pengolahan labu kuning menjadi tepung adalah kadar β-karoten pada produk akhirnya mengalami penurunan akibat ketidakstabilannya terhadap oksidasi dan suhu yang tinggi. Proses pengeringan labu kuning perlu memperhatikan suhu dan lama waktu proses yang efektif dalam mengurangi kadar air.

Pada penelitian ini, digunakan beberapa bakteri jenis BAL untuk tujuan mereduksi jumlah RFO pada buah labu kuning dan mendapatkan jenis bakteri asam laktat dan populasi terbaik dan efektif mereduksi RFO. Pada akhir penelitian, tepung labu kuning yang dihasilkan diharapkan memiliki kadar RFO yang rendah.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan kadar RFO dalam pembuatan tepung labu kuning dengan jumlah maksimal 0,3 g/kg bk tepung dengan menggunakan proses perendaman menggunakan bakteri asam laktat.

C. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat penelitian ini adalah diperolehnya informasi mengenai kadar senyawa oligosakarida pada labu kuning segar dan potensi beberapa BAL dalam mereduksi senyawa oligosakarida pada labu kuning.


(15)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. LABU KUNING

Labu kuning sudah dikenal masyarakat sejak berabad-abad yang lalu. Saat ini pemanfaatan labu kuning sudah semakin luas. Labu kuning yang berwarna jingga ketika telah matang digunakan sebagai bahan baku pembuat kue atau sebagai dekorasi. Daging buahnya yang kesat dan aroma yang kuat maka penyajian labu kuning dilakukan dengan dipanggang (Carew, 1977). Labu kuning telah diolah menjadi tepung yaitu dengan mengeringkan irisan daging buahnya hingga kadar air kurang dari 6% kemudian digiling. Di beberapa negara maju, labu kuning telah diolah menjadi selai, jeli, kue, dan produk kalengan (Nurhayati, 2005). Di Indonesia, pemanfaatan labu kuning belum optimal. Labu kuning yang dipanen muda biasanya untuk disayur dan yang dipanen tua dibuat menjadi panganan tradisional seperti kolak dan dodol, sementara bijinya diolah menjadi kwaci (Primasari, 2006).

Labu kuning atau dikenal dengan nama lain labu parang atau waluh merupakan buah dari tanaman menjalar yang termasuk ke dalam Kelas Dicotyledone dan Familia Cucurbitaceae. Genus Cucurbita terdiri atas lima spesies yaitu Cucurbita argyrosperma Huber, C. ficifolia Bouché, C. moschata (Duchesne ex Lam.) Duchesne ex Poiret, C. maxima Duchesne ex Poiret, dan C. pepo L. (Saade dan Hernández, undate). Tanaman labu kuning berasal dan awal penyebaran adalah dari benua Amerika (Bisognin, 2002). Spesies C. moschata


(16)

telah dibudidayakan di India, Angola, Jepang, dan Pulau Jawa sejak sepuluh tahun terakhir abad XIV (Saade dan Hernández, undate). Tanaman labu kuning berbentuk semak yang tumbuh merambat dengan bentuk batang segilima. Bagian tanaman yang dimanfaatkan adalah buahnya. Buah labu kuning berbentuk bulat, berukuran besar dan berwarna kuning kecoklatan. Berat rata-rata 3-5 kg tetapi ada yang mencapai 15 kg (Novary, 1999).

Tanaman labu kuning dapat tumbuh pada dataran rendah maupun tinggi. Ketinggian tempat ideal adalah antara 0-1500 m dpl dengan kondisi suhu 18-27°C dan pH tanah 5,5-7,0. Tanaman labu kuning toleran terhadap kekeringan, relatif sedikit membutuhkan air dan sensitif terhadap genangan air. Kelembaban yang tinggi berbahaya karena dapat menyebabkan perkembangan penyakit daun sehingga tidak ada satupun spesies Cucurbita yang tumbuh baik pada daerah tropis yang lembab (Widjaya dan Sukprakarn, 1994).

Pemanenan labu dilakukan dengan cara memotong buah dari batang dan meninggalkan sebagian tangkainya (Thompson et al., 1957). Widjaya dan Sukprakarn (1994) menyatakan labu yang dipanen dalam keadaan matang dipotong dari tangkainya setelah ditanam selama 90-120 hari. Mutu buah labu dan daya awetnya selama penyimpanan ditentukan oleh tingkat kematangan buah pada waktu pemetikan. Tingkat kematangan yang tepat akan mengurangi kerusakan dan mempunyai umur kesegaran yang lebih panjang. Buah labu yang dipetik muda segera mengalami perubahan sifat fisiko-kimia dan menyebabkan kerusakan buah (Budiman et al., 1984).

Labu kuning sangat bervariasi mulai dari bentuk, ukuran dan warna tergantung dari kondisi lingkungan tempat tumbuhnya (Middleton, 1977). Bentuk buah labu kuning ada yang seperti bokor (bulat pipih dan beralur), oval, panjang, dan seperti piala. Kulit buah labu kuning tua berwarna kuning, hijau kotor dan jingga dengan bercak-bercak kuning kehijauan. Buah labu terdiri atas lapisan kulit luar yang keras dan lapisan daging buah yang merupakan tempat timbunan makanan. Tekstur daging buah tergantung jenisnya, ada yang halus, padat, lunak dan mempur (Sudarto, 1993). Budiman et al. (1984) menyatakan bahwa komposisi buah labu terdiri atas 81,2% daging buah, 12,5% kulit, dan 4,8% berat biji dan jaring-jaring biji.


(17)

Menurut Middleton (1977), labu yang ditanam di daerah tropis memiliki aroma yang khas, berkadar air tinggi (sekitar 95%) dan unsur lain yang jumlahnya kecil. Labu kuning mengandung beberapa vitamin dan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh. Buah labu kuning mengandung air, karbohidrat, vitamin dan mineral. Karbohidrat labu kuning terdiri atas selulosa, pati, hemiselulosa, dan pektin. Hampir semua jenis buah mengandung kadar pati yang cukup tinggi namun beberapa di antaranya menurun setelah pematangan (Meyer, 1982). Komposisi kimia dari buah labu kuning disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Komposisi kimia buah labu kuning per 100 gram

Komponen Satuan Jumlah

Air % 86,8

Energi kal 51

Protein g 1,7

Lemak g 0,5

Karbohidrat g 10

Serat g 2,7

Abu g 1,2

Kalsium mg 40

Fosfor mg 180

Besi mg 0,7

Natrium mg 280

Kalium mg 220

Tembaga mg -

Seng mg 1,5

Retinol µg -

β-karoten µg 1596

Tiamin mg 0,2

Riboflavin mg 0

Niacin mg 0,1

Vitamin C mg 2

Sumber : Depkes RI (2001)

Satu hal yang paling mencolok dari buah labu kuning adalah warna daging buahnya yaitu kuning hingga jingga. Warna dari buah labu kuning tersebut menunjukkan tingginya jumlah karotenoid pada daging buah labu. Karotenoid


(18)

merupakan pigmen warna alami yang banyak tersebar pada tanaman. Sebagian besar karotenoid adalah prekursor vitamin A (pro-vitamin A) yang berarti bila dikonsumsi akan dimetobolisme oleh tubuh menjadi vitamin A. Labu kuning dapat menjadi sumber pro-vitamin A yang baik. Besarnya kadar karotenoid buah labu kuning dipengaruhi oleh perbedaan varietas dan tingkat kematangannya (Gross, 1991).

B. OLIGOSAKARIDA KELUARGA RAFINOSA (RAFFINOSE FAMILY

OLIGOSACCHARIDES/ RFO)

Oligosakarida merupakan gula dengan tiga hingga dua puluh unit sakarida. Oligosakarida merupakan rantai pendek polisakarida (Manning et al., 2004). Karakteristik senyawa oligosakarida (Manning dan Gibson, 2004) adalah a) terdiri atas susunan monosakarida antara lain glukosa, galaktosa, xylosa, dan fruktosa, b) memiliki ikatan glikosidik yang terdiri dari ikatan ß-(1,4), α-(1,4), ß-(1,6), dan α -(1,6) (Wilbraham dan Matta, 1992), dan c) memiliki berat molekul yang rendah di bawah polisakarida.

Umumnya, senyawa-senyawa oligosakarida tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan manusia. Oligosakarida tersebut memiliki ikatan glikosidik tertentu yang memang mukosa usus manusia tidak menghasilkan enzim yang memutus ikatan tersebut. Contoh oligosakarida adalah rafinosa dan keluarganya (RFO): stakiosa dan verbaskosa, yang merupakan turunan dari α-galaktosil sukrosa. Struktur dari senyawa RFO dapat dilihat pada Gambar 2.

Senyawa RFO merupakan sukrosa yang mendapatkan tambahan monosakarida galaktosa sebanyak satu (yaitu rafinosa), dua (yaitu stakiosa), atau tiga buah (yaitu verbaskosa) dengan ikatan glikosidik α-(1,6)-glikosidik (Rusay, 2005). Ikatan glikosidik α-(1,6) tersebut tidak dapat diputus oleh enzim sistem pencernaan manusia. Enzim yang yang dapat memutus ikatan tersebut adalah α -galaktosidase (α-D-galaktosida-galaktohidrolase, E.C. 3.2.1.22). Enzim α -galaktosidase juga dihasilkan oleh khamir, kapang dan terdapat pada biji-bijian dan daun beberapa spesies tanaman (Mital et al., 1973). Penelitian tentang α -galaktosidase yang berasal dari bakteri telah banyak dilakukan terutama dari kelompok bakteri asam laktat (BAL) (Mital et al., 1973; Mital dan Steinkraus,


(19)

1975; Garro et al., 1993; Garro et al., 1998; Leder et al., 1999; Xiao et al., 2000; Yoon dan Hwang, 2008). Penggunaan BAL telah dilakukan dalam usaha reduksi oligosakarida pada produk fermentasi sari kedelai (Mital dan Steinkraus, 1975; Sakai et al., 1987; LeBlanc et al., 2004; Omogbai et al., 2005; Yoon dan Hwang, 2008).

Senyawa RFO akan diteruskan ke usus besar dan terjadi proses fermentasi senyawa oleh mikroflora usus besar manusia. Fermentasi RFO dilakukan oleh beberapa bakteri dari Genus Bifidobacterium karena dapat menghasilkan enzim α -galaktosidase. Namun proses fermentasi senyawa RFO yang terjadi di usus besar berdampak negatif. Proses fermentasi senyawa RFO menghasilkan senyawa yang sebagian besar adalah gas, seperti CO2, H2, dan sejumlah kecil metan yang

kemudian menumpuk di dalam usus besar. Menumpuknya gas-gas tersebut menyebabkan terjadinya flatulensi (Rackis, 1989 diacu dalam Sukardi et al., 2001).

Seperti telah dikemukakan, flatulensi bisa menjadi masalah yang cukup serius walaupun tidak berakibat toksik. Gas-gas yang menumpuk ini


(20)

menyebabkan tanda-tanda seperti mual, keram perut, diare, dan ketidaknyamanan pada perut (Rackis et al., 1970 diacu dalam Tanaka et al., 1975). Karena itulah senyawa RFO disebut sebagai faktor anti-nutrisi yang perlu direduksi jumlahnya pada bahan pangan. Oligosakarida umumnya terdapat pada biji-bijian, kacang-kacangan, dan ubi-ubian. Jumlah oligosakarida maksimal terkonsumsi hingga diasumsikan tidak menimbulkan efek anti-nutrisi adalah sebesar 0,3 g/kg berat badan/hari (Oku, 1995 diacu dalam Lianawati, 1997).

C. KAROTENOID DAN ß-KAROTEN

Karotenoid merupakan salah satu di antara pigmen-pigmen yang paling penting dan tersebar luas di alam. Karoten menyebabkan warna kuning, jingga, merah dan ungu, dapat ditemukan pada tanaman tingkat tinggi, alga, fungi, dan bakteri, baik dalam jaringan nonfotosintetik maupun jaringan fotosintetik bersama klorofil. Karoten dikenal sebagai pewarna alami yang tidak bersifat racun dalam bahan pangan dan telah dikenali sebagai substansi kimia sebelum dikenal vitamin A (Bauernfeind, 1981). Karotenoid mendapatkan namanya dari senyawa yang mewakili golongannya yaitu β-karoten, pigmen jingga yang pertama kali diisolasi dari wortel oleh Wackenroder pada tahun 1831 (Gross, 1991).

Karotenoid merupakan polimer isoprenoid yang terbentuk dengan bergabungnya delapan unit C5H8. Secara struktural, karotenoid dibagi ke dalam

dua golongan besar berdasarkan keberadaan gugus fungsional spesifiknya, yaitu karotenoid hidrokarbon (hydrocarbon carotenoid, C40H56) yang hanya terdiri atas

atom karbon dan hidrogen yang disebut dengan karoten dan oxicarotenoid (oksikarotenoid) atau xantophil yang memiliki setidaknya satu atom oksigen (Gross, 1991). Senyawa β-karoten dan likopen merupakan anggota utama dari karotenoid hidrokarbon. Oksikarotenoid merupakan turunan dari hidrokarbon karotenoid, lebih polar dan mengandung setidaknya satu atom oksigen. Anggota dari oksikarotenoid adalah cryptoxantin, lutein, xantaxantin, zeaxantin, dan astaxantin (Stahl et al., 1994).


(21)

Gambar 3 Struktur β-karoten

Karotenoid merupakan lipid, oleh karena itu dapat larut dalam lipid lainnya dan dalam pelarut lemak seperti aseton, alkohol, dietil eter, dan kloroform. Golongan karoten larut dalam pelarut non-polar seperti petroleum eter dan heksan sedangkan golongan xantophil larut dengan sangat baik pada pelarut polar seperti alkohol (Gross, 1991). Senyawa karotenoid stabil di dalam sel tanaman namun isolatnya mudah mengalami perubahan molekul yaitu isomerisasi cis-trans dan degradasi oleh panas, cahaya, oksigen, sedikit asam, dan senyawa aktif permukaan seperti silika (Ball, 2005).

Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat dalam bahan pangan nabati. Senyawa vitamin A aktif dipresentasikan oleh retinoid dan prekursor karotenoid vitamin A (provitamin A karotenoid). Telah jelas bahwa karotenoid membantu fungsi-fungsi selular sebagai prekursor vitamin A (Stahl et al., 1994). Aktivitas antioksidan karotenoid baik dari provitamin A maupun non-provitamin A dihasilkan dari interaksi langsung dengan spesies oksigen aktif. Karoten penting untuk penglihatan, pertumbuhan, diferensiasi jaringan, reproduksi, serta perawatan sistem kekebalan (Ball, 2000).

Saat ini lebih dari 600 struktur karoten berbeda telah diidentifikasi. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 50 yang memiliki aktivitas vitamin A. Untuk memiliki aktivitas vitamin A, molekul karotenoid harus memiliki kesamaan dengan molekul retinol. Senyawa β-karoten (all-trans) terdiri atas dua molekul retinol sehingga senyawa ini memiliki aktivitas vitamin A yang maksimal (100%). Struktur provitamin A yang lain hanya memiliki satu sisi molekul yang mirip dengan retinol sehinga secara teoritis hanya memiliki 50% aktivitas vitamin A. Isomer ß-karoten 9-cis dan 13-cis masing-masing memiliki aktivitas relatif 38% dan 53%. Senyawa a-karoten all-trans memiliki aktivitas relatif 53% sedangkan isomer 9-cis-nya 13%, dan isomer 13 cis-nya 16% (Zeichmeister, 1949).


(22)

Penyebab utama hilangnya karoten pada sayuran adalah oksidasi sebagai akibat tingginya struktur ikatan tak jenuh pada karotenoid. Degradasi karotenoid dapat terjadi karena: a) autooksidasi yang berlangsung secara spontan dan menyebabkan reaksi berantai radikal bebas dengan adanya oksigen, b) fotooksidasi yang dihasilkan oksigen dengan adanya cahaya, c) coupled oxidation dalam sistem yang mengandung lemak (Gross, 1991 diacu dalam Kidmose et al., 2002). Kerusakan enzimatis dapat terjadi terutama disebabkan enzim lipoksigenase. Enzim lipoksigenase terdapat secara luas pada sayuran yang mengandung klorofil dan telah dilapokan bahwa kehilangan karotenoid berhubungan dengan aktivitas enzim tersebut (Hutchings, 1999). Dalam bentuk larutan maupun kristal, karotenoid mengalami autooksidasi ketika ada oksigen melalui proses radikal bebas berantai. Proses oksidasi ini distimulasi oleh suhu, cahaya, kelembaban, dan beberapa jenis logam (Gross, 1991).

D. BAKTERI ASAM LAKTAT

Bakteri asam laktat merupakan sekelompok bakteri Gram positif yang memiliki kesamaan karakteristik secara morfologi, metabolik, dan fisiologis. Golongan bakteri ini adalah tidak berspora, sel berbentuk bulat atau batang dan memproduksi asam laktat sebagai hasil akhir utama proses fermentasi karbohidrat (Axelsson, 2004).

Menurut sejarah, Genus Lactobacillus, Leuconostoc, Pediococcus dan Streptococcus merupakan awal dan inti dari kelompok BAL. Pada perkembangan selanjutnya, terjadi revisi taksonomi dan muncul genus baru hingga saat ini terdapat sekitar 20 genus. Namun, genus-genus yang penting dalam sudut pandang teknologi pangan yaitu Aerococcus, Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus, Lactosphaera, Leuconostoc, Oenococcus, Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weissella. Genus Bifidobacterium sering dianggap memilki sifat tipikal yang sama dengan BAL asli padahal berbeda secara filogenetik dan keunikannya dalam memfermentasi gula (Axelsson, 2004).

Berdasarkan senyawa yang dihasilkan dari proses fermentasi gula, BAL dibagi menjadi dua kelompok yaitu BAL homofermentatif dan BAL


(23)

heterofermentatif. Proses homofermentatif menghasilkan produk akhir hanya asam laktat melalui jalur glikolisis. Proses heterofermentatif menghasilkan produk akhir sampingan seperti etanol, asetat, dan CO2 selain asam laktat melalui jalur

6-fosfoglukonat atau fosfoketolase (Axelsson, 2004).

1. Lactobacillusplantarum

Lactobacillus plantarum termasuk salah satu spesies Lactobacillus yang sering ditemui pada pikel, sawi asin dan sauerkraut. Lactobacillus plantarum merupakan bakteri asam laktat yang utama dan akhir pada proses fermentasi sayuran. Hal tersebut dikarenakan bakteri ini memiliki perbedaaan metabolisme dan toleran terhadap kondisi pH rendah. Lactobacillus plantarum berbentuk batang lurus dengan kisaran lebar 0,9-1,2 µm dan panjang 3-8 µm, berukuran tunggal atau membentuk rantai pendek serta merupakan Gram-positif (Li, 2004). Lactobacillus plantarum mampu memfermentasi glukosa membentuk produk asam D-L-laktat tanpa gas atau dikatakan bersifat homofermentatif. Bakteri ini juga dapat memfermentasi amigladin, selobiosa, laktosa, manitol, sukrosa, galaktosa, maltosa, sorbitol, dan trehalosa. Kemampuan dalam memfermentasi melibiosa dan rafinosa membedakan L. plantarum dengan L. casei (Ono et al., 1992).

Koloni L. plantarum berwarna putih atau kuning dan beberapa galur bersifat motil dan pada media agar mempunyai ciri-ciri bulat, licin, padat, putih, kadang-kadang kuning terang atau gelap, berdiameter 3 mm, bersifat anaerobik fakultatif. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 15°C pada umumnya dan tidak dapat tumbuh pada suhu 45°C, dengan suhu optimalnya berkisar 30-35°C (Gilliland, 1986).

2. Lactobacillusbrevis

Bakteri ini berbentuk batang dengan ujung membulat, berukuran diameter 0,7-1,0 dan panjang 2,0-4,0 µm, menyendiri dan atau dalam bentuk rantai pendek. Beberapa galur diisolasi dari susu, keju, sauerkraut, adonan masam, pakan ternak, kotoran sapi, feses, dan saluran usus manusia dan tikus (Hammes dan Vogel, 1995). Bakteri ini mikroaerofilik dan tergolong BAL


(24)

heterofermentatif obligat menghasilkan asam laktat, asam asetat, CO2, dan

etanol dari fermentasi karbohidrat (Teixeira, 1999).

Optimal tumbuh pada suhu sekitar 30°C dan pada kondisi pH rendah yaitu 4,0-5,0 (Teixeira, 1999). Bakteri L. brevis tumbuh pada APT broth dengan pH 3,0 yang diasamkan oleh asam sitrat, hidroklorat, fosfat, atau tartarat, pH 3,7 untuk asam laktat, dan pH 4,0 untuk asam asetat (Juven, 1976 diacu dalam ICMSF, 1980). Bakteri ini dapat tumbuh hampir enam kali lebih baik dalam kondisi aerobik (diagitasi) daripada dalam kondisi anaerobik (Stamer dan Stoyla, 1967).

3. Bifidobacteriumlongum

Bakteri dari genus Bifidobacterium pertama kali diisolasi pada tahun 1899 dari bayi sehat yang minum ASI oleh Tissier dari Institut Pasteur di Prancis. Bersifat anaerobik, Gram-positif, tidak membentuk spora, batang pleomorfik, dan dulunya dinamakan Bacillus bifidus communis. Namanya menunjukkan cabang morfologi dari bakteri; bifidus merupakan bahasa Latin yang berarti „membelah menjadi dua bagian‟. Terakhir, bakteri ini disatutempatkan bersama genus Lactobacillus sebagai L. bifidus. Di tahun 1960-an, bakteri ini diterima sebagai genus tersendiri dan diklasifikasikan sebagai Bifidobacterium. Selain dari sifat-sifat yang telah disebutkan sebelumnya, karakteristik fenotip utama dari Bifidobacterium adalah memproduksi asam laktat dan asetat sebagai produk utama dari fermentasi glukosa. Bifidobacterium longum merupakan salah satu dari sekitar tiga puluh spesies bifidobakteria yang berasal dari manusia dan merupakan mikroflora usus manusia (Ishibashi et al., 1997).

Meskipun bifidobakteria bersifat anaerob obligat, terdapat toleransi terhadap keberadaan oksigen yang bergantung pada spesies dan jenis media. Selain itu dengan adanya CO2, sensitivitas terhadap O2 juga bervariasi

bergantung pada galur. Suhu optimum untuk pertumbuhan bifidobakteria spesies asal manusia adalah 36-38°C. Tidak ada pertumbuhan pada suhu kurang dari 20°C dan bakteri ini juga tidak resisten terhadap suhu 46°C serta akan mati bila suhu mencapai 60°C. Kondisi lingkungan dengan pH optimum


(25)

untuk pertumbuhan adalah 6,5-7,0 dan tidak ada pertumbuhan pada pH di bawah 5 atau di atas 8 (Ballongue, 2004). Bifidobacterium longum dan beberapa spesies Bifidobacterium lainnya kecuali B. bifidum mampu memfermentasi oligosakarida seperti rafinosa (Benno, 1995).

4. Leuconostocmesenteroides

Bakteri ini bersifat heterofermentatif. Pada kondisi mikroaerofilik, glukosa diubah menjadi asam D-laktat, etanol, dan CO2 dalam jumlah molar

yang sama. Semua genus Leuconostoc adalah fakultatif anaerob. Suhu optimum pertumbuhan adalah antara 20-30°C dan suhu minimum pertumbuhan adalah 5°C. Leuconostoc mesenteroides subsp. mesenteroides memiliki waktu generasi yang pendek dan pertumbuhan yang baik diperoleh dalam 24 jam inkubasi pada suhu 30°C (Garvie, 1986 diacu dalam Dellaglio et al., 1995). Pertumbuhan L. mesenteroides berhenti ketika pH mencapai 5,4-5,7 (McDonald et al., 1990).

Sel L. mesenteroides merupakan Gram positif, tidak membentuk spora, dan tidak motil. Bentuk selnya bervariasi tergantung kondisi pertumbuhannya. Sel yang tumbuh pada media glukosa menjadi memanjang dan bentuknya nampak seperti laktobasili ketimbang streptokoki. Beberapa galur, selnya berbentuk kokus ketika ditumbuhkan pada media susu. Selnya bisa terlihat soliter atau dalam pasangan membentuk rantai pendek hingga sedang. Ketika ditumbuhkan pada media padat, selnya memanjang dan dianggap berbentuk batang (Garvie, 1986 diacu dalam Dellaglio et al., 1995). Beberapa galur dari L. mesenteroides memproduksi dekstran ekstraselular yang membentuk jaket padat elektron pada permukaan sel (Brooker, 1977).

Spesies ini mampu memfermentasi glukosa, fruktosa, dan laktosa serta membentuk dekstran dari sukrosa. Leuconostoc mesenteroides merupakan bakteri yang tumbuh dominan pada tahap awal proses fermentasi pikel dan produk fermentasi sayuran lainnya. Pada habitat alaminya, Leuconostoc hanya ada dalam persentase yang kecil dari mikroflora mesofilik yang umumnya terdiri atas homofermentatif laktobasili, laktokoki, pediokoki. Dalam proses fermentasi pertumbuhan Leuconostoc spp. didominasi oleh BAL lainnya


(26)

(Dellaglio et al., 1995). Dari semua Leuconostoc yang diisolasi dari tanaman, L. mesenteroides subsp. mesenteroides merupakan yang paling dominan dan berperan penting dalam proses fermentasi beragam produk fermentasi tanaman dan sayuran (Mundt, 1970 diacu dalam Dellaglio et al., 1995).

Leuconostoc spp. sering dianggap sebagai bakteri penyebab kerusakan pangan. Karena sifatnya yang obligat heterofermentatif, dapat memproduksi karbon dioksida yang menyebabkan blowing pada produk keju dan perubahan tekstur dari produk pangan fermentasi. Bakteri L. mesenteroides subsp. mesenteroides diasosiasikan dengan pembentukan lendir pada permukaan beragam produk daging, sauerkraut, gula dan tanaman bit gula (Dellaglio et al., 1995).


(27)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah labu kuning umur 2,5-3 bulan diperoleh dari Kaponan - Jawa Tengah, kultur bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum, Lactobacillus brevis, dan Bifidobacterium longum koleksi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, kultur Leuconostoc mesenteroides dari koleksi Universitas Gadjah Mada, air destilata, CaCO3, de Man Rogosa Sharpe

Agar/MRSA (Oxoid), de Man Rogosa Sharpe Broth/MRSB (Oxoid), ekstrak khamir, NaCl fisiologis, standar (rafinosa – stakiosa – verbaskosa (Sigma) dan β-karoten) dan bahan-bahan kimia untuk analisis kadar oligosakarida dan β -karoten.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan adalah pengering kabinet, blender (Philips), blender kering (National), laminar (Esco), mikropipet (Socorex), inkubator (Harstra), lemari pendingin (Sanyo), timbangan digital, timbangan analitik (Precisa), vortex (Barnstead International), otoklaf (Hirayama, Jepang), dan sistem HPLC, serta alat-alat gelas sepeti tabung reaksi, tabung reaksi bertutup, cawan Petri, pipet serologis (Iwaki – Pyrex), dan botol gelas.

B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Cimanggu Bogor dan berlangsung sejak Juni 2010 hingga Desember 2010.

C. METODE PENELITIAN 1. Penelitian pendahuluan


(28)

a. Aktivasi dan propagasi

Kultur dari stok (agar miring, agar tusuk, media susu, dan atau media MRSB) diaktifkan pada media MRSB 10 ml, diinkubasi pada suhu 37°C selama 2 hari, setelah itu disimpan dalam refrigerator sebagai kultur stok. Untuk propagasi memperbanyak kultur diambil 1 ml kultur stok kemudian diinokulasikan ke media MRSB 9 ml dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 2 hari. Hasilnya merupakan kultur intermediate.

b. Pembuatan kultur kerja

Kultur kerja dibuat dengan memanfaatkan jaring-jaring biji buah labu kuning. Jaring-jaring biji ditimbang dan ditambah air hingga diperoleh konsentrasi yang diinginkan kemudian diblender hingga halus. Bubur jaring-jaring kemudian disaring untuk memisahkan potongan serat yang masih berukuran besar. Hasil saringan kemudian disebut ekstrak jaring-jaring. Percobaan awal dilakukan untuk melihat pertumbuhan bakteri asam laktat pada media ekstrak jaring-jaring. Konsentrasi ekstrak dibuat 5% dan 7,5%. Media ekstrak jaring yang telah dibuat diinokulasikan bakteri asam laktat, yaitu Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus brevis. Aktivasi dan perbanyakan kultur pada media eksrak jaring-jaring dilakukan dalam dua tahap. Proses pembuatan kultur kerja dapat dilihat pada Gambar 4.

Kultur murni pada media MRSB

90 ml Media ekstrak jaring-jaring 7,5% + ekstrak ragi 0,3% b/v (dari 100 ml)

90% media ekstrak jaring-jaring 7,5%

10%

Kultur kerja Inkubasi

Inkubasi


(29)

Setelah inkubasi selama dua hari, enumerasi total bakteri dilakukan terhadap kultur kerja dari kedua spesies bakteri dengan metode TPC. Konsentrasi ekstrak jaring yang dipilih adalah yang memiliki nilai TPC minimal 108 CFU/ml. Pembuatan kultur kerja selanjutnya menggunakan konsentrasi yang terpilih untuk memperbanyak empat spesies BAL yang akan digunakan dalam penelitian ini.

c. Penentuan lama perendaman

Perendaman irisan labu dengan kultur dilakukan selama empat pengamatan waktu yaitu: 12, 15, 18, dan 21 jam untuk setiap perlakuan dan kontrol. Pemilihan lamanya perendaman ditentukan dari penampakan visual irisan labu kering dan juga mempertimbangkan efektifitas proses perendaman.

2. Penelitian utama

Penelitian utama bertujuan untuk mereduksi kadar RFO pada daging buah labu kuning menggunakan bakteri asam laktat (BAL). Irisan buah labu direndam dalam suspensi BAL. Empat spesies bakteri asam laktat dengan populasi tertentu dipersiapkan kemudian masing-masing digunakan dan dilihat kemampuannya dalam mereduksi senyawa RFO. Bakteri yang digunakan adalah Lactobacillus plantarum, Lactobacillus brevis, Bifidobacterium longum, dan Leuconostoc mesenteroides. Larutan mikrobial perendam dibuat dalam dua konsentrasi berbeda yaitu total BAL 106 CFU/ml dan 107 CFU/ml dengan cara mengencerkan kultur kerja dengan air destilata. Irisan labu dengan ketebalan 3-4 mm dan berat total ±200 gram dimasukkan ke dalam larutan perendam. Volume perendam adalah 1,5 kali berat irisan labu yang direndam. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang (25-28°C) selama waktu yang terpilih pada penelitian pendahuluan.


(30)

3. Pembuatan tepung labu kuning a. Persiapan bahan

Labu dikupas dan dibersihkan untuk menghilangkan lapisan kulit yang keras dan membuang biji dan jaring-jaring bijinya. Labu kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil dan diiris tipis dengan ketebalan 3-4 mm.

Gambar 5 Diagram alir proses pembuatan tepung labu kuning

Buah labu kuning

Pengupasan dan pembersihan biji

Pengecilan ukuran (Pemotongan)

Pengirisan

Pengeringan dengan oven

Penggilingan

Pengayakan Perendaman dengan larutan CaCO3 0.15%

selama 1 jam

Tepung labu kuning Penirisan Perendaman dengan

suspensi BAL

Penirisan

L. plantarum L. brevis B. longum L. mesenteroides

106 CFU/ml 107 CFU/ml 106 CFU/ml 107 CFU/ml 106 CFU/ml 107 CFU/ml 106 CFU/ml 107 CFU/ml


(31)

b. Pengeringan menggunakan pengering kabinet

Irisan labu yang mendapat perlakuan perendaman maupun kontrol dicuci dengan air bersih lalu direndam dengan larutan CaCO3 0,15% selama

1 jam. Setelah itu, irisan labu ditiriskan atau diangin-anginkan (tempering) untuk mengurangi jumlah air pada labu setelah perendaman. Irisan labu diletakkan pada nampan-nampan dan dimasukkan ke dalam pengering kabinet (Gambar 6) dengan suhu pengeringan diatur pada 55°C. Proses pengeringan terus dilakukan hingga irisan labu „mengering‟. Irisan labu dikatakan kering bila mudah dipatahkan. Irisan labu yang sudah kering kemudian digiling lalu diayak dengan ukuran 80 mesh. Penetapan kadar RFO dan β-karoten pada tepung labu kemudian dilakukan terhadap tepung labu kuning untuk setiap jenis larutan perendam dan kontrol.

Gambar 6 Pengering kabinet

4. Perlakuan dan rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan variabel:

a. Spesies bakteri (A):

1. A1: Lactobacillus plantarum; 2. A2: Lactobacillus brevis;

3. A3: Bifidobacterium longum; dan 4. A4: Leuconostoc mesenteroides; b. Jumlah populasi bakteri (B):

1. B1: 106 CFU/ml; dan 2. B2: 107 CFU/ml;


(32)

Perlakuan yang diberikan merupakan kombinasi dari kedua variabel di atas sehingga terdapat delapan perlakuan. Sebagai pembanding terdapat perlakuan kontrol, yaitu:

A0 : Kontrol dengan perendaman air destilata; dan NON : Kontrol tanpa perendaman mikroba

Model rancangan percobaan adalah sebagai berikut: Yij = µ + Pi+ εij

Yij : Pengamatan pada perlakuan ke i dan ulangan ke j

µ : Rataan umum

Pi : Pengaruh perlakuan ke i

εij : Galat perlakuan ke i dan ulangan ke j

Setiap perlakuan dan kontrol dilakukan dengan tiga kali ulangan. Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan metode ANOVA (Analysis of Variance) dengan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.

5. Metode Analisis

a. Analisis Angka Lempeng Total/ Total Plate Count (TPC) (BAM, 2009) Kultur setiap BAL dalam media ekstrak jaring-jaring diambil 1 ml secara aseptis ke dalam pengenceran berseri hingga pengenceran 108. Tiga pengenceran terbesar kemudian dicawankan secara duplo. Metode pencawanan yang dilakukan adalah metode agar tuang (pour plate) dengan media MRSA sebanyak 10-15 ml. Cawan dengan agar yang sudah membeku kemudian diinkubasi dengan suhu 37°C dalam posisi cawan terbalik selama 2-3 hari untuk dilakukan penghitugan koloni. Koloni di setiap cawan dihitung. Penghitungan jumlah sel dilakukan untuk cawan dengan jumlah koloni antara 25-250 dengan menggunakan rumus:


(33)

Keterangan:

N : Jumlah sel dalam satuan colony forming unit (CFU) per ml sampel ∑C : Total seluruh koloni pada cawan yang dapat dihitung

n1 : Jumlah cawan dari pengenceran pertama yang dihitung

n2 : Jumlah cawan dari pengenceran kedua yang dihitung

d : Nilai pengenceran dari penghitungan pertama yang digunakan

b. Analisis Kadar β-karoten

Analisis kadar β-karoten dilakukan di LIPI menggunakan metode HPLC. Sampel kering yang telah dihomogenkan ditimbang 1 gram lalu dilarutkan dalam pelarut nonpolar. Minyak diekstrak dengan pelarut aseton selama semalam. Setelah minyak terekstrak, aseton diuapkan dengan vacum evaporator. Kondisi selama pengekstrakan diusahakan agar terlindung dari cahaya. Lemak yang terekstrak dilarutkan dalam pelarut THF : Acetonitril (60 : 40). Kemudian disaring dengan miliphore 0.5 µ. Kemudian sebanyak 1 ml sampel diinjeksi ke sistem HPLC. Detektor yang digunakan adalah UV Detector pada panjang gelombang (λ) 554 nm. Kolom yang digunakan jenis C8 dengan laju alir 1 µl/menit dan suhu ambient. Perhitungan kadar β -karoten adalah sebagai berikut :

c. Analisis Kadar Oligosakarida

Analisa kadar oligosakarida dilakukan di LIPI menggunakan metode HPLC. Sampel tepung ditimbang sebanyak 1 gram kemudian diekstrak dengan metanol – air (80:20). Sebanyak 1 ml hasil ekstraksi diinjeksi ke sistem HPLC. Sistem HPLC yang digunakan memiliki kolom NH2 dengan

detektor refractive index, berlaju alir 1 ml/menit, menggunakan fase gerak asetonitril – air (70:30), dan pada suhu ambient. Standar gula yang digunakan adalah sukrosa, glukosa, fruktosa, rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa dengan konsentrasi 100 ppm. Hasilnya berupa peak-peak dengan


(34)

waktu retensi dan setiap peak menunjukkan satu jenis komponen oligosaakrida. Perhitungan kadar oligosakarida menggunakan rumus:

d. Analisis Kadar Air (AOAC, 1995)

Penetapan kadar air dilakukan dengan menggunakan oven. Cawan logam atau porselin dikeringkan dalam oven selama 30 menit dengan suhu 100 sampai 105oC. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin segera ditimbang. Sampel sebanyak 2 gram ditimbang dan dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 6 jam sampai tercapai berat konstan, dan didinginkan dalam desikator sekitar 30 menit kemudian segera ditimbang dan dilakukan perhitungan:

Keterangan : A : Berat cawan

B : Berat cawan + berat sampel sebelum dikeringkan C : Berat cawan + berat sampel setelah dikeringkan


(35)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Pembuatan kultur kerja

Kultur kerja menggunakan media ekstrak jaring-jaring biji labu dibuat dalam dua konsentrasi yaitu 5,0% dan 7,5%. Ekstrak khamir ditambahkan pada media ekstrak jaring-jaring untuk memberi nutrisi tambahan seperti vitamin dan protein supaya pertumbuhan bakteri optimal. Ekstrak jaring-jaring kemungkinan juga mengandung gula-gula yang terlarut dalam air sebagai nutrisi bagi bakteri. Kultur kerja yang dihasilkan tampak keruh setelah inkubasi di suhu ruang selama dua hari, terjadi pengendapan komponen yang tersuspensi pada ekstrak jaring-jaring yang tidak tersaring pada saat pembuatan ekstrak. Kultur kerja dibuat dalam botol gelas dengan volume ±150 ml (Gambar 7). Hasil enumerasi total BAL pada kultur kerja dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan nilai TPC tersebut, ekstrak jaring-jaring dengan konsentrasi 7,5% dipilih sebagai media kultur kerja untuk mempersiapkan jumlah BAL pada 108 CFU/ml (Tabel 3).

Tabel 2 TPC (CFU/ml) kultur kerja dua konsentrasi media ekstrak jaring-jaring Konsentrasi Ekstrak Jaring Bakteri

L. plantarum L. brevis

5,0% 1,32 x 108 1,53 x 108

7,5% 2,75 x 108 2,85 x 108


(36)

Tabel 3 Enumerasi bakteri asam laktat pada kultur kerja Bakteri Asam Laktat TPC (CFU/ml) L. plantarum 2,10 x 108 L. brevis 4,30 x 108 B. longum 1,40 x 1010 L. mesenteroides 3,75 x 108

2. Pemilihan lama perendaman

Irisan labu kering hasil perendaman selama 12, 15, 18, dan 21 jam masing-masing oleh empat BAL dibandingkan secara visual dengan memperhatikan warna. Hasil pengamatan visual terhadap sawut labu kuning adalah semakin lama perendaman, maka semakin pucat warnanya. Perendaman selama 18 jam kemudian dipilih dengan mempertimbangkan kenampakkan sawut labu kuning yang berwarna kuning/orange cerah.

Proses reduksi RFO kemungkinan berlangsung sejak beberapa jam pada awal perendaman menggunakan bakteri karena RFO juga merupakan sumber karbon untuk pertumbuhan bakteri dan sintesis enzim yang berperan dalam reduksi (hidrolisis) RFO. Enzim tersebut bersifat inducible (terinduksi) (Sakai et al., 1987; Roy et al., 1991; Garro et al., 1996; Xiao et al., 2000), yaitu enzim yang diproduksi karena terdapatnya substrat yang sesuai.

B. PENELITIAN UTAMA 1. Kadar Oligosakarida

Daging buah labu kuning segar yang digunakan pada penelitian ini ternyata mengandung oligosakarida rafinosa (0,6120 g/100 bk), stakiosa (0,0363 g/100 g bk), verbaskosa (0,0060 g/100 g bk) dan total oligosakarida sebesar 0,6543 g/100 g bk (0,0468 g/100 g bb) dengan kadar air sebesar 92,84%.

Reduksi oligosakarida RFO melibatkan enzim α-D-galactoside galactohydrolase (EC 3.2.1.22) atau α-galaktosidase, merupakan golongan hidrolase yang memutus ikatan α-galaktosida pada substansi karbohidrat oligosakarida seperti pada senyawa yang dikenal dengan Raffinose Family Oligosaccharides (RFO), yaitu rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa yang bersifat


(37)

non-pereduksi (Mital et al., 1975). Enzim ini umumnya dihasilkan pada kondisi kultur yang ditambahkan dengan satu atau lebih kelompok gula α -D-galaktopiranosil sebagai sumber karbon, bersifat terinduksi, intraselular, dan sebagian lain berikatan dengan membran pada kebanyakan mikroba (Garro et al., 1996; Yoon dan Hwang, 2008). Beberapa galur Lactobacillus sp. dan Leuconostoc sp. dilaporkan menghasilkan enzim α-galaktosidase dengan aktivitas tertinggi pada bagian intraselular (LeBlanc et al., 2004; Yoon dan Hwang, 2008).

Hasil uji statistik menunjukkan kadar total RFO tepung labu kuning tidak berbeda nyata untuk setiap perlakuan, kontrol rendam air destilata, dan kontrol tanpa rendam. Perbedaan spesies bakteri yang digunakan dan jumlah bakteri yang disuspensikan pada perendam tidak berpengaruh nyata terhadap kadar RFO tepung labu kuning.

Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap kadar senyawa total RFO (ppm)

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107

Lactobacillus plantarum 653,76 684,59 669,18 Lactobacillus brevis 610,39 603,94 607,16 Bifidobacterium longum 587,10 550,54 568,82 Leuconostoc mesenteroides 619,00 677,42 648,21

Rataan 617,56 629,12 623,34

Kontrol dengan perendaman 896,77

Kontrol tanpa rendam 1123,30

Segar 6543,00

Hasil analisis penetapan kadar total RFO tepung labu kuning dari delapan perlakuan dan dua kontrol menunjukkan bahwa perlakuan perendaman dengan bakteri memberikan rataan kadar total RFO sebesar 623,34 ppm, lebih rendah dari kadar total RFO awal (segar) sebesar 6543,00 ppm dan dari tepung labu kuning kontrol tanpa perendaman sebesar 1123,30 ppm (Tabel 4). Kadar total RFO tepung labu kuning paling rendah yaitu pada perlakuan perendaman dengan bakteri B. longum populasi 107 CFU/ml sebesar 550,54 ppm dan lebih rendah dari perlakuan populasi 106 CFU/ml sebesar 587,10 ppm. Perlakuan L.


(38)

brevis menghasilkan kadar total RFO tepung labu kuning sebesar 610,39 ppm untuk populasi 106 CFU/ml dan turun menjadi 603,94 ppm untuk populasi 107 CFU/ml (Tabel 4).

Berdasarkan nilai rata-rata, kadar total RFO semakin rendah dengan semakin tinggi populasi bakteri yang disuspensikan ke perendam kecuali untuk perlakuan bakteri L. plantarum dan L. mesenteroides. Kadar total RFO tepung labu kuning perlakuan L. plantarum populasi 107 CFU/ml yaitu 684,59 ppm lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml yaitu 653,76 ppm dan untuk perlakuan L. mesenteroides populasi 107 CFU/ml yaitu 677,12 ppm lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml yaitu 619,00 ppm (Tabel 4). Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya penurunan aktivitas enzim α-galaktosidase. Aktivitas enzim α-galaktosidase dapat mengalami penurunan disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah nilai pH. Mital et al. (1973) melaporkan bahwa α -galaktosidase dari laktobasili yang diujinya memiliki aktivitas optimum pada kisaran pH 5,2-5,9. Bakteri memfermentasi gula-gula monosakarida dan disakarida lebih banyak dan lebih cepat dengan semakin banyaknya populasi bakteri sehingga menghasilkan asam laktat yang lebih banyak dan menyebabkan penurunan pH yang lebih cepat. Penurunan pH hingga lebih rendah dari pH optimum aktivitas α-galaktosidase menyebabkan fermentasi RFO menjadi lambat. Yoon dan Hwang (2008) mendapatkan aktivitas relatif α -galaktosidase bakteri L. mesenteroides turun menjadi 60% pada pH 5,5. Mital dan Steinkraus (1975) menyatakan aktivitas α-galaktosidase dari L. plantarum menurun karena pH medium (sari kedelai) telah mencapai pH 4,5 yang menyebabkan hidrolisis partial dari stakiosa.

Berdasarkan persentase penurunan (dihitung terhadap kadar RFO labu kuning segar), jumlah RFO (rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa) labu kuning menurun rata-rata sebesar 90,47% untuk yang direndam dengan suspensi bakteri, 86,29% untuk yang direndam dengan air destilata, dan 82,83% untuk yang tidak direndam (Tabel 5). Besarnya reduksi RFO akibat perlakuan perendaman diketahui dari selisih antara persentase reduksi total tepung labu kuning perlakuan perendaman dengan kontrol tanpa perendaman. Selama perendaman dengan suspensi bakteri, RFO turun rata-rata sebesar 7,64%


(39)

(tertinggi 8,48% dan terendah 6,94%) sedangkan perendaman dengan air destilata menurunkan RFO sebesar 3,46%.

Tabel 5 Reduksi total RFO (%) tepung labu kuning setelah perlakuan

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107

Lactobacillus plantarum 90,01

*

(7,18) **

89,54 (6,71)

89,78 (6,94) Lactobacillus brevis 90,67

(7,84)

90,77 (7,94)

90,72 (7,89) Bifidobacterium longum 91,03

(8,20)

91,58 (8,75)

91,30 (8,48) Leuconostoc mesenteroides 90,54

(7,71)

89,65 (6,82)

90,10 (7,26)

Rataan 90,56

(7,73)

90,38 (7,55)

90,47 (7,64)

Kontrol dengan perendaman 86,29

(3,46)

Kontrol tanpa rendam 82,83

* Reduksi total. Persentase dihitung terhadap segar.

** Nilai dalam tanda kurung adalah reduksi akibat perendaman yaitu selisih antara persentase reduksi total perlakuan perendaman dan kontrol tanpa rendam.

Persentase reduksi RFO rata-rata pada tepung labu kuning untuk perlakuan populasi 107 CFU/ml sebesar 7,55%, sedikit lebih rendah dari perlakuan populasi 106 CFU/ml yaitu 7,73%. Akan tetapi, reduksi RFO menggunakan bakteri B. longum dengan populasi 107 CFU/ml sebesar 8,75%, lebih tinggi dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 8,20%. Berdasarkan besarnya persentase reduksi, bakteri B longum memiliki potensi yang baik dalam mereduksi total RFO.

a. Rafinosa

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar rafinosa tepung labu kuning setiap perlakuan tidak berbeda nyata, demikian pula dengan kontrol rendam air destilata dan kontrol tanpa rendam. Perbedaan spesies bakteri dan jumlah bakteri yang disuspensikan tidak berdampak nyata terhadap


(40)

kadar rafinosa tepung labu. Kadar rafinosa tiap perlakuan disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Pengaruh perlakuan terhadap kadar rafinosa (ppm)

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107

Lactobacillus plantarum 460,57 501,43 481,00 Lactobacillus brevis 448,03 440,14 444,08 Bifidobacterium longum 425,09 389,25 407,17 Leuconostoc mesenteroides 449,46 488,53 469,00

Rataan 445,79 454,84 450,31

Kontrol dengan perendaman 669,18

Kontrol tanpa rendam 864,87

Segar 6120,00

Kadar RFO terbanyak pada labu kuning adalah rafinosa yaitu sebesar 6120,00 ppm (93,5% dari total RFO). Kadar rafinosa tepung labu kuning kontrol tanpa rendam adalah 864,87 ppm. Labu kuning yang direndam dengan suspensi bakteri menghasilkan kadar rafinosa tepung labu kuning yang lebih rendah rata-rata 450,31 ppm. Kadar rafinosa paling rendah diperoleh pada tepung labu kuning perlakuan rendam bakteri B. longum dengan populasi 107 CFU/ml sebesar 389,25 ppm sedangkan populasi 106 CFU/ml sebesar 425,09 ppm. Kadar rafinosa tepung labu kuning perlakuan L. brevis menurun dari 448,03 ppm untuk populasi 106 CFU/ml menjadi 440,14 ppm untuk populasi 107 CFU/ml (Tabel 6).

Kadar rafinosa tepung labu kuning perlakuan L. plantarum populasi 107 CFU/ml sebesar 501,43 ppm, lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 460,57 ppm. Sama halnya dengan perlakuan L. mesenteroides yang memberikan kadar rafinosa tepung labu kuning sebesar 488,53 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 449,46 ppm (Tabel 6). Perbedaan populasi bakteri memberikan rataan kadar rafinosa untuk perlakuan populasi 107 CFU/ml sebesar 454,84 ppm, lebih tinggi dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 445,79 ppm. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kemungkinan hal tersebut


(41)

disebabkan oleh penurunan aktivitas enzim α-galaktosidase akibat pH yang lebih rendah tercapai pada populasi 107 CFU/ml.

Tabel 7 Reduksi rafinosa (%) tepung labu kuning setelah perlakuan

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107

Lactobacillus plantarum 92,47

*

(6,60) **

91,81 (5,94)

92,14 (6,27) Lactobacillus brevis 92,68

(6,81)

92,81 (6,94)

92,74 (6,88) Bifidobacterium longum 93,05

(7,18)

93,64 (7,77)

93,34) (7,48) Leuconostoc mesenteroides 92,66

(6,79)

92,02 (6,15)

92,34 (6,47)

Rataan 92,72

(6,85)

92,57 (6,70)

92,64 (6,78)

Kontrol dengan perendaman 89,06

(3,19)

Kontrol tanpa rendam 85,87

* Reduksi total. Persentase dihitung terhadap segar.

** Nilai dalam tanda kurung adalah reduksi akibat perendaman yaitu selisih antara persentase reduksi total perlakuan perendaman dan kontrol tanpa rendam.

Berdasarkan Tabel 7, kadar rafinosa tepung labu kuning kontrol tanpa perendaman menurun sebesar 85,87% dari kadar rafinosa labu kuning segar. Penurunan kadar rafinosa akibat perendaman dengan air destilata sebesar 3,19% dan akibat perendaman dengan suspensi bakteri adalah sebesar rata-rata 6,78%. Penurunan kadar rafinosa terbesar terjadi untuk perlakuan dengan perendaman bakteri B. longum. Reduksi rafinosa selama perendaman mencapai 7,48%.

Populasi bakteri 107 CFU/ml menghasilkan rataan reduksi rafinosa sebesar 6,70%, lebih kecil dibandingkan dengan populasi bakteri 106 CFU/ml sebesar 6,85%. Populasi bakteri B. longum sebesar 107 CFU/ml mampu mereduksi rafinosa tepung labu kuning sebesar 7,77%, lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 7,18%. Akan tetapi, persentase reduksi rafinosa perlakuan bakteri L. plantarum dan L. mesenteroides dengan


(42)

populasi 107 CFU/ml lebih kecil dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml.

Kelompok bifidobakteria dapat mengasimilasi rafinosa seefektif glukosa sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya (Xiao et al., 2000). Menurut Garro et al. (1999), rafinosa native maupun hasil hidrolisisnya dari stakiosa sudah tidak terdeteksi sejak awal proses fermentasi sari kedelai menggunakan B. longum. Scalabrini et al. (1998) juga melaporkan bahwa B. longum MB300 yang diujinya mereduksi rafinosa native sari kedelai hingga 56% pada proses fermentasi selama 24 jam dan tidak terdeteksi setelah fermentasi selama 48 jam. Untuk keperluan penggunaan rafinosa maka bifidobakteria menghasilkan enzim α-galaktosidase (Desjardins et al., 1990). Enzim α-galaktosidase merupakan enzim yang terinduksi dan disintesis oleh sel bakteri bila terdapat substrat yang sesuai yaitu senyawa α -galaktosida (misal rafinosa dan stakiosa).

Rendahnya bakteri L. plantarum dalam mereduksi rafinosa sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mital dan Steinkraus (1975), bakteri L. plantarum yang diujikan hanya sedikit menghidrolisis rafinosa native sari kedelai yaitu kurang dari 40% dan sejak 12 jam fermentasi jumlah rafinosa tetap tidak berubah hingga jam ke-60. Rafinosa pada sari kedelai menjadi penyebab terinduksinya enzim α-galaktosidase pada bakteri L. plantarum (Mital dan Steinkraus, 1975).

Kemampuan bakteri L. mesenteroides yang digunakan pada penelitian ini berbeda dengan L. mesenteroides JK55 yang diuji Yoon dan Hwang (2008) yaitu mampu menghidrolisis habis rafinosa native sari kedelai dalam waktu 12 jam fermentasi. Perbedaan ini kemungkinan karena berbedanya strain Leuconostoc yang digunakan sehingga berbeda dalam hal kemampuan hidrolisisnya. Reduksi rafinosa oleh bakteri L. brevis sebesar 48,65% masih lebih tinggi dari reduksi oleh ekstrak bebas-sel bakteri L. brevis yang diuji Mital et al. (1973) yaitu mampu menghidrolisis rafinosa sebanyak 10% setelah 8 jam fermentasi namun pada kondisi optimum rafinosa dapat dihidrolisis hingga 33%.


(43)

b. Stakiosa

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan spesies bakteri yang digunakan dan jumlah bakteri yang disuspensikan tidak berdampak nyata terhadap kadar stakiosa tepung labu kuning, demikian pula dengan kontrol tanpa perendaman. Kadar stakiosa untuk setiap perlakuan disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Pengaruh perlakuan terhadap kadar stakiosa (ppm)

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107

Lactobacillus plantarum 176,70 175,63 176,16 Lactobacillus brevis 150,18 150,18 150,18 Bifidobacterium longum 153,05 149,82 151,44 Leuconostoc mesenteroides 154,48 180,65 167,56

Rataan 158,60 164,07 161,34

Kontrol dengan perendaman 193,55

Kontrol tanpa rendam 216,85

Segar 363,00

Senyawa RFO terbanyak setelah rafinosa yang terdeteksi pada buah labu kuning segar adalah stakiosa dengan jumlah sebesar 363 µg/gram bk (ppm) atau sebanyak 5,55% dari total RFO labu kuning segar. Kadar stakiosa tersebut berkurang menjadi 216,85 ppm untuk tepung labu kuning kontrol tanpa rendam dan rata-rata sebesar 161,34 ppm untuk tepung labu kuning perlakuan rendam dengan bakteri. Tepung labu kuning perlakuan bakteri B. longum dengan populasi 107 CFU/ml memberikan kadar stakiosa paling rendah yaitu 149, 82 ppm dan lebih rendah dari populasi 106 CFU/ml sebesar 153,05 ppm. Kadar stakiosa tepung labu kuning perlakuan L. brevis tidak berbeda untuk populasi 106 CFU/ml dan 107 CFU/ml yaitu 150,18 ppm (Tabel 8).

Perlakuan bakteri L. plantarum menghasilkan kadar stakiosa tepung labu kuning sebesar 176,70 ppm untuk populasi 106 CFU/ml dan turun menjadi 175,63 ppm untuk populasi 107 CFU/ml. Sebaliknya, perlakuan bakteri L. mesenteroides dengan populasi 107 CFU/ml menghasilkan kadar


(44)

stakiosa sebesar 180,65 ppm, lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 154,48 ppm. Perlakuan populasi bakteri memberikan rataan kadar stakiosa tepung labu kuning sebesar 164,07 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih tinggi dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 158,60 ppm. Kemungkinan pada populasi 107 CFU/ml, enzim α-galaktosidase bakteri L. plantarum dan L. mesenteroides mengalami penurunan aktivitas dan hanya mampu menyebabkan hidrolisis partial dari stakiosa yang menghasilkan komponen rafinosa dan galaktosa (Mital dan Steinkraus, 1975) akibat tercapainya nilai pH yang lebih rendah dari pH optimum aktivitas α -galaktosidase.

Tabel 9 Reduksi stakiosa (%) tepung labu kuning setelah perlakuan

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107

Lactobacillus plantarum 51,32

*

(11,06) **

51,62 (11,36)

51,47 (11,21) Lactobacillus brevis 58,63

(18,37)

58,63 (18,37)

58,63 (18,37) Bifidobacterium longum 57,84

(17,58)

58,73 (18,47)

58,28 (18,02) Leuconostoc mesenteroides 57,44

(17,18)

50,23 (9,97)

53,84 (13,58)

Rataan 56,31

(16,05)

54,80 (14,54)

55,56 (15,30)

Kontrol dengan perendaman 46,68

(6,42)

Kontrol tanpa rendam 40,26

* Reduksi total. Persentase dihitung terhadap segar.

** Nilai dalam tanda kurung adalah reduksi akibat perendaman yaitu selisih antara persentase reduksi total perlakuan perendaman dan kontrol tanpa rendam.

Pada Tabel 9, kadar stakiosa tepung labu kuning kontrol tanpa rendam mengalami penurunan sebesar 40,26% dari kadar stakiosa labu kuning segar. Penurunan kadar stakiosa akibat perendaman dengan suspensi bakteri adalah sebesar rata-rata 15,30%. Penurunan kadar stakiosa terbesar adalah pada perlakuan L. brevis (18,37%) dan B. longum (18,02%). Perendaman


(45)

dengan air destilata menurunkan kadar stakiosa sebesar 6,42%. Berdasarkan persentase reduksi selama perendaman dengan suspensi bakteri, reduksi stakiosa diperkirakan dua kali lebih tinggi dibandingkan reduksi rafinosa (Tabel 9).

Penelitian reduksi stakiosa menggunakan ekstrak bebas-sel L. brevis dilakukan oleh Mital et al. (1973) yang menunjukkan bahwa L. brevis menghidrolisis stakiosa sari kedelai sebanyak 13% selama 8 jam inkubasi namun pada kondisi optimal hidrolisis stakiosa bisa mencapai 50%. Proses fermentasi sari kedelai yang dilakukan Mital dan Steinkraus (1975) menggunakan L. plantarum dan menunjukkan bahwa terjadi hidrolisis stakiosa native sebanyak 60%.

Bakteri L. mesenteroides JK55 yang digunakan Yoon dan Hwang (2008) mampu menghidrolisis habis stakiosa native sari kedelai dalam waktu 10 jam. Scalabrini et al. (1998) melaporkan bahwa B. longum MB300 yang digunakannya mampu menghidrolisis stakiosa native sari kedelai sebanyak 26% dalam waktu 24 jam dan hingga 65% dalam waktu 48 jam. Garro et al. (1999) melaporkan bahwa bakteri B. longum CRL 849 yang ditelitinya mereduksi stakiosa native sari kedelai hingga 49,3% selama 7 jam pertama fermentasi. Bifidobacterium memetabolisme empat unit sakarida lebih cepat dari L. plantarum yang membutuhkan lebih dari 30 jam fermentasi untuk mereduksi jumlah yang sama (Garro et al., 1999). Hou et al. (2000) melaporkan bahwa hasil reduksi stakiosa pada sari kedelai terjadi hingga 50,68% selama 48 jam fermentasi menggunakan B. longum B6.

c. Verbaskosa

Berdasarkan uji statistik, kadar verbaskosa tepung labu kuning tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan, tetapi berbeda nyata (P≤5%) dengan kontrol tanpa rendam dan kontrol rendam air destilata. Kadar verbaskosa tepung labu kuning kontrol tanpa rendam juga tidak berbeda nyata dengan kontrol rendam air destilata. Kadar verbaskosa setiap perlakuan disajikan pada Tabel 10.


(46)

Tabel 10 Pengaruh perlakuan terhadap reduksi verbaskosa (ppm)

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107

Lactobacillus plantarum 16,49 a 7,53 a 12,01 Lactobacillus brevis 12,19 a 13,62 a 12,90 Bifidobacterium longum 8,96 a 11,47 a 10,22 Leuconostoc mesenteroides 15,05 a 8,24 a 11,64

Rataan 13,17 10,22 11,69

Kontrol dengan perendaman 34,05 b

Kontrol tanpa rendam 41,58 b

Segar 60,00

a-b

Nilai dengan superskrip huruf yang tidak sama berarti ada beda nyata pada taraf 5% berdasarkan test Duncan.

Jumlah verbaskosa pada buah labu kuning segar sebesar 60 µg/gram bk (ppm). Berdasarkan rataan nilai, kadar verbaskosa tepung labu kuning berkurang menjadi 41,58 ppm untuk perlakuan kontrol tanpa rendam dan menjadi rata-rata 11,69 ppm untuk perlakuan perendaman dengan bakteri. Rataan kadar verbaskosa pada perlakuan perendaman bakteri dengan populasi 107 CFU/ml sebesar 10,22 ppm, lebih rendah dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 13,17 ppm.

Tepung labu kuning perlakuan bakteri L. plantarum dengan populasi 107 CFU/ml memberikan kadar verbaskosa sebesar 7,53 ppm, lebih rendah dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 16,49 ppm. Perlakuan bakteri L. mesenteroides memberikan kadar verbaskosa sebesar 8,24 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih rendah dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml sebesar 15,05 ppm. Berbeda dengan komponen RFO sebelumnya (rafinosa dan stakiosa), perlakuan bakteri L. brevis memberikan kadar verbaskosa sebesar 13,62 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 12,19 ppm. Hal yang sama juga diperoleh pada tepung labu kuning perlakuan bakteri B. longum yang memiliki kadar verbaskosa sebesar 11,47 ppm untuk populasi 107 CFU/ml lebih tinggi dari populasi 106 CFU/ml sebesar 8,96 ppm.

Berdasarkan Tabel 11, persentase reduksi total verbaskosa untuk tepung labu kuning kontrol tanpa perendaman sebesar 30,70%, perendaman


(47)

dengan air destilata sebesar 43,25% dan perlakuan perendaman dengan suspensi bakteri sebesar rata-rata 80,51%. Selama perendaman dengan suspensi bakteri, kadar verbaskosa menurun sebesar rata-rata 49,81%. Berdasarkan persentase reduksi selama perendaman dengan suspensi bakteri, reduksi verbaskosa tersebut lebih tinggi dari reduksi rafinosa dan stakiosa. Persentase reduksi verbaskosa terbesar terjadi pada perlakuan bakteri B. longum sebesar rata-rata 52,28%.

Tabel 11 Reduksi verbaskosa (%) tepung labu kuning setelah perlakuan

Bakteri Populasi (CFU/ml) Rataan

106 107

Lactobacillus plantarum 72,52

*

(41,82) **

87,45 (56,75)

79,98 (49,28) Lactobacillus brevis 79,68

(49,98)

77,30 (46,60)

78,49 (47,79) Bifidobacterium longum 85,07

(54,37)

80,88 (50,18)

82,98 (52,28) Leuconostoc mesenteroides 74,92

(44,22)

86,27 (55,57)

80,60 (49,90)

Rataan 78,04

(47,34)

82,98 (52,28)

80,51 (49,81)

Kontrol dengan perendaman 43,25

(12,55)

Kontrol tanpa rendam 30,70

* Reduksi total. Persentase dihitung terhadap segar.

** Nilai dalam tanda kurung adalah reduksi akibat perendaman yaitu selisih antara persentase reduksi total perlakuan perendaman dan kontrol tanpa rendam.

Rataan persentase reduksi verbaskosa akibat perendaman dengan suspensi bakteri meningkat dari 47,34% untuk populasi 106 CFU/ml menjadi 52,28% untuk populasi 107 CFU/ml. Peningkatan terjadi untuk perlakuan bakteri L. plantarum dari 41,82% menjadi 56,75% dan perlakuan bakteri L. mesenteroides dari 44,22% menjadi 55,57%. Sebaliknya, perlakuan bakteri L. brevis dan B. longum dengan populasi 107 CFU/ml menghasilkan persentase reduksi yang lebih kecil dibandingkan dengan populasi 106 CFU/ml.


(48)

Reduksi jumlah RFO pada tepung labu kuning kontrol tanpa perendaman menunjukkan bahwa proses pengeringan mampu mengurangi senyawa RFO dalam jumlah yang cukup besar. Senyawa RFO merupakan turunan α -(1,6)-galaktosil dari sukrosa. Sukrosa memiliki ikatan ß-fruktofuranosida yang tidak stabil dan dapat mengalami hidrolisis ketika dehidrasi berlangsung (Schebor et al., 1999). Ketiga senyawa RFO mengalami hidrolisis pada ikatan tersebut maka ketika RFO diukur, tidak lagi terdeteksi sebagai rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa dengan jumlah yang sama dengan sebelum diukur. Kadar air yang tinggi pada irisan labu dan proses pengeringan yang lama memungkinkan terjadinya reaksi hidrolisis tersebut.

Labu kuning yang mendapat perlakuan perendaman dengan air destilata mengalami reduksi total RFO hingga sebesar 86,29%. Penurunan RFO kemungkinan disebabkan adanya aktivitas bakteri dan atau mikroba lainnya yang secara alami terdapat pada labu kuning segar dan atau pada air destilata yang digunakan. Hal ini karena labu kuning segar dan air destilata yang digunakan pada penelitian ini tidak disterilisasi terlebih dahulu. Mikroba dapat berasal dari operator/pekerja, udara, perkakas yang digunakan dan kotoran yang menempel pada kulit buah labu berpindah ke potongan labu kuning segar. Letak buah labu kuning yang dekat dan bahkan bersentuhan dengan tanah dapat menjadi penyebab utama termuatnya mikroba tanah pada permukaan kulit buah labu kuning yang kemudian selama proses pembersihan dan pengecilan ukuran dapat berpindah ke potongan labu. Beberapa BAL terdapat dalam jumlah sangat sedikit pada jaringan tanaman seperti Lactobacillus, Pediococcus, Enterococcus, dan Leuconostoc mesenteroides (Mäki, 2004). Sebagian besar dari material tanaman mengandung mikroba epifitik dalam jumlah yang banyak dan beragam, dan sejumlah kecil populasi bakteri asam laktat (Fleming dan McFeeters, 1981).

Selain rafinosa, stakiosa, dan verbaskosa, senyawa gula lain juga terdapat pada daging buah labu kuning seperti glukosa, fruktosa, dan sukrosa dan ketiganya berada pada kadar yang lebih tinggi dari kadar senyawa RFO. Hal ini karena gula-gula tersebut dalam bentuk lebih sederhana -yaitu monosakarida


(49)

dan disakarida- daripada senyawa RFO dan jumlahnya banyak, sehingga penggunaannya menjadi lebih utama bagi bakteri untuk metabolisme dan pertumbuhannya. Perbedaan jumlah populasi bakteri yang disuspensikan ke perendam hingga satu log secara umum tidak berpengaruh nyata terhadap kadar akhir setiap senyawa RFO pada tepung labu kuning.

Pada perlakuan kontrol rendam air destilata, jumlah RFO pada labu kuning mengalami reduksi dengan kadar RFO lebih kecil dari kadar RFO kontrol tanpa perendaman. Telah diketahui sebelumnya bahwa pertumbuhan mikroba lain juga mungkin terjadi pada irisan labu yang direndam dengan air destilata yang berarti juga terjadi proses fermentasi. Penggunaan senyawa RFO oleh mikroba tersebut dapat terjadi karena enzim-enzim yang berperan dalam hidrolisis RFO bisa terinduksi pada beberapa spesies bakteri, dan dihasilkan oleh beberapa spesies kapang dan khamir.

2. Kadar β-karoten

Buah labu kuning segar pada penelitian ini memiliki kadar β-karoten sebesar 102,83 ppm (µg/g bk) atau sebesar 0,74 mg/100 g bb. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan kadar β-karoten berbagai varietas buah labu kuning spesies C. moschata yaitu berkisar 3,1 – 7 mg/100 g (Murkovic et al., 2002).

Kadar β-karoten tepung labu kuning yang mendapat perlakuan perendaman bakteri dan kontrol perendaman air destilata lebih rendah dari kadar β-karoten tepung labu kontrol tanpa rendam. Secara statistik, besarnya kadar β-karoten tepung labu kuning yang diperoleh tidak berbeda nyata untuk setiap perlakuan dan kontrol. Rincian kadar β-karoten tepung labu kuning dapat dilihat pada Tabel 12.

Berdasarkan besaran nilai, rataan kadar β-karoten tepung labu kuning yang mendapat perlakuan perendaman bakteri adalah sebesar 238,44 ppm. Nilai tersebut lebih tinggi dari kadar β-karoten tepung labu kuning kontrol perendaman dengan air destilata sebesar 230,65 ppm. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh keberadaan enzim-enzim yang berperan dalam carotenes bleaching. Carotenes bleaching adalah peristiwa terdegradasinya senyawa karoten menyebabkan bahan pangan terlihat pucat. Hidaka et al. (1986)


(1)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Rafinosa

Duncana,,b

Kombinasi_Perlakuan N

Subset

1

A3B2 3 389.2467

A3B1 3 425.0867

A2B2 3 440.1433

A2B1 3 448.0300

A4B1 3 449.4600

A1B1 3 460.5733

A4B2 3 488.5300

A1B2 3 501.4333

A0 3 669.1733

NON 3 864.8733

Sig. .138

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 106623,276.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

b. Alpha = 0,05.

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:

Stakiosa

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 13981.002a 9 1553.445 .099 .999 Intercept 868091.743 1 868091.743 55.204 .000

Kombinasi_Perlakuan 13981.002 9 1553.445 .099 .999

Error 314503.195 20 15725.160

Total 1196575.941 30

Corrected Total 328484.198 29


(2)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Stakiosa

Duncana,,b

Kombinasi_Perlakuan N

Subset

1

A3B2 3 149.8200

A2B2 3 150.1767

A2B1 3 150.1767

A3B1 3 153.0467

A4B1 3 154.4800

A1B2 3 175.6267

A1B1 3 176.7033

A4B2 3 180.6467

A0 3 193.5467

NON 3 216.8467

Sig. .573

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 15725,160.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

b. Alpha = 0,05.

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:

Verbaskosa

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 3584.834a 9 398.315 4.129 .004 Intercept 8586.223 1 8586.223 89.010 .000

Kombinasi_Perlakuan 3584.834 9 398.315 4.129 .004

Error 1929.267 20 96.463

Total 14100.325 30

Corrected Total 5514.101 29


(3)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Verbaskosa

Duncana,,b

Kombinasi_Perlakuan N

Subset

1 2

A1B2 3 7.5267

A4B2 3 8.2433

A3B1 3 8.9600

A3B2 3 11.4700

A2B1 3 12.1867

A2B2 3 13.6167

A4B1 3 15.0567

A1B1 3 16.4900

A0 3 34.0500

NON 3 41.5767

Sig. .340 .359

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 96,463.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

b. Alpha = 0,05.

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:

Total_Oligosakarida

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 839048.399a 9 93227.600 .449 .891 Intercept 1.473E7 1 1.473E7 70.967 .000

Kombinasi_Perlakuan 839048.399 9 93227.600 .449 .891

Error 4150843.968 20 207542.198

Total 1.972E7 30

Corrected Total 4989892.367 29


(4)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Total_Oligosakarida

Duncana,,b

Kombinasi_Perlakuan N

Subset

1

A3B2 3 550.5400

A3B1 3 587.0967

A2B2 3 603.9433

A2B1 3 610.3967

A4B1 3 618.9967

A1B1 3 653.7633

A4B2 3 677.4233

A1B2 3 684.5900

A0 3 896.7733

NON 3 1123.2967

Sig. .197

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 207542,198.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

b. Alpha = 0,05.

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:

B_karoten

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 3553.446a 9 394.827 .251 .981 Intercept 1739245.436 1 1739245.436 1105.711 .000

Kombinasi_Perlakuan 3553.446 9 394.827 .251 .981

Error 31459.317 20 1572.966

Total 1774258.199 30

Corrected Total 35012.762 29


(5)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

B_karoten

Duncana,,b

Kombinasi_Perlakuan N

Subset

1

A1B2 3 228.2267

A0 3 230.6467

A2B1 3 235.8400

A3B1 3 236.2000

A1B1 3 236.9200

A3B2 3 240.5000

A4B1 3 240.5900

A2B2 3 243.5500

A4B2 3 245.7000

NON 3 269.6233

Sig. .279

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = 1572,966.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.

b. Alpha = 0,05.

Univariate Analysis of Variance

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:

Rendemen

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Corrected Model 16.222a 9 1.802 28.449 .000 Intercept 425.935 1 425.935 6722.808 .000

Kombinasi_Perlakuan 16.222 9 1.802 28.449 .000

Error 1.267 20 .063

Total 443.424 30

Corrected Total 17.489 29


(6)

Post Hoc Tests

Homogeneous Subsets

Rendemen

Duncana,,b

Kombinasi_Perlakuan N

Subset

1 2 3

A1B2 3 3.2800

A2B1 3 3.3500 3.3500

A2B2 3 3.3900 3.3900

A3B2 3 3.5633 3.5633

A0 3 3.5700 3.5700

A1B1 3 3.5733 3.5733

A4B2 3 3.5733 3.5733

A4B1 3 3.6333 3.6333

A3B1 3 3.8167

NON 3 5.9300

Sig. .149 .061 1.000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on observed means.

The error term is Mean Square(Error) = ,063.

a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.