Di fakultas kedokteran gigi farmakologi merupakan salah satu ilmu yang diberikan. Ilmu Farmakologi mencakup pengetahuan mengenai sifat-sifat obat, efek
obat dan mekanisme terjadinya efek obat. Pengetahuan ini sangat penting sebagai dasar atau fondasi dalam pemakaian obat di klinik. Disamping itu farmakologi juga
memberikan beberapa informasi yang terkait dengan pemakaian obat dalam klinik, misalnya: indikasi, dosis, efek toksik, efek samping dan sebagainya. Dengan
mempelajari farmakologi di harapkan mahasiswa kedokteran gigi memahami obat- obatan yang digunakan untuk penyakit gigi dan mulut, termasuk efek samping dan
interaksinya.
7
Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik khususnya di Departemen Bedah Mulut FKG USU
mengenai antibiotik dan penatalaksaan alergi antibiotik yang sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi. Mahasiswa kepaniteraan klinik dipilih karena mahasiswa
kepaniteraan klinik tengah melakukan praktik perawatan gigi langsung kepada pasien dan turut memberikan antibiotik setelah perawatan dilakukan.
1.2 Rumusan Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimana pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen
Bedah Mulut FKG USU tentang antibiotik danpenatalaksanaan alergi antibiotik di Departemen Bedah Mulut FKG USU.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di
Departemen Bedah Mulut FKG USU terhadap antibiotik. 2. Mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di
Departemen Bedah Mulut FKG USU terhadap penatalaksanaan alergi antibiotik.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan akan digunakan : 1. Sebagai masukan bagi Departemen Bedah Mulut FKG USU terhadap
pengetahuan tentang antibiotik. 2. Sebagai masukan bagi Departemen Bedah Mulut FKG USU dalam
melakukan penatalaksanaan alergi antibiotik.
3. Sebagai tambahan referensi di Departemen Bedah Mulut FKG USU.
4. Sebagai tambahan pengetahuan bagi peneliti, dan sebagai bahanperbandingan antara praktik dengan teori yang ada.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Antibiotik
Pada dasarnya, antibiotik diresepkan berdasarkan pengalaman dengan kata lain dokter gigi tidak mengetahui mikroorganisme apa yang menyebabkan terjadinya
peradangan, karena kultur pus nanah atau eksudat tidak umum dibuat. Oleh karena itu, antibiotik spektrum luas yang umum diresepkan.
8
Rongga mulut manusia mengandung berbagai mikroorganisme. Namun demikian, tidak semua mikroorganisme berpotensi patogen pada manusia, beberapa
jenis bakteri yang berhubungan dengan peradangan oral di antaranya bakteri kokus, basil, organisme gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob.
8
2.1.1 Definisi antibiotik
Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba atau jasad renik yang tidak termasuk parasit, khususnya mikroba yang merugikan manusia.
9
Sedangkan antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara
sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme.
10
Dalam praktek sehari – hari, antimikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba misalnya sulfonamid dan kuinolon juga sering digolongkan sebagai
antibiotik.
9
Selain dari hasil metabolisme mikroorganisme, antibiotik juga dapat dibuat dari bahan alam yaitu dari beberapa hewan dan tanaman, serta dapat pula dibentuk
antibiotik baru secara sintesis parsial yang sebagian mempunyai sifat yang lebih baik. Dari beribu – ribu jenis antibiotik yang telah ditemukan, hanya sebagian kecil yang
dapat dipakai untuk tujuan terapeutik. Hanya antibiotik yang mempunyai kadar hambatan minimum KHM in vitrolebih kecil dari kadar yang dapat dicapai dalam
tubuh dan tidak toksik, yang dapat dipakai.
10
2.1.2 Klasifikasi antibiotik
Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dibedakan atas beberapa kelompok yaitu 1 Antibiotik β-laktam yang terdiri atas golongan penisilin dan derivatnya,
sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam; 2 Antibiotik makrolida dan ketolida; 3 Linkosamida; 4 Metronidazole; 5 Tetrasiklin; 6 Glisilsiklin; 7 Golongan
kuinolonfluoro-kuinolon; 8 Golongan aminoglikosida; 9 Vankomisin; 10 Steptogramin; 11 Oksasolidinon; 12 Sulfonamida; 13 Kloramfenikol.
11
Di praktik kedokteran gigi, tidak semua jenis antibiotik digunakan, hanya beberapa jenis saja yang umum digunakan diataranya antibiotik golongan β-laktam
seperti amoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat, ampisilin, sefadroksil, sefaleksin, sefazolin, dan penisilin, linkosamidaseperti klindamisin, makrolida seperti
azitromisin, eritromisin, kuinolon atau fluorokuinolon seperti siprofloksasin, aminoglikosida seperti gentamisin, dan metronidazole.
8
2.1.2 .1 Antibiotik β-laktam
Antibiotik β-laktam menjadi antibiotik yang banyak digunakan karena aktivitas spektrumnya luas dan toksisitasnya yang relatif kurang walaupun insiden terhadap
alergi relatif tinggi. Antibiotik jenis ini terdiri dari lima kelompok yang memiliki nukleus β-laktam berbeda yaitu penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam,
dan karbasefem. Penisilin dan sefalosporin adalah antibiotik yang paling penting, diikuti dengan karbapenem, monobaktam, dan karbasefem yang menjadi cadangan
pada kasus peradangan serius seperti peradangan nokosomial yang didapat dari rumah sakit. β-laktam memiliki aktivitas antibiotik dengan spektrum yang terluas,
kecuali antibiotik dengan spektrum yang sangat sempit seperti β-laktamase-resistant
penicilin dan spektrum yang sangat luas seperti imipenem dan beberapa sefalosporin.
11
Mekanisme kerja antibiotik β-laktam dapat diringkas dengan urutan sebagai berikut: 1 obat bergabung dengan penicilin-binding proteins PBPs pada bakteri;
kemudian 2 terjadi hambatan sintesis dinding sel bakteri karena proses transeptidasi
antara rantai peptidoglikan terganggu; lalu 3 terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.
12
1. Penisilin
Penisilin adalah istilah generik untuk kelompok antibiotik yang sama-sama memiliki
nukleus cincin β-laktam.
11
Obat ini efektif melawan sebagian besar bakeri gram positif tetapi tidak aktif jika cincin β-laktamnya di pecah oleh β-laktamase.
13
Modifikasi penisilin dapat terjadi karena struktur dasarnya asam 6- amminopenisilanat memung
kinkan untuk penambahan berbagai rantai β-laktam dan cincin tiazolidin. Atas dasar modifikasi ini, penisilin dapat dibagi menjadi penisilin G
dan derivatnya, penisilin resisten β-laktamase, penisilin spektrum yang diperluas Extended-Spectrum Penicillin, dan penisilin spektrum yang diperluas ditambah
inhibitor β-laktamase Extended-Spectrum Penicillin Plus β-laktamase Inhibitors
11
Penisilin memiliki efek bakterisid dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Diantara semua
penisilin, penisilin G mempunyai aktifitas terbaik terhadap mikroba Gram-positif yang sensitif. Walaupun kelompok ampisilin memiliki spektrum antibiotik yang
lebar, tetapi aktivitasnya terhadap mikroba Gram-positif tidak sesuai penisilin G. Namun demikian kelompok ampisilin efektif terhadap beberapa mikroba Gram-
negatif dan tahan asam, sehingga dapat diberikan per oral.
12
Kombinasi penisilin dengan asam klavulanatmenjadi salah satu pilihan karena kerja antibiotiknya sangat
lemah, tetapi dapat menghambat penisilinase dari steptokokus da n β-laktamase
berbagai mikroba Gram-negatif dengan mengikat pusat aktif enzim tersebut. Karena itu asam
klavulanat digunakan dalam kombinasi bersama antibiotik β-laktam yang tak stabil terhadap β-laktamase.
10
Pemberian antibiotik per oral lebih disukai pada perawatan pasien kedokteran gigi karena lebih aman, paling tepat, dan cara paling murah. Sekarang ini, penisilin V
adalah antibiotik yang paling sering diresepkan yang ditujukan untuk terapi peradangan yang berasal dari gigi,
11
tetapi amoksisilin lebih unggul karena diabsorbsi lebih baik, frekuensi dosis yang lebih sedikit tiga kali sehari bila dibandingkan
dengan ampisilin dan penisilin V yang 4 kali sehari, dan penyerapanya tidak dihalangi oleh makanan.
14
Pemberian penisilin G secara parenteral digunakan untuk peradangan berat pada pasien atau situasi dimana pemberian melalui oral tidak dapat
dilakukan seperti pada sindrom malabsorpsi dan muntah.
11
Penisilin digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk semua peradangan yang mikrobanya peka dan
selama tidak ada alergi terhadap penisilin karena toksisitasnya yang hampir tidak ada dan kerjanya bersifat bakterisidal.
10
2. Sefalosporin
Sefalosporin berasal dari fungus Sefalosporin akremonium. Inti dasar Sefalosporin C ialah asam 7-amino-sefalosporanat 7-ACA:7-aminocephalosporanic
acid yang merupakan kompleks cincin dihidrotiazin dan cincin betalaktam. Sefalosporin C resisten terhadap penisilinase, tetapi dapat dirusak oleh
sefalosporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7-ACA yang dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin.
12
Berdasarkan aktivitas antibiotiknya, Sefalosporindibagi menjadi 4 generasi yaitu generasi pertama, generasi kedua,generasi ketiga, dan generasi keempat.
Sefalosporin memiliki aktifitas yang baik untuk melawan patogen orofasial, tetapi terbatas dalam melawan bakteri anaerob. Secara in vitro,Sefalosporin generasi
pertama memperlihatkan spektrum antibiotik yang aktif terhadap bakteri Gram- positif. Keunggulannya dibanding penisilin adalah aktivitasnya terhadap bakteri
penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar Stafilokokus aureusdan Streptokokustermasuk Streptokokus piogens, Streptokokus viridans,
Streptkokuspneumoniae, Streptokokus anaerob, Klostridium perfringeus, Listeria monositogens, dan Korinebakterium dipteria.
12
Sefadroksil, safaleksin, dan sefazolin merupakan antibiotik sefalosporin generasi pertama, sedangkan seftriakson termasuk
generasi ketiga.
12,15
2.1.2.2Antibiotik Makrolida
Senyawa ini didapat dari jenis Streptomyces, mempunyai sifat glikosida dan mengandung cincin lakton makrosiklik, gula amino basa dan gula netral. Mekanisme
kerja yang diketahui yaitu antibiotik makrolida menghambat sintesis protein pada fase pemanjangan dengan mempengaruhi translokasi.
10
Makrolida digunakan untuk peradangan yang disebabkan oleh mikroba gram- positif yang resisten terhadap penisilin atau tetrasiklin, dipakai juga pada pasien yang
alergi terhadap penisilin.
10
Yang termasuk dalam kelompok makrolida yaitu entromisin, azitromisin, dan sebagainya. Azitromisin memiliki aktivitas yang sangat
baik dengan Klamidia. Kadar azitromisin yang tercapai dalam serum setelah pemberian oral relatif rendah, tetapi dijaringan dan sel fagosit menjadi sangat tinggi.
Obat yang disimpan dalam jaringan ini kemudian dilepaskan berlahan-lahan sehingga dapat diperoleh masa paruh eliminasi sekitar 3 hari. Dengan demikian obat
cukup diberikan sekali sehari dan lama pengobatan dapat dikurangi. Absorbsinya berlangsung cepat tetapi terganggu bila diberikan bersamaan dengan makanan.
16
2.1.2.3 Linkomisin
Yang termasuk kelompok linkomisin adalah linkomisinyang diisolasi dari Streptomises linkolnesisdan senyawa sintesis parsial turunanya yaitu klindamisin.
Kelompok linkomisin mempunyai spektrum kerja yang mirip antara yang satu dengan yang lain, mekanisme kerjanya sama dengan antibiotik makrolida, sedangkan kerja
klindamisin 2-10 kali lebih besar dari intensitas kerja linkomisin. Yang penting adalah kemampuan difusinya yang baik dalam tulang. Linkomisin dan klindamisin
digunakan untuk peradangan karena stafilokokus jika antibiotik lain tidak dapat digunakan dan berguna pada peradangan karena bakteri anaerob.
10
Selain itu, klindamisin digunakan untuk pasien yang alergi dengan penisilin atau terjadi
kegagalan pengobatan dengan penisilin.
15
2.1.2.4 Antibiotik Aminoglikosida
Yang termasuk antibiotik golongan ini adalah streptomisin, neomisin, kelompok kanamisin-gentamisin, dan spektinomisin. Senyawa ini merupakan
senyawa dengan struktur yang terdiri atas tri atau tetrasakarida, yang mengandung streptamin atau turunannya sebagai rumus umum, terutama 2-desoksistreptamin.
Semua senyawa ini memiliki spektrum kerja yang luas dan kerjanya adalah
bakterisidal. Gentamisin adalah senyawa yang didapat dari filtrat kultur jenis Mikromonospora, yang merupakan campuran dari tiga antibiotik spektrum luas
gentamisin C
1,
C
1a
dan C
2
. Secara klinis gentamisin sangat berarti terutama karena peranannya terhadap mikroba Gram-negatif penyebab peradangan tersebut.
10
2.1.2.5 Kuinolon
Kuinolon memiliki atom flour pada cincin kuinolon karena itu dinamakan juga flourokuinolon. Golongan kuinolon secara garis besar dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu kuinolon dan flourokuinolon. Kelompok kuinolon tidak mempunyai manfaat klinik untuk pengobatan peradangan sistematik karena kadarnya dalam darah
terlalu rendah, daya antibakterinya lebih lemah, dan resistensi cepat timbul. Indikasinya terbatas sebagai antiseptik saluran kemih. Sedangkan kelompok
flourokuinolon memiliki atom flour pada posisi 6 dalam struktur molekulnya. Daya antibiotik flourokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon lama.
Kelompok obat ini diserap secara baik pada pemberian oral, dan derivatnya tersedia juga dalam bentuk parenteral yang digunakan untuk penanggulangan peradangan
berat, khususnya yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, sedangkan terhadap bakteri Gram-positif daya bakterinya relatif lemah. Yang termasuk golongan ini
adalah siprofloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan sebagainya.
17
2.1.2.6 Metronidazole
Metronidazole adalah nitroimidazole buatan yang dibuat atau diisolasi dari Streptomises sp yang berguna dalam mengatasi berbagai peradangan akibat
protozoa.
11
Obat ini juga efektif melawan bakteri anaerob yang bekerja dengan mengganggu DNAbakteri sehingga menghambat sintesis asam nukleat.
15
Spektrum metronidazole terbatas pada bakteri anaerob obligat dan beberapa bakteri
mikroaerofilik,
18
dan paling efektif melawan bakteri anaerob gram negatifyangbertanggungjawab pada peradangan orofasial akut dan periodontitis
kronis.
11
Kombinasi metronidazole dengan antibiotik betalaktam pada peradangan
oraldiindikasikan untuk peradangan orofasial akut yang serius dan pada penatalaksanaan periodontitis agresif.
11
2.1.3 Indikasi Penggunaan Antibiotik di bidang kedokteran gigi
Peradangan akut dan kronis pada pulpamerupakan penyebab sakit gigi paling banyak. Namun kebanyakan kasus
peradangan lebih memerlukan perawatankonservatif daripada pemberian antibiotik. Selulitis fasial baik yang
disertai disfagia ataupun tidak, harus diberikan antibiotik sesegera mungkin karena jika tidak diberikan, peradangan dapat meluas melalui limfe dan sirkulasi darah.
Beberapa lesi oral terlokalisir yang diindikasikan pemberian antibiotik yaitu abses periodontal, gingivitis ulseratif nekrose
akut, perikoronitis dan osteomielitis.
11,19
Selain itu, antibiotik juga digunakan sebagai profilaksis.
14
Umumnya, antibiotik digunakan dikedokteran gigi untuk dua tujuan yaitu sebagai profilaksis antibiotik dan sebagai pengobatan kasus peradangan.
8
1. Sebagai pengobatan atau terapi antibiotik
Pemberian antibiotik tidak terbatas pada kasus peradangan odontogenik saja, melainkan juga pada kasus non-odontogenik. Untuk kasus peradangan odontogenik
sendiri, tidak ada kriteria tertentu dalam pemberian antibiotik. Pengobatan diberikan dalam beberapa situasi peradangan odontogenik akut yang berasal dari pulpa
misalnya sebagai pendukung dalam perawatan saluran akar, gingivitis nekrotis ulseratif akut, abses periapikal, periodontitis agresif, abses periodontal, dan
osteomyelitis.
8,11
Pemberian antibiotik tidak disarankan pada kasus gingivitis.
8
Perluasan inflamasi cepat dan berat sebaiknya dirawat dengan pemberian antibiotik, sementara inflamasi yang ringan dan terlokalisir dimana drainase dapat dilakukan,
maka pemberian antibiotik tidak perlu.
14
Abses periodontal sering dirawat dengan insisi dan drainase tanpa pemberian antibiotik karena abses periodontal jarang disertai demam, malaise, limfadenopati,
dan tanda-tanda sistemik lainya. Tetapi , abses periodontal perlu diberikan terapi antibiotik ketika disertai tanda dan gejala sisteemik, atau ketika insisi dan drainase
tidak dapat dilakukan. Hal ini berbeda pada terapi antibiotik untuk peradangan yang
berasal dari pulpa atau periapikal, dimana seharusnya lebih agresif karena lebih cenderung meluas ke permukaan wajah. Terapi antibiotik untuk kasus abses
periodontal diberikan dalam dosis tinggi dan durasi yang singkat. Perawatan osteomyelitis yaitu berupa terapi antibiotik dan pembedahan. Dikarenakan
keanekaragaman bakteri penyebabnya, pembuatan kultur dan tes sensitivitas sesegera mungkin menjadi penting untuk mendapatkan terapi antibiotik yang paling tepat.
11
Antibiotik turunan β-laktam dapat dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan,
asalkan tidak ada alergi. Namun, hanya sedikit obat dari kelompok ini yang dapat diresepkan. Penisilin dan amoksisilin dapat menjadi pilihan pertama. Amoksisilin-
klavulanat lebih disukai, karena spectrum kerja yang luas, sifat farmakokinetik, toleransi, dan dosis yang khas. Klindamisin juga menjadi obat pilihan karena
penyerapannya yang baik, kemungkinan bakteri menjadi resistensi rendah, dan konsentrasi antibiotik yang dicapai dalam tulang lebih tinggi.
8
Peradangan non-odontogenik yang termasuk peradangan spesifik dari rongga mulut TBC, sifilis, lepra, dan peradangan nonspesifik membran mukosa, otot dan
wajah, kelenjar ludah dan tulang. Proses ini membutuhkan perawatan yang panjang, dan obat yang digunakan biasanya termasuk klindamisin dan flurokuinolon seperti
siprofloksasin, nonfloksasin, dan moksifloksasin.
8
2. Sebagai profilaksis antibiotik
Penggunaan antibiotik sebagai profilaksis telah diterima secara luas dan umum digunakan dikedokteran gigi. Tujuan pengobatan ini yaitu sebagai pencegahan
endokarditis infektif yang diindikasikan pada pasien yang berisiko dalam hal prosedur invasif dalam rongga mulut.
8
Pasien yang menggunakan katub jantung buatan, memiliki riwayat endokarditis, memiliki penyakit jantung kongenital seperti
penyakit jantung kongenital sianosis, menggunakan bahan atau alat jantung buatan yang kurang dari 6 bulan, atau pun yang memiliki efek sisa pada tempat atau sekitar
tempat dipasangnya bahan atau alat buatan,serta penerima transplantasi jantung, maka pada pasien tersebut diindikasikan pemberian profilaksis antibiotik untuk prosedur
dental.
20
Pasien yang memiliki riwayat peradangan prosthesis sendi dan pada pasien
yang menggunakan sendi buatan kurang dari dua tahun disertai defisiensi imun, maka pasien tersebut berisiko tinggi terhadap prosedur invasif dalam rongga mulut
sehingga diperlukan pemberian profilaksis antibiotik.
8
Profilaksis peradangan lokal digunakan untuk mencegah proliferasi dan penyebaran bakteri di dalam dan dari luka operasi itu sendiri. Penggunaan antibiotik
profilaksis pada pasien sehat hanya dianjurkan dalam kasus pencabutan gigi, impaksi, bedah periapikal, menyambung tulang dan operasi untuk tumor jinak. Pada pasien
dengan faktor risiko berupa peradangan lokal atau sistematik termasuk pasien onkologi, pasien dengan kekebalan tubuh rendah, pasien dengan gangguan metabolik
seperti diabetes, dan pasien yang telah menjalani splenektomi antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum melakukan prosedur invasif.
8
Namun, profilaksis antibiotik tidak direkomendasikan pada prosedur dental atau keadaan berikut yaitu anestesi tropikal pada jaringan yang tidak meradang,
pengambilan radiografi gigi, penggunaan gigi tiruan lepasan atau alat ortodonti, penyesuaian alat ortodonti, penempatan braket ortodonti, dan pencabutan gigidesidui
serta perdarahan karena trauma dibibir dan mukosa.
20
1.1.6 Efek samping
1. Reaksi Alergi
Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes dan tidak bergantung pada besarnya dosis obat. Manifestasi
gejala dan derajat beratnya alergi dapat bervariasi.
9
Prognosis reaksi alergi sulit diramalkan walaupun terdapat riwayat reaksi alergi pasien. Seseorang yang memiliki
riwayat alergi, misalnya alergi terhadap penisilin, tidak selalu mengalami reaksi alergi kembali ketika diberikan obat tersebut. Sebaliknya, seseorang tanpa riwayat
alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan kembali penisilin.
9
Bentuk reaksi alergi pada penisilin paling sering yaitu reaksi urtikaria atau angioedemapada
kulit. Penisilin juga dapat menyebabkan reaksi syok anafilaktik.
11
2. Reaksi toksik
Antibiotik pada umumnya bersifat toksisitas selektif, tetapi sifat ini relatif. Penisilin merupakan golongan antibiotik yang mungkin dianggap paling tidak toksik
sampai saat ini. Dalam menimbulkan efek toksik, masing-masing antibiotik dapat menyerang organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes. Beberapa contoh reaksi
toksik penggunaan antibiotik seperti pada golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik terutama terhadap nervus vestibulokoklear N.VIII golongan
tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam dosis besar, obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonefritis dan pada wanita hamil.
9
3. Perubahan biologik dan metabolik
Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang meradang, terdapat populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikroflora tersebut
biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan antibiotik, terutama spektrum luas, dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora, sehingga jenis mikroba
yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen.
9
Pada beberapa keadaan, perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi, yaitu suatu peradangan baru yang
disebabkan oleh ploriferasi mikroba barbeda dari penyebab peradangan primer yang terjadi akibat terapi peradangan primer dengan suatu antibiotik.
9,14
Mikroba penyebab superinfeksi biasanya jenis mikroba yang menjadi dominan pertumbuhanya akibat
penggunaan antibiotik terutama spektrum luas, misalnya penggunaan tetrasiklin dapat menyebabkan kandidiasis.
9
Faktor yang mempermudah timbulnya superinfeksi diantaranya adanya faktor atau penyakit yang mengurangi daya tahan pasien, penggunaan antibiotik terlalu
lama, dan luasnya spektrum aktivitas obat antibiotik. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi superinfeksi yaitu menghentikan terapi antibiotik yang sedang
digunakan, melakukan biakan kultur mikroba penyebab superinfeksi, dan memberikan suatu antibiotik yang efektif terhadap mikroba tersebut.
9
2.2 Alergi antibiotik
Ada dua jenis reaksi obat yang merugikan, yaitu reaksi yang dapat diprediksi dan reaksi yang tidak dapat diprediksi. Reaksi yang dapat diprediksi adalah over
dosis dan efek samping dan reaksi yang tidak dapat diprediksi adalah alergi. Antibiotik adalah salah satu obat yang paling sering menyebabkan alergi baik dalam
kasus orang dewasa maupun anak-anak. Diantara semua jenis antibiotik, antibiotik beta laktam penisilin dan sefalosofrin adalah penyebab alergi yang paling sering
terjadi. Selain penisilin, antibiotik sulfonamid juga dapat menyebabkan alergi yaitu sindrom Steven Johnson atau nekrolisis epidermal toksik.
21
Reaksi yang paling umum paling terjadi pada alergi antibiotik adalah erupsi kulit makulopapular, urtikaria, dan pruritus. Beberapa antibiotik juga dapat mengenai
organ selain kulit. Contohnya, kombinasi dari amoksisilin dan asam klavulanik dapat menyebabkan luka pada hati. Reaksi yang parah seperti anafilaksis juga dapat
terjadi.
6
Organ dalam yang seringkali terlibat pada alergi antibiotik adalah hati, ginjal, serta paru-paru.
1
Tabel 1. Klasifikasi alergi obat antibiotik
22
Tipe A farmakologi 85- 90
1. Efek samping 2. Interaksi obat
3. Lain-lain Tipe B hipersensitifitas
Mekanisme nonspesifik 1. Enzim yang rusak atau
tidak 2. Ketidakseimbangan
sitokin 3. Ketidakseimbangan
mediasi inflamasi 4.Dreganulasi sel mast non
spesifik
Reaksi imun spesifik alergi
Tipe 1: Ig-E Tipe 2: Ig-G
Tipe 3: desposisi imun kompleks
Tipe 4: sel termediasi
2.2.1 Patofisiologi alergi
Pasien yang mengalami alergi antibiotik memiliki sel limfosit T yang teraktivasi dalam sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik terstimulasi dengan
konsep p-i pharmacological interaction with immune receptors menghasilkan interleukin 5 IL-5 dan interferon gamma IFN-g. Interleukin 5 merupakan faktor
kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi eosinofil. Sementara itu IFN-g memiliki peran dalam up regulation major histocompatibility complex
MHC kelasII pada keratinosit. Aktivasi MHC kelas II tersebut selanjutnya akan mempresentasikan obat ke sel T CD4+.
1
Konsep p-i menjelaskan bahwa obat memiliki kesesuaianterhadap protein atau enzim tertentu sehingga mempengaruhikerjanya. Beberapa jenis obat dapat langsung
berikatan dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan selT akan mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadangreaksi yang timbul tidak
mengikuti kaidah respon imun yangada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan pertama tanpamemerlukan proses sensitisasi sebelumnya.Penjelasan lain adalah pada
reaksi eksantema makulopapular,reaksi yang berperan didominasi oleh aktivasi selT helper 2 Th2 reaksi hipersensitivitas tipe IV yang terkaitdengan sekresi IL-4, IL-5,
serta IL-13. Selain itu juga terdapathubungan dengan reaksi alergi tipe I, yaitu sekresi IL-4 danIL-13 akan meningkatkan produksi IgE.
1
Manifestasi klinis yang muncul pada pasien alergi antibiotik baik pada kulit maupun organ terkait dengan peningkatanproliferasi klon limfosit T CD8 yang telah
teraktivasi terhadap antigen virus sebelumnya oleh obat pencetus. Dugaanketerlibatan infeksi virus tersebut juga berdasarkan gambaranklinis pasien alergi antibiotik yaitu
adanya demam, edema pada wajah,limfadenopati, monositosis, mononukleosis, serta hepatitisyang konsisten dengan gambaran infeksi virus. PenelitianPicard et al
memperlihatkan bahwa sebesar 76 pasienalergi antibiotik mengalami reaktivasi terhadap EBV, HHV-6, dan HHV-7. Limfosit T CD8 akan meningkat jumlahnya di
dalam darahserta jaringan yang terlibat seperti kulit, hati, maupun paru.Selain itu limfosit T CD8 meningkatkan sekresi sitokin yaituTNF-a, IL-2, dan IFN-g.
Tingginya produksi sitokin tersebutterkait dengan gangguan organ dalam yang lebih berat.
1
Peningkatan kadar berbagai mediator inflamasi tersebut bertahan selama kurang lebih 3 bulan. Hal tersebut mungkinmenjelaskan memanjangnya periode gejala klinis
yang dialamipasien alergi antibiotik meskipun obat pencetus telah dihentikan. Keterlibatan paru serta hipereosinofilia yang terjadi dikaitkandengan peningkatan
transkripsi IL-17. Peningkatan aktivitastranskripsi IL-17 tersebut sedikit berbeda dengan penelitilain yang memperlihatkan bahwa IL-5 lebih berperan dalamterjadinya
hipereosinofilia.
1
2.2.2 Tipe hipersensitivitas alergi antibiotik
Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan alergi obat.Menurut waktuinterval timbulnya reaksi, alergi obat terdiri dari reaksi yang timbul segera, dipercepat dan
tertunda. Reaksi yang timbul segera IgE-mediatedterjadi hingga 1 jam setelah terpapar alergen. Reaksi tidak langsung atau yang dipercepatberlangsung selama 1-72
jam dan reaksi yang tertunda lebih dari 72jam. Reaksi yang timbul segera contohnya adalah anafilaksis,urtikaria, angioedema dan bronkospasme. Reaksi yang dipercepat
ataupun reaksi yang tertunda contoh manifestasinya adalahserum sickness,nefritis interstitial, anemia hemolitik, morbiliformisletusan dan sindrom Stevens Johnson.
23
2.2.2.1 Tipe 1 Reaksi Anafilaksis
Mekanisme ini yang paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig-E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari
obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang
sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin
dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulkan
syok.
24
Pada kontak pertama, alergen diinternalisasi oleh sel B yang hadir bersama sel TH2 T helper 2. Sel B kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang melepaskan imunoglobulin E IgE. IgE mengikat sel mast dan basofil. Pada kontak berikutnya, antigen telah mengikat sel mast IgE. Karena rilis cepat
sebagian besar vasoaktif mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien dan platelet activating factor PAF, reaksi langsung anafilaksis terjadi dalam hitungan detik
atau menit yang dapat disebut juga reaksi hipersensitivitas langsung. Efek vasodilatasi dari reaksi jenis ini dapat menimbulkan syok anafilaksis.
25
2.2.2.2 Tipe II Reaksi Autotoksis
Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan
lisis.
24
Pada reaksi tipe II, sistem kekebalan tubuh terutama menyerang sel dengan sifat antigenik. Hal ini dapat disebabkan oleh transfusi eritrosit dari golongan darah
yang salah atau pengikatan hapten misalnya, obat-obatan untuk sel endogen. Pengikatan hapten ke trombosit juga dapat menjadi penyebab, misalnya
mengakibatkan trombositopenia.
25
2.2.2.3 Tipe III Reaksi Kompleks Imun
Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam
jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan
terjadi kerusakan ringan.
24
Reaksi ini disebabkan oleh antigen antibodi kompleks. Jika antigen antibodi yang tersedia berlebih, kompleks antigen-antibodi akan larut dan beredar di darah
untuk waktu yang lama dan menetap terutama di kapiler, sehingga subjek dinding kapilari diserang oleh sistem komplemen. Hal ini menyebabkan perkembangan serum
sickness terutama gejala nyeri sendi dan demam.
25
2.2.2.4Tipe IV Reaksi Alergi Tipe Lambat
Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam
setelah pajanan terhadap antigen.
24
Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut . Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi IgE-mediated maka yang
terjadi adalah reaksi tipe I anafilaksis. Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi
hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan
reaksiimun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE non IgE- mediated.Perlu diingat bahwa dapat saja terjadialergi obat melalui keempat
mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Alergi obat melalui mekanisme
tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.
24
Tabel 2. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas obat
24
Reaksi imun Mekanisme
Klinis Waktu reaksi
Tipe I diperantarai Ig-
E Kompleks Ig-E
obat berikatan dengan sel mast
melepaskan histamin dan
Urtikaria, angioedema,
bronkospasme, muntah, diare,
anafilaksis Menit sampai jam
setelah paparan
mediator lain
Tipe II sitotoksik
Antibodi Ig-M atau Ig-G
spesifik terhadap sel hapten-obat
Anemia hemolitik, neutropenia,
trombositopenia Variasi
Tipe III kompleks imun
Deposit jaringan dari kompleks
antibodi obat dengan aktivasi
komplemen Serum sickness,
demam, ruam, artralgia,
limfadenopati, vaskulitis,
urtikaria 1-3 minggu setelah
paparan
Tipe IV lambat,
diperantarai oleh selular
Presentasi molekul obat
oleh MHC kepada sel T
dengan pelepasan
sitokin Dermatitis kontak
alergi 2-7 hari setelah
paparan
2.2.3 Diagnosa alergi antibiotik
Setiap obat yang diberikan harus dipertimbangkan secara bijaksana maka itu diperlukan pemeriksaan untuk mendiagnosa apakah antibiotik dapat diberikan pada
pasien. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi anamnesa atau menanyakan riwayat klinis dan tes kulit pada pasien.
26
2.2.3.1 Riwayat klinis
Hipersensitivitas antibiotik biasanya didiagnosa berdasarkan riwayat klinis, terutama tepat pada saat penggunaan antimikroba. Apakah pasien menderita alergi,
keterangan lengkap tentang reaksi alergi tersebut, waktu terjadi alergi, apakah
bersamaan dengan penyakit dan obat-obatan, dan hasilnya harus segera didapatkan, didokumentasikan, dan diberikan kepada spesialis imunologis atau alergi.
26
2.2.3.2 Tes diagnostik
Tes diagnostik bertujuan untuk mendeteksi atau memperkirakan kemungkinan alergi obat. Salah satunya adalah tes kulit. Tesi kulit merupakan tes untuk mengetahui
adanya Ig-E spesifik terhadap obat tertentu. Tes kulit dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Apabila ingin melakukan tes kulit pasien harus
dirujuk ke ahli alergi. Tes kulit dilakukan dengan pemberian penicilloyl polylysine dan beberapa determinan baik penisilin G diencerkan 10.000 U per mililiter atau
campuran 10-2 M benzil penicilloate, benzil penilloate, dan benzil-n-propylamine. Tes kulit dengan bahan penuh dilakukan terlebih dahulu, dan jika tes ini negatif pada
15 menit, maka diikuti oleh pengujian intrakutan. Peningkatan diameter minimal 3 mm dibandingkan dengan hasil negatif sebelumnya kehadiran eritema merupakan
tanda hasil yang positif. Kurang dari 20 persen pasien yang melaporkan riwayat alergi penisilin terdeteksi antibodi IgE-penisilin tertentu pada saat pengujian kulit. Hasil
negatif menunjukkan bahwa reaksi sebelumnya tidak dimediasioleh IgE atau antibodi tidak hadir; baik kasus, penisilin dapat diberikan lagi denganrisiko minimal
reaksi langsung.
6
Gambar 1. Tes kulit yang dilakukan pada pasien sebelum diberikan antibiotik.
1
2.2.4 Manifestasi klinis alergi antibiotik
Mengenal manifestasi reaksi alergi antibiotik sangatlah penting karena harus diatasi sesegera mungkin. Jika tidak maka akan terjadi reaksi yang lebih parah dan
dapat mengancam hidup.Manifestasi alergi antibiotik dapat terjadi begitu cepat dalam beberapa menit setelah pemberian obat atau lambat beberapa hari setelah
pemberian obat. Sekitar setengah dari semua reaksi alergi terjadi satu minggu setelah pemberian obat dan kebanyakan simptom hilang dalam tiga sampai lima hari setelah
penghentian obat. Reaksi yang timbul dalam setengah jam diperkirakan lebih berbahaya, sementara itu reaksi yang timbul pada hari berikutnya biasanya relatif
ringan.
6
Berbagai manifestasi alergi antibiotik dapat terjadi, dipengaruhi oleh obat yang diberikan, frekuensi penggunaannya, dan jenis mekanisme imun yang terlibat. Reaksi
alergi dapat mempengaruhi banyak sistem organ yaitu kulit, paru, liver, ginjal dan pembuluh darah. Manifestasinya mulai dari gatal lokal ringan, reaksi pada kulit
urtikaria atau angioedema, erupsi eksemantosa, Sindrom Steven Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik sampai syok anafilaktik fatal yang mengancam hidup.
24
2.2.4.1 Urtikaria atau angioedema
Urtikaria adalah gangguan umum yang terjadi secara berulang seperti pruritus gatal, edema kemerahan bengkak, lesi yang pucat bercak. Lesi memiliki
berbagai ukuran dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, dan bersifat sementara, yang berlangsung selama kurang dari 48 jam [1-4].
27
Sekitar 40 pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema pembengkakan yang terjadi di bawah kulit. Dikatakan angioedema apabila dermis
bagian dalam mengalami edema. Angioedema yang timbul biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2 jam tetapi kadang dapat bertahan
selama dua sampai lima hari. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon yang cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya.
27
Urtikaria umumnya diklasifikasikan sebagai akut, kronis, atau fisik, tergantung pada durasi dari gejala dan ada atau tidaknya rangsangan. Urtikaria akut mengacu
pada lesi yang terjadi selama kurang dari 6 minggu, dan urtikaria kronis lesi yang terjadi selama lebih dari 6 minggu; biasanya diasumsikan bahwa lesi yang hadir
hampir setiap hari dalam seminggu. Meskipun urtikaria akut umumnya dapat dengan
mudah dikelola dan berhubungan dengan prognosis yang baik, kronis, urtikaria berat sering dikaitkan dengan morbiditas yang signifikan dan kurangnya kualitas hidup.
Urtikaria fisik juga cenderung lebih berat dan tahan lama, dan seringkali sulit untuk diobati. Angioedema memiliki evaluasi dan manajemen penatalaksanaan yang sama
dengan urtikaria.
27
Gambar 2. Urtikaria akibat penggunaan ampisilin
26
Gambar 3. Urtikaria akibat penggunaan penisilin
26
Berikut merupakan klasifikasi dari urtikaria :
1. Urtikaria akut
Penyebab paling umum dari urtikaria akut dengan atau tanpa angioedema adalah obat-obat, makanan, infeksi virus, infeksi parasit, racun serangga, dan alergen
kontak, terutama hipersensitivitas lateks. Obat diketahui sering menyebabkan urtikaria ± angioedema meliputi antibiotik terutama penisilin, dan sulfonamid
27
2. Urtikaria kronis
Urtikaria kronis lebih sering terjadi pada orang dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Secara umum, urtikaria kronis diklasifikasikan sebagai
urtikaria autoimun kronis atau urtikaria idiopatik kronis. Pasien dengan urtikaria idiopatik kronis tidak memiliki autoimun. Dalam bentuk urtikaria, tampaknya ada
aktivasi terus menerus dari sel mast, tetapi pemicu mekanisme sel mast tidak diketahui. Meskipun jarang, urtikaria kronis juga dapat merupakan manifestasi dari
penyakit sistemik.
27
2.2.4.2 Erupsi eksemantosa
Lebih dari 90 erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksemantosa. Erupsi yang muncul dapat berbentuk mobiliformis atau makulopapuler. Pada
mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar
ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri
dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ditanai dengan perubahan kulit dari merah terang ke warna cokelat kemerahan, yang disertai dengan adanya deskuamasi
kulit.
24
Erupsi eksemantosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin, dan sulfonamid. Jika kelainan timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut
eksantema fikstum.
24
Gambar4.Erupsi eksemantosa akibat penggunaan obat golongan
sefalosoprin.
24
2.2.4.3 SSJ Sindrom Steven Johnson
SSJ merupakan suatu sindroma kumpulan gejala yang mengenai kulit, selaput sendiri di orifisum dan mata dengan keadaan umum yang beravariasi dari ringan
sampai berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan penyakit kulit. Perjalanan penyakit sangat akut dan
mendadak dapat di sertai gejala prodormal berupa demam tinggi 30C – 40C, mulai nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu.
Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta
menurunnya kesadaran.
24
Gambar 5. Sindrom Steven Johnson SSJ
26
2.2.4.4 NET Nekrolisis Epidermal Toksik
NET adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisum
genetalia eksterna dan mata. Umumnya TEN terjadi pada orang dewasa. TEN merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan
keseimbangan cairanelektrolit atau sepsis.
24
2.2.4.5 Syok Anafilaktik
Jenis reaksi ini biasanya sangat keras, sering terjadi tanpa peringatan dalam beberapa detik sampai menit setelah pemberian obat-obatan seperti vaksin, toksoid,
globulin imun, antitoksins, tes tuberkulin kulit, antibiotik seperti penisilin, serbuk sari atau ekstrak alergi lainnya, atau setelah disengat oleh serangga berbisa.
24
Tanda-tanda atau gejalanya yaitu dapat berkembang dengan cepat dan dramatis: menimbulkan rasa takut, gatal-gatal, kemerahan dari wajah, gatal substernal,
stridorous atau sesak nafas, sianosis, penurunan tekanan darah, dan kehilangan kesadaran. Kematian dapat terjadi segera apabila terjadi kesulitan penanganan pada
tanda pertama, atau pasien mungkin pulih dari tanda-tanda dan gejala awal namun dalam 30-60 menit berikutnya terjadi urtikaria, angioedema, coriza akut, spasme
bronkus, usus dan rahim kolik dan diare.
28
Syok anafilaktik dapat menimbulkan sinkop atau kehilangan kesadaran secara mendadak. Tanda-tanda atau gejalanya adalah wajah pucat, nadi melemah, nausea,
muntah dan berkeringat.
28
2.3 Penatalaksanaan
Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat antibiotik adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh.
Epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan
kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dilakukan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya diharuskan untuk memilih
antara risiko alergi obat atau manfaat dari obat tersebut karena keduanya memiliki efek yang sama besar.
24
Secara umum penatalaksanaan alergi obat antibiotik adalah dengan menghentikan pemberian obat tersebut, menjaga kondisi pasien dari kemungkinan
terjadinya erupsi yang lebih parah, menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuh seperti infus misalnya berupa glukosa 5 dan larutan
Darrow. Dan apabila terapi tidak mengalami kemajuan, dapat dilakukan transfusi darah.
24
Setelah pemakaian antibiotik yang diduga menyebabkan alergi dihentikan, dapat diberikan antibiotik pengganti seperti pemberian antibiotik vankomisin atau
fluorokuinolon pada pasien yang alergi terhadap penisilin atau pemberian antibiotik siprofloksasin pada pasien yang alergi terhadap antibiotik amoksisilin.
24
2.3.1 Antihistamin
Antihistamin merupakan obat andalan untuk reaksi alergi urtikaria. Antihistamin sangat baik dalam mengobati urtikaria akut maupun kronis.
Antihistamin yang sering digunakan adalah seperti feksofenadin, desloratadin, loratadin, cetirizin. Antihistamin sangat baik apabila dikonsumsi berhari-hari dari
pada hanya sekali saat alergi kambuh. Pengobatan akan berhasil dengan baik apabila dosis yang diberikan lebih ditingkatkan dari dosis yang dianjurkan.
27
Tabel 3. Antihistamin yang diindikasi dan biasa digunakan dalam perawatan urtikaria
27
Antihistamin Dosis dewasa
Generasi kedua antihistamin resepetor H1 Cetirizin
10-40 mg perhari Desloratadin
5-20 mg perhari Feksofenadin
120-480 mg perhari Loratadin
10-40 g perhari
2.3.2 Kortikosteroid
Untuk beberapa pasien yang menderita urtikaria berat dan tidak berhasil menggunakan antihistamin, dapat menggunakan kortikosteroid oral seperti prednison
dengan dosis 40 mg perhari selama 7 hari. Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang harus dihindari karena akan timbul efek samping yang tidak baik bagi
tubuh.
27
Kortikosteroid juga diberikan pada reaksi alergi Sindrom SSJ atau NET yang ringan yaitu prednison dengan dosis 30-40mghari. Sedangkan pada SSJ atau NET
yang berat digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mghari. Apabila kondisi mulai membaik dosis diturunkan secara cepat sebanyak 5 mg sehari
lalu diganti dengan prednison dengan dosis 20 mg hari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 10mg. Total lama pengobatan SSJ atau NET kurang lebih adalah
10 hari.
29
2.3.3 Desensitisasi
Desensitisasi atau imunoterapi ialah terapi yang dilakukan dengan cara memberikan alergen sedikit demi sedikit untuk membangkitkan pembentukan Ig-G
yang disebut blockingantibody. Ig-G tersebut akan mengikatalergen yang masuk tubuh sehingga tidak ada lagi alergen yang dapat diikat oleh Ig-E. Desensitisasi
memerlukan waktu yang lama, mahal, mempunyai resiko terjadinyasyok anafilaktik, dan hanya dilakukan pada indikasi kuat.
27
Desensitisasi harus dipertimbangkan pada pasien yang pernah mengalami reaksi yang diperantarai Ig-E terhadap penisilin dan memerlukan penisilin untuk terapi
infeksi yang berat seperti endokarditis bakterial dan meningitis. Desensitisasi harus dikerjakan dengan pengawasan khusus dari seorang spesialis. Pemberian secara oral
untuk desensitisasi lebih sering dilakukan karena hanya memiliki kemungkinan kecil untuk terjadi reaksi yang mengancam nyawa. Desensitisasi dapat dilakukan untuk
pasien yang terkena reaksi alergi sulfonamid dan sefalosoprin.
24
2.3.4 Penatalaksanaan syok anafilaktik
Apabila komplikasi syok anafilaktik terjadi segera setelah menerima obat maka
tindakan yang perlu dilakukan adalah:
a. Baringkan pasien pada posisi horizontal dengan kaki dinaikkan b. Lakukan penilaian A,B,C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu airway,
breathing support, dan circulation support. c. Berikan injeksi larutan adrenalin epinefrin 1:1000 dengan perlahan-lahan
sebanyak 0,3-0,4 ml. Pemberian dapat diulangi sampai beberapa kali tiap 5 sampai 10 menit apabila tekanan darah sistolik belum mencapai 90mmHg.
d. Berikan injeksi hidrokortison suksinat 200mg untuk menekan reaksi alergi selanjutnya.
e. Berikan injeksi klorpeniramin maleat piriton 10-20 mg untuk mengurangi pelepasan histamin yang lebih banyak.
f. Berikan oksigen untuk memperbaiki jalan nafas akibat edema laring dan bronkospasme.
g. Minta bantuan medis atau ambulans. Pertolongan medis harus diperoleh dan pasien harus dipindahkan ke rumah sakit secepat mungkin untuk observasi atau
perawatan lebih lanjut jika diperlukan.
24
Gambar 6. Skema penatalaksanaan syok anafilaktik
24
Alergi antibiotik ringan sampai sedang prognosanya sangat baik. Kebanyakan orang akan menjadi lebih baik dalam 48 sampai 72 jam dengan perawatan dan
penghentian obat. Prognosa untuk alergi antibiotik berat juga baik jika perawatan yang tepat dan segera diberikan.
24
KERANGKA KONSEP
Pengetahuan antibiotik dan
penatalaksanaan alergi antibiotik • Antibiotik
- Definisi antibiotik - Klasifikasi antibiotik
- Indikasi penggunaan antibiotik di bidang kedokteran gigi
- Efek samping
• Alergi antibiotik - Patofisiologi alergi
- Tipe hipersensitivitas alergi antibiotik
- Diagnosa alergi antibiotik - Manifestasi klinis alergi antibiotik
• Penatalaksanaan - Antihistamin
- Kortikosteroid - Teknik Desensitisasi
- Penatalaksanaan syok anafilaktik Mahasiswa Kepaniteraan Klinik
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis penelitian