Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Antibiotik Dan Penatalaksanaan Alergi Antibiotik Di Klinik Bedah Mulut Fkg Usu 2015

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK

TERHADAP ANTIBIOTIK DAN PENATALAKSANAAN ALERGI

ANTIBIOTIK DI KLINIK BEDAH MULUT FKG USU 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

DIAN M P Br SITINJAK NIM: 100600112

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2015

Dian M P Br. Sitinjak

Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap antibiotik dan alergi antibiotik dan penatalaksanaan alergi antibiotik di klinik bedah mulut FKG USU 2015.

xi + 53 halaman

Antibiotik adalah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme. Salah satu efek samping dari antibiotik adalah alergi antibiotik. Alergi antibiotik merupakan keadaan yang jarang terjadi di praktik dokter gigi, tetapi bisa saja terjadi setiap waktu atau pada saat yang tidak terduga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kategori tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik bedah mulut FKG USU terhadap antibiotik dan penatalaksanaan alergi antibiotik terhadap pasien. Jenis penelitian ini adalah survey deskripstif dengan populasi seluruh mahasiswa kepaniteraan klinik yang sedang berada di Departemen Bedah Mulut FKG USU pada periode November 2014 sampai Febuari 2015. Seluruh populasi dijadikan sampel (total sampling), yaitu sebanyak 42 orang. Data dikumpul dengan cara penyebaran kuesioner yang diberikan langsung kepada responden dan diisi langsung oleh responden. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah secara komputerisasi dan dihitung dalam bentuk persentase. Hasil penelitian terhadap pengetahuan antibiotik yang menunjukkan kategori baik sebanyak 19,0%, kategori cukup sebanyak 59,5% dan kategori kurang sebanyak 21,4%. Hasil penelitian terhadap pengetahuan penatalaksanaan alergi antibiotik yang menunjukkan kategori baik sebanyak 35,7%, kategori cukup sebanyak 42,8% dan kategori kurang sebanyak 21,4%. Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap antibiotik dan penatalaksanaan alergi antibiotik termasuk kategori cukup, sehingga diperlukan


(3)

upaya untuk meningkatkan pengetahuan responden mengenai antibiotik dan penatalaksanaan alergi antibiotik.


(4)

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK

TERHADAP ANTIBIOTIK DAN PENATALAKSANAAN ALERGI

ANTIBIOTIK DI KLINIK BEDAH MULUT FKG USU 2015

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh:

DIAN M P Br SITINJAK NIM: 100600112

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(5)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 11 April 2015

Pembimbing : Tanda Tangan

1. Olivia Avriyanti Hanafiah,drg., Sp.BM 1... NIP. 19730422 199802 2 001

2. Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes 2... NIP : 19790625 2003 12 2002


(6)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan

di hadapan tim penguji pada tanggal 11 April 2015

TIM PENGUJI

KETUA : Abdullah, drg

ANGGOTA : 1. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM 2. Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes

3. Ahyar Riza, drg., Sp.BM 4. Rahmi Syaflida, drg., Sp.BM


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga pada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Ir. Edison Sitinjak dan Ibunda Anivera Manullang SH atas segala pengorbanan, doa, dukungan, cinta dan kasih sayangnya kepada penulis. Terima kasih kepada adik tercinta Agnes Kartika Yunita Sitinjak dan Christian Galileo Sitinjak yang selalu memberikan semangat dan inspirasi bagi penulis.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan dan saran-saran, dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Eddy A.Ketaren., drg., Sp.BM selaku ketua Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, atas segala saran, dukungan dan bantuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

2. Olivia Avriyanti Hanafiah, drg., Sp.BM selaku dosen pembimbing pertama yang telah banyak membantu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

3. Gema Nazri Yanti, drg., M.Kes selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak membantu meluangkan waktu, tenaga dan pikiran kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Taqwa Dalimunthe, drg., Sp.KGA selaku penasehat akademik yang telah membimbing dan mengarahkan penulis selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Kedokteran Gigi Univeristas Sumatera Utara terutama di Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial.


(8)

6. Anita Siregar SKG, Letario Sidabutar, Naftalia Paramita Barus SKG, Aryani Agiza, Natasya Claudia SKG, Santi Simbolon, Chintya Pratiwi Putri SKG, dan seluruh teman-teman angkatan 2010.

7. Sahabat-sahabat terbaik penulis, Yolanda Sihombing SKG, Grace Sembiring SE, Alemmina Sembiring S.Ked, dan Devina NA Marbun yang telah banyak mendoakan, membantu dan memberi saran kepada penulis.

8. Teman-teman seperjuangan skripsi di Departemen Bedah Mulut 2015 atas bantuan dan semangatnya, adinda dan kakanda di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapakan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Medan, 11 April 2015 Penulis

(Dian M.P Br. Sitinjak) NIM: 100600112


(9)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ...

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Permasalahan ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik ... 5

2.1.1 Definisi Antibiotik ... 5

2.1.2 Klasifikasi Antibiotik ... 6

2.1.2.1 Antibiotik β-laktam ... 6

2.1.2.2 Antibiotik Makrolida ... 8

2.1.2.3 Linkomisin ... 9

2.1.2.4 Antibiotik Aminoglikosida ... 9

2.1.2.5 Kuinolon ... 10

2.1.2.6 Metronidazol ... 10

2.1.5 Indikasi Penggunaan Antibiotik di Bidang Kedokteran Gigi . 11

2.1.6 Efek Samping ... 13

2.2 Alergi Antibiotik ... 15

2.2.1 Patofisiologi Alergi ... 16

2.2.2 Tipe Hipersensitivitas Alergi Antibiotik ... 17

2.2.2.1 Tipe I (reaksi anafilaksis) ... 17

2.2.2.2 Tipe II (reaksi autotoksis) ... 18

2.2.2.3 Tipe III (reaksi kompleks imun) ... 18

2.2.2.4 Tipe IV (reaksi alergi tipe lambat) ... 19

2.2.3 Diagnosa Alergi Antibiotik ... 20


(10)

2.2.3.2 Tes Diagnostik ... 21

2.2.4 Manifestasi Klinis Alergi Antibiotik ... 21

2.2.4.1 Urtikaria dan Angioedema ... 22

2.2.4.2 Erupsi Eksemantosa ... 24

2.2.4.3 SSJ (sindrom Steven Johnson) ... 25

2.2.4.4 NET (nekrolisis epidermal toksik) ... 26

2.2.4.5 Syok Anafilaktik ... 26

2.3 Penatalaksanaan ... 27

2.3.1 Antihistamin ... 27

2.3.2 Kortikosteroid ... 28

2.3.3 Desensitisasi ... 28

2.3.5 Penatalaksanaan Syok Anafilaktik ... 29

2.4 Kerangka Konsep ... 31

BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian... 32

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 32

3.3 Populasi dan Sampel ... 32

3.4 Variabel dan Definisi Operasional ... 32

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 37

3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 37

3.7 Aspek Pengukuran ... 37

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden ... 39

4.2 Pengetahuan Responden tentang Antibiotik ... 39

4.3 Pengetahuan Responden tentang Penatalaksanaan Alergi Antibiotik ... 41

BAB 5 PEMBAHASAN ... 44

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 52

6.2 Saran ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi alergi obat antibiotik ... 15

2. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas obat ... 19

3. Antihistamin yang diindikasi dan biasa digunakan dalam perawatan urtikaria ... 28

4. Variabel dan definisi operasional ... 32

5. Kategori nilai pengetahuan antibiotik ... 38

6. Kategori nilai pengetahuan penatalaksanaan alergi antibiotik ... 38

7. Persentasi distribusi karakteristik responden ... 39

8. Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang antibiotik (n=42) ... 40

9. Kategori pengetahuan responden tentang antibiotik (n=42) ... 41

10. Distribusi frekuensi pengetahuan responden tentang alergi antibiotik dan penatalaksanaannya (n=42) ... 42

11. Kategori pengetahuan responden tentang penatalaksanaan alergi antibiotik (n=42) ... 43


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tes kulit yang dilakukan pada pasien sebelum diberikan antibiotik ... 21

2. Urtikaria akibat penggunaan ampisilin ... 23

3. Urtikaria akibat penggunaan penisilin ... 23

4. Erupsi eksemantosa akibat penggunaan obat golongan sefalosporin ... 25

5. Sindrom Steven Johnson (SSJ) ... 26


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Daftar riwayat hidup 2. Kuesioner


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring dengan munculnya obat-obat baru dalam upaya diagnosis dan tata laksana penyakit, maka akan terjadi juga peningkatan angka kejadian reaksi obat yang menyimpang (adverse drug reactions). Reaksi obat yang menyimpang adalah respon yang tidak diinginkan atau diharapkan pada pemberian obat dalam dosis terapi, diagnosis, atau profilaksis. Salah satu reaksi simpang obat adalah reaksi alergi obat, dimana diperkirakan sekitar 6-10% dari reaksi obat yang menyimpang merupakan reaksi alergi.1

Alergi ialah reaksi imunologis berlebihan dalam tubuh yang timbul segera atau dalam rentan waktu tertentu setelah eksposisi atau kontak dengan zat tertentu (alergen).Reaksi alergi obat yang paling umum adalah terhadap golongan antibiotik berupa penisilin, sulfonamid, sefalosporin, anestesi lokal, anestesi umum, golongan analgesik berupa asam asetilsalisilat (ASA) dan anti inflamasi non-steroid.2

Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada tahun 1910, sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami peningkatan yang luar biasa, tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi masalah di negara maju seperti Amerika Serikat. Antibiotik adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisme (khususnya dihasilkan oleh fungi) atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan bakteri dan organisme lain.3

Diperkirakan sebanyak 10 % pemberian antibiotik pada dunia kedokteran gigi juga berkaitan dengan infeksi pada gigi. Antibiotik kebanyakan digunakan pada infeksi odontogenik, infeksi oral non-odontogenik, sebagai pencegahan melawan infeksi fokal dan sebagai pencegahan pada infeksi lokal serta penyebaran pada jaringan dan organ di sekitarnya.4


(15)

Dalam kedokteran gigi,untuk semua jenis pencabutan gigi yang dilakukan, protokol rutin antibiotik umumnya diresepkan oleh sebagian besar dokter, dimana penggunaannya mulai dari 24 jam pertama sampai 5 hari ke depan.5Bukti menunjukkan, meresepkan antibiotik setelah pencabutan gigi molar tiga yang impaksi dapat mengurangi keparahan nyeri paska operasi. Ada pula beberapa antibiotik yang digunakan dalam pembedahan gigi, biasanya bertujuan untuk mengurangi efek samping yang mungkin timbul setelah pembedahan. Dalam pemasangan implan pada gigi juga diperlukan pemberian antibiotik untuk mencegah adanya infeksi bakteri yang dapat mengakibatkan kegagalan implan. Dengan pemberian antibiotik, tingkat kegagalan pemasangan implan dapat berkurang. Antibiotik profilaksis untuk prosedur gigi terutama kasus yang menyebabkan perdarahan di rongga mulut, telah menjadi penggunaan umum diantara dokter gigi. Antibiotik digunakan sebagai tambahan dari obat yang lain, dan tidak akan memberikan efek apapun apabila tidak disertai dengan obat yang lain.4

Seperti kebanyakan reaksi alergi, reaksi alergi terhadap antibiotik terdiri dari berbagai derajat keparahan. Penisilin, diikuti oleh sefalosporin dan tetrasiklin, yang paling sering terlibat dalam reaksi ini. Perkiraan prevalensi alergi antibiotik bervariasi. Setiap organ bisa terkena, tetapi paling umum terjadi pada kulit.7Meskipun reaksi alergi terhadap antibiotik hanya sedikit, hal ini tetap menjadi penting karena berhubungan dengan angka kesakitan dan angka kematian serta perawatan kesehatan.6

Alergi obat merupakan suatu hal yang perlu dipahami oleh seorang dokter. Jenis alergi yang paling sering terjadi akibat antibiotik adalah ruam kulit, gatal dan pembengkakan pada wajah. Akibat yang ditimbulkan tidak jarang berakhir dengan kecacatan atau kematian, serta terkadang menyebabkan dokter berurusan dengan aspek medikolegal.Syok anafilaktik termasuk reaksi alergi yang berbahaya seringterjadipembengkakan, gatal-gatal, menurunkantekanan darah, danpada kasus berat terjadi syok. Pengenalan dini kondisi berat dapat menurunkan angka kecacatan dan kematian.1


(16)

Di fakultas kedokteran gigi farmakologi merupakan salah satu ilmu yang diberikan. Ilmu Farmakologi mencakup pengetahuan mengenai sifat-sifat obat, efek obat dan mekanisme terjadinya efek obat. Pengetahuan ini sangat penting sebagai dasar atau fondasi dalam pemakaian obat di klinik. Disamping itu farmakologi juga memberikan beberapa informasi yang terkait dengan pemakaian obat dalam klinik, misalnya: indikasi, dosis, efek toksik, efek samping dan sebagainya. Dengan mempelajari farmakologi di harapkan mahasiswa kedokteran gigi memahami obat-obatan yang digunakan untuk penyakit gigi dan mulut, termasuk efek samping dan interaksinya.7

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk meneliti tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik khususnya di Departemen Bedah Mulut FKG USU mengenai antibiotik dan penatalaksaan alergi antibiotik yang sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi. Mahasiswa kepaniteraan klinik dipilih karena mahasiswa kepaniteraan klinik tengah melakukan praktik perawatan gigi langsung kepada pasien dan turut memberikan antibiotik setelah perawatan dilakukan.

1.2 Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimana pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU tentang antibiotik danpenatalaksanaan alergi antibiotik di Departemen Bedah Mulut FKG USU.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU terhadap antibiotik.

2. Mengetahui tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU terhadap penatalaksanaan alergi antibiotik.


(17)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan akan digunakan :

1. Sebagai masukan bagi Departemen Bedah Mulut FKG USU terhadap pengetahuan tentang antibiotik.

2. Sebagai masukan bagi Departemen Bedah Mulut FKG USU dalam melakukan penatalaksanaan alergi antibiotik.

3. Sebagai tambahan referensi di Departemen Bedah Mulut FKG USU.

4. Sebagai tambahan pengetahuan bagi peneliti, dan sebagai bahanperbandingan antara praktik dengan teori yang ada.


(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Antibiotik

Pada dasarnya, antibiotik diresepkan berdasarkan pengalaman dengan kata lain dokter gigi tidak mengetahui mikroorganisme apa yang menyebabkan terjadinya peradangan, karena kultur pus (nanah) atau eksudat tidak umum dibuat. Oleh karena itu, antibiotik spektrum luas yang umum diresepkan.8

Rongga mulut manusia mengandung berbagai mikroorganisme. Namun demikian, tidak semua mikroorganisme berpotensi patogen pada manusia, beberapa jenis bakteri yang berhubungan dengan peradangan oral di antaranya bakteri kokus, basil, organisme gram positif dan gram negatif, aerob dan anaerob.8

2.1.1 Definisi antibiotik

Antimikroba adalah obat pembasmi mikroba atau jasad renik yang tidak termasuk parasit, khususnya mikroba yang merugikan manusia.9 Sedangkan antibiotik ialah zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme.10 Dalam praktek sehari – hari, antimikroba sintetik yang tidak diturunkan dari produk mikroba (misalnya sulfonamid dan kuinolon) juga sering digolongkan sebagai antibiotik.9

Selain dari hasil metabolisme mikroorganisme, antibiotik juga dapat dibuat dari bahan alam yaitu dari beberapa hewan dan tanaman, serta dapat pula dibentuk antibiotik baru secara sintesis parsial yang sebagian mempunyai sifat yang lebih baik. Dari beribu – ribu jenis antibiotik yang telah ditemukan, hanya sebagian kecil yang dapat dipakai untuk tujuan terapeutik. Hanya antibiotik yang mempunyai kadar hambatan minimum (KHM) in vitrolebih kecil dari kadar yang dapat dicapai dalam tubuh dan tidak toksik, yang dapat dipakai.10


(19)

2.1.2 Klasifikasi antibiotik

Berdasarkan struktur kimianya, antibiotik dibedakan atas beberapa kelompok

yaitu (1) Antibiotik β-laktam yang terdiri atas golongan penisilin dan derivatnya, sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam; (2) Antibiotik makrolida dan ketolida; (3) Linkosamida; (4) Metronidazole; (5) Tetrasiklin; (6) Glisilsiklin; (7) Golongan kuinolon/fluoro-kuinolon; (8) Golongan aminoglikosida; (9) Vankomisin; (10) Steptogramin; (11) Oksasolidinon; (12) Sulfonamida; (13) Kloramfenikol.11

Di praktik kedokteran gigi, tidak semua jenis antibiotik digunakan, hanya

beberapa jenis saja yang umum digunakan diataranya antibiotik golongan β-laktam (seperti amoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat, ampisilin, sefadroksil, sefaleksin, sefazolin, dan penisilin), linkosamida(seperti klindamisin), makrolida (seperti azitromisin, eritromisin), kuinolon atau fluorokuinolon (seperti siprofloksasin), aminoglikosida (seperti gentamisin), dan metronidazole.8

2.1.2.1 Antibiotik β-laktam

Antibiotik β-laktam menjadi antibiotik yang banyak digunakan karena aktivitas spektrumnya luas dan toksisitasnya yang relatif kurang walaupun insiden terhadap alergi relatif tinggi. Antibiotik jenis ini terdiri dari lima kelompok yang memiliki

nukleus β-laktam berbeda yaitu penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam, dan karbasefem. Penisilin dan sefalosporin adalah antibiotik yang paling penting, diikuti dengan karbapenem, monobaktam, dan karbasefem yang menjadi cadangan pada kasus peradangan serius seperti peradangan nokosomial (yang didapat dari

rumah sakit). β-laktam memiliki aktivitas antibiotik dengan spektrum yang terluas, kecuali antibiotik dengan spektrum yang sangat sempit (seperti β-laktamase-resistant penicilin) dan spektrum yang sangat luas (seperti imipenem dan beberapa sefalosporin).11

Mekanisme kerja antibiotik β-laktam dapat diringkas dengan urutan sebagai berikut: (1) obat bergabung dengan penicilin-binding proteins (PBPs) pada bakteri; kemudian (2) terjadi hambatan sintesis dinding sel bakteri karena proses transeptidasi


(20)

antara rantai peptidoglikan terganggu; lalu (3) terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.12

1. Penisilin

Penisilin adalah istilah generik untuk kelompok antibiotik yang sama-sama memiliki nukleus cincin β-laktam.11 Obat ini efektif melawan sebagian besar bakeri

gram positif tetapi tidak aktif jika cincin β-laktamnya di pecah oleh β-laktamase.13 Modifikasi penisilin dapat terjadi karena struktur dasarnya (asam 6-amminopenisilanat) memungkinkan untuk penambahan berbagai rantai β-laktam dan cincin tiazolidin. Atas dasar modifikasi ini, penisilin dapat dibagi menjadi penisilin G

dan derivatnya, penisilin resisten β-laktamase, penisilin spektrum yang diperluas (Extended-Spectrum Penicillin), dan penisilin spektrum yang diperluas ditambah

inhibitor β-laktamase (Extended-Spectrum Penicillin Plus β-laktamase Inhibitors)11 Penisilin memiliki efek bakterisid dengan menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis dinding sel mikroba. Diantara semua penisilin, penisilin G mempunyai aktifitas terbaik terhadap mikroba Gram-positif yang sensitif. Walaupun kelompok ampisilin memiliki spektrum antibiotik yang lebar, tetapi aktivitasnya terhadap mikroba Gram-positif tidak sesuai penisilin G. Namun demikian kelompok ampisilin efektif terhadap beberapa mikroba Gram-negatif dan tahan asam, sehingga dapat diberikan per oral.12 Kombinasi penisilin dengan asam klavulanatmenjadi salah satu pilihan karena kerja antibiotiknya sangat lemah, tetapi dapat menghambat penisilinase dari steptokokus dan β-laktamase berbagai mikroba Gram-negatif dengan mengikat pusat aktif enzim tersebut. Karena itu asam klavulanat digunakan dalam kombinasi bersama antibiotik β-laktam yang tak

stabil terhadap β-laktamase.10

Pemberian antibiotik per oral lebih disukai pada perawatan pasien kedokteran gigi karena lebih aman, paling tepat, dan cara paling murah. Sekarang ini, penisilin V adalah antibiotik yang paling sering diresepkan yang ditujukan untuk terapi peradangan yang berasal dari gigi,11 tetapi amoksisilin lebih unggul karena diabsorbsi lebih baik, frekuensi dosis yang lebih sedikit (tiga kali sehari bila dibandingkan


(21)

dengan ampisilin dan penisilin V yang 4 kali sehari), dan penyerapanya tidak dihalangi oleh makanan.14 Pemberian penisilin G secara parenteral digunakan untuk peradangan berat pada pasien atau situasi dimana pemberian melalui oral tidak dapat dilakukan (seperti pada sindrom malabsorpsi dan muntah).11Penisilin digunakan sebagai obat pilihan pertama untuk semua peradangan yang mikrobanya peka dan selama tidak ada alergi terhadap penisilin karena toksisitasnya yang hampir tidak ada dan kerjanya bersifat bakterisidal.10

2. Sefalosporin

Sefalosporin berasal dari fungus Sefalosporin akremonium. Inti dasar Sefalosporin C ialah asam 7-amino-sefalosporanat (7-ACA:7-aminocephalosporanic acid) yang merupakan kompleks cincin dihidrotiazin dan cincin betalaktam. Sefalosporin C resisten terhadap penisilinase, tetapi dapat dirusak oleh sefalosporinase. Hidrolisis asam sefalosporin C menghasilkan 7-ACA yang dapat dikembangkan menjadi berbagai macam antibiotik sefalosporin.12

Berdasarkan aktivitas antibiotiknya, Sefalosporindibagi menjadi 4 generasi yaitu generasi pertama, generasi kedua,generasi ketiga, dan generasi keempat. Sefalosporin memiliki aktifitas yang baik untuk melawan patogen orofasial, tetapi terbatas dalam melawan bakteri anaerob. Secara in vitro,Sefalosporin generasi pertama memperlihatkan spektrum antibiotik yang aktif terhadap bakteri Gram-positif. Keunggulannya dibanding penisilin adalah aktivitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap sebagian besar Stafilokokus aureusdan Streptokokustermasuk Streptokokus piogens, Streptokokus viridans, Streptkokuspneumoniae, Streptokokus anaerob, Klostridium perfringeus, Listeria monositogens, dan Korinebakterium dipteria.12 Sefadroksil, safaleksin, dan sefazolin merupakan antibiotik sefalosporin generasi pertama, sedangkan seftriakson termasuk generasi ketiga.12,15

2.1.2.2Antibiotik Makrolida

Senyawa ini didapat dari jenis Streptomyces, mempunyai sifat glikosida dan mengandung cincin lakton makrosiklik, gula amino basa dan gula netral. Mekanisme


(22)

kerja yang diketahui yaitu antibiotik makrolida menghambat sintesis protein pada fase pemanjangan dengan mempengaruhi translokasi.10

Makrolida digunakan untuk peradangan yang disebabkan oleh mikroba gram-positif yang resisten terhadap penisilin atau tetrasiklin, dipakai juga pada pasien yang alergi terhadap penisilin.10 Yang termasuk dalam kelompok makrolida yaitu entromisin, azitromisin, dan sebagainya. Azitromisin memiliki aktivitas yang sangat baik dengan Klamidia. Kadar azitromisin yang tercapai dalam serum setelah pemberian oral relatif rendah, tetapi dijaringan dan sel fagosit menjadi sangat tinggi. Obat yang disimpan dalam jaringan ini kemudian dilepaskan berlahan-lahan sehingga dapat diperoleh masa paruh eliminasi sekitar 3 hari. Dengan demikian obat cukup diberikan sekali sehari dan lama pengobatan dapat dikurangi. Absorbsinya berlangsung cepat tetapi terganggu bila diberikan bersamaan dengan makanan.16

2.1.2.3 Linkomisin

Yang termasuk kelompok linkomisin adalah linkomisinyang diisolasi dari Streptomises linkolnesisdan senyawa sintesis parsial turunanya yaitu klindamisin. Kelompok linkomisin mempunyai spektrum kerja yang mirip antara yang satu dengan yang lain, mekanisme kerjanya sama dengan antibiotik makrolida, sedangkan kerja klindamisin 2-10 kali lebih besar dari intensitas kerja linkomisin. Yang penting adalah kemampuan difusinya yang baik dalam tulang. Linkomisin dan klindamisin digunakan untuk peradangan karena stafilokokus jika antibiotik lain tidak dapat digunakan dan berguna pada peradangan karena bakteri anaerob.10 Selain itu, klindamisin digunakan untuk pasien yang alergi dengan penisilin atau terjadi kegagalan pengobatan dengan penisilin.15

2.1.2.4 Antibiotik Aminoglikosida

Yang termasuk antibiotik golongan ini adalah streptomisin, neomisin, kelompok kanamisin-gentamisin, dan spektinomisin. Senyawa ini merupakan senyawa dengan struktur yang terdiri atas tri atau tetrasakarida, yang mengandung streptamin atau turunannya sebagai rumus umum, terutama 2-desoksistreptamin. Semua senyawa ini memiliki spektrum kerja yang luas dan kerjanya adalah


(23)

bakterisidal. Gentamisin adalah senyawa yang didapat dari filtrat kultur jenis Mikromonospora, yang merupakan campuran dari tiga antibiotik spektrum luas gentamisin C1,C1a dan C2. Secara klinis gentamisin sangat berarti terutama karena peranannya terhadap mikroba Gram-negatif penyebab peradangan tersebut.10

2.1.2.5 Kuinolon

Kuinolon memiliki atom flour pada cincin kuinolon (karena itu dinamakan juga flourokuinolon). Golongan kuinolon secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kuinolon dan flourokuinolon. Kelompok kuinolon tidak mempunyai manfaat klinik untuk pengobatan peradangan sistematik karena kadarnya dalam darah terlalu rendah, daya antibakterinya lebih lemah, dan resistensi cepat timbul. Indikasinya terbatas sebagai antiseptik saluran kemih. Sedangkan kelompok flourokuinolon memiliki atom flour pada posisi 6 dalam struktur molekulnya. Daya antibiotik flourokuinolon jauh lebih kuat dibandingkan kelompok kuinolon lama. Kelompok obat ini diserap secara baik pada pemberian oral, dan derivatnya tersedia juga dalam bentuk parenteral yang digunakan untuk penanggulangan peradangan berat, khususnya yang disebabkan oleh bakteri Gram-negatif, sedangkan terhadap bakteri Gram-positif daya bakterinya relatif lemah. Yang termasuk golongan ini adalah siprofloksasin, pefloksasin, levofloksasin, dan sebagainya.17

2.1.2.6 Metronidazole

Metronidazole adalah nitroimidazole buatan yang dibuat atau diisolasi dari Streptomises sp yang berguna dalam mengatasi berbagai peradangan akibat protozoa.11 Obat ini juga efektif melawan bakteri anaerob yang bekerja dengan mengganggu DNAbakteri sehingga menghambat sintesis asam nukleat.15 Spektrum metronidazole terbatas pada bakteri anaerob obligat dan beberapa bakteri mikroaerofilik,18 dan paling efektif melawan bakteri anaerob gram negatifyangbertanggungjawab pada peradangan orofasial akut dan periodontitis kronis.11 Kombinasi metronidazole dengan antibiotik betalaktam pada peradangan


(24)

oraldiindikasikan untuk peradangan orofasial akut yang serius dan pada penatalaksanaan periodontitis agresif.11

2.1.3 Indikasi Penggunaan Antibiotik di bidang kedokteran gigi

Peradangan akut dan kronis pada pulpamerupakan penyebab sakit gigi paling banyak. Namun kebanyakan kasus peradangan lebih memerlukan perawatankonservatif daripada pemberian antibiotik. Selulitis fasial baik yang disertai disfagia ataupun tidak, harus diberikan antibiotik sesegera mungkin karena jika tidak diberikan, peradangan dapat meluas melalui limfe dan sirkulasi darah. Beberapa lesi oral terlokalisir yang diindikasikan pemberian antibiotik yaitu abses periodontal, gingivitis ulseratif nekrose akut, perikoronitis dan osteomielitis.11,19Selain itu, antibiotik juga digunakan sebagai profilaksis.14

Umumnya, antibiotik digunakan dikedokteran gigi untuk dua tujuan yaitu sebagai profilaksis antibiotik dan sebagai pengobatan kasus peradangan.8

1. Sebagai pengobatan atau terapi antibiotik

Pemberian antibiotik tidak terbatas pada kasus peradangan odontogenik saja, melainkan juga pada kasus non-odontogenik. Untuk kasus peradangan odontogenik sendiri, tidak ada kriteria tertentu dalam pemberian antibiotik. Pengobatan diberikan dalam beberapa situasi peradangan odontogenik akut yang berasal dari pulpa misalnya sebagai pendukung dalam perawatan saluran akar, gingivitis nekrotis ulseratif akut, abses periapikal, periodontitis agresif, abses periodontal, dan osteomyelitis.8,11 Pemberian antibiotik tidak disarankan pada kasus gingivitis.8 Perluasan inflamasi cepat dan berat sebaiknya dirawat dengan pemberian antibiotik, sementara inflamasi yang ringan dan terlokalisir dimana drainase dapat dilakukan, maka pemberian antibiotik tidak perlu.14

Abses periodontal sering dirawat dengan insisi dan drainase tanpa pemberian antibiotik karena abses periodontal jarang disertai demam, malaise, limfadenopati, dan tanda-tanda sistemik lainya. Tetapi , abses periodontal perlu diberikan terapi antibiotik ketika disertai tanda dan gejala sisteemik, atau ketika insisi dan drainase tidak dapat dilakukan. Hal ini berbeda pada terapi antibiotik untuk peradangan yang


(25)

berasal dari pulpa atau periapikal, dimana seharusnya lebih agresif karena lebih cenderung meluas ke permukaan wajah. Terapi antibiotik untuk kasus abses periodontal diberikan dalam dosis tinggi dan durasi yang singkat. Perawatan osteomyelitis yaitu berupa terapi antibiotik dan pembedahan. Dikarenakan keanekaragaman bakteri penyebabnya, pembuatan kultur dan tes sensitivitas sesegera mungkin menjadi penting untuk mendapatkan terapi antibiotik yang paling tepat.11

Antibiotik turunan β-laktam dapat dipertimbangkan sebagai antibiotik pilihan, asalkan tidak ada alergi. Namun, hanya sedikit obat dari kelompok ini yang dapat diresepkan. Penisilin dan amoksisilin dapat menjadi pilihan pertama. Amoksisilin-klavulanat lebih disukai, karena spectrum kerja yang luas, sifat farmakokinetik, toleransi, dan dosis yang khas. Klindamisin juga menjadi obat pilihan karena penyerapannya yang baik, kemungkinan bakteri menjadi resistensi rendah, dan konsentrasi antibiotik yang dicapai dalam tulang lebih tinggi.8

Peradangan non-odontogenik yang termasuk peradangan spesifik dari rongga mulut (TBC, sifilis, lepra), dan peradangan nonspesifik membran mukosa, otot dan wajah, kelenjar ludah dan tulang. Proses ini membutuhkan perawatan yang panjang, dan obat yang digunakan biasanya termasuk klindamisin dan flurokuinolon (seperti siprofloksasin, nonfloksasin, dan moksifloksasin).8

2. Sebagai profilaksis antibiotik

Penggunaan antibiotik sebagai profilaksis telah diterima secara luas dan umum digunakan dikedokteran gigi. Tujuan pengobatan ini yaitu sebagai pencegahan endokarditis infektif yang diindikasikan pada pasien yang berisiko dalam hal prosedur invasif dalam rongga mulut.8 Pasien yang menggunakan katub jantung buatan, memiliki riwayat endokarditis, memiliki penyakit jantung kongenital seperti penyakit jantung kongenital sianosis, menggunakan bahan atau alat jantung buatan yang kurang dari 6 bulan, atau pun yang memiliki efek sisa pada tempat atau sekitar tempat dipasangnya bahan atau alat buatan,serta penerima transplantasi jantung, maka pada pasien tersebut diindikasikan pemberian profilaksis antibiotik untuk prosedur dental.20 Pasien yang memiliki riwayat peradangan prosthesis sendi dan pada pasien


(26)

yang menggunakan sendi buatan kurang dari dua tahun disertai defisiensi imun, maka pasien tersebut berisiko tinggi terhadap prosedur invasif dalam rongga mulut sehingga diperlukan pemberian profilaksis antibiotik.8

Profilaksis peradangan lokal digunakan untuk mencegah proliferasi dan penyebaran bakteri di dalam dan dari luka operasi itu sendiri. Penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien sehat hanya dianjurkan dalam kasus pencabutan gigi, impaksi, bedah periapikal, menyambung tulang dan operasi untuk tumor jinak. Pada pasien dengan faktor risiko berupa peradangan lokal atau sistematik termasuk pasien onkologi, pasien dengan kekebalan tubuh rendah, pasien dengan gangguan metabolik seperti diabetes, dan pasien yang telah menjalani splenektomi antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum melakukan prosedur invasif.8

Namun, profilaksis antibiotik tidak direkomendasikan pada prosedur dental atau keadaan berikut yaitu anestesi tropikal pada jaringan yang tidak meradang, pengambilan radiografi gigi, penggunaan gigi tiruan lepasan atau alat ortodonti, penyesuaian alat ortodonti, penempatan braket ortodonti, dan pencabutan gigidesidui serta perdarahan karena trauma dibibir dan mukosa.20

1.1.6 Efek samping 1. Reaksi Alergi

Reaksi alergi dapat ditimbulkan oleh semua antibiotik dengan melibatkan sistem imun tubuh hospes dan tidak bergantung pada besarnya dosis obat. Manifestasi gejala dan derajat beratnya alergi dapat bervariasi.9 Prognosis reaksi alergi sulit diramalkan walaupun terdapat riwayat reaksi alergi pasien. Seseorang yang memiliki riwayat alergi, misalnya alergi terhadap penisilin, tidak selalu mengalami reaksi alergi kembali ketika diberikan obat tersebut. Sebaliknya, seseorang tanpa riwayat alergi dapat mengalami reaksi alergi pada penggunaan kembali penisilin.9 Bentuk reaksi alergi pada penisilin paling sering yaitu reaksi urtikaria atau angioedemapada kulit. Penisilin juga dapat menyebabkan reaksi syok anafilaktik.11


(27)

2. Reaksi toksik

Antibiotik pada umumnya bersifat toksisitas selektif, tetapi sifat ini relatif. Penisilin merupakan golongan antibiotik yang mungkin dianggap paling tidak toksik sampai saat ini. Dalam menimbulkan efek toksik, masing-masing antibiotik dapat menyerang organ atau sistem tertentu pada tubuh hospes. Beberapa contoh reaksi toksik penggunaan antibiotik seperti pada golongan aminoglikosida pada umumnya bersifat toksik terutama terhadap nervus vestibulokoklear (N.VIII) golongan tetrasiklin kalsium-ortofosfat. Dalam dosis besar, obat ini bersifat hepatotoksik, terutama pada pasien pielonefritis dan pada wanita hamil.9

3. Perubahan biologik dan metabolik

Pada tubuh hospes, baik yang sehat maupun yang meradang, terdapat populasi mikroflora normal. Dengan keseimbangan ekologik, populasi mikroflora tersebut biasanya tidak menunjukkan sifat patogen. Penggunaan antibiotik, terutama spektrum luas, dapat mengganggu keseimbangan ekologik mikroflora, sehingga jenis mikroba yang meningkat jumlah populasinya dapat menjadi patogen.9 Pada beberapa keadaan, perubahan ini dapat menimbulkan superinfeksi, yaitu suatu peradangan baru yang disebabkan oleh ploriferasi mikroba barbeda dari penyebab peradangan primer yang terjadi akibat terapi peradangan primer dengan suatu antibiotik.9,14 Mikroba penyebab superinfeksi biasanya jenis mikroba yang menjadi dominan pertumbuhanya akibat penggunaan antibiotik terutama spektrum luas, misalnya penggunaan tetrasiklin dapat menyebabkan kandidiasis.9

Faktor yang mempermudah timbulnya superinfeksi diantaranya adanya faktor atau penyakit yang mengurangi daya tahan pasien, penggunaan antibiotik terlalu lama, dan luasnya spektrum aktivitas obat antibiotik. Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi superinfeksi yaitu menghentikan terapi antibiotik yang sedang digunakan, melakukan biakan (kultur) mikroba penyebab superinfeksi, dan memberikan suatu antibiotik yang efektif terhadap mikroba tersebut.9


(28)

2.2 Alergi antibiotik

Ada dua jenis reaksi obat yang merugikan, yaitu reaksi yang dapat diprediksi dan reaksi yang tidak dapat diprediksi. Reaksi yang dapat diprediksi adalah over dosis dan efek samping dan reaksi yang tidak dapat diprediksi adalah alergi. Antibiotik adalah salah satu obat yang paling sering menyebabkan alergi baik dalam kasus orang dewasa maupun anak-anak. Diantara semua jenis antibiotik, antibiotik beta laktam (penisilin dan sefalosofrin) adalah penyebab alergi yang paling sering terjadi. Selain penisilin, antibiotik sulfonamid juga dapat menyebabkan alergi yaitu sindrom Steven Johnson atau nekrolisis epidermal toksik.21

Reaksi yang paling umum paling terjadi pada alergi antibiotik adalah erupsi kulit makulopapular, urtikaria, dan pruritus. Beberapa antibiotik juga dapat mengenai organ selain kulit. Contohnya, kombinasi dari amoksisilin dan asam klavulanik dapat menyebabkan luka pada hati. Reaksi yang parah seperti anafilaksis juga dapat terjadi.6Organ dalam yang seringkali terlibat pada alergi antibiotik adalah hati, ginjal, serta paru-paru.1

Tabel 1. Klasifikasi alergi obat antibiotik22 Tipe A (farmakologi

85-90%)

1. Efek samping 2. Interaksi obat 3. Lain-lain

Tipe B (hipersensitifitas) Mekanisme nonspesifik 1. Enzim yang rusak atau tidak

2. Ketidakseimbangan sitokin

3. Ketidakseimbangan mediasi inflamasi

4.Dreganulasi sel mast non spesifik


(29)

Reaksi imun spesifik (alergi)

Tipe 1: Ig-E Tipe 2: Ig-G

Tipe 3: desposisi imun kompleks

Tipe 4: sel termediasi

2.2.1 Patofisiologi alergi

Pasien yang mengalami alergi antibiotik memiliki sel limfosit T yang teraktivasi dalam sirkulasinya. Sel limfosit T yang spesifik terstimulasi dengan konsep p-i (pharmacological interaction with immune receptors) menghasilkan interleukin 5 (IL-5) dan interferon gamma (IFN-g). Interleukin 5 merupakan faktor kunci dalam pengaturan pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi eosinofil. Sementara itu IFN-g memiliki peran dalam up regulation major histocompatibility complex (MHC) kelasII pada keratinosit. Aktivasi MHC kelas II tersebut selanjutnya akan mempresentasikan obat ke sel T CD4+.1

Konsep p-i menjelaskan bahwa obat memiliki kesesuaianterhadap protein atau enzim tertentu sehingga mempengaruhikerjanya. Beberapa jenis obat dapat langsung berikatan dengan reseptor pada sel T. Interaksi antara obat dengan selT akan mengaktifkan respon imun. Oleh karena itu terkadangreaksi yang timbul tidak mengikuti kaidah respon imun yangada, yaitu reaksi dapat terjadi pada paparan pertama tanpamemerlukan proses sensitisasi sebelumnya.Penjelasan lain adalah pada reaksi eksantema makulopapular,reaksi yang berperan didominasi oleh aktivasi selT helper 2 (Th2) (reaksi hipersensitivitas tipe IV) yang terkaitdengan sekresi IL-4, IL-5, serta IL-13. Selain itu juga terdapathubungan dengan reaksi alergi tipe I, yaitu sekresi IL-4 danIL-13 akan meningkatkan produksi IgE.1

Manifestasi klinis yang muncul pada pasien alergi antibiotik baik pada kulit maupun organ terkait dengan peningkatanproliferasi klon limfosit T CD8 yang telah teraktivasi terhadap antigen virus sebelumnya oleh obat pencetus. Dugaanketerlibatan infeksi virus tersebut juga berdasarkan gambaranklinis pasien alergi antibiotik yaitu


(30)

adanya demam, edema pada wajah,limfadenopati, monositosis, mononukleosis, serta hepatitisyang konsisten dengan gambaran infeksi virus. PenelitianPicard et al memperlihatkan bahwa sebesar 76% pasienalergi antibiotik mengalami reaktivasi terhadap EBV, HHV-6, dan HHV-7. Limfosit T CD8 akan meningkat jumlahnya di dalam darahserta jaringan yang terlibat seperti kulit, hati, maupun paru.Selain itu limfosit T CD8 meningkatkan sekresi sitokin yaituTNF-a, IL-2, dan IFN-g. Tingginya produksi sitokin tersebutterkait dengan gangguan organ dalam yang lebih berat.1

Peningkatan kadar berbagai mediator inflamasi tersebut bertahan selama kurang lebih 3 bulan. Hal tersebut mungkinmenjelaskan memanjangnya periode gejala klinis yang dialamipasien alergi antibiotik meskipun obat pencetus telah dihentikan. Keterlibatan paru serta hipereosinofilia yang terjadi dikaitkandengan peningkatan transkripsi IL-17. Peningkatan aktivitastranskripsi IL-17 tersebut sedikit berbeda dengan penelitilain yang memperlihatkan bahwa IL-5 lebih berperan dalamterjadinya hipereosinofilia.1

2.2.2 Tipe hipersensitivitas alergi antibiotik

Ada beberapa cara untuk mengklasifikasikan alergi obat.Menurut waktuinterval timbulnya reaksi, alergi obat terdiri dari reaksi yang timbul segera, dipercepat dan tertunda. Reaksi yang timbul segera (IgE-mediated)terjadi hingga 1 jam setelah terpapar alergen. Reaksi tidak langsung atau yang dipercepatberlangsung selama 1-72 jam dan reaksi yang tertunda lebih dari 72jam. Reaksi yang timbul segera contohnya adalah anafilaksis,urtikaria, angioedema dan bronkospasme. Reaksi yang dipercepat ataupun reaksi yang tertunda contoh manifestasinya adalahserum sickness,nefritis interstitial, anemia hemolitik, morbiliformisletusan dan sindrom Stevens Johnson.23

2.2.2.1 Tipe 1 (Reaksi Anafilaksis)

Mekanisme ini yang paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig-E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang


(31)

sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria. Reaksi anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulkan syok.24

Pada kontak pertama, alergen diinternalisasi oleh sel B yang hadir bersama sel TH2 (T helper 2). Sel B kemudian berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang melepaskan imunoglobulin E (IgE). IgE mengikat sel mast dan basofil. Pada kontak berikutnya, antigen telah mengikat sel mast IgE. Karena rilis cepat sebagian besar vasoaktif mediator inflamasi seperti histamin, leukotrien dan platelet activating factor (PAF), reaksi langsung (anafilaksis) terjadi dalam hitungan detik atau menit yang dapat disebut juga reaksi hipersensitivitas langsung. Efek vasodilatasi dari reaksi jenis ini dapat menimbulkan syok anafilaksis.25

2.2.2.2 Tipe II (Reaksi Autotoksis)

Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.24Pada reaksi tipe II, sistem kekebalan tubuh terutama menyerang sel dengan sifat antigenik. Hal ini dapat disebabkan oleh transfusi eritrosit dari golongan darah yang salah atau pengikatan hapten (misalnya, obat-obatan) untuk sel endogen. Pengikatan hapten ke trombosit juga dapat menjadi penyebab, misalnya mengakibatkan trombositopenia.25

2.2.2.3 Tipe III (Reaksi Kompleks Imun)

Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan ringan.24


(32)

Reaksi ini disebabkan oleh antigen antibodi kompleks. Jika antigen antibodi yang tersedia berlebih, kompleks antigen-antibodi akan larut dan beredar di darah untuk waktu yang lama dan menetap terutama di kapiler, sehingga subjek dinding kapilari diserang oleh sistem komplemen. Hal ini menyebabkan perkembangan serum sickness terutama gejala nyeri sendi dan demam.25

2.2.2.4Tipe IV (Reaksi Alergi Tipe Lambat)

Reaksi ini melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersentisasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.24

Alergi obat dapat terjadi melalui mekanisme ke-4 tipe tersebut . Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksiimun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgE-mediated).Perlu diingat bahwa dapat saja terjadialergi obat melalui keempat mekanisme tersebut terhadap satu macam obat secara bersamaan. Alergi obat tersering biasanya melalui mekanisme tipe I dan IV. Alergi obat melalui mekanisme tipe II dan tipe III umumnya merupakan bagian dari kelainan hematologik atau penyakit autoimun.24

Tabel 2. Klasifikasi reaksi hipersensitivitas obat24

Reaksi imun Mekanisme Klinis Waktu reaksi Tipe I

(diperantarai Ig-E)

Kompleks Ig-E obat berikatan dengan sel mast melepaskan histamin dan

Urtikaria, angioedema, bronkospasme, muntah, diare, anafilaksis

Menit sampai jam setelah paparan


(33)

mediator lain Tipe II (sitotoksik) Antibodi Ig-M atau Ig-G spesifik terhadap sel hapten-obat Anemia hemolitik, neutropenia, trombositopenia Variasi

Tipe III (

kompleks imun )

Deposit jaringan dari kompleks antibodi obat dengan aktivasi komplemen Serum sickness, demam, ruam, artralgia, limfadenopati, vaskulitis, urtikaria

1-3 minggu setelah paparan

Tipe IV ( lambat, diperantarai oleh selular ) Presentasi molekul obat oleh MHC kepada sel T dengan pelepasan sitokin

Dermatitis kontak alergi

2-7 hari setelah paparan

2.2.3 Diagnosa alergi antibiotik

Setiap obat yang diberikan harus dipertimbangkan secara bijaksana maka itu diperlukan pemeriksaan untuk mendiagnosa apakah antibiotik dapat diberikan pada pasien. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi anamnesa atau menanyakan riwayat klinis dan tes kulit pada pasien.26

2.2.3.1 Riwayat klinis

Hipersensitivitas antibiotik biasanya didiagnosa berdasarkan riwayat klinis, terutama tepat pada saat penggunaan antimikroba. Apakah pasien menderita alergi, keterangan lengkap tentang reaksi alergi tersebut, waktu terjadi alergi, apakah


(34)

bersamaan dengan penyakit dan obat-obatan, dan hasilnya harus segera didapatkan, didokumentasikan, dan diberikan kepada spesialis imunologis atau alergi.26

2.2.3.2 Tes diagnostik

Tes diagnostik bertujuan untuk mendeteksi atau memperkirakan kemungkinan alergi obat. Salah satunya adalah tes kulit. Tesi kulit merupakan tes untuk mengetahui adanya Ig-E spesifik terhadap obat tertentu. Tes kulit dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. Apabila ingin melakukan tes kulit pasien harus dirujuk ke ahli alergi. Tes kulit dilakukan dengan pemberian penicilloyl polylysine dan beberapa determinan baik penisilin G diencerkan 10.000 U per mililiter atau campuran 10-2 M benzil penicilloate, benzil penilloate, dan benzil-n-propylamine. Tes kulit dengan bahan penuh dilakukan terlebih dahulu, dan jika tes ini negatif pada 15 menit, maka diikuti oleh pengujian intrakutan. Peningkatan diameter minimal 3 mm (dibandingkan dengan hasil negatif sebelumnya) kehadiran eritema merupakan tanda hasil yang positif. Kurang dari 20 persen pasien yang melaporkan riwayat alergi penisilin terdeteksi antibodi IgE-penisilin tertentu pada saat pengujian kulit. Hasil negatif menunjukkan bahwa reaksi sebelumnya tidak dimediasioleh IgE atau antibodi tidak hadir; baik kasus, penisilin dapat diberikan lagi denganrisiko minimal reaksi langsung.6

Gambar 1. Tes kulit yang dilakukan pada pasien sebelum diberikan antibiotik.1 2.2.4 Manifestasi klinis alergi antibiotik

Mengenal manifestasi reaksi alergi antibiotik sangatlah penting karena harus diatasi sesegera mungkin. Jika tidak maka akan terjadi reaksi yang lebih parah dan


(35)

dapat mengancam hidup.Manifestasi alergi antibiotik dapat terjadi begitu cepat (dalam beberapa menit setelah pemberian obat) atau lambat (beberapa hari setelah pemberian obat). Sekitar setengah dari semua reaksi alergi terjadi satu minggu setelah pemberian obat dan kebanyakan simptom hilang dalam tiga sampai lima hari setelah penghentian obat. Reaksi yang timbul dalam setengah jam diperkirakan lebih berbahaya, sementara itu reaksi yang timbul pada hari berikutnya biasanya relatif ringan.6

Berbagai manifestasi alergi antibiotik dapat terjadi, dipengaruhi oleh obat yang diberikan, frekuensi penggunaannya, dan jenis mekanisme imun yang terlibat. Reaksi alergi dapat mempengaruhi banyak sistem organ yaitu kulit, paru, liver, ginjal dan pembuluh darah. Manifestasinya mulai dari gatal lokal ringan, reaksi pada kulit ( urtikaria atau angioedema, erupsi eksemantosa, Sindrom Steven Johnson, Nekrolisis Epidermal Toksik) sampai syok anafilaktik fatal yang mengancam hidup.24

2.2.4.1 Urtikaria atau angioedema

Urtikaria adalah gangguan umum yang terjadi secara berulang seperti pruritus (gatal), edema kemerahan (bengkak), lesi yang pucat (bercak). Lesi memiliki berbagai ukuran dari beberapa milimeter sampai beberapa sentimeter, dan bersifat sementara, yang berlangsung selama kurang dari 48 jam [1-4].27

Sekitar 40% pasien dengan urtikaria juga mengalami angioedema (pembengkakan yang terjadi di bawah kulit). Dikatakan angioedema apabila dermis bagian dalam mengalami edema. Angioedema yang timbul biasanya unilateral dan nonpruritus, dapat hilang dalam jangka waktu 1-2 jam tetapi kadang dapat bertahan selama dua sampai lima hari. Urtikaria dan angioedema sangat berhubungan dengan Ig-E sebagai suatu respon yang cepat terhadap penisilin maupun antibiotik lainnya.27

Urtikaria umumnya diklasifikasikan sebagai akut, kronis, atau fisik, tergantung pada durasi dari gejala dan ada atau tidaknya rangsangan. Urtikaria akut mengacu pada lesi yang terjadi selama kurang dari 6 minggu, dan urtikaria kronis lesi yang terjadi selama lebih dari 6 minggu; biasanya diasumsikan bahwa lesi yang hadir hampir setiap hari dalam seminggu. Meskipun urtikaria akut umumnya dapat dengan


(36)

mudah dikelola dan berhubungan dengan prognosis yang baik, kronis, urtikaria berat sering dikaitkan dengan morbiditas yang signifikan dan kurangnya kualitas hidup. Urtikaria fisik juga cenderung lebih berat dan tahan lama, dan seringkali sulit untuk diobati. Angioedema memiliki evaluasi dan manajemen penatalaksanaan yang sama dengan urtikaria.27

Gambar 2. Urtikaria akibat penggunaan ampisilin26

Gambar 3. Urtikaria akibat penggunaan penisilin26 Berikut merupakan klasifikasi dari urtikaria :


(37)

1. Urtikaria akut

Penyebab paling umum dari urtikaria akut (dengan atau tanpa angioedema) adalah obat-obat, makanan, infeksi virus, infeksi parasit, racun serangga, dan alergen kontak, terutama hipersensitivitas lateks. Obat diketahui sering menyebabkan urtikaria ± angioedema meliputi antibiotik (terutama penisilin, dan sulfonamid)27

2. Urtikaria kronis

Urtikaria kronis lebih sering terjadi pada orang dewasa, dan lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Secara umum, urtikaria kronis diklasifikasikan sebagai urtikaria autoimun kronis atau urtikaria idiopatik kronis. Pasien dengan urtikaria idiopatik kronis tidak memiliki autoimun. Dalam bentuk urtikaria, tampaknya ada aktivasi terus menerus dari sel mast, tetapi pemicu mekanisme sel mast tidak diketahui. Meskipun jarang, urtikaria kronis juga dapat merupakan manifestasi dari penyakit sistemik.27

2.2.4.2 Erupsi eksemantosa

Lebih dari 90% erupsi obat yang ditemukan berbentuk erupsi eksemantosa. Erupsi yang muncul dapat berbentuk mobiliformis atau makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus. Erupsi baru muncul sekitar satu minggu setelah pemakaian obat dan dapat sembuh sendiri dalam jangka waktu 7 sampai 14 hari. Pemulihan ditanai dengan perubahan kulit dari merah terang ke warna cokelat kemerahan, yang disertai dengan adanya deskuamasi kulit.24

Erupsi eksemantosa dapat disebabkan oleh banyak obat termasuk penisilin, dan sulfonamid. Jika kelainan timbul berkali-kali ditempat yang sama maka disebut eksantema fikstum.24


(38)

Gambar4.Erupsi eksemantosa akibat penggunaan obat golongan sefalosoprin.24

2.2.4.3 SSJ ( Sindrom Steven Johnson )

SSJ merupakan suatu sindroma (kumpulan gejala) yang mengenai kulit, selaput sendiri di orifisum dan mata dengan keadaan umum yang beravariasi dari ringan sampai berat dapat menyebabkan kematian, oleh karena itu penyakit ini merupakan salah satu kegawat daruratan penyakit kulit. Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat di sertai gejala prodormal berupa demam tinggi (30C – 40C), mulai nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan yang dapat berlangsung 2 minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan yang hebat serta menurunnya kesadaran.24


(39)

Gambar 5. Sindrom Steven Johnson (SSJ)26

2.2.4.4 NET ( Nekrolisis Epidermal Toksik )

NET adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lendir di orifisum genetalia eksterna dan mata. Umumnya TEN terjadi pada orang dewasa. TEN merupakan penyakit berat dan sering menyebabkan kematian karena gangguan keseimbangan cairan/elektrolit atau sepsis.24

2.2.4.5 Syok Anafilaktik

Jenis reaksi ini biasanya sangat keras, sering terjadi tanpa peringatan dalam beberapa detik sampai menit setelah pemberian obat-obatan seperti vaksin, toksoid, globulin imun, antitoksins, tes tuberkulin kulit, antibiotik (seperti penisilin), serbuk sari atau ekstrak alergi lainnya, atau setelah disengat oleh serangga berbisa.24

Tanda-tanda atau gejalanya yaitu dapat berkembang dengan cepat dan dramatis: menimbulkan rasa takut, gatal-gatal, kemerahan dari wajah, gatal substernal, stridorous atau sesak nafas, sianosis, penurunan tekanan darah, dan kehilangan kesadaran. Kematian dapat terjadi segera apabila terjadi kesulitan penanganan pada tanda pertama, atau pasien mungkin pulih dari tanda-tanda dan gejala awal namun dalam 30-60 menit berikutnya terjadi urtikaria, angioedema, coriza akut, spasme bronkus, usus dan rahim kolik dan diare.28

Syok anafilaktik dapat menimbulkan sinkop atau kehilangan kesadaran secara mendadak. Tanda-tanda atau gejalanya adalah wajah pucat, nadi melemah, nausea, muntah dan berkeringat.28


(40)

2.3 Penatalaksanaan

Seperti pada penyakit immunologis lainnya, pengobatan alergi obat antibiotik adalah dengan menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh. Epinephrine adalah drug of choice pada reaksi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat yang dicurigai menjadi penyebab harus dilakukan secepat mungkin. Tetapi, pada beberapa kasus adakalanya diharuskan untuk memilih antara risiko alergi obat atau manfaat dari obat tersebut karena keduanya memiliki efek yang sama besar.24

Secara umum penatalaksanaan alergi obat antibiotik adalah dengan menghentikan pemberian obat tersebut, menjaga kondisi pasien dari kemungkinan terjadinya erupsi yang lebih parah, menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuh seperti infus misalnya berupa glukosa 5% dan larutan Darrow. Dan apabila terapi tidak mengalami kemajuan, dapat dilakukan transfusi darah.24

Setelah pemakaian antibiotik yang diduga menyebabkan alergi dihentikan, dapat diberikan antibiotik pengganti seperti pemberian antibiotik vankomisin atau fluorokuinolon pada pasien yang alergi terhadap penisilin atau pemberian antibiotik siprofloksasin pada pasien yang alergi terhadap antibiotik amoksisilin.24

2.3.1 Antihistamin

Antihistamin merupakan obat andalan untuk reaksi alergi urtikaria. Antihistamin sangat baik dalam mengobati urtikaria akut maupun kronis. Antihistamin yang sering digunakan adalah seperti feksofenadin, desloratadin, loratadin, cetirizin. Antihistamin sangat baik apabila dikonsumsi berhari-hari dari pada hanya sekali saat alergi kambuh. Pengobatan akan berhasil dengan baik apabila dosis yang diberikan lebih ditingkatkan dari dosis yang dianjurkan.27


(41)

Tabel 3. Antihistamin yang diindikasi dan biasa digunakan dalam perawatan urtikaria27

Antihistamin Dosis dewasa

Generasi kedua antihistamin resepetor H1

Cetirizin 10-40 mg perhari

Desloratadin 5-20 mg perhari

Feksofenadin 120-480 mg perhari

Loratadin 10-40 g perhari

2.3.2 Kortikosteroid

Untuk beberapa pasien yang menderita urtikaria berat dan tidak berhasil menggunakan antihistamin, dapat menggunakan kortikosteroid oral seperti prednison dengan dosis 40 mg perhari selama 7 hari. Penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang harus dihindari karena akan timbul efek samping yang tidak baik bagi tubuh.27

Kortikosteroid juga diberikan pada reaksi alergi Sindrom SSJ atau NET yang ringan yaitu prednison dengan dosis 30-40mg/hari. Sedangkan pada SSJ atau NET yang berat digunakan Dexametason intravena dengan dosis awal 4-6x5 mg/hari. Apabila kondisi mulai membaik dosis diturunkan secara cepat sebanyak 5 mg sehari lalu diganti dengan prednison dengan dosis 20 mg/ hari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 10mg. Total lama pengobatan SSJ atau NET kurang lebih adalah 10 hari.29

2.3.3 Desensitisasi

Desensitisasi atau imunoterapi ialah terapi yang dilakukan dengan cara memberikan alergen sedikit demi sedikit untuk membangkitkan pembentukan Ig-G yang disebut blockingantibody. Ig-G tersebut akan mengikatalergen yang masuk tubuh sehingga tidak ada lagi alergen yang dapat diikat oleh Ig-E. Desensitisasi


(42)

memerlukan waktu yang lama, mahal, mempunyai resiko terjadinyasyok anafilaktik, dan hanya dilakukan pada indikasi kuat.27

Desensitisasi harus dipertimbangkan pada pasien yang pernah mengalami reaksi yang diperantarai Ig-E terhadap penisilin dan memerlukan penisilin untuk terapi infeksi yang berat seperti endokarditis bakterial dan meningitis. Desensitisasi harus dikerjakan dengan pengawasan khusus dari seorang spesialis. Pemberian secara oral untuk desensitisasi lebih sering dilakukan karena hanya memiliki kemungkinan kecil untuk terjadi reaksi yang mengancam nyawa. Desensitisasi dapat dilakukan untuk pasien yang terkena reaksi alergi sulfonamid dan sefalosoprin.24

2.3.4 Penatalaksanaan syok anafilaktik

Apabila komplikasi syok anafilaktik terjadi segera setelah menerima obat maka tindakan yang perlu dilakukan adalah:

a. Baringkan pasien pada posisi horizontal dengan kaki dinaikkan

b. Lakukan penilaian A,B,C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu airway, breathing support, dan circulation support.

c. Berikan injeksi larutan adrenalin (epinefrin) 1:1000 dengan perlahan-lahan sebanyak 0,3-0,4 ml. Pemberian dapat diulangi sampai beberapa kali tiap 5 sampai 10 menit apabila tekanan darah sistolik belum mencapai 90mmHg.

d. Berikan injeksi hidrokortison suksinat 200mg untuk menekan reaksi alergi selanjutnya.

e. Berikan injeksi klorpeniramin maleat (piriton) 10-20 mg untuk mengurangi pelepasan histamin yang lebih banyak.

f. Berikan oksigen untuk memperbaiki jalan nafas akibat edema laring dan bronkospasme.

g. Minta bantuan medis atau ambulans. Pertolongan medis harus diperoleh dan pasien harus dipindahkan ke rumah sakit secepat mungkin untuk observasi atau perawatan lebih lanjut jika diperlukan.24


(43)

Gambar 6. Skema penatalaksanaan syok anafilaktik24

Alergi antibiotik ringan sampai sedang prognosanya sangat baik. Kebanyakan orang akan menjadi lebih baik dalam 48 sampai 72 jam dengan perawatan dan penghentian obat. Prognosa untuk alergi antibiotik berat juga baik jika perawatan yang tepat dan segera diberikan.24


(44)

KERANGKA KONSEP

Pengetahuan antibiotik dan penatalaksanaan alergi antibiotik

• Antibiotik

- Definisi antibiotik - Klasifikasi antibiotik

- Indikasi penggunaan antibiotik di bidang kedokteran gigi

- Efek samping • Alergi antibiotik

- Patofisiologi alergi

- Tipe hipersensitivitas alergi antibiotik

- Diagnosa alergi antibiotik

- Manifestasi klinis alergi antibiotik • Penatalaksanaan

- Antihistamin - Kortikosteroid - Teknik Desensitisasi

- Penatalaksanaan syok anafilaktik Mahasiswa Kepaniteraan Klinik


(45)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survei deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan mahasiswa terhadap antibiotik danpenatalaksanaan alergi antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU Tahun 2015 secara objektif.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Mulut FKG USU yang bertempat di Jl. Alumni No.2 USU, Medan. Waktu penelitian berlangsung dari bulan Desember 2014 sampai dengan Maret 2015.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh mahasiswa kepaniteraan klinik di Departemen Bedah Mulut FKG USU Tahun 2015 periode November 2014 sampai Febuari 2015. Seluruh populasi dijadikan sampel (total sampling). Sehingga jumlah sampel keseluruhan sebanyak 42orang.

3.4 Variabel dan Definisi Operasional Tabel 4. Variabel dan Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional

1 Pengetahuan terhadap antibiotik

Pengetahuan responden tentang antibiotik meliputi definisi, klasifikasi, indikasi di kedokteran gigi, dan efek samping


(46)

2.

a. Definisi antibiotik

b. Klasifikasiantibiotik

c. Indikasi antibiotik di kedokteran gigi.

d. Efek samping

Pengetahuan terhadap penatalaksanaan alergi antibiotik.

penggunaannya.

Zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme. Pembagian antibiotik berdasarkan strukstur kimianya yaitu (1) Antibiotik β-laktam yang terdiri atas golongan penisilin dan derivatnya, sefalosporin, karbapenem, dan monobaktam; (2) Antibiotik makrolida dan ketolida; (3) Linkosamida; (4) Metronidazol; (5) Tetrasiklin; (6) Glisilsiklin; (7) Golongan kuinolon/fluoro-kuinolon; (8) Golongan aminoglikosida; (9) Vankomisin; (10) Steptogramin; (11) Oksasolidinon; (12) Sulfonamida; (13) Kloramfenikol.

Adalah penggunaan antibiotik dalam dunia kedokteran gigi adalah sebagai pengobatan atau terapi antibiotik dan sebagai profilaksis antibiotik, Adalah suatu dampak atau pengaruh yang tidak diinginkan dari antibiotik. Efek samping yang terjadi pada antibiotik meliputi reaksi alergi, reaksi toksik, dan perubahan biologik dan metabolik.

Pengetahuan responden tentang alergi yang terjadi pada antibiotik meliputi, definisi, patofisiologi, tipe hipersensitivitas, diagnosa alergi, manifestasi klinis dan penatalaksanaannya.


(47)

a. Alergi antibiotik

b. Patofisiologi alergi

c. Tipe hipersensitivitas

d.Diagnosa alergi antibiotik

e. Manifestasi klinis

Adalah reaksi imunologis berlebihan dalam tubuh yang timbul segera atau dalam rentan waktu tertentu setelah eksposisi atau kontak dengan antibiotik.

Adalah permulaan dan perjalanan proses alergi dalam tubuh yang dapat menimbulkan reaksi alergi pada seseorang.

Adalah klasifikasi alergi obat menurut waktu interval terjadi yaitu tipe satu ( anafilaksis ), tipe dua ( autotoksik ), tipe 3 ( reaksi imun kompleks ), dan tipe empat ( reaksi alergi tipe lambat ).

Adalah pemeriksaan untuk mendiagnosa apakah antibiotik dapat diberikan kepada pasien karena setiap pemberian obat harus diberikan secara bijaksana. Tes diagnosa yang biasanya dilakukan adalah anamnesa atau menanyakan riwayat klinis pasien dan melakukan tes kulit pada pasien.

Adalah gejala klinis yang tampak pada tubuh dan disebabkan oleh suatu penyakit. Manifestasi klinis yang biasanya terjadi pada antibiotik adalah urtikaria atau angioedema, erupsi eksemantosa, SSJ, NET, dan syok anafilaktik.

1. Urtikaria dan angioedema

Adalah gangguan umum yang terjadi secara berulang seperti pruritus (gatal), edema kemerahan (bengkak), lesi yang pucat


(48)

f. Penatalaksanaan

(bercak).Sementara angioedema terjadi disertai dengan urtikaria dengan tambahan mengalami pembengkakan dibawah kulit.

2. Erupsi eksemantosa

Adalah berbentuk mobiliformis atau makulopapuler. Pada mulanya akan terjadi perubahan yang bersifat eksantematosa pada kulit tanpa didahului blister ataupun pustulasi. Erupsi bermula pada daerah leher dan menyebar ke bagian perifer tubuh secara simetris dan hampir selalu disertai pruritus.

3. SSJ (sindrom Steven Johnson)

Adalah suatu sindroma (kumpulan gejala) yang mengenai kulit, selaput sendiri di orifisum dan mata dengan keadaan umum yang beravariasi dari ringan sampai berat dapat menyebabkan kematian.

4. NET (nekrolisis epidermal toksik)

Adalah penyakit kulit akut dan berat dengan gejala khas berupa epidermolisis yang menyeluruh, disertai kelainan pada selaput lender di orifisum genetalia eksterna dan mata

Adalah hal – hal yang harus dilakukan jika terjadi reaksi alergi terhadap antibiotik. Penanganan dapat dilakukan dengan pemberian obat, melakukan teknik desensitisasi dan penatalaksanaan syok bagi reaksi syok anafilaktik. 1. Antihistamin


(49)

Adalah obat andalan untuk reaksi alergi urtikaria. Antihistamin sangat baik dalam mengobati urtikaria akut maupun kronis. Antihistamin yang sering digunakan adalah seperti feksofenadin, desloratadin, loratadin, cetirizin.

2. Kortikosteroid

Untuk beberapa pasien yang menderita urtikaria berat dan tidak berhasil menggunakan antihistamin, dapat menggunakan kortikosteroid oral seperti prednison dengan dosis 40 mg perhari selama 7 hari. Namun penggunaan kortikosteroid dalam jangka panjang harus dihindari karena akan timbul efek samping yang tidak baik bagi tubuh. 3. Teknik Desensitisasi

Adalah terapi yang dilakukan dengan cara memberikan alergen sedikit demi sedikit untuk membangkitkan pembentukan Ig-G yang disebut blockingantibody.

4. Penatalaksanaan syok anafilaktik

a. Baringkan pasien pada posisi horizontal dengan kaki dinaikkan

b. Lakukan penilaian A,B,C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu airway, breathing support, dan circulation support. c. Berikan injeksi larutan adrenalin (epinefrin)

1:1000 dengan perlahan-lahan sebanyak 0,3-0,4 ml. Pemberian dapat diulangi sampai beberapa kali tiap 5 sampai 10 menit apabila


(50)

tekanan darah sistolik belum mencapai 90mmHg.

d. Berikan injeksi hidrokortison suksinat 200mg untuk menekan reaksi alergi selanjutnya.

e. Berikan injeksi klorpeniramin maleat (piriton) 10-20 mg untuk mengurangi pelepasan histamin yang lebih banyak.

f. Berikan oksigen untuk memperbaiki jalan nafas akibat edema laring dan bronkospasme. g. Minta bantuan medis atau ambulans.

Pertolongan medis harus diperoleh dan pasien harus dipindahkan ke rumah sakit secepat mungkin untuk observasi atau perawatan lebih lanjut jika diperlukan.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dengan cara penyebaran kuesioner, dimana kuesioner diberikan secara langsung kepada responden dan diisi langsung oleh responden. Kuesioner yang diberikan meliputi pertanyaan yang berhubungan dengan pengetahuan tentang antibiotik danpenatalaksanaan alergi antibiotik oleh mahasiswa kepaniteraan klinik.

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh akan diolah secara komputerisasi dan dihitung dalam bentuk persentase.

3.7 Aspek Pengukuran

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik mengenai antibiotik diukur melalui 18 pertanyaan. Pertanyaan dengan jawaban benar, nilainya 1; jika jawabannya salah


(51)

maka nilainya 0. Sehingga nilai tertinggi dari 18 pertanyaan yang diberikan adalah 18. Selanjutnya nilai tersebut dikategorikan atas pengetahuan baik, cukup, dan kurang. Kategori baik apabila nilai jawaban responden ≥80% dari total pertanyaan, kategori cukup apabila nilai jawaban responden 60%-79% dari total pertanyaan, dan kategori kurang jika nilai jawaban responden <60% dari total pertanyaan.

Tabel 5. Kategori Nilai Pengetahuan Antibiotik

Alat Ukur Hasil Ukur Kategori Penilaian Skor Kuesioner

(18 pertanyaan)

Jawaban salah = 0 Jawaban benar = 1

Baik: ≥80% dari total pertanyaan 14-18 Cukup: 60%-79% dari total pertanyaan

10-13 Kurang: <60% dari total pertanyaan

<10

Pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik mengenaipenatalaksanaan alergi antibiotik diukur melalui 28 pertanyaan. Pertanyaan dengan jawaban benar, nilainya 1; jika jawabannya salah maka nilainya 0. Sehingga nilai tertinggi dari 28 pertanyaan yang diberikan adalah 28. Selanjutnya nilai tersebut dikategorikan atas pengetahuan baik, cukup, dan kurang. Kategori baik apabila nilai jawaban responden ≥80% dari total pertanyaam, kategori cukup apabila nilai jawaban responden 60%-79% dari total pertanyaan, dan kategori kurang jika nilai jawaban responden <60% dari total pertanyaan.

Tabel 6. Kategori Nilai PengetahuanPenatalaksanaan Alergi Antibiotik

Alat Ukur Hasil Ukur Kategori penilaian Skor Kuesioner (28

pertanyaan)

Jawaban salah = 0 Jawaban benar = 1

Baik: ≥ 80% dari total pertanyaan 22-28 Cukup: 60% - 79% dari total

pertanyaan

16-21 Kurang: <60% dari total

pertanyaan


(52)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Responden

Dari 42 responden pada penelitian ini, sejumlah besar responden adalah wanita yaitu sebanyak 76%,sedangkan pria sebanyak 24%. Dalam kategori umur sebanyak 80,9% responden berumur 21 dan 22 tahun, 9,5% responden berumur 24 dan 25 tahun, 7,1% responden berumur 23 dan 24 tahun dan 2,3% responden berumur 25 dan 26 tahun.(Tabel 7).

Tabel 7. Persentase distribusi karakteristik responden (n=42)

Karakteristik responden n %

Jenis kelamin Wanita Pria

32 10

76,2 23,8 Umur

21-22 Tahun 23-24 Tahun 24-25 Tahun 25-26 Tahun

34 3 4 1

80,9 7,1 9,5 2,3

4.2 Pengetahuan Responden tentang Antibiotik

Pengetahuan responden tentang antibiotik termasuk kategori baik (≥80%) dalam hal penyakit dengan indikasi antibiotik, antibiotik profilaksis di kedokteran, definisi antibiotik profilaksis, efek samping antibiotik, dan keunggulan antibiotik sefalosoprin. Pengetahuan responden tentang antibiotik termasuk kategori cukup (60%-79%) dalam hal definisi antibiotik, bakteri pada antibiotik penisilin, antibiotik yang digunakan di kedokteran gigi, kontraindikasi antibiotik profilaksis, dan reaksi alergi akibat penisilin. Sedangkan pengetahuan responden tentang antibiotik termasuk


(53)

kategori kurang (<60%) dalam hal jenis antibiotik golongan β-laktam, antibiotik

pilihan dari golongan β-laktam, antibiotik linkomisin, penisilin sebagai penyebab terbanyak reaksi alergi, antibiotik kuinolon, antibiotik aminoglikosida, antibiotik metronidazol, dan antibiotik makrolida (Tabel 8).

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Antibiotik (n=42)

Pengetahuan responden

Tahu Tidak Tahu

n % n %

Keadaan patologis dengan indikasi antibiotik 40 95,2 2 4,8 Antibiotik profilaksis di kedokteran gigi 37 88 5 12 Definisi antibiotik profilaksis 37 88 5 12

Efek samping antibiotik 36 85,7 6 14,3

Keunggulan antibiotik sefalosporin 35 83,3 7 16,7

Definisi antibiotik 33 78,5 9 21,4

Bakteri pada antibiotik penisilin 32 76,1 10 23,8 Antibiotik yang digunakan di kedokteran gigi 31 73,8 11 26,2 Kontraindikasi antibiotik profilaksis 31 73,8 11 26,2 Reaksi alergi akibat penisilin 26 61,9 16 38,1

Jenis antibiotik golongan β-laktam 23 54,8 19 45,2

Antibiotik pilihan dari golongan β-laktam 23 54,8 19 45,2

Antibiotik linkomisin 22 52,4 20 47,6

Penisilin sebagai penyebab terbanyak reaksi alergi

22 52,4 20 47,6

Antibiotik kuinolon 18 42,9 24 57,1

Antibiotik aminoglikosida 17 40,4 25 59,6

Antibiotik metronidazol 12 28,6 30 71,4

Antibiotik makrolida 7 16,7 35 83,3

Hasil penelitian tentang pengetahuan tentang antibiotik didapat persentase tertinggi pada kategori berpengetahuan cukup yaitu 59,5%. Sedangkan sebanyak


(54)

21,4% responden termasuk kategori berpengetahuan kurang dan 19% responden termasuk kategori berpengetahuan baik (Tabel 9).

Tabel 9. Kategori Pengetahuan Responden tentang Antibiotik (n=42)

Kategori n %

Baik Cukup Kurang

8 25

9

19 59,5 21,4

Total 42 100

4.3 Pengetahuan Responden tentangPenatalaksanaan Alergi Antibiotik Pengetahuan responden tentangpenatalaksanaan alergi antibiotik termasuk kategori baik (≥80%) dalam hal tahap pertama dalam penatalaksanaan syok anafilaktik, antihistamin untuk mengatasi alergi antibiotik, kortikosteroid untuk mengatasi alergi antibiotik, jenis kortikosteroid untuk mengatasi reaksi alergi antibiotik, dan tahap pertama dalam penatalaksanaan reaksi alergi antibiotik. Pengetahuan responden tentangpenatalaksanaan alergi antibiotik termasuk kategori cukup (60%-79%) dalam hal tipe hipersensitivitas reaksi alergi antibiotik, SSJ/NET sebagai reaksi alergi antibiotik yang berat, ciri reaksi syok anafilaktik, kekurangan teknik desensitisasi untuk reaksi alergi antibiotik, sel limfosit T dalam patofisiologi alergi antibiotik, tes diagnostik alergi antibiotik, manifestasi klinis alergi antibiotik, syok anafilaktik sebagai reaksi alergi antibiotik yang berbahaya dan terjadi secara tiba-tiba, jenis antihistamin untuk reaksi alergi antibiotik, reaksi alergi pada antibiotik, reaksi alergi pada hipersensitivitas tipe I, dan tahap kedua dalam penatalaksanaan syok anafilaktik.

Sedangkan pengetahuan responden tentangpenatalaksanaan alergi antibiotik termasuk kategori kurang (<60%) dalam hal ciri reaksi alergi urtikaria, teknik desensitisasi untuk reaksi alergi antibiotik, ciri reaksi alergi erupsi eksemantosa, antibodi hipersensitivitas tipe I, tahap lanjut dalam penatalaksanaan syok anafilaktik, eruspsi eksemantosa sebagai salah satu reaksi alergi antibiotik, hal penting dalam


(55)

penatalaksanaan alergi antibiotik, organ tubuh yang berperan dalam reaksi alergi antibiotik, ciri reaksi alergi SSJ dan ciri reaksi alergi NET (Tabel 10).

Tabel 10. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden tentang Penatalaksanaan Alergi Antibiotik (n=42)

Pengetahuan Responden

Tahu Tidak Tahu

n % n %

Tahap pertama dalam penatalaksanaan syok anafilaktik

40 95,2 2 4,8

Antihistamin untuk mengatasi alergi antibiotik 36 85,7 6 23,8 Kortikosteroid untuk mengatasi alergi

antibiotik

36 85,7 6 23,8

Jenis kortikosteroid untuk mengatasi reaksi alergi antibiotik

36 85,7 6 23,8

Tahap pertama dalam penatalaksanaan reaksi alergi antibiotik

35 83,3 7 16,7

Tipe hipersensitivitas reaksi alergi antibiotik 33 78,6 9 21,4 SSJ/NET sebagai reaksi alergi antibiotik yang

berat

33 78,6 9 21,4

Ciri reaksi syok anafilaktik 33 78,6 9 21,4 Kekurangan teknik desensitisasi untuk reaksi

alergi antibiotik

33 78,6 9 21,4

Sel limfosit T dalam patofisiologi alergi antibiotic

31 73,8 11 26,2 Tes diagnostik alergi antibiotik 30 71,4 12 28,6 Manifestasi klinis alergi antibiotik 29 69 13 31 Syok anafilaktik sebagai reaksi alergi

antibiotik yang berbahaya dan terjadi secara tiba-tiba

29 69 13 31

Jenis antihistamin untuk reaksi alergi antibiotik 29 69 13 31 Reaksi alergi pada antibiotik 28 66,7 14 33,3 Reaksi alergi pada hipersensitivitas tipe I 28 66,7 14 33,3 Tahap kedua dalam penatalaksanaan syok

anafilaktik

28 66,7 14 33,3 Reaksi alergi urtikaria yang disertai

angioedema


(56)

Pengetahuan responden

Tahu Tidak tahu

n % n %

Ciri reaksi alergi urtikaria 24 57,1 18 42,8 Definisi teknik desensitisasi untuk reaksi alergi

antibiotik

23 54,8 19 45,2 Ciri reaksi alergi erupsi eksemantosa 21 50 21 50 Antibodi hipersensitivitas tipe I 20 47,6 22 52,4 Tahap lanjut dalam penatalaksanaan syok

anafilaktik

19 45,2 23 54,8 Eruspsi eksemantosa sebagai salah satu reaksi

alergi antibiotik

16 38,1 26 61,9 Hal penting dalam penatalaksanaan syok

anafilaktik

16 38,1 26 61,9 Organ tubuh yang berperan dalam reaksi alergi

antibiotic

14 33,3 28 66,7 Ciri reaksi alergi SSJ (sindrom Steven

Johnson)

14 33,3 28 66,7 Ciri reaksi alergi NET (nekrolisis epidermal

toksis)

14 33,3 28 66,7

Hasil penelitian tentang pengetahuanpenatalaksanaan alergi antibiotik didapat persentase tertinggi pada kategori cukup yaitu 42,8%. Sebanyak 35,7% responden termasuk kategori baik dan 21,4% responden termasuk kategori kurang (Tabel 11).

Tabel 11. Kategori Pengetahuan Responden tentangPenatalaksanaan Alergi Antibiotik (n=42)

Kategori n %

Baik Cukup Kurang 15 18 9 35,7 42,8 21,4


(57)

BAB 5 PEMBAHASAN

Hasil pengetahuan responden yang baik dalam hal keadaan patologis rongga mulut dengan indikasi antibiotik, antibiotik profilaksis di kedokteran, definisi antibiotik profilaksis, efek samping antibiotik, dan keunggulan antibiotik sefalosoprin (Tabel 7). Pengetahuan tentang keadaan patologis rongga mulut dengan indikasi antibiotik menunjukkan 95,2% responden mengetahui bahwa abses periodontal terutama disertai keadaan sistemik merupakan contoh kasus diindikasi antibiotik. Hal ini mungkin disebabkan karena pengetahuan mahasiswa yang baik tentang abses periodontal dan antibiotik sebagai obatnya. Pasien yang datang ke klinik Bedah Mulut dengan abses periodontal cukup banyak dan diindikasi antibiotik sebelum dilakukan perawatan. Sebanyak 88% responden mengetahui definisi dan penggunaan profilaksis dengan baik yaitu selain untuk pengobatan dan terapi, antibiotik juga digunakan untuk profilaksis. Termasuk kategori baik karena sebagai mahasiswa kepaniteraan klinik, responden sudah harus mengetahui tujuan utama pemberian antibiotik kepada pasien. Namun masih terdapat responden yang mengetahui antibiotik sebagai penatalaksanaan peradangan saja.Pengetahuan responden mengenai efek samping antibiotik yaitu 85,7%. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak jarang antibiotik menimbulkan efek samping yaitu reaksi alergi seperti urtikaria atau angioedema, erupsi eksemantosa, SSJ, NET, dan syok anafilaktik. Hasil penelitian juga menunjukkan 83,3% responden mengetahui bahwa sefalosporin lebih unggul dibandingkan penisilin karena sefalosporin memiliki aktivitas terhadap bakteri penghasil penisilinase. Karena itu, penggunaan penisilin yang menyebabkan alergi dapat digantikan dengan sefalosporin karena sekitar 90% dari pengguna penisilin yang terkena alergi dapat menggunakan sefalosporin tanpa terjadi reaksi alergi.31

Pengetahuan responden tentang definisi antibiotik yaitu zat yang dihasilkan oleh mikroorganisme atau dihasilkan secara sintetik yang dapat membunuh atau menghambat perkembangan mikroorganisme sebanyak 78,5%.Sebanyak 76,1%


(58)

responden mengetahui bahwa penisilin efektif menangani bakteri gram positif. Namun tidak efektif jika cincin β-laktamnya di pecah oleh β-laktamase.13 Sebanyak 74% responden mengetahui bahwa antibiotik dari golongan β-laktam merupakan antibiotik yang paling sering digunakan didalam kedokteran gigi. Sepertiamoksisilin, amoksisilin-asam klavulanat, ampisilin, sefadroksil, sefaleksin, sefazolin, dan penisilin.11Pengetahuan responden tentang definisi antibiotik, keefektifan penisilin

terhadap bakteri gram positif, dan antibiotik golongan β-laktam terbilang cukup. Hal ini mungkin disebabkan karena responden jarang mengulangi tentang materi farmakologi khususnya tentang antibiotik. Sebanyak 74% responden mengetahui bahwa antibiotik profilaksis tidak dianjurkan pada pasien dengan kasus penggunaan gigi tiruan lepasan atau alat ortodonti. Selain itu antibiotik profilaksis juga tidak dianjurkan untuk pasien pada prosedur dental atau keadaan berikut yaitu anestesi topikal pada jaringan yang tidak meradang, pengambilan radiografi gigi, penyesuaian alat ortodonti, penempatan braket ortodonti, dan pencabutan gigi desidui serta perdarahan karena trauma dibibir dan mukosa.20Sebanyak 62% responden mengetahui bahwa reaksi alergi yang paling sering ditimbulkan oleh antibiotik penisilin adalah urtikaria dan angioedema. Reaksi alergi pada kulit merupakan reaksi alergi yang paling umum terjadi pada alergi obat32, dengan urtikaria sebagai salah satu jenis yang paling umum. Urtikaria terjadi hampir selalu disertai dengan angioedema yaitu sekitar 40%.6

Sementara pengetahuan responden tentang jenis-jenis antibiotik β-laktam dan

jenis antibiotik β-laktam yang paling sering digunakan termasuk kategori

kurang.Sebanyak 54,8% responden mengetahui bahwa jenis antibiotik yang termasuk

golongan β-laktam adalah karbapenem, sefalosporin dan penisilin G diikuti dengan monobaktam, dan karbasefem. Sebanyak 54,8% responden mengetahui jenis

antibiotik β-laktam yang paling sering menjadi pilihan adalah antibiotik penisilin dan amoksisilin. Dan sebanyak 52,4% responden mengetahui bahwa reaksi alergi yang paling sering berasal dari antibiotik penisilin. Penisilin merupakan antibiotik yang paling sering menyebabkan alergi walaupun dalam penggunaannya penisilin merupakan jenis antibiotik yang paling baik.10


(1)

Valid 1 2.4 2.4 2.4 menunggu beberapa hari

untuk memastikan

1 2.4 2.4 4.8

segera menghentikan penggunaan obat bersangkutan

37 88.1 88.1 92.9

merujuk pasien ke dokter gigi lain

3 7.1 7.1 100.0

Total 42 100.0 100.0

obat alergi pertama

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid antihistamin 36 85.7 85.7 85.7

analgesik 5 11.9 11.9 97.6

pengobatan tradisional 1 2.4 2.4 100.0

Total 42 100.0 100.0

obat alergi pertama

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid antihistamin 36 85.7 85.7 85.7

analgesik 5 11.9 11.9 97.6

pengobatan tradisional 1 2.4 2.4 100.0

Total 42 100.0 100.0

obat alergi pertama

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(2)

Valid antihistamin 36 85.7 85.7 85.7

analgesik 5 11.9 11.9 97.6

pengobatan tradisional 1 2.4 2.4 100.0

Total 42 100.0 100.0

bukanantihistaminpilihan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid fexofenadin 7 16.7 16.7 16.7

desloratadin 6 14.3 14.3 31.0

aspirin 29 69.0 69.0 100.0

Total 42 100.0 100.0

obat alergi kedua

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid antihistamin tambahan 3 7.1 7.1 7.1

kortikosteroid 35 83.3 83.3 90.5

analgesik 4 9.5 9.5 100.0

Total 42 100.0 100.0

kortikosteroid pilihan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 2.4 2.4 2.4

fexofenadin 3 7.1 7.1 9.5

prednison 36 85.7 85.7 95.2


(3)

kortikosteroid pilihan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 2.4 2.4 2.4

fexofenadin 3 7.1 7.1 9.5

prednison 36 85.7 85.7 95.2

desloratadin 2 4.8 4.8 100.0

Total 42 100.0 100.0

definisi teknik desensitisasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 2.4 2.4 2.4

Terapi yang dilakukan dengan cara memberikan alergen sedikit demi sedikit untuk membangkitkan pembentukan Ig-G atau blocking antibody

25 59.5 59.5 61.9

Terapi yang dilakukan dengan cara memberikan alergen sedikit demi sedikit untuk membangkitkan pembentukan Ig-M atau blocking antibody

6 14.3 14.3 76.2

Terapi yang dilakukan dengan cara memberikan alergen sedikit demi sedikit untuk menghentikan pembentukan Ig-G atau blocking antibody

10 23.8 23.8 100.0


(4)

kekurangan desensitisasi

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Memerlukan waktu yang

singkat, mahal, dan memilik resiko syok anafilaktik

5 11.9 11.9 11.9

Memerlukan waktu yang lama, mahal, dan memilik resiko syok anafilaktik

33 78.6 78.6 90.5

Memerlukan waktu yang lama, murah, dan memilik resiko syok anafilaktik

4 9.5 9.5 100.0

Total 42 100.0 100.0

tahap pertama penatalaksanaan syok anafilaktik

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Mengirim pasien ke rumah

sakit menggunakan ambulans

1 2.4 2.4 2.4

Melakukan penilaian ABC ( airway, breathing, circulation )

41 97.6 97.6 100.0

Total 42 100.0 100.0

tahap kedua penatalaksanaan syok anafilaktik

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(5)

Pemberian adrenalin dan diulang setiap 15 menit sampai keadaan membaik

28 66.7 66.7 76.2

Pasien diizinkan pulang dan dapat menggunakan antibiotik bersangkutan lagi

5 11.9 11.9 88.1

Pasien dirujuk kerumah sakit 5 11.9 11.9 100.0

Total 42 100.0 100.0

tahap lanjut penatalaksanaan syok anafilaktik

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 1 2.4 2.4 2.4

pemberian vitamin 5 11.9 11.9 14.3

pemberian kortikosteroid 20 47.6 47.6 61.9

pemberian antihistamin 16 38.1 38.1 100.0

Total 42 100.0 100.0

hal penting penatalaksanaan syok anafilaktik

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Kalau tidak terpaksa, tidak

perlu mengirimkan pasien dengan syok anafilaktik ke rumah sakit karena pasien dapat meninggal sewaktu diperjalanan


(6)

Pasien dengan syok anafilaktik harus segera dikirimkan ke rumah sakit karena peralatan dirumah sakit lebih lengkap

20 47.6 47.6 85.7

Begitu syok anafilaktik terjadi pasien harus segera dirujuk ke dokter untuk menjalani pengobatan khusus

6 14.3 14.3 100.0


Dokumen yang terkait

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Bell’s Palsy Di Departemen Bedah Mulut Fkg Usu Periode Desember 2014 – Januari 2015

4 62 54

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Trigeminal Neuralgia Di Departemen Bedah Mulut Fkg Usu Periode Januari 2015-Februari 2015

2 108 70

Gambaran Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah Mulut RSGMP FKG USU Tentang Anestetikum Lokal

6 75 49

Tingkat Pengetahuan penggunaan Antibiotik Oleh Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah Mulut RSGM-P FKG USU Periode september 2013 – maret 2014

4 77 84

Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut FKG USU pada penanganan trauma maksilofasial periode November – Desember 2015

0 6 66

Tingkat pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Departemen Bedah Mulut FKG USU pada penanganan trauma maksilofasial periode November – Desember 2015

0 1 12

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Trigeminal Neuralgia Di Departemen Bedah Mulut Fkg Usu Periode Januari 2015-Februari 2015

0 0 14

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK TERHADAP PENGETAHUAN ANTIBIOTIK DAN PENATALAKSANAAN ALERGI ANTIBIOTIK DI KLINIK BEDAH MULUT FKG USU 2015

0 1 32

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Antibiotik - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Antibiotik Dan Penatalaksanaan Alergi Antibiotik Di Klinik Bedah Mulut Fkg Usu 2015

1 1 27

TINGKAT PENGETAHUAN MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK TERHADAP ANTIBIOTIK DAN PENATALAKSANAAN ALERGI ANTIBIOTIK DI KLINIK BEDAH MULUT FKG USU 2015

0 0 13