nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang Pasal 16 . Presiden dibantu oleh menteri-menteri dalam
menjalankan tugas-tugasnya. Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Para menteri tidak bertanggung jawab kepada DPR tetapi kepada
Presiden Pasal 17. 10. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang Pasal 20 Ayat 1 .
Ayat 2 Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Ayat 4 : Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Pasal 22 Ayat 1 : Dalam hal ihwal kegentingan yang
memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Ayat 2 : Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
B. Penerapan Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia Setelah
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945
Sistem pemerintahan presidensial dapat dilihat dari pasal-pasal dalam UUD 1945 seperti yang telah disebutkan diatas. Penegasan sistem pemerintahan
presidensial setelah amandemen dapat dilihat dari 1. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar Pasal 1 Ayat 2. Berdasarkan ketentuan ini, kedaulatan tidak lagi dipegang oleh MPR melainkan berada ditangan rakyat dan dilaksana menurut
Undang-Undang Dasar. UUD 1945 yang menentukan bagian mana dari kedaulatan rakyat yang pelaksanaannya diserahkan kepada lembaga yang
Universitas Sumatera Utara
keberadan, wewenang, tugas, dan fungsinya ditentukan oleh UUD 1945 itu sendiri dan menentukan bagian mana kedaulatan rakyat yang langsung dilaksanakan
rakyat itu sendiri melalui pemilu.
103
Sebagai bagian dari penerapan sistem pemerintahan presidensial, hasil amandemen UUD 1945 ini menghilangkan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi
negara. Penghapusan sistem lembaga tertinggi negara sistem supremasi parlemen merupakan upaya untuk keluar dari sistem ketatanegaraan yang
menganut prinsip pembagian kekuasaan distribution of power. Dalam proses pembagian itu, terutama antara fungsi tugas eksekutif dan legislatif, tidak terpisah
secara tegas dan karena itu tidak terdapat hubungan checks and balances.
104
UUD 1945 setelah amandemen menunjukkan adanya pemisahan kekuasaan di dalam sistem pemerintahan presidensial, walaupun belum secara
konsisten dilakukan. Hal ini terlihat dari kekuasan membentuk Undang-undang ada di tangan DPR Pasal 20 Ayat 1 tetapi pada ayat berikutnya menegaskan
bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Walaupun demikian, keseimbangan kekuasaan
check and balances antara legislatif, eksekutif dan yudikatif, lebih baik dibandingkan sebelum amandemen.
105
Penghapusan MPR sebagai pemegang kedaulatan rakyat diikuti dengan mengubah ketentuan Pasal 2 UUD 1945 Ayat
1 yaitu MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Perubahan mendasar ini menjadikan MPR dari lembaga
103
Ibid.
104
Riri Nazriyah, Op.Cit., hlm 133.
105
Firdaus, Op.Cit., hlm 127.
Universitas Sumatera Utara
tertinggi mengalami menjadi lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga negara lainnya, seperti : Presiden, BPK, MA, MK, dan KY.
MPR tidak lagi berwenang memilih presiden dan wakil presiden. Pemilihan presiden dan wakil presiden oleh MPR dimungkinkan jika Presiden
dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan
sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 8 Ayat 3 UUD 1945. Selain itu, presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR kecuali jika ada tuntutan dari DPR
kepada Mahkamah Konstitusi tentang adanya pelanggaran hukum atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
danatau Wakil Presiden. Jika tuntutan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam suatu keputusan, maka DPR dapat melanjutkan tuntutan
pemberhentian Presiden kepada MPR. 2. Kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden pasal 4 ayat 1. Tidak ada
pemisahan kedudukan Presiden sebagai kepala negara nominal executive dan kepala pemerintahan real executive. Yang ada hanya Presiden dan Wakil
Presiden yang merupakan satu kesatuan dalam menyelenggarakan pemerintahan. Kekuasaan presiden setelah perubahan UUD 1945 adalah :
1. Kekuasaan Penyelenggaraan Pemerintahan Yang menjadi dasar bagi Presiden menyelenggarakan pemerintahan adalah
Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Ditinjau
Universitas Sumatera Utara
dari pembagian kekuasaan, menurut Bagir Manan
106
yang dimaksud kekuasaan pemerintahan adalah kekuasaan eksekutif. Sebagai kekuasaan eksekutif,
penyelenggaraan pemerintahan yang dilaksanakan presiden dapat dibedakan antara penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum dan bersifat khusus.
Kekuasaaan Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan bersifat umum adalah kekuasaan menyelenggarakan administrasi negara. Presiden adalah
penyelenggara tertinggi penyelenggaraan administrasi negara. Penyelenggaraan administrasi negara meliputi lingkup tugas dan wewenang yang sangat luas yaitu,
setiap bentuk perbuatan atau kegiatan administrasi negara. Tugas-tugas dan wewenang tersebut dapat dikelompokkan kedalam beberapa golongan
107
: a.
Tugas dan wewenang administrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum.
b. Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai
dari surat-menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain. c.
Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang pelayanan umum. d.
Tugas dan wewenang administrasi negara di bidang penyelenggaraan kesejahteraan umum.
Sedangkan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus, menurut Bagir Manan adalah penyelenggaraan tugas dan wewenang
pemerintahan secara konstitusional berada ditangan Presiden pribadi yang bersifat prerogatif dalam bidang pemerintahan. Tugas dan wewenang pemerintahan
tersebut adalah Presiden sebagai pimpinan tertinggi angkatan perang, hubungan
106
Abdul Ghoffar, Op.Cit., hlm 98.
107
Ibid., hlm 99.
Universitas Sumatera Utara
luar negeri, dan hak memberi gelar dan tanda jasa. Walaupun tugas dan wewenang konstitusional bersifat prerogarif, tetapi ada didalam kekuasaan
pemerintahan sehingga menjadi bagian dari objek administrasi negara.
108
2. Kekuasaan di Bidang Peraturan Perundang-undangan a.
Kekuasaan mengajukan RUU dan membahasnya bersama DPR Sebelum amandemen UUD 1945 presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan DPR. Namun, setelah amandemen kekuasaan membentuk undang-undang dipegang oleh DPR berdasarkan Pasal 20 Ayat 1
UUD 1945. Walaupun demikian Presiden tetap mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Namun, khusus untuk mengajukan rencana undang-undang tentang APBN, hanya presiden yang mempunyai kekuasaan untuk mengajukannya.
109
Segala rancangan undang-undang harus dibahas bersama dengan presiden untuk mendapat
persetujuan bersama. Apabila rancangan undang-undang tersebut tidak mendapatkan persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat. b.
Kekuasaan Membentuk Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang- Undang Perpu.
Ketentuan Pasal 22 Ayat 1 UUD 1945 tidak mengalami perubahan. Pasal tersebut berbunyi : Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Syarat pokok yang harus dipenuhi oleh seorang presiden dalam mengeluarkan Peraturan
108
Ibid., hlm 99.
109
Ibid., hlm 100.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut adalah adanya unsur kegentingan yang memaksa. Namun tidak ada penjelasan resmi berkaitan dengan unsur dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa tersebut. Menurut Bagir Manan, unsur kegentingan yang memaksa harus
menunjukkan dua ciri utama, yaitu : adanya krisis atau kemendesakan emergency. Suatu keadaan krisis apabila mendapat suatu gangguan yang
menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak. Kemendesakan adalah apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan dan menuntut suatu tindakan
atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu. Walaupun demikian pertimbangan subjektif presiden adalah penentu keluarnya
perpu tersebut.
110
c. Kekuasaan Menetapkan Peraturan Pemerintah
Berdasarkan Pasal 5 Ayat 2 menyatakan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Peraturan
Pemerintah PP dapat dibuat berdasarkan delegasi langsung dari undang-undang maupun berdasarkan pertimbangan presiden untuk melaksanakan suatu undang-
undang. 3. Kekuasaan di Bidang Yudisial
Ketentuan Pasal 14 UUD 1945 sebelum perubahan menyatakan presiden mempunyai kewenangan untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Namun, setelah perubahan UUD 1945 dalam hal grasi dan amanesti, Presiden
110
Ibid., hlm 101.
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, dan dalam hal memberi amnesti dan abolisi presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
4. Kekuasaan dalam mengadakan Hubungan dengan Luar Negeri Dalam UUD 1945 baik sebelum dan sesudah perubahan, menetapkan
beberapa jenis hubungan luar negeri yaitu mengadakan perjanjian dengan negara lain, mengadakan perdamaian dengan negara lain, mengangkat duta dan konsul
untuk negara lain dan menerima duta dan konsul negara lain. a.
Kekuasaan Mengadakan Perjanjian dengan Negara Lain Ketentuan mengenai perjanjian internasional setelah perubahan UUD 1945
mengalami perubahan. Ada penambahan dua ayat pada pasal tersebut hngga menjadi tiga ayat. Ayat 1 isinya sama dengan Pasal 11 sebelum perubahan yaitu
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Ayat 2 menyatakan
Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait fengan beban
keuangan negara, danatau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang- undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ayat 3 Ketentuan
lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang. b.
Kekuasaan Mengangkat dan Menerima Duta dan Konsul Sebelum Perubahan UUD 1945 Presiden mengangkat duta dan konsul
tanpa pertimbangan dari lembaga negara lainnya. Namun, setelah perubahan kewenangan presiden dalam mengangkat duta dan konsul harus dilakukan
berdasarkan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Universitas Sumatera Utara
5. Kekuasaan Menyatakan Keadaan Bahaya Berdasarkan Pasal 12 UUD 1945 Presiden memiliki kewenangan untuk
menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibat bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Kekuasaan Presiden dalam menyatakan keadaan bahaya tidak
mengalami perubahan dalam UUD 1945. Dari pasal tersebut dapat diartikan bahwa dalam menyatakan keadaan bahaya Presiden tidak perlu meminta
persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, syarat dan akibat keadaan bahaya harus diatur dalam undang-undang, yang berarti
memerlukan persetujuan dari DPR. 6. Kekuasaan Sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi Angkatan Bersenjata
Berdasarkan Pasal 10 UUD 1945 Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Dari
ketentuan tersebut maka kepolisian tidak termasuk sebagai angkatan perang atau bersenjata. Karena pada era sebelum reformasi, berdasarkan Pasal 3 Undang-
Undang No. 13 Tahun 1961 angkatan kepolisian dinyatakan sebagai Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dengan demikian, secara administratif Kepolisian
berada di bawah Menteri Keamanan dan Pertahanan.
111
Namun setelah reformasi ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut telah mengalami perubahan. Ketetapan MPR Nomor VIMPR2000
menetapkan pemisahan Tentara Nasional Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Berdasarkan Ketetapan tersebut dibentuklah UU No 2 Tahun
2002 tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia. Berdasarkan dengan Pasal
111
Ibid., hlm 113.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang tersebut, Kepolisian berada di bawah presiden. Lembaga kepolisian tersebut dipimpin oleh kapolri yang bertanggung jawab kepada
presiden. Sedangkan kedudukan TNI berdasarkan Pasal 3 UU No 34 Tahun 2004 TNI berkedudukan dibawah presiden. Sedangkan dalam kebijakan dan strategi
pertahanan serta dukungan administrasi, TNI di bawah koordinasi Departemen Pertahanan.
112
7. Kekuasaan Memberi Gelar dan Tanda Kehormatan. Berdasarkan Pasal 15 UUD 1945, Presiden memberikan gelar, tanda jasa,
dan lain-lain tanda kehormatan diatur dengan undang-undang. 8. Kekuasaan Membentuk Dewan Pertimbangan Presiden
Dewan Pertimbangan Presiden merupakan lembaga negara yang baru dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Lembaga ini merupakan pengganti
dari Dewan Pertimbangan Agung DPA. DPA dibubarkan dengan alasan bahwa lembaga ini tidak efektif dan hanya menghamburkan uang negara serta lembaga
ini dijadikan tempat pembuangan bagi pejabat negara yang dinilai tidak mendukung kepada pemerintah. Sebelum perubahan UUD 1945, berdasarkan
Pasal 16 UUD 1945, DPA adalah lembaga negara yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan presiden dalam kedudukan sejajar, karena sama-sama
lembaga tinggi negara tetapi presiden tidak terikat dengan nasihat dari pertimbangan itu. Hal yang demikian dianggap keberadaan DPA yang tidak
efektif dan efisien. Mekanisme penetapan pertimbangan oleh DPA harus melalui prosedur pembahasan dalam pengambilan putusan sidang DPA sehingga
112
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan waktu yang lama sehingga ketika presiden membutuhkan nasihat tidak serta merta bisa diberikan.
113
Sesudah perubahan UUD 1945, pasal 16 tidak lagi mengatur tentang DPA melainkan mengatur tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Pasal 16 UUD 1945
menyatakan Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan presiden yang bertugas memberi nasihat dan pertimbangan kepada presiden yang selanjutnya
diatur dalam undang-undang. Dari ketentuan tersebut maka Dewan Pertimbangan Presiden sebagai pengganti Dewan Pertimbangan Agung. Dewan Pertimbangan
Presiden bukan sebagai lembaga negara yang sederajat dengan presiden melainkan hanya sebagai lembaga pemerintah dibawah presiden. Pembentukan
lebih lanjut mengenai Dewan Pertimbangan Presiden diatur dalam UU No. 19 Tahun 2006 dan untuk menjalankan undang-undang tersebut Presiden telah
membentuk Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Kerja Dewan Pertimbangan Presiden dan Sekretariat Pertimbangan Presiden.
114
Setiap anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini berhak menyampaikan nasihat dan pertimbangan secara langsung kepada presiden. Apabila pertimbangan
yang disampaikan atas nama lembaga, maka pertimbangan tersebut telah disetujui secara mufakat oleh seluruh anggota Dewan Pertimbangan Presiden dan
ditetapkan dalam rapat yang dihadiri minimal 5 orang. Pertimbangan yang disampaikan kepada presiden harus ditandatangani oleh Ketua Dewan
Pertimbangan Presiden. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden juga dapat memberikan nasihat secara langsung kepada presiden. Apabila presiden
113
Ibid., hlm 114-115.
114
Ibid., hlm 117.
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan nasihat mengenai hubungan internasional, maka Presiden dapat meminta nasihat anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang hubungan
internasional secara langsung. Atau sebaliknya, ketika Dewan Pertimbangan Presiden bidang hubungan luar negeri merasa perlu untuk memberi nasihat kepada
presiden tentang hubungan luar negeri maka Dewan Pertimbangan Presiden dapat menyampaikan secara langsung kepada presiden. Mekanisme yang telah
dijelaskan diatas tidak terjadi pada masa DPA. Setiap presiden meminta nasihat dari DPA, lembaga ini akan melakukan rapat pleno terlebih dahulu untuk
membahasnya sehingga pemberian nasihat atau pertimbangan secara langsung kepada presiden tidak dapat diilakukan secara cepat.
115
9. Kekuasaan Mengangkat dan Memberhentikan Menteri-menteri Berdasarkan Pasal 17 UUD 1945, menteri-menteri diangkat dan
diberhentikan oleh presiden. Jika sebelum perubahan UUD 1945, presiden dapat melakukan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara.
Namun setelah perubahan UUD 1945 hal tersebut tidak dapat dilakukan secara bebas oleh presiden karena semua nya itu diatur dengan undang-undang. Dengan
adanya ketentuan tersebut, untuk melakukan pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara, presiden memerlukan persetujuan DPR tetapi
dalam pengangkatan dan pemberhentian menteri-menteri, presiden dapat melakukan kapan saja tanpa harus meminta persetujuan atau pertimbangan dari
siapa pun.
115
Ibid., hlm 118.
Universitas Sumatera Utara
10. Kekuasaan Mengangkat, Menetapkan atau Meresmikan Pejabat-pejabat Negara Lainnya.
Setelah perubahan UUD 1945, presiden memiliki beberapa kekuasaan konstitusional dalam hal pengangkatan, pemberhentian, penetapan maupun
peresmian pejabat-pejabat negara tertentu yaitu : pertama, berdasarkan Pasal 23 UUD 1945, Presiden mempunyai kekuasaan konstitusional untuk meresmikan
anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang telah dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Kedua, berdasarkan Pasal 24 Ayat 3,
presiden mempunyai kekuasaan untuk menetapkan calon Hakim Agung usulan dari Komisi Yudisial yang telah disetujui oleh DPR. Ketiga, berdasarkan Pasal 24
B Ayat 3 UUD 1945 , presiden mempunyai kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan persetujuan DPR. Keempat,
berdasarkan Pasal 24 C UUD 1945, Presiden juga memiliki kekuasaan untuk mengusulkan tiga hakim konstitusi dan menetapkan sembilan hakim konstituai
yang diusulkan masing-masing tiga dari Mahkamah Konstitusi, tiga dari DPR, dan tiga dari Presiden sendiri.
116
2. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Sebelum amandemen UUD 1945, walaupun telah dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden berdasarkan Pasal 6 Ayat 2, hal itu belum sesuai dengan karakter sistem pemerintahan presidensial yang menghendaki atau mensyaratkan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Dalam sistem
116
Ibid., hlm 120.
Universitas Sumatera Utara
presidensial, presiden tidak dipilih oleh lembaga legislatif.
117
Pemilihan langsung oleh rakyat dalam sistem pemerintahan presidensial tidak hanya sekedar
memberikan kesempatan yang luas kepada rakyat untuk menetukan pilihan secara langsung, tetapi juga memberikan bukti adanya mandat langsung dan dukungan
yang nyata dari rakyat.
118
Pemurnian sistem pemerintahan presidensial setelah amandemen UUD 1945 dilakukan dengan mengubah Pasal 6 Ayat 2 yang menyatakan Presiden
dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat mengadakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung seperti yang dinyatakan
dari pasal 6 A Ayat 1 UUD 1945 yang yang menyatakan : 1
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
2 Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
3 Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara
lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara disetiap provinsi yang tersebar
di lebih setengah jumlah provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil
Presiden.
4 Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih,
dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang
memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
5 Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur dalam undang-undang.
Dari ketentuan dalam Pasal 6A UUD 1945 tersebut, setidaknya terdapat tiga karakter pemilihan PresidenWakil Presiden langsung hasil perubahan UUD
117
Saldi Isra, Op.Cit., hlm 71.
118
Ibid., hlm 64.
Universitas Sumatera Utara
1945 yaitu pertama, partai politik atau gabungan partai politik pemilihan umum menjadi satu-satunya jalan dalam mengajukan pasangan calon presidenwakil
presiden. Kedua, tidak ada kesempatan bagi perseorangan untuk maju menjadi calon presidenwakil presiden. Ketiga, selain harus mendapatkan dukungan lebih
dari 50 persen suara pemilih, persebaran dukungan suara minimal 20 persen sekurang-kurangnya setengah jumlah provinsi menjadi persyaratan yang harus
dipenuhi untuk dapat memenangkan putaran pertama pemilihan first round. Jika kedua syarat dipenuhi maka Pasal 6A dilaksanakan untuk menyelenggarakan
pemilihan putaran kedua.
119
3. Adanya penegasan periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Pengertian fix-term dalam sistem pemerintahan presidensial adalah adanya
kepastian masa jabatan dan periodisasi masa jabatan presiden dan wakil presiden. Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen mengatur secara jelas masa jabatan
presiden dan wakil presiden yaitu lima tahun. Namun, ketentuan tersebut tidak secara jelas mengatur untuk berapa kali periode seseorang dapat menjadi presiden
dan wakil presiden. Setelah amandemen UUD 1945 dalam Pasal 7 menentukan Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Pembatasan masa jabatan dan periodisasi yang diberikan kepada Presiden
dan Wakil Presiden dimaksudkan agar mendorong terjadinya siklus
119
Ibid, hlm 65.
Universitas Sumatera Utara
kepemimpinan dan mencegah orang berkuasa terlalu lama sehingga mengarah pada penumpukan kekuasaan yang pada gilirannya menjadi seorang tirani.
120
4. Adanya larangan bagi Presiden untuk membekukan danatau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Larangan ini dimaksudkan apabila terjadi ketegangan
antara Presiden dan lembaga perwakilan rakyat maka presiden tidak berhak membubarkan lembaga perwakilan rakyat seperti yang terjadi pada tahun 1960,
ketika itu DPR Gotong Royong menolak Rancangan APBN yang diajukan oleh pemerintah. Sehingga Presiden mengambil langkah membubarkan DPR-GR.
Demikian juga dengan Presiden Abdurahman Wahid yang ketika terancam diberhentikan oleh MPR, mengambil tindakan dengan mengeluarkan maklumat
untuk membekukan MPR dan DPR.
121
5 Adanya kejelasan tentang syarat dan mekanisme pembentian presiden dan wakil presiden ditengah masa jabatan. Salah satu karakter sistem pemerintahan
presidensial adalah adanya masa jabatan yang tetap fix term, meskipun demikian bukan berarti presiden dan wakil presiden tidak dapat diberhentikan dalam masa
jabatannya. Syarat-syarat dan mekanisme pemberhentian ini harus jelas diatur dalam konstitusi karena jika tidak terdapat pengaturan secara jelas maka hal itu
akan mengganggu upaya dalam menciptakan pemerintahan yang stabil.
122
Sebelum perubahan UUD 1945 tidak ada pengaturan pemberhentian impeachment Presiden di tengah masa jabatan. Kemungkinan pemberhentian
presiden di tengah masa jabatannya adalah berdasarkan Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan, jika presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan
120
Ibid.
121
Ibid., hlm 69.
122
Ibid., hlm 66-67.
Universitas Sumatera Utara
kewajibannya dalam masa jabatannya ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya. Selain ketentuan tersebut, Penjelasan Umum UUD 1945
menyatakan DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan presiden dan jika DPR menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang
ditetapkan oleh UUD dan MPR, maka majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar dapat diminta pertanggungjawaban kepada presiden.
Dari Penjelasan Umum UUD 1945 tersebut, pemberhentian presiden dilakukan dalam Sidang Istimewa MPR. Sidang tersebut dilaksanakan sangat tergantung atas
pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh presiden dan permintaan DPR kepada MPR. Penjelasan UUD 1945 tersebut tidak menyebutkan secara jelas
bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh presiden. Alasan pemakzulan presiden adalah presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh
UUD atau oleh MPR. Penjelasan tentang melanggar haluan negara tidak dijabarkan secara terang. Dengan adanya ketidakjelasan tersebut, penilaian
subjektif mayoritas anggota DPR dalam pengajuan Sidang Istimewa menjadi dominan dalam memberhentikan presiden.
123
Untuk menghindari
ketidakjelasan tentang syarat-syarat pemberhentian
presiden, UUD 1945 hasil perubahan membuat syarat-syarat pemakzulan yang lebih jelas dan ketat. Berdasarkan pasal 7A UUD 1945, syarat-syarat presiden
dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR berdasar dengan alasan : apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan
123
Ibid., hlm 68.
Universitas Sumatera Utara
tercela maupun apabila tidak lagi terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden. Pelanggaran hukum yang dimaksudkan dalam
Pasal 7A telah memiliki pengaturan dalam KUHP dan peraturan perundang- undangan lainnya. Sedangkan batasan mengenai perbuatan tercela belum ada
rujukannya norma yuridis secara jelas.
124
Penjabaran tentang ketentuan Pasal 7A diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi Pasal 10 ayat 3 dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden DanAtau Wakil Presiden sebagai berikut :
a. Pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap keamanan
negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. b.
Korupsi adalah tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam undang- undang.
c. Penyuapan adalah tindak pidana penyuapan sebagaimana diatur dalam
undang-undang. d.
Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima 5 tahun atau lebih.
e. Perbuatan tercela atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat
Presiden danatau Wakil Presiden.
124
Firdaus, Op.Cit., hlm 166.
Universitas Sumatera Utara
f. Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden
adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan Pasal 7B UUD 1945, DPR tidak bisa secara langsung mengajukan usul pemberhentian Presiden kepada MPR, tetapi dengan
meyampaikan terlebih dahulu kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi nenenuhi syarat sebagai presiden. Usul DPR kepada Mahkamah Konstitusi harus memenuhi kuorum atau dukungan sekurang-
kurangnya 23 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya 23 jumlah anggota DPR. Jika Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden, maka DPR selanjutnya mengadakan
sidang paripurna untuk meneruskan usulan pemberhentian presiden kepada MPR. Kemudian, dalam waktu 30 hari terhitung sejak menerima usul DPR, MPR wajib
menggelar sidang istimewa untuk memutuskan usul DPR tersebut. Keputusan MPR dilakukan dalam Rapat Paripurna MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya ¾
dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 23 jumlah anggota yang hadir setelah presiden diberi kesempatan untuk memberi penjelasan dalam
rapat paripurna MPR.
125
Namun, jika melihat sistem kepartaian di Indonesia, sistem pemerintahan presidensial di Indonesia dapat dikatakan tidak diterapkan secara murni. Hal ini
125
Saldi Isra, Loc.Cit., hlm 68-69.
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan dalam sistem pemerintahan presidensial sistem kepartaian yang dianut adalah sistem dwi partai seperti yang dianut oleh negara Amerika Serikat
atau sistem kepartaian sederhana seperti negara Paraguay
126
dengan 4 partai politik dan Argentina dengan 5 partai politik tetapi dalam sistem presidensial di
Indonesia justru menganut sistem multi partai seperti yang biasa dianut dalam sistem pemerintahan parlementer. UUD 1945 memang tidak mengamanatkan
sistem kepartaian yang dipakai di Indonesia. Namun, jika melihat Pasal 6 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum, sehingga dapat disimpulkan bahwa
Indonesia menganut sistem multi partai. Karena yang berhak mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden adalah partai atau gabungan partai politik. Kata
gabungan partai politik dapat diartikan bahwa terdapat paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk bersaing
dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik yang lain. Dengan demikian dari pasal tersebut dapat disimpulkan di dalam pemilu terdapat paling sedikit tiga
partai politik. Karakter sistem parlementer dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia terlihat dari sistem pemerintahan dengan sistem multi
partai dengan jumlah partai terlalu banyak yaitu 24 partai politik dalam pemilu 2004 dan 38 partai politik dalam pemilu 2009.
127
126
http:fealac.kemlu.go.idindex.php?option=com_contentview=articleid=82Itemid=148lan g=in
127
Hanta Yuda AR, Presidensialisme Setengah Hati, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hlm 118.
Universitas Sumatera Utara
Jumlah partai politik yang terlalu banyak pada saat ini melemahkan sistem presidensial karena mengganggu jalannya pemerintahan. Dikatakan mengganggu
jalannya pemerintahan dikarenakan mayoritas DPR dikuasai kekuatan politik yang berbeda dengan Presiden sehingga untuk mengantisipasi hal itu Presiden
membentuk koalisi dengan beberapa partai politik untuk mendukung pemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya.
128
Namun, koalisi yang dibentuk presiden yang pada awalnya dikehendaki untuk mendukung sepenuhnya kebijakan pemerintah tidak terealisasi karena justru
koalisi yang ada terkadang mengganggu kebijakan pemerintah karena sering terjadi perbedaan pendapat melalui hak interplasi dan hak angket atas kebijakan
pemerintah.
129
Hal ini disebabkan karena masih terdapat beberapa permasalahan dalam koalisi yang dibentuk, yaitu :
1 Tidak ada kejelasan antara partai politik koalisi dan partai oposisi dalam
politik Indonesia. Kesepakatan yang dibangun dalam Koalisi sangat bersifat umum sekali, bahwa setiap Partai Koalisi harus selalu mendukung
Pemerintah. Hal ini terlihat dari kasus dana bail out Bank Century dimana dicurigai adanya penyimpangan dan inkonstitusional. Maka secara
otomatis partai politik mayoritas di DPR yang juga anggota partai politik koalisi yakni Golkar dan PKS menunjukkan sikapnya dengan membentuk
128
Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia, Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial dalam Ketatanegaraan Indonesia Di Era Penerapan Sistem Multi Partai Guna
Memantapkan Sinergitas Antara Lembaga Eksekutif dan Legislatif Untuk Percepatan Proses Pembangunan Nasional.
129
Artikel Dies Emas ITB : Membedah Sistem Presidensial dalam Today’s Dialogue
yang dikutip dari http:www.itb.ac.idnewstrackback2381, diakses pada 5 Agustus 2011.
Universitas Sumatera Utara
hak angket untuk mengusut kasus tersebut. Secara langsung dapat dilihat bahwa telah terjadi konflik dalam partai politik koalisi dalam
pemerintahan tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai pemimpin partai yang paling kuat dalam koalisi berpendapat bahwa
Golkar dan PKS telah berkhianat karena seharusnya koalisi seharusnya senantiasa mendukung setiap kebijakan pemerintah. Namun, Golkar
berkilah dengan mengatakan mereka mengungkap kebenaran merupakan suatu bentuk dukungan kepada pemerintah.
130
2 Koalisi yang dibangun lebih banyak terkait kepentingan partai politik dari
pada visi dan kebijakan.
131
3 Tidak ada sanksi yang jelas bagi partai politik koalisi yang tidak
mendukung pemerintah. Hal ini berbeda dengan koalisi yang dibentuk didalam sistem parlementer karena partai politik koalisi lebih bersifat
permanen dan disiplin karena anggota parlemen dari koalisi partai politik koalisi yang tidak mendukung pemerintah akan dikeluarkan dari parlemen.
Selain ancaman dikeluarkan dari keanggotaan parlemen dari partai politiknya, jika anggota partai politik koalisi tidak mendukung kebijakan
pemerintah maka akan mempengaruhi suara partai politik yang bersangkutan dalam pemilu berikutnya. Sehingga jika pemerintah berhasil
dalam menjalankan pemerintahannya maka akan mempengaruhi citra partai politik koalisi pendukungnya.
132
130
http:rizkian.wordpress.com20101017, diakses pada 17 Juli 2011.
131
http:www.surabayapagi.com, diakses pada 16 Juli 2011.
132
http:rizkian.wordpress.com20101017, diakses pada 17 Juli 2011.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PENUTUP