karena itu kajian tentang iklim lebih banyak diarahkan pada hujan. Berdasarkan pola hujan, wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga Boerema, 1938, yaitu pola
Monsoon, pola ekuatorial dan pola lokal.
21
Pola Moonson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember. Selama enam bulan curah hujan relatif
tinggi biasanya disebut musim hujan dan enam bulan berikutnya rendah bisanya disebut musim kemarau. Secara umum musim kemarau berlangsung dari April
sampai September dan musim hujan dari Oktober sampai Maret. Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal, yaitu dua
puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober saat matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal satu
puncak hujan tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan pada tipe moonson Gambar 2.1.
100 200
300 400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
100 200
300 400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
100 200
300 400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 100
200 300
400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tipe Lokal
Tipe Equatorial
Tipe Monsoon
100 200
300 400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
100 200
300 400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
100 200
300 400
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 100
200 300
400 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tipe Lokal
Tipe Equatorial
Tipe Monsoon
Gambar 2.2. Pembagian wilayah Indonesia menurut pola hujan
Curah hujan diukur dalam satuan milimeter mm. Pengukuran curah hujan dilakukan melalui alat yang disebut penakar curah hujan dan diukur setiap jam 07
pagi waktu setempat.
2.13 ALAT PENGUKUR CURAH HUJAN
Presipitasihujan adalah suatu endapan dalam bentuk padatcair hasil dari proses kondensasi uap air di udara yang jatuh kepermukaan bumi
Universitas Sumatera Utara
Satuan ukur untuk presipitasi adalah Inch, millimetres volumearea, atau kgm
2
massarea untuk precipitation bentuk cair. 1 mm hujan artinya adalah ketinggian air hujan dalam radius 1 m
2
adalah setinggi 1 mm, apabila air hujan tersebut tidak mengalir, meresap atau menguap. Pengukuran curah hujan harian
sedapat mungkin dibacadilaporkan dalam skala ukur 0.2 mm apabila memungkinkan menggunakan resolusi 0.1 mm. Prinsip kerja alat pengukur curah
hujan antara lain : pengukur curah hujan biasa observariaum curah hujan yang jatuh diukur tiap hari dalam kurun waktu 24 jam yang dilaksanakan setiap pukul 00.00
GMT, pengukur curah hujan otomatis melakukan pengukuran curah hujan selama 24 jam dengan merekam jejak hujan menggunakan pias yang terpasang dalam jam alat
otomatis tersebutdan dilakukan penggantian pias setiap harinya pada pukul 00.00 GMT, sedangkan pengukuran curah hujan digital dimana curah hujan langsung
terkirim kemonitor komputer berupa data sinyal yang telah diubah kedalam bentuk satuan curah hujan.
22
Gambar 2.3. Alat Pengukur Curah Hujan Jenis Otomatis
2.14 PERUBAHAN DAN KERAGAMAN HUJAN DI INDONESIA
Apabila kemampuan sistem untuk beradaptasi terhadap kejadian iklim ekstrim saat ini tidak dibangun, maka tingkat kerentanan sistem tersebut terhadap kejadian
iklim ekstrim masa datang akan semakin tinggi. Oleh karena itu upaya yang
Universitas Sumatera Utara
bersinambungan untuk membangun kemampuan sistem untuk beradaptasi terhadap keragaman iklim saat ini berarti juga meningkatkan ketahanan sistem terhadap
keragaman iklim masa datang. Tulisan ini membahas secara singkat tren perubahan hujan di Indonesia dan analisis tingkat kerentanan sistem, khususnya pertanian
terhadap keragaman iklim saat ini dan mendatang dan langkah yang perlu dilakukan dalam membangun kemampuan adaptasi terhadap keragaman iklim saat ini dan
mendatang. 23
Menurut Kaimudin, 2000. Berdasarkan data hujan bulanan historis 1931- 1990 yang dibagi menjadi dua periode yaitu tahun 1931-1960 dan 1961-1990,
diperoleh kecendrungan bahwa curah musim hujan di wilayah Selatan Indonesia, khususnya Lampung, Jawa, dan sebagian kawasan Indonesia Timur akan semakin
basah, sebaliknya hujan musim kemarau akan semakin kering Gambar 2.3 dan 2.4. Sebaliknya untuk Indonesia bagian Utara Sulawesi Utara, Kalimantan Utara dan
Sumatera bagian Utara, curah hujan musim hujan akan semakin berkurang sedangkan curah hujan musim kemarau akan cendrung semakin tinggi, khususnya Kalimatan
bagian Utara Gambar 2.3 dan 2.4. Berdasarkan data hujan tahunan, secara umum wilayah Selatan Indonesia, khususnya Jawa Barat cendrung semakin basah Gambar
2.5. Berdasarkan data dari due periode tersebut, dapat dilihat bahwa di Indonesia sebenarnya sudah mengalami perubahan iklim. Adanya bukti ini dapat dijadikan
sebagai landasan bagi kita semua untuk tidak lagi mengabaikan aspek perubahan iklim dalam mengelola ekosistem.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.4. Rata-rata tinggi curah hujan bulan DJF untuk periode A 1931-1960
dan B 1961-1900. Sumber: Kaimuddin 2000
Gambar 2.5. Rata-rata tinggi hujan bulan JJA untuk periode A 1931-1960 dan B
1961-1900. Sumber: Kaimuddin 2000
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.5. Rata-rata tinggi curah hujan tahunan untuk periode A 1931-1960 dan
B 1961-1900. Sumber: Kaimuddin 2000 Tingkat keragaman hujan sangat besar baik menurut waktu maupun tempat.
Banyak hasil kajian menunjukkan bahwa salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap keragaman hujan di Indonesia ialah fenomena ENSO El-Nino
Southern Oscillation. Berdasarkan kekuatan pengaruhnya, Tjasyono 1997 menyimpulkan bahwa pengaruh El-nino kuat pada daerah yang dipengaruhi oleh
sistim moonson Sumatera bagian Selatan, Jawa, Bali, dan sebagian besar kawasan Indonesia bagian Timur dan lemah pada daerah dengan sistem equatorial Sumatera
bagian Tengah, Kalimantan Tengah dan daerah-daerah yang dilewati garis khatulistiwa, tidak jelas pada daerah dengan sistim lokal Maluku.
Pengamatan di beberapa stasiun hujan di Jawa, Lampung dan Bali menunjukkan bahwa pengaruh kejadian ENSO terhadap hujan sangat nyata,
khususnya pada musim kering. Pada tahun El-Nino, curah hujan pada Musim Kemarau II Juli sampai Oktober dapat turun sampai 57 curah hujan tahun normal
Universitas Sumatera Utara
Las et al., 1999. Sebaliknya pada tahun La-Nina, curah hujan MK-II dapat meningkat sampai 152 curah hujan normal. Selain mempengaruhi tinggi hujan,
kejadian, El-Nino juga berpengaruh terhadap awal masuknya musim kemarau. Pada tahun El-nino 198283, awal masuknya musim kemarau di Jawa dan Sulawesi tidak
mengalami perubahan akan tetapi akhir musim kemarau yang seharusnya berakhir Oktober mundur setidaknya satu bulan yaitu menjadi bulan November.
Analisis yang lebih jauh menunjukkan bahwa pada tahun El-Nino 1982, awal musim kemarau di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur terjadi lebih awal 20
hari dari normal sedangkan akhir musim kemarau mundur 30-40 hari dari normal. Hal ini menimbulkan kekeringan yang panjang dan berat terutama di bagain Selatan
Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi dan Maluku. Untuk El-Nino 1997-98, kondisi kering berlangsung lebih lama beberapa bulan dari
normal sehingga menimbulkan bencana kekeringan di Sumatra bagian Utara, Kalimantan, Jawa and Indonesia bagian Timur. Awal musim hujan mundur dua
bulan, yaitu yang biasanya dimulai awal September menjadi Desember.
2.15 SISTEM KLASIFIKASI OLDEMAN