Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Penanaman Modal Berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 2007

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Adisapoetra, R. Kosim. 1978. PengantarIlmuHukumAdministrasi Negara, PradnyaParamita, Jakarta.

Ahmad, Kamaruddin. 1996. Dasar-DasarMenajemenInvestasi,RinekaCipta, Jakarta.

Amiruddindan Zainal Asikin,2013, PengantarMetodePenelitianHukum, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta.

Ana Rokhmatussa’dyahdanSuratman, 2011, HukumInvestasidanPasar Modal, SinarGrafika, Jakarta.

Andreae, S.J. Fockema. 1951, RechtsgdeerdHandvaoordenboek, TweedeDruk, J.B Wolter’ Uitgeversmaatshappij N.V., Croningen.

Atmosudirdjo, Prajudi. 1983. HukumAdministrasi Negara,Ghalia Indonesia, Jakarta.

Djatmiati, Tatik Sri. dalam I Made Arya Utama,2001, PrinsipIzin Usaha Industri

di Indonesia, ttp.

Himawan, Charles. 1980. The Foreign Invesment Process in Indonesia, GunungAgung, Singapura.

Harjono, DhaniswaraK. 2007. HukumPenanaman Modal

TinjauanTerhadapPemberlakuanUndang-Undang No.25 Tahun 2007 TentangPenanaman Modal,RajaGrafindoPersada, Jakarta.

Ida BagusRahmadiSupanca, 2006,

KerangkaHukum&KebijakanInvestasiLangsung di Indonesia, Ghalia

Indonesia, Jakarta.

Ilmar, Amiruddin, 2007, HukumPenanaman Modal Di Indonesia,Prenada Media Group, Jakarta.

Jeddawi, Murtir. MemacuInvestasi Di Era Otonomi Daerah, Yogyakarta : UII Press, 2006.

JuniarsoRidwandanAchmadSodikSudrajat, 2010, HukumAdminisrasi Negara Dan


(2)

Lukman, Marcus. 1996.

EksistensiPeraturanKebijaksanaandalamBidangPerencanaandanPelaksan aanRencana Pembangunan di Daerah sertaDampaknyaterhadap

Pembangunan MateriHukumTertulis Nasional.Disertasi,

UniversitasPadjadjaran, Bandung.

Muchsan, PengantarHukumAdministrasi Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982.

Philipus M. Hadjon, et.al. 1993, PengantarHukumAdministrasi

Indonesia.GadjahMada University Press, Yogyakarta.

Philipus M. Hadjon. 1993 .PengantarHukumPerizinan.Yuridika, Surabaya. Pudyatmoko Y. Sri. 2009, Perizinan Problem Dan UpayaPembenahan, PT.

GramediaWidiasarana Indonesia, Jakarta.

Praag, M.M. Van. 1950. AlgemeenNederlansAdministratiefRecht,

JuridischeBoekhandelenUitgeverij A. Jongbloed& Zoon, ‘s-Gravenhage,. Prins, W.F dan R. KosimAdisapoetra,1983, PengantarIlmuHukumAdministrasi

Negara,PradnyaParamita, Jakarta.

Ridwan HR, 2006. HukumAdministrasi Negara, PT. RajaGrafindoPersada, Jakarta.

Sutedi, Adrian, 2010, HukumPerizinandalamSektorPelayananPublik, SinarGrafika, Jakarta.

Syafudin, Ateng, 1992, PengurusanPerizinan, PusatPendidikandanPelatihan ST Alosius, Bandung.

Salim HS dan Budi Sutrisno, 2008, HukumInvestasi Di Indonesia, PT. RajaGrafindoPersada, Jakarta.

SoerjonoSoekantodanSrimamudji, 2001, PenelitianHukumNormatif, IND-HILLCO, Jakarta.

Sidharta, B. Arief. 1996.

Butir-butirGagasantentangPenyelenggaraanHukumdanPemerintahan yang Layak, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Soehardjo, 1991, HukumAdministrasi Negara

Pokok-pokokPengertiansertaPerkembangannya di


(3)

Soehino,1984, Asas-asasHukum Tata Pemerintahan. Liberty, Yogyakarta. Stroink, F.A.M. dan J.G. Steenbeek, 1985, Inleiding in het

Staats-enAdministrastiefRech.Alphen aan den Rijn: Samsom H.D. TjeenkWilink.

Ten Berge, J.B.J.M. 1996. Besturen Door de Overheid. W.E.J. TjeenkWillink, Deventer.

Utrecht, E. 1957.PengantardalamHukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta.

_______, 1988, PengantarHukumAdministrasi Negara Indonesia, PustakaTinta Mas, Surabaya.

Versteden,C.J.N. 1984. IndeidingAlgemeenBestuursrecht. Samsom H.D. TjeenkWillink, Alphen aan den Rijn.

Waller,Hen J.H. Waller-Hunter, MilieuwetgevingenPlanning in Indonesie, Milieu

enRecht, Januari, hlm. 5, dikutipolehSitiSundaryRangkuti, HukumLingkungan

Winters, Jeffrey A. 1999.Dosa-DosaPolitikOrdeBaru, Djambatan, Jakarta. Wijk, H.D. van en Willem Konjinenbelt, 1995, Hoofdstukken van

AdministratiefRecht, Vuga’s–Gravenhage. B. MakalahArtikel

Abdullah, Adang. 2007 .“TinjauanHukumatas UUPM No. 25 Tahun 2007”,

JurnalHukumBisnis.Vol. 26 – No. 4 Tahun 2007.

BadanPerencanaan Pembangunan Nasional,1999,MenataKeDepanPerekonomian

Nasional, Jakarta :Bappenas, 1999.

Basah, Sjachran. 1996.

SistemPerizinanSebagaiInstrumenPengendalianLingkungan, Makalahpada

Seminar HukumLingkungan, diselenggarakanoleh KLH

bekerjasamadenganLagal Mandate Compliance end Enforcement Program dari BAPEDAL, 1.-2 mei 1996, Jakarta.

_______, 1992, Perizinan di Indonesia,

MakalahuntukPenataranAdministrasidanLingkungan, FakultasHukumUnair Surabaya, Nopember 1992.

_______, 1995,PencabutanIzin Salah SatuSanksiHukumAdministrasi,

MakalahpadapenataranHukumAdministrasi Negara danLingkungan di FakultasHukumUnair, Surabaya, 1995.


(4)

Manan, Bagir.1995,Ketentuan –

KetentuanMengenaiPengaturanPenyelenggaraanHakKemerdekaanBerku mpulDitinjaudariPerspektif UUD 1945, MakalahTidakDipublikasikan,

Jakarta, 1995.

_______,1996,Bentuk-bentukPerbuatanKeperdataan yang

DapatdilakukanolehPemerintah Daerah.

MajalahilmiahUniversitasPadjadjaran, no. 3, Vol. 14, 1996.

Syafrudin, Ateng. PerizinanuntukBerbagaiKegiatan, Makalahtidakdipublikasikan. TulusTahiHamonanganTambunan, 2007,

“KendalaPerizinanDalamKegiatanPenanaman Modal Di Indonesia Dan UpayaPerbaikan Yang PerluDilakukkanPemerintah”,

JurnalHukumBisnis.Vol. 26 – No. 4 tahun 2007.

C. PeraturanPerundang-Undangan

Undang-UndangDasarRepublik Indonesia 1945

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 TentangPenanaman Modal Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 TentangPelayananPublik Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 TentangPemerintahan Daerah

Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional PeraturanPresiden No. 39 Tahun 2014 tentangDaftarBidang Usaha Yang

TertutupdanBidang Usaha Yang Terbuka DenganPesyaratan di BidangPenanaman Modal

PeraturanPresiden No. 76 Tahun 2013

TentangPengelolaanPengaduanPelayananPublik

PeraturanMenteriPendayagunaanAparatur Negara Dan Reformasi No. 15 Tahun 2014 TentangPedomanStandarPelayanan

PeraturanMenteriDalamNegeri No. 24 Tahun 2006

TentangPedomanPenyelenggaraanPelayananSatuPintu. PeraturanPresiden No. 97 Tahun 2014


(5)

PeraturanPemerintah No. 38 Tahun 2007 TentangPembagianUrusanPemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, danPemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

PeraturanKepalaBadanKoordinasiPenanaman Modal No. 5 Tahun 2013 tentangPedomandan Tata Cara PerizinandanNonperizinanPenanaman Modal

D. KeputusanPresiden

KeputusanPresiden No. 29 Tahun 2004 TentangPenyelenggaraanPenanaman Modal DalamRangkaPenanaman Modal AsingdanPenanaman Modal DalamNegeriMelaluiSitemPelayananSatuAtap.

KeputusanPresiden No. 117 Tahun 1999

tentangPerubahanKeduaAtasKeputusanPresiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal

E. Internet

GarinNugroho, PolitikKonsesiuntukSiapa,

2 januari 2008.


(6)

BAB III

PELAYANAN PENGURUSAN IZIN PENANAMAN MODAL

A. Tinjauan Tentang Izin Penanaman Modal

Penanaman modal mempunyai arti yang sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional sebagaimana tujuan yang hendak dicapai melalui Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang selanjutnya disebut dengan UUPM. Dengan diundangkannya UUPM yang baru tersebut maka semua undang-undang terdahulu yang mengatur Penanaman Modal (UU tentang PMA dan PMDN sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 19967 jo UU No. 11 Tahun 1970 dan UU No. 6 Tahun 1968 jo UU No. 12 Tahun 1970) dinyatakan tidak berlaku lagi.68

“Semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksana dari UU No.1 Tahun 1967 jo UU No. 11 Tahun 1970 dan UU No. 6 Tahun 1968 jo UU No. 12 Tahun 1970 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diatur dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan undang-undang ini.”

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 ini menjadi satu-satunya undang-undang yang mengatur tentang penanaman modal di Indonesia. Untuk melaksanakannya diperlukan pengaturan teknis melalui peraturan pemerintah dan peraturan pelaksana lainnya sesuai yang disyaratkan oleh UUPM tersebut. Sambil menanti peraturan pelaksana yang mengatur lebih teknis, maka dalam ketentuan peralihan pasal 37 UUPM dinyatakan :

69

Dalam Pasal 2 UUPM dinyatakan bahwa ketentuan dalam undang-undang ini berlaku bagi penanaman modal disemua sektor wilayah Republik Indonesia,

68 Adang Abdullah, “Tinjauan Hukum atas UUPM No. 25 Tahun 2007”, Jurnal Hukum

Bisnis. Vol. 26 – No. 4 Tahun 2007, hlm. 5.


(7)

sebagaimana dalam penjelasan yang dimaksud dengan penanaman modal di semua sektor di wilayah Negara Republik Indonesia adalah penanaman modal langsung, dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.70

Pasal 1 angka (1) UUPM menyebutkan penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

Penyelenggaraan penanaman modal disemua sektor diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

71

Selanjutnya yang dimaksud dengan penanam modal menurut Pasal 1 angka (4) UUPM adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.72

1. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi atau suatu penyertaan lainnya.

Adapun yang di artikan penanaman modal/investasi dilihat dari sudut pandang ekonomi yang memandang investasi sebagai salah satu faktor produksi di samping faktor produksi lainnya, investasi dapat diartikan sebagai:

70 Pasal 2 UUPM dan Penjelasannya, lihat juga Dhaniswara K. Harjono, Hukum

Penanaman Modal Tinjauan Terhadap Pemberlakuan Undang-Undang No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 11-13, menyebutkan

Investasi Langsung (Direct Invesment) atau investasi jangka panjang ini dapat dilakukan dengan mendirikan perusahaan patungan (Joint Vertune Company) dengan mitra local, melakukan kerjasama operasi (Joint Operation Scheme) tanpa membentuk perusahaan baru, mengonversikan pinjaman menjadi penyertaan mayoritas dalam perusahaan local, memberikan bantuan teknis dan manajerial (technical and management assistance) maupun dengan memberikan lisensi. Investasi tidak langsung (indirect investment) atau Portofolio Invesment pada umumnya merupakan penanaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar modal dan di pasar uang. Penanaman modal ini disebut dengan penanaman modal jangka pendek pada umumnya, jual beli saham dan atau mata uang dalam jangka waktu relative singkat tergantung kepada fluktuasi nilai saham dan/atau mata uang yang hendak mereka jual belikan.

71 Pasal 1 angka (1) UUPM. 72 Pasal 1 angka (4) UUPM.


(8)

2. Suatu tindakan memberi barang-barang modal.

3. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan di masa mendatang.73

Karena Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal merupakan peraturan organik mengenai penanaman modal di Republik Indonesia dengan tujuan untuk membuat kepastian hukum tentang penanaman modal yang di dalamnya mengatur mengenai penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA), maka perlu diperjelas pengertian dari kedua jenis penanaman modal tersebut.

Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 25 Tahun 2007, keberadaan penanaman modal dalam negeri diatur di atur dalam peraturan perundang-undangan yang mengkhususkan tentang penanaman modal dalam negeri yakni UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Menurut undang-undang tersebut, yang dikatakan penanaman modal dalam negeri adalah penggunaan modal dalam negeri (yang merupakan bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia termasuk hak-haknya dan benda-bendanya baik yang dimiliki oleh negara maupun swasta asing yang berdomisili di Indonesia yang disisikan/disediakan guna menjalankan usaha sepanjang modal tersebut tidak diatur dalam Pasal 2 UU No.1 Tahun 1967) bagi usaha-usaha yang mendorong pembangunan ekonomi pada umumnya.

Penanaman modal tersebut dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsungoleh pemiliknya sendiri atau dengan kata lain oleh investor, yaitu melalui pembelian obligasi-obligasi, surat-surat perbendaharaan negara, emisi-emisi lainnya seperti saham-saham yang dikeluarkan oleh perusahaan serta deposito dan tabungan yang berjangka sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

Selanjutnya menerut ketentuan Pasal 1 angka (5) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 dikatakan bahwa penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia


(9)

yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.74

Selanjutnya pada pasal 1 angka (30) UUPM memberikan pengertian tentang penanaman modal asing yang dikatakan bahwa penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri.

Sama halnya dengan penanaman modal dalam negeri, sebelum berlakunya Undang- Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang disebut UUPM, keberadaan penanaman modal asing juga diatur dalam suatu ketentuan perundang-undangan tersendiri, yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang merupakan undang-undang organik yang mengatur mengenai penanaman modal asing.

Berbeda dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang memberikan pengertian penanaman modal dalam negeri, Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tidak merumuskan/mengartikan pengertian penanaman modal asing serta menentukan bentuk penanaman modal asing yang dianut.

Penanaman modal asing yang dimaksud oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1967 hanyalah meliputi penanaman modal secara langsung yang dapat dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang dan yang digunakan untuk menjalankan suatu perusahaan di Indonesia. Dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung resiko dari penanaman modal yang telah ditanamkan.

75

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dapat dinyatakan sudah mencakup semua aspek penting (termasuk didalamnya soal

74 Pasal 1 angka (5) UUPM 75 Pasal 1 angka (30) UUPM


(10)

pelayanan, koordinasi, fasilitas hak dan kewajiban investor, ketenagakerjaan, dan sektor-sektor lain yang dapat dimasukin oleh para investor dalam melakukan penanaman modal) yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi penanam modal atau pengusaha/investor baik itu investor asing maupun dalam negeri.

Kepastian hukum dan keamanan menjadi masalah urgent/serius yang dihadapi oleh para investor, dan sangat berpengaruh positif terhadap penanaman modal di negara Republik Indonesia, hal lain yang sangat penting dalam sektor administrasi negara adalah kegiatan penyelenggaraan perizinan penanaman modal. Dalam hal membahas perizinan penanaman modal ada tiga hal yang perlu diketahui, yaitu sebagai berikut:

1. Izin investasi dapat dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi harus menjadi satu paket dengan izin-izin yang lain yang secara langsung atau tidak langsung memperngaruhi kegiatan usaha atau menentukan untung ruginya suatu usaha.

2. Selain harus sejalan dengan atu didukung oleh undang-undang ini yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kelancaran penanaman modal di dalam negeri, UUPM harus dapat memberikan solusi paling efektif terhadap permasalahan-permasalahan lainnya yang juga sangat berpengaruh terhadap kegiatan investasi, contohnya persoalan pembebasan tanah.

3. Birokrasi yang tercermikan oleh antara lain prosedur administrasi dalam mengurus investasi (seperti perizinan, persyaratan atau peraturan lainnya) yang berbelit-belit dan langkah prosedur yang tidak jelas.76

Adanya wewenang pemerintah daerah untuk penyelenggaraan penanaman modal dapat dilihat dalam pasal 30 angka (2) yang menyebutkan bahwa

76 Tulus Tahi Hamonangan Tambunan “Kendala Perizinan Dalam Kegiatan Penanaman

Modal Di Indonesia Dan Upaya Perbaikan Yang Perlu Dilakukkan Pemerintah”, Jurnal Hukum


(11)

“pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraaan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah.77 Di samping itu penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan Pemerintah Provinsi78, dan penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.79

Ketentuan peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan asas penyelenggaraan pemerintahan negara dan daerah, maka lembaga pemerintahan baik pusat maupun daerah memiliki wewenang masing-masing atau tanggungjawab dalam mengurusi daerahnya. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 9 angka (1)menyebutkan urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintah konkuren, dan urusan pemerintahan umum.80 Adapun yang dimaksud urusan absolut adalah urusan pemerintah yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.81Adapula yang dimaksud dalam urusan pemerintah konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota yang dimana urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.82Sedangkan yang dimaksud urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.83 Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 pada pasal 10 angka (1) menyebutkan wewenang pemerintahan absolut meliputi bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama.84

77 Pasal 30 angka (2) UUPM 78 Pasal 30 angka (5) UUPM 79

Pasal 30 angka (6) UUPM

80 Pasal 9 angka (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 81 Pasal 9 angka (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

82

Pasal 9 angka (3) dan (4) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

83 Pasal 9 angka (5) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 84 Pasal 10 angka (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah


(12)

Dalam Pasal 11 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, urusan wajib menjadi kewenangan pemerintah pemerintah daerah provinsi atau yang disebut urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan.85

a. Pendidikan;

Urusan pemerintah wajib tersebut terbagi menjadi dua bagian yakni urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Dalam hal ini yang merupakan urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar adalah:

b. Kesehatan

c. Perkerjaan umum dan penataan ruang; d. Perumahan rakyat dan kawasan pemukiman;

e. Ketentraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. sosial86

Kewenangan urusan pemerintah wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar diatur dalam pasal 12 angka (2) antara lain sebagai berikut:

a. tenaga kerja;

b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak; c. pangan;

d. pertanahan; e. lingkungan hidup;

f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil; g. pemberdayaan masyarakat dan desa;

h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana; i. perhubungan;

j. komunikasi dan informatika;

85 Pasal 11 Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah


(13)

k. koperasi, usaha kecil, dan menengah; l. penanaman modal;

m. kepemudaan dan olah raga; n. statistik;

o. persandian; p. kebudayaan; q. perpustakaan; dan r. kearsipan.87

Sedangkan yang menjadi kewenagan urusan pemerintah pilihan meliputi: a. kelautan dan perikanan;

b. pariwisata; c. pertanian; d. kehutanan;

e. energi dan sumber daya mineral; f. perdagangan;

g. perindustrian; dan h. transmigrasi.88

Dapat disimpulkan penyelenggaraan penanaman modal telah dilimpahkan dalam urusan pemerintahan konkuren kepada pemerintah daerah dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan masalah penanaman modal tetap menjadi kewenangan pemerintah daerah yang mana pemerintah provinsi dapat memberikan pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota, dan dilimpahkan juga kepada pemerintah kabupaten/kota untuk memberikan pelayanan administrasi penanaman modal yang didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan stategis nasional.

87 Pasal 12 angka (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 88 Pasal 12 angka (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah


(14)

Sebagaimana kita diketahui, untuk melaksanakan investasi dibutuhkan sejumlah izin baik yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah, selain membutuhkan waktu yang cukup lama juga dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Maka hal di ataslah yang mendasari pemikiran pengambilan kebijakan agar pelayanan penanaman modal dapat dilakukan dalam satu atap guna untuk memudahkan dalam proses penanaman modal di Indonesia.

Keputusan Presiden No.29 Tahun 2004 menentukan bahwa pelayanan persetujuan, perizinan, dan fasilitas penanaman modal dalam rangka penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pelaksanaan kebijaksanaan tersebut didasarkan pada pelimpahan kewenangan dari Menteri Investasi/Kepala Lembaha Pemerintah Non Departemen yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan melalui sistem pelayanan satu atap.89

Berbeda dengan konsep sentralisasi yang pernah berlaku yang sifatnya memaksa (imperatif), tetapi konsep perizinan berdasarkan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 lebih bersifat suka rela. Prinsip suka rela dapat dilihat secara jelas, bahwa di dalam keputusan presiden tersebut dinyatakan Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya dapat melimpahkan kewenangan pelayanan persetujuan, perizinan dan fasilitas penanaman modal sebagai bidang dari penyelenggaraan penanaman modal kepada BKPM melalui sistem pelayanan satu atap.90

Penguatan kembali institusi penyelenggaraan sentralistik semakin jelas terlihat dengan penekanan kembali BKPM di dalam Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004, dimana dinyatakan bahwa sistem pelayanan satu atap dilaksanakan oleh BKPM sesuai dengan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1981 tentang Badan

89 Pasal 3 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman

Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sitem Pelayanan Satu Atap.

90 Pasal 4 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman

Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sitem Pelayanan Satu Atap.


(15)

Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2004.Salah satu hal yang mendorong pemerintah menyiapkan Keputusan Presiden tentan pelayanan satu atap (one roof

service) di Badan Koordinasi Penanaman Modal adalah sebagai upaya

penyederhanaan prosedur penanaman modal dan untuk mengurangi panjangnya birokrasi pelayanan dan perizinan penanaman modal. Pelayanan satu atap (one

roof service) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menciptakan iklim

penanaman modal yang kondusif, yuang dimulai dari bidan perizinan penanaman modal.

Sistem pelayanan satu atap untuk perizinan penanaman modal dalam rangka penyederhanaan dalam prosedur pelayanan berawal dari Sidang Kabinet Tanggal 25 November 2002 yang memutuskan untuk segera melaksanakan sistem tersebut. Sehingga dibuatlah daftar-daftar usulan perizinan yang dilaksanakan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melalui pelayanan satu atap. Dengan demikian dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap.

Keputusan Presiden ini merupakan salah satu bagian dari sentralisasi kembali penyelenggaraan penanaman modal, termasuk juga berkaitan dengan masalah perizinan penanaman modal. Terlepas dari pandangan bahwa salah satu pertinbangan dikeluarkan keputusan presiden tersebut adalah dalam rangka meningkatkan efektifitas dan menarik investor untuk melakukan penanaman modal dengan menyederhanakan sistem pelayanannya.91

Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 menyebutkan yang menjadi bagian dari penyelenggaran penanaman modal itu sendiri meliputi bidan kebijakan dan perencanaan pengembangan penanaman modal, bidang promosi dan kerjasama penanaman modal, bidang pelayanan persetujuan, perizinan, dan

91 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal

Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sitem Pelayanan Satu Atap, Konsideran Menimbang Huruf A.


(16)

fasilitas penanaman modal, bidang pelaksanaan penanaman modal, dan bidang pengelolaan sistem informasi penanaman modal.92

Dalam pasal 1 angka (10) UUPM menyebutkan pelayanan satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaha atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan yang proses

Sehingga banyak pihak yang meragukan efektifitas dari keputusan presiden tersebut, mulai dari pendapat yang optimis maupun yang pesimis. Mereka yang optimen dengan efektifitas sentralisasi perizinan penanaman modal bahkan mempunyai anggapan pencabutan kewenangan kepada daerah dan badan penanaman modal daerah dalam menangani penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) dinilai akan menciptakan efisiensi dalam pelayanan terhadap investor.

Langkah Badan Koordinasi Penanaman Modal inilah dinilai sejumlah Pemerintah Daerah bertolah belakang dengan nuansa desentralisasi dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Maka pemerintah perlu mempertegas kembali desentralisasi penyelenggaraan penanaman modal melalui UUPM, yang menyebutkan bahwa penanaman modal penanganannya dilayani melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Sebagaimana diketahui untuk melaksanakan investasi diperlukan sejumlah izin baik yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah, selain membutuhkan waktu yang cukup lama juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pelayanan satu pintu ini dilakukan dengan tujuan untuk membantu penanaman modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan perizinan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal.

92 Pasal 2 Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 Tentang Penyelenggaraan Penanaman

Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sitem Pelayanan Satu Atap.


(17)

pengolahannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap diterbitkannya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.93

(1) Penanam modal yang melakukan penanaman modal di Indonesia harus sesuai dengan ketentuan pasal 5 undang-undang ini.

Dalam rangka mengatasi kendala perizinan selama ini dirasakan menghanbat masuknya investor untuk menanamkan modalnya di wilayah Indonesia, upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan mempercepat dan memangkas waktu proses perizinan serta mengimplementasikan konsep one

stop service center. Konsep pelayanan perizinan terpadu satu pintu tersebut telah

diatur dalam UUPM pada bab XI pasal 25 dan 26 mengenai pengesahan dan perizinan perusahaan.

Pasal 25 UUPM menyebutkan:

(2) Pengesahan pendirian badan usaha penanaman modal dalam negeri yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Pengesahaan pendirian badan usaha penanaman modal asing yang berbentuk perseroan terbatas dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperolehi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.

(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu.94

Pasal 26 UUPM menyebutkan:

93 Pasal 1 angka (10) UUPM. 94 Pasal 25 UUPM


(18)

(1) Pelayanan terpadu satu pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal.

(2) Pelayanan terpadu satu pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang dibidang penanaman modal yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau insttansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non perizinan di provinsi, kabupaten/kota.

(3) Ketentuan mengenai tatacara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.95

Sebelumnya konsep pelayanan perizinan terpadu satu pintu sudah pernah dilaksanakan, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang menyebutkan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non perizinan yang proses pengolahannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap diterbitkannya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat,96

Dengan adanya pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan penanaman modal, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Bahwa

dengan tujuan meningkatkan kualitas layanan publik dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik agar terwujud pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti terjangkau dan meningkatnya hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.

95 Pasal 26 UUPM

96 Pasal 1 angka (11) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang


(19)

Bupati/Walikota mendelegasikan kewenagan penandatanganan perizinan dan non perizinan kepada Kepala PPTSP untuk mempercepat proses layanan.97Hal tersebut di perkuat dengan Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Pasal 6 angka (1) Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014 menyatakan Penyelenggaraan PTSP oleh Pemerintah mencakup urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah.98 Urusan Pemerintahan di bidang penanaman modal yang di maksud tersebut, terdiri atas:99

a. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi;

b. Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang meliputi: 1. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak

terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;

2. Penanaman modal pada bidang industry yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;

3. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; 4. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi

pertahanan dan keamanan nasional;

5. Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah negara lain; dan

6. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah menurut undang-undang.

97 Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 24 Tahun 2006 Tentang Pedoman

Penyelenggaraan Pelayanan Satu Pintu.

98

Pasal 6 angka (1) Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

99 Pasal 6 angka (2) Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan


(20)

Pasal 7 Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu menyebutkan:

(1) Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam pasal 6:

a. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari Menteri teknis/Kepala Lembaga yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang merupakan urusan pemerintah di bidang penanaman modal;

b. Kepala Badan Koordinasi Modal dapat melimpahkan wewenang yang diberikan oleh Menteri teknis/Kepala Lembaga dengan hak substitusi kepada PTSP provinsi, PTSP kabupaten/kota, PTSP Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, atau Administrator Kawasan Ekonomi Khusus;

c. Menteri teknis/Kepala Lembaga dapat menugaskan pejabatnya di Badan Koordinasi Penanam Modal untuk menerima dan menandatangani perizinan dan nonperizinan yang kewenangannya tidak dapat dilimpahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Pendelegasian atau pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan melalui peraturan menteri teknis/Kepala Lembaga.100

Meskipun pendelegasian kewenagan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mempercepat proses penyelenggaraan penanaman modal dan untuk meningkatkan daya saing daerang dalam investasi, maka dalam sektor tertentu masih perlu berkoordinasi dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk melakukan koordinasi supaya tidak terjadi benturan antara peraturan perizinan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun demikian dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

100 Pasal 7 Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan


(21)

BKPM hanya berfungsi dan bertugas sesuai dengan Pasal 27 dan 28 UUPM. Sementara itu Pasal 28 ayat (2) UUPM menyatakan selain tugas koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal BKPM juga melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Adapun rumusan Pasal 28 UUPM adalah:

1. Melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan yang meliputi:

a. Melakukan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal.

b. Mengkaji/mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal. c. Menetapkan norma, standard an prosedur pelaksanaan kegiatan dan

pelayanan penanaman modal.

d. Mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha.

e. Membuat peta penanaman modal di Indonesia. f. Mempromosikan penanaman modal.

g. Mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal.

h. Membentuk penyelesaikan berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal.

i. Mengkoordinasikan penanaman modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya diluar wilayah Indonesia.

j. Menggoordinasikan dan melaksanakan pelayanan terpatu satu pintu.

2. Melaksanakan pelayanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu UUPM, berarti bahwa BKPM di samping


(22)

mengikuti ketentuan perundang-undangan dalam hal perizinan sectoral juga wajib mendasarkan pada pasal 28 ayat 1 huruf j, yaitu menkoordinasi dan melaksanakan pelayanan satu pintu.101

Pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan pelaksanaan penanaman modal di Indonesia. Dalam Pasal 30 UUPM, telah ditentukan kewenangan antara pemerintah, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota terkait dengan penyelenggaraan urusan penanaman modal yaitu:

1. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menjami kepastian dan keamanan berusaha bagi pelaksanaan penanaman modal.

2. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah pusat.

3. Penyelenggaraan urusan pemerintah di bidang penanaman modal yang merupakan urusan wajib pemerintah daerah didasarkan pada kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efesiensi pelaksanaan kegiatan penanaman modal.

4. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupkan lintas provinsi menjadi urusan pemerintah.

5. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.

6. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.

7. Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal, yang menjadi kewenangan pemerintah adalah:

a. Penanaman modal terikat dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan risiko lingkungan yang tinggi.

b. Penanaman modal di bidang industry yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional.


(23)

c. Penanaman modal yang terikat pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi.

d. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional.

e. Penanaman modal asing dan penanaman modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah negara lain.

f. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah menurut undang-undang.

8. Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/kota.

9. Ketentuan mengenai pembagian urusan pemerintahan di bidang penanaman modal diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.102

Di satu sisi dalam UUPM disebutkan, pelayanan penanaman modal dilakukan dalam satu sistem pelayanan terpadu, tetapi di sisi lain ada sektor tertentu yang tetap harus melaksanakan koordinasi dengan BKPM. Ini menunjukan bahwa pelayanan terpadu satu pintu belum bisa terlaksana sebagaiman harapan undang-undang dan peraturan lainnya. Sedangkan pemerintah daerah hanya bisa memberikan dan melayani perizinan di sektor menengah kebawah, ini menungjukkan dalam memberikan pelayanan perizinan penanaman modal masih tetap sentralistik, oleh sebab itu untuk memperjelaskan pembagian kewenangan tersebut pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam Pasal 7 angka (1 dan 2) disebutkan salah satu urusan pemerintah yang wajib diselenggarakan oleh pemerintah daerah provinsi dan


(24)

pemerintah daerah kabupaten/kota berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi penanaman modal.103

a. Menyerap banyak tenaga kerja.

Sedangkan masalah ketenagakerjaan khususnya tenaga kerja dalam negeri memperkerjakan tetap tuntuk pada peraturan perundangan yang berlaku seperti disebutkan dalam pasal 10 angka (1 dan 2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal atau yang disebut UUPM bahwa perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja Warga Negara Indonesia (WNI), dan untuk jabatan dan keahlian tertentu, perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga kerja Warga Negara Asing (WNA). Dengan demikian UUPM menyatakan bahwa perusahaan penananaman modal harus mengutamakan tenaga kerja warga Indonesia dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Perusahaan tersebut berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pemerintah juga memberikan fasilitas penanaman modal kepada penanam modal atau investor yang melakukkan perluasan usaha atau melakukan penanaman modal baru. Penanaman modal yang mendapatkan fasilitas tersebut harus memenuhi salah satu kriteria yang tertuang dalam pasal 18 ayat (3) UUPM yaitu antara lain:

b. Termasuk skala prioritas tinggi. c. Termasuk pembangunan infrastruktur. d. Melakukan alih teknologi.

e. Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan atau daerah lain yang dianggap perlu.

f. Menjaga kelestarian lingkungan hidup.

g. Melakukan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi.

103 Pasal 7 angka (1 dan 2) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian

Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.


(25)

h. Bermitra dengan usaha mikro, kecil, mengengah atau koperasi.

i. Industri yang menggunakan barang modal atau mesing atau peralatan yang diproduksi didalam negeri.104

Adapun fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal dapat berupa: a. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai

tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu;

b. Pembebasan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri;

c. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;

d. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; e. Penyusunan atau amortisasi yang dipercepat; dan

f. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.105

Selain kebijakan fiskal, pemerintah juga memberikan kemudahan pelayanan atau perizinan kepada perusahaan penanam modal untuk memperoleh :

1. Hak atas tanah,

2. Fasilitas pelayanan keimigrasian, dan 3. Fasilitas perizinan impor.106

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada investor yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam

104 Pasal 18 angka (3) UUPM. 105 Pasal 18 angka (4) UUPM. 106 Pasal 21 UUPM.


(26)

merealisasikan penanaman modal, penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi lainnya, pelayanan penjualan serta calon investor yang akan melakukan penjajakan penanaman modal. Sebagaimana dimaksud pada angka (1) hurus a dan b diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dengan syarat perusahaan penanaman modal harus mendapat rekomendasi dari BKPM untuk mendatangkan tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam pasal 23 angka (2) bahwa kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada penanam modal sebagaimana dimaksud pada angka (1) huruf a dan b diberikan setelah penanam modal mendapat rekomedasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Pemerintah juga memberikan fasilitas perizinan impor berupa kemudahan pelayanan dan/atau perizinan. Perizinan tersebut diberikan untuk impor barang yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, barang yang tidak memberikan dampak negatif, barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia, dan barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri.107

B. Restrukturisasi dan Revitalisasi Pelayanan Perizinan.

1) Birokrasi Pelayanan Perizinan.

Selain masalah infrastruktur, masalah perizinan penanaman modal juga merupakan aspek menentukan bagi kondusifitas iklim usaha penanaman modal di dalam suatu daerah. Dalam aspek perizinan penanaman modal, ternyata otonomi daerah belum signifikan memperbaiki kualitas pelayanan dalam perizinan tersebut. Bahkan, ada kecenderungan pasca penerapan otonomi daerah jumlah biayanya meningkat.


(27)

Ironisnya, tingginya biaya perizinan tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas pelayanan. Banyak investor yang mengeluh karena kekecewaan mereka terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh birokrasi perizinan, seperti tidak adanya transparansi biaya dan prosedur yang berbelit-beli, tingginya biaya yang harus dikeluarkan, sampai diskriminasi terhadap golongan tertentu.

Implikasi ekonomis dari prosedur yang panjang dan berbelit-belit adalah investor harus membayar biaya dalam jumlah yang lebih besar. Dengan kata lain, semakin panjang jalur birokrasi atau prosedur yang harus dilalui, semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan. Hal ini terjadi juga karena kecenderungan birokrasi daerah yang kapitalistik, yaitu melakukan pemborosan melalui aktivitas komersialisasi.

Pemborosan yang dilakukan oleh birokrat adalah dengan memperbesar biaya per unit atau menambah jumlah pegawai untuk menambah fungsi layanan umum. Pemborosan ini dari sisi peminta pelayanan perizinan merupakan tambahan biaya yang lebih mahal dan harus dibayar atau dikeluarkan oleh pengusaha atau investor.

Perilaku birokrasi perizinan yang demikian tidak lepas dari cara pandang pemerintah daerah yang lebih melihat izin usaha sebagai sumber pendapatan. Keberhasilan pelayanan perizinan dilihat dari jumlah izin yang dikeluarkan dan retribusi yang diterima. Seringkali para birokrat mengaitkan pemberian izin dengan retribusi. Penerimaan retribusi ditetapkan sebagai target pendapatan asli daerah (PAD) dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dengan demikian, agar bisa dikatakan sukses, birokrasi pelayanan perizinan harus mampu memenuhi atau bahkan lebih besar dari target yang telah ditetapkan. Target penerimaan menjadi lebih penting dari kualitas pelayanan yang diberikan. Sementara esensi fungsi utama dari pemberian izin tersebut bagi pemerintah daerah sangat penting, seperti untuk fungsi pengendalian, pengawasan, dan pembinaan.


(28)

Yang penting dicatat, tingginya biaya tersebut masih dalam konteks biaya resmi, tetapi belum memperhatikan faktor perilaku manusia atau oknum aparat yang berwenang memberikan pelayanan tersebut. Artinya, ada fenomena dimana mahal dan rumitnya prosedur pengurusan izin penanaman modal dimanfaatkan oleh oknum birokrasi untuk kepentingan pribadi, dengan jalan melakukan diskriminasi pelayanan kepada pengusaha. Pengusaha yang secara personal menitipkan pengurusan izin usaha kepada oknum birokrasi akan mendapatkan pelayanan lebih cepat. Akan tetapi, biaya izin usaha tadi tidak masuk ke kas pemerintah, namun ke kantong pribadi oknum birokrasi.

Disinilah ironi yang terjadi dalam tubuh birokrasi perizinan penanaman modal di era otonomi daerah. Akibat pelayanan yang diskriminatif itu, akhirnya investor yang mengurus izin di jalur formal tanpa melalui oknum birokrasi dirugikan. Karena, waktu penyelesaian izin usahanya jauh lebih lama daripada yang melalui oknum birokrasi. Melihat buruknya pelayanan birokrasi perizinan dalam prosen izin penanaman modal ini, idealnya investor bisa mengajukan keluhan atas ketidakpuasan pelayanan dalam sektor perizinan penanaman modal yang diberikan pemerintah. Akan tetapi, sering kali keluhan para investor baik penanam modal asing serta domestik ini hanya bersemayam di hati tanpa bisa disalurkan karena tidak banyak daerah yang menyediakan institusi yang kredibel untuk menampung dan menindaklanjuti berbagai keluhan sektor izin penanaman modal di Indonesia. Tidak adanya mekanisme yang efektif untuk menyampaikan keluhan rumitnya birokrasi perizinan membuat investor terkadang menempuh langkah radikal, yaitu keluar dari sistem atau para investor tidak perlu mengurus seluruh izin, sehingga penanaman modal dengan usahanya berjalan tanpa izin. Langkah keluar dari sistem ini merupakan sinyal kegagalan pemerintah dalam menjalankan instrumen perizinan.

Efek Bureaucratism merupakan salah satu sisi buruk administrasi pemerintahan yang senantiasa dikeluhkan masyarakat. Tidak dapat dibayangkan betapa kesalnya orang yang menjadi bulan-bulanan petugas dari meja satu ke meja yang lain untuk urusan administrasi dalam organisasi-organisasi publik. Investor


(29)

harus pula menunggu berhari-hari untuk urusan penanaman modal. Tidak jarang, setelah menunggu tiga atau empat hari investor harus kembali ke kantor layanan hanya karena dia salah menulis ejaan dalam formulir yang diisinya. Untuk melukiskan efek Bureaucratism ini khazanah percakapan masyarakat barat memiliki istilah khusus, yakni red-tape (pita-merah).108

Keempat tipe kaitan kewajiban antara birokrasi pemerintah dengan klien itu dapat diuraikan sebagai berikut:

Salah satu cara untuk menganalisis ekses pita-merah ialah dengan mengkaji karakteristik keterkaitan kewajiban (Obligation relationship) dalam masyarakat. Ada 4 (empat) macam kaitan kewajiban politis dalam masyarakat yang dapat dibedakan menurut (1) prevalensi relative dari perilaku politis yang dipandang sebagai penyalahgunaan wewenang dalam memegang jabatan kedinasan (officeholding) dan partisipasi warga negara; dan (2) toleransi pendapat masyarakat tentang elit birokrasi mengenai berbagai perilaku yang dianggap menyeleweng dari kepentingan kedinasan.

109

a. Sistem yang berdasarkan perkerabatan tradisional (Traditional

familist-Based System)

Ciri yang melekat pada masyarakat terbelakang adalah tidak adanya hubungan sekunder (extended family), sehingga sistem perilaku diatur dalam kelompok-kelompok kepentingan yang sempit. Di sini loyalitas kepada keluarga inti (nuclear family) menjadi satu-satunya loyalitas yang abash. Dalam masyarakat seperti ini, birokrasi merupakan gagasan yang ada di luar jangkauan. Pejabat negara melakukan tugas-tugasnya tanpa metode rasional yang dapat meningkatkan efisiensi. Di antara pejabat yang ditunjuk (bukan diangkat) untuk menempati posisi-posisi penting, kurang terdapat rasa tanggungjawab atau panggilan atas kewajiban-kewajibannya.

108Ibid.


(30)

b. Sistem yang berdasarkan pola pelindung-pengikut tradisional (Traditional

patron-cilent-based system)

Sistem ini berakar dari pola kemasyarakatan kuno, tetapi sesungguhnya masih banyak terdapat pula pada abad kedua puluh. Perlindungan dicari di luar lingkungan keluarga, tetapi di dalam pola berpikir masyarakatnya para patron (pelindung) supernatural masih mempunyai peran penting. Ikatan kepada pelindung-pelindung yang kuat masih begitu erat sementara identifikasi dengan komunitas umum tetap lemah. Tidak seperti ikatan perkerabatan, kaitan-kaitan antarkedua belah pihak mengandung suatu kewajiban timbal-balik. Klien memelihara ikatan ketergantungannya dengan patron karena ia merasakan perlu adanya perlindungan yang tidak bisa disediakan oleh keluarga maupun negara. Dia perlu bekerja untuk patron dalam rangka memperoleh kontak yang dibutuhkan dengannya. c. Sistem modern berdasarkan pola atasan-bawahan (Modern

boss-follower-based system)

Elit-elit birokrasi yang hanya memiliki legitimasi tradisional di sini tidak begitu punya pengaruh. Salah satu hal membedakan kondisi klien ialah adanya diversifikasi ikatan-ikatan langsung yang lebih luas kepada lingkup masyarakat yang lebih besar, ia lebih memiliki hak memutuskan untuk berpihak meskipum untuk itu ia harus lebih aktif. Yang paling penting karena komunitas-komunitas di sini relatif “modern”, setiap komponen akan lebih mudah diajak maju dan beradaptasi. Dus, kalua dalam lingkup

patron-clien keterkaitan politis pertama-tama berbasis pada model

pertukaran social dan baru yang sekunder pada model pertukaran ekonomis, dalam lingkup yang modern ini sifat keterkaitanya bisa fleksibel dengan pertukaran ekonomis yang cenderung lebih dominan. d. Sistem yang berdasarkan kultur-kewarganegaraan (Civic culture-based

system)

Sistem keterkaitan politis yang berdasarkan kultur kewarganegaraan terjadi dalam lingkungan birokrasi yang benar-benar bersih, kebanyakan terdapat pada lingkungan suburban. Warga negara tidak merasa bahwa


(31)

mereka memerlukan kerja sama dengan penengah yang berpengaruh untuk memperoleh kebutuhan akan hukum dan program-program administratif. Mereka telah mengembangkan norma-norma kuat yang disepakati seluruh komponen komunitas (strong community-regarding norms), didukung oleh asosiasi-asosiasi yang beranggotakan relawan-relawan yang lebih mengutamakan kepuasan moral ketimbang nilai uang. Kaitan-kaitan politis mengikuti model pertukaran social tidak langsung yang terdiversifikasi. Pertimbangan politis yang kasar dalam artian ekonomis, semisal suap dan sogok, sangat jarang terjadi. Dalam keadaan seperti ini, “patron” mungkin masih ada, tetapi sangat lemah dan fungsinya sudah lebih umum. Objek birokrasi adalah masyarakat secara luas dan bukan hanya berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan material.

Jika kita melihat dalam konteks birokrasi Indonesia dari perspektif keempat kategori kewajiban politis ini, tampak bahwa sistem birokrasi Indonesia sulit untuk dimasukkan ke dalam salah satu kategori. Agaknya sistem birokrasi Indonesia lebih merupakan pencampuran antara sistem patron-cilent dan sistem atasan-bawahan. Dalam situasi seperti ini pertukaran ekonomis dan pertukaran social bisa berfungsi saling bergantian (Inter-changeable), sehingga sulit untuk memperoleh pelayanan umum lebih cepat dari orang-orang lain yang antre karena orang itu kenal baik dengan penjaga loket akan merasa bahwa status sosialnya lebih tinggi. Tanpa rasa malu ia membanggakan bahwa ia punya hubungan keluarga atau kenal baik dengan petugas, ia menunjukkan kepada orang-orang lain di sekitarnya betapa akrabnya hubungannya dengan petugas, sehingga layak memperoleh prioritas layanan. Disini pertukaran sosial memegang peranan utama. Pada saat yang lain di dalam pelayanan birokrasi mungkin pertukaran ekonomis yang lebih berperan. Orang tidak mau antre untuk memperoleh pelayanan umum bukan untuk menunjukkan status social, tetapi semata-mata karena alasan ekonomis. Mereka tidak mau antre karena tidak mau kehilangan waktu dan kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan material yang lebih tinggi.


(32)

Maka mereka tidak ragu-ragu menyuap petugas, merelakan uang ekstra untuk “membeli” prioritas guna mengejar keuntungan yang lebih besar.

Sudah tentu menjadi korban relativitas layanan seperti itu adalah orang-orang yang tidak memiliki kekuatan dalam pertukaran sosial maupun pertukaran ekonomis, orang-orang yang tidak punya hubungan dengan patron dalam birokrasi dan tak punya cukup uang untuk membeli layanan. Bagi orang-orang seperti ini, layanan birokrasi jelas akan terasa begitu lamban dan berbelit-belit . Jelaslah dalam praktiknya hal tersebut melanggar prinsip pelayanan publik, yakni antara lain:110

a. Kesederhanaan, yaitu prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami, dan mudah dilaksanakan

b. Kejelasan, memuat tentang:

a) Persyaratan teknis dan administrative pelayanan publik.

b) Unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab

memberikan pelayanan dan penyelesaian keluahan/persoalan/sengketa dalam pelasanaan pelayanan publik.

c) Rincian biaya pelayanan publik dan tata cara pembayaran.

c. Kepastian waktu, dimana dalam pelaksanaan pelayanan publik diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.

d. Akurasi, dimana produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat dan sah

e. Keamanan, proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum;

f. Tanggungjawab, pimpinan penyelenggara pelayanan publik atau pejabat yang ditunjuk bertanggungjawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan atau persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik; g. Kelengkapan sarana dan prasarana, yaitu tersedianya sarana dan prasarana

kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk penyedian sarana terknologi telekomunikasi dan informatika


(33)

h. Kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan, dimana pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan, dan santun, ramah, serta memberikan pelayanan dengan iklas.

i. Kenyamanan, yaitu lingkungan pelayanan harus tertib teratur, disediakan ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, lingkungan yang indah dan sehat serta dilengkapi dengan fasilitas pendukung pelayanan seperti parker, toilet, tempat, ibadah, dan lain-lain.

Maka kegusaran yang tidak beralasan terhadap birokrasi mungkin malah membawa akibat yang merugikan bagi sistem administrasi maupun bagi para pengguna jasa yang selalu tidak puas itu. Yang lebih diperlukan sesungguhnya adalah sikap yang wajar dalam menilai berokrasi. Birokrasi memang dapat menginjak-injak nilai-nilai demokrasi jika ia dipenuhi dengan aparatur yang angkuh, mementingkan diri sendiri, atau tidak memiliki dasar keahlian yang memadai. Namun, jangan pula dilupakan bahwa hingga kini birokrasi merupakan pranata paling rasional yang dapat memberi sumbangan-sumbangan esensial untuk mencapai sasaran nilai-nilai demokratis tadi. Betapapun birokrasi adalah satu-satunya sarana yang ideal untuk memenuhi tugas-tugas pelayanan umum dengan cara yang impersonal, suatu sosok pelayanan yang tidak memihak kepada kelompok-kelompok tertentu.

2) Orientasi Kebijakan Pelayanan Perizinan

Kualitas pelayanan birokrasi perizinan dan infrastruktur yang masih buruk bisa kita lihat sebagai salah satu konsekuensi logis dari orientasi kebijakan publik yang lebih menekankan pada pentingnya meningkatkan penerimaan pemerintah daerah dari sisi pendapatan asli daerah.

Otonomi daerah yang dijalankan sejak 1 Januari 2000 yang sekarang ini Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan lebih banyak wewenang kepada pemda tingkat dua untuk mengatur daerahnya dengan pembagian urusan pemerintah konkuren, kecuali untuk Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di mana berdasarkan Undang-Undang Nomor 29


(34)

Tahun 2007 tentang Pemerintah Privinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,dimana dalam UU tersebut otonomi diletakkan pada provinsi. Bentuk wewenang itu beraneka ragam mulai dari pembuatan struktur pemerintahan daerah, pengangkatan, dan penempatan pejabar daerah, sampai penarikan dana dari masyarakat.

Lahirnya berbagai Perda yang berujung pada pengutan resmi ini sangat kontraproduktif terhadap kondusifitas iklim usaha dan investasi daerah. Adanya target untuk meningkatkan pendapatan asli daerah mengakibatkan terjadinya berbagai pungutan yang secara langsung maupun tidak langsung memberatkan pengusaha atau para investor serta masyarakat umum. Mengenai sumber penerimaan daerah ada empat sumber penerimaan daerah yaitu pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan penerimaan resmi lainnya.

Maraknya Perda yang berujung pada pungutan itu semakin menambah beban berat kalangan dunia usaha, sehingga akan mengancam kelangsungan usaha di berbagai sektor. Biaya-biaya tersebut pada akhirnya akan menaikkan harga jual komoditas, sehingga mengurangi daya saingnya. Selain itu, peningkatan beban pungutan resmi bisa juga dijadikan alasan untuk membebankan ke belakang dalam mata rantai distribusi komoditas, yaitu ke produsen (petani, nelayan, dan sebagainya) dengan menekan harga beli. Artinya, beban pajak dan retribusi ini selain ditanggung oleh konsumen juga akan ditanggung oleh produsen. Dengan demikian, pajak dan retribusi ini akan berdampak negative secara luas kepada kondusifitas iklim usaha di daerah.

Serangkaian kegiatan pengawasan juga merupakan bagian dari penyelenggaran pelayanan izin, yang untuk menampung dan menindaklanjuti keluhan dan pengaduan masyarakat atas pelayanan publik yang disediakan, dikarenakan pada Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik termuat Hak pengadu dan Kewajiban penyelenggara pada pasal 2 angka (1) disebutkan pengadu mempunyai hak untuk menyampaikan pengaduan atas pelayanan pelaksana yang tidak sesuai dengan standar pelayanan


(35)

atau pengabaian kewajiban dan/atau pelanggaran larangan oleh penyelenggara.111

a. Mengumumkan nama dan alamat kantor penanggung jawab pengelola pengaduan;

Dalam pasal 2 angka (2) di tetapkan kewajiban penyelenggara pelayanan publik antara lain :

b. Mensosialisasikan mekanisme dan prosedur pengelolaan pengaduan;

c. Menerima, menanggapi, memproses, dan menyelesaikan setiap pengaduan;

d. Menyalurkan pengaduan yang bukan kewenangannya kepada

penyelenggara lain yang berwenang;

e. Melakukan pencatatan dan pelaporan pengelolaan pengaduan; dan f. Melakukan pemantauan dan evaluasi atas pengelolaan pengaduan.112

Diharapkan dengan pengawasan tersebut, kinerja pemerintah dalam pelayanan publik dapat ditingkatkan dan disempurnakan sesuai dengan keinginan masyarakat. Di pihak lain, masyarakat dapat menyampaikan aspirasinya dan memperoleh tanggapan yang lebih baik melalui mekanisme dan lembaga formal yang terbentuk.

Menghadapi era globalisasi yang penuh dengan tantangan dan peluang, aparatur pemerintah hendaknya bisa memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya, berorientasi kepada kebutuhan dan kepuasaan penerima pelayanan sehingga dapat meningkatkan daya saing dalam pemberian pelayanan publik.

Kemajuan teknologi informasi juga menjadi solusi memenuhi aspek transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Keterpaduan sistem penyelenggaraan pemerintahan melalui jaringan informasi on-line, terus berkembang terutama dalam penyelenggaraan pelayanan, sehingga memungkinkan bagi tersedianya data dan informasi pada instansi pemerintah yang

111

Pasal 2 angka (1) Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik

112 Pasal 2 angka (2) Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan


(36)

dapat dianalisis dan dimanfaatkan secara tepat, cepat, akurat, dan aman. Oleh karena itu untuk mempercepat upaya pencapaian sasaran terhadap peningkatan kinerja aparatur negara dalam rangka penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi membuat satu Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan. Adapun yang menjadi maksud dan tujuan serta sasaran dari pedoman tersebut termuat dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Tentang Pendoman Standar Pelayananyakni:113

a. Tujuan pedoman standar pelayanan ini adalah untuk memberikan kepastian, meningkatkan kualitas dan kinerja pelayanan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan selaras dengan kemampuan penyelenggara sehingga mendapat kepercayaan masyarakat.

b. Sasaran pedoman standar pelayanan adalah agar setiap penyelenggara mampu menyusun, menetapkan, dan menerapkan standar pelayanan publik dengan baik dan konsisten.

Untuk lebih mengoptimalisasikan pedoman penyelenggaraan pelayanan publik, harus memperhatikan asas-asas yang termuat dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang termuat pada pasal 4 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Adapun asas tersebut adalah:

a. Kepentingan umum; b. Kepastian hukum; c. Kesamaan hak;

d. Keseimbangan hak dan kewajiban; e. Keprofesionalan;

f. partisipatif

g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;

113 Lampiran Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi No. 15


(37)

h. Keterbukaan; i. Akuntabilitas;

j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan; k. Ketetapan waktu; dan

l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.114

3) Konsepsi Peningkatan Pelayanan perizinan yang Optimal

Persetujuan dan perizinan penanaman modal baik penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing mempunyai pengaruh dan perkembangan penanaman modal di Indonesia. Proses perizinan penanaman modal yang mudah, cepat dan efisien serta tidak berbelit-belit merupakan sesuatu yang sangat didambakan oleh para investor. Sementara prosedur perizinan yang berbelit-belit dan birokrasi yang panjang merupakan suatu kendala yang sangat memberatkan bagi investor. Untuk itu pemerintah berkewajiban untuk menciptakan kondisi yang dapat meningkatkan penanaman modal. Singkatnya menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi investor merupakan tugas dan tanggungjawab pemerintah.

Salah satu indikator baik buruknya tingkat pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat ditentukan oleh jumlah keluhan yang disampaikan oleh masyarakat terhadap aparatur pemerintah. Semakin banyak keluhan yang disampaikan masyarakat kepada aparatur pemerintah baik keluhan tersebut disebabkan oleh adanya pungutan-pungutan, penyalahgunaan wewenang dan prosedur yang memerlukan waktu lama menunjukkan bahwa tingkat pelayanan masyarakat oleh aparatur pemerintah masih belum seperti yang diinginkan.

Tingkat kepedulian masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah cukup tinggi. Kepedulian masyarakat terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi aparatu pemerintah perlu terus dikembangkan, karena sangat


(38)

bermanfaar guna memelihara mutu dan citra aparatur. Makin maju kehidupan masyarakat, akan makin tinggi tingkat kepedulian tersebut.

Setiap penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan adalah ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan yang wajib ditaati oleh pemberian dan atau penerima pelayanan. Adapun standar pelayanan meliputi :115

1. Prosedur Pelayanan

Prosedur pelayanan yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk pengaduan

2. Waktu penyelesaian

Waktu penyelesaian yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan penyelesaian pelayanan termasuk pengaduan

3. Biaya pelayanan

Biaya atau tarif pelayanan termasuk rincian yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan

4. Produk pelayanan

Hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan

5. Sarana dan prasarana

Penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh penyelenggara pelayanan publik

6. Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Kompetensi petugas pemberi pelayanan harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap, dan perilaku yang dibutuhkan.

4) Penataan Kelembagaan yang menangani perizinan.


(39)

Di bidang penataan kelembagaan perlu diperhatikan adalah perampingan birokrasi pemerintah. Namun demikian, perlu diingat bahwa perampingan birokrasi ini bukanlah dimaksudkan memberhentikan pegawai negeri secara besar-besaran atau rasionalisasi, tetapi justri ditujukan untuk mendayagunakan aparatur pemerintah sebaik mungkin. Tujuan utama perampingan birokrasi ini adalah untuk menempatkan dan memanfaatkan tenaga-tenaga kerja yang ada sesuai dengan proporsinya dan sesuai dengan keahliannya (the right man on the

right place).

Melalui kebijaksanaan tersebut, unit-unit kerja yang kelebihan pegawai dapat dialihkan ke unit-unit lain yang memerlukan pegawai sehingga mobilitas karier pegawai dapat diarahkan secara lebih jelas. Dengan dapat dikembangkannya unit-unit produktif kearah sistem tersebut. Pemerintah perlu melaksanakan berbagai langkah-langkah kajian untuk menentukan organisasi/lembaga apa saja yang nantinya berpotensi untuk dapat dimanfaatkan. Di samping lembaga swadana ini, perampingan birokrasi dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis jabatan dan mengembangkan jabatan fungsional. Dalam hal ini aparatur pemerintah dipacu kemampuannya untuk lebih kreatif dan berkemampuan karena pada dasarnya aparatur pemerintah itu adalah asset. Tinggal sekarang bagaimana pembinaanya. Kalau pembinaanya tidak baik, aparatur pemerintah akan menajadi beban bukan aset lagi.

Untuk lebih mengoptimalisasikan cara mengukur tingkat kepuasan masyarakat, maka dibuat suatu pedoman mengenai penyususnan indeks kepuasan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Kondisin ini dilatarbelakangi oleh pelayanan yang dilaksanakan aparatur pemerintah dewasa ini masih banyak kelemahan dan belum memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Ini dibuktikan dengan munculnya keluhan dari masyarakat yang disampaikan melalui media massa, sehingga dapat menimbulkan citra yang kurang baik bagi aparatur pemerintah.


(40)

Salah satu upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional, perlu untuk disusun indeks kepuasan masyarakat sebagai tolok ukur dalam menilai tingkat kualitas pelayanan. Mengingat jenis pelayanan sangat beragam dengan sifat dan karakteristik yang berbeda, maka untuk kemudahan penyusunan indeks kepuasan, unit pelayanan memerlukan pedoman umum yang digunakan sebagai acuan bagi instansi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan kabupaten/kota. Maksud penyusunan indeks ini adalah sebagai acuan bagi unit pelayanan instansi pemerintah dalam menyusun indek kepuasan masyarakat, sedangkan tujuannya adalah untuk mengetahui tingkat kinerja unit pelayanan secara berkala sebagai bahan untuk menetapkan kebijakan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan publik selanjutnya


(41)

BAB IV

PROSEDUR PEROLEHAN IZIN PENANAMAN MODAL DITINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

A. Kebijakan Pemerintah Dalam Penanaman Modal

Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.116Serangkaian upaya pembenahan/penyempurnaan terhadap kebijakan dan ketentuan perundang-undangan di bidang penanaman modal terus menerus diupayakan oleh pemerintah untuk menciptakan iklim penanaman modal yang

favourable mencakup antara lain sebagai berikut.117

1. Menyederhanakan Proses dan Tata Cara Perizinan dan Persetujuan dalam Rangka Penanaman Modal

Hal ini dilakukan dengan menetapkan serangkaian peraturan perundangan-undangan, yaitu:

a. Keppres Nomor 115 Tahun 1998 tentang Perubahan atas keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1993 tentang Tata Cara Penanaman Modal; b. Instruksi Presiden Nomor 22 Tahun 1998 tentang Penghapusan Memiki

Rekomendasi Instansi Teknis dalam Permohonan Persetujuan Penanaman Modal;

c. Instruksi Presiden Nomor 23 Tahun 1998 tentang Penghapusan Ketentuan Kewajiban Memiliki Persetujuan Prinsip dalam Pelaksanaan Realisasi Penanaman Modal di Daerah;

d. Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Nomor 30/SK/1998 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang didirikan dalam rangka PMDN dan PMA;

116 Pasal 4 ayat (2) UUPM

117 Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal, (Jakarta:


(42)

e. Keputusan bersama Menteri Luar Negeri dan Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Nomor KB 076/OT/V/69/01 dan Nomor 10/SK/1999 tentang Penugasan Khusus kepada Perwakilan RI di Luar Negeri untuk Lebih Menarik Masuknya Investasi ke Indonesia;

f. Keputusan Menteri Investasi/Kepala BKPM Nomor 21/SK/1998 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal Dalam Negeri Tertentu kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I;

g. Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Nomor 37/SK/1999 tanggal 6 Oktober 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Persetujuan dan Fasilitas serta Perizinan Pelaksanaan Penanaman Modal kepada Gubernur Kepala Daerah Provinsi;

h. Keputusan Menteri Negara Investasi/Kepala BKPM Nomor 38 Tahun 1999 tentang Prosedur dan Tata Cara Penanaman Modal (PMA dan PMDN); dan lain-lain.

2. Membuka Secara Lebih Luas Bidang-Bidang yang Semula Tertutup atau Dibatasi Terhadap Penanaman Modal Asing.

Kebijakan ini antara lain dilaksanakan dengan cara mengevaluasi secara rutin dan terus-menerus Daftar Negatif Investasi (Negative List) disingkat DNI. Pemerintah dalam hal ini telah berupaya untuk membuka seluruh kegiatan usaha termasuk dalam DNI. Hal itu dilakukan dengan menyempurnakan Keppres Nomor 96 Tahun 1998 tentang DNI. Dengan demikian diharapkan akan meberikan peluang investasi yang lebih luas bagi para investor domestic maupun asing, dan mengantisipasi arus liberalisasi investasi serta perdagangan dunia yang berkembang pesat. Penyempurnaan DNI yang diusulkan adalah jumlah bidang usaha yang semua tertutup mutlak bagi penanaman modal sebanyak 16 (enam belas) bidang usaha diubah menjadi 10 (sepuluh) bidang usaha.Jumlah bidang usaha yang tertutup bagi


(43)

PMA yang semula 9 (Sembilan) bidang usaha diubah menjadi 8 (delapan) bidang usaha.

3. Penawaran Berbagai Insentif di Bidang Perpajakan dan Non Perpajakan Berbagai bentuk insentif di bidang perpajakan meliputi, antara lain:

a. PP Nomor 45 Tahun 1996 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Wajib Pajak Badan untuk Usaha Industri Tertentu;

b. PP Nomor 33 Tahun 1996 sebagaimana diubah dengan PP Nomor 43 Tahun 1997 Mengenai Tempat Penimbunan Berikat;

c. PP Nomor 3 Tahun 1996 tentang Pemberlakuan Perpajakan bagi Pengusaha kena Pajak Berstatus Enreport Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) dan Perusahaan pengolahan di Kawasan Berikat;

d. PP Nomor 34 Tahun 1994 tentang Fasilitas Perpajakan atas Penanaman Modal di Bidang-Bidang Tertentu dan/atau Daerah-Daerah Tertentu;

e. Keppres Nomor 7 Tahun 1999 tentang Kriteria Penilaian Pemberian Fasilitas Perpajakan di Bidang Usaha Industri Tertentu;

f. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 44/KMK.01/1998 tentang Pajak Penghasilan yang ditanggung Pemerintah atas Penghasilan Wajib Pajak Badan Usaha Industri tertentu sesuai dengan PP Nomor 45 Tahun 1996; dan lain-lain.

4. Menyempurnakan Berbagai Produk Hukum dengan Mengeluarkan Peraturan Perundang-Undangan Baru yang Menjamin Iklim Investasi yang Sehat

Berbagaio bentuk produk hukum di bidang Hukum Ekonomi yang diharapkan dapat menunjang iklim investasi yang sehat meliputi, antara lain:

1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan;

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


(44)

5. Menyempurnakan Proses Penegakan Hukum dan Penyelesaian Sengketa yang Efektif dan Adil

Dalam rangka menegakkan supremasi hukum serta mendapatkan tata cara penyelesaian sengketa di bidang invetasi yang efektif dan adil, telah ditempuh berbagai upaya yang mencakup, antara lain sebagai berikut.

a. Menetapkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Abitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pemberlakuan undang-undang ini diharapkan akan mampu mengurangi secara substansial penumpukan kasus yang tidak tertangani di pengadilan yang setiap tahun mencapai angka sekitar 13.500 kasus.

b. Menjadikan badan peradilan sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh eksekutif denghan mengembalikan fungsi pembinaan dan pengawasan hakim kepada Mahkamah Agung.

c. Meratifikasi New York Conventin on Recognition and Enforcement of

Foreign Arbitral Award of 1958 yang mengakui dan menjadi dasar dari

berlakunya keputusan abitrase asing baik atas sengketa investasi yang diselesaikan melalui forum ICSID (International Center for Settlement of

Invesment Disputes) maupun sengketa yang diselesaikan melalui forum

abitrase dari ICC (International Chamber of Commerce).

6. Meningkatkan Pengakuan dan Perlindungan HaKI ( Hak atas Kekayaan Intelektual)

Salah satu faktor yang dipertimbangkan oleh investor asing untuk menanamkan modalnya di suatu negara adalah sejauh mana negara tersebut (host country) mengakui dan melindungi HaKI asing. Dalam konteks ini, Indonesia telah melakukan serangkaian penyempurnaan baik dari segi instrument hukumnya maupun dari segi penegakan hukumnya dalam rangka pengakuan dan perlindungan HaKI. Langkah-langkah yang telah ditempuh tersebut mencakup:


(45)

a. Menyempurnakan ketentuan-ketentuan mengenai Hak Cipta dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 dengan mengubah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987;

b. Menyempurnakan ketentuan-ketentuan mengenai Paten dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 dengan mengubah Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten;

c. Meratifikasi Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulations under the

PCT of 1985 dengan Keppres Nomor 16 Tahun 1997;

d. Meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization of

1994 khususnya menyangkut Agreement on Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/ TRIPs

dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, ketentuan mana akan mulai efektif berlaku pada tanggal 1 Januari Tahun 2000;dan lain-lain. 7. Membuka Kemungkinan Pemilikan Saham Asing yang Lebih Besar

Sesuai dengan ketentuan PP Nomor 20 Tahun 1994, dimungkinkan kepemilikan saham asing sebesar 100% pada perusahaan PMA. Sementara itu sebagai upaya mempercepat pemulihan ekonomi, terutama pada sektor riil, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Investasi/Kepada BKPM Nomor 12/SK/1999 tentang Partisipasi Modal dalam Perusahaan Holding, yang memberikan kesempatan baik kepada perusahaan asing maupun warga negara asing untuk mendirikan usaha baru atau berpartisipasi dalam permodalan perusahaan lain serta permohonan pada perusahaan yang sudah ada yang bergerak di bidang partisipasi permodalan. Untuk partisipasi bidang permodalan tersebut harus berbentuk kepemilikan saham serta sesuai dengan PP Nomor 15 Tahun 1999 mengenai Bentuk-Bentuk Klaim yang Dapat Dikompensasikan sebagai Pembayaran Saham.

8. Menyempurnakan Tugas, Fungsi, dan Wewenang Instansi Terkait untuk Dapat Memberikan Pelayanan yang Lebih Baik


(46)

Dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik terhadap calon investor asing maupun investor domestic, maka BKPM yang selama ini bertindak sebagai one stop invesrment service center dapat terus ditingkatkan kinerjanya serta meningkatkan koordinasi dengan BKPMD, Pemerintah Daerah maupun instansi-instansi teknis terkait.

B. Sektor Usaha Penanaman Modal

Sektor usaha dalam penanaman modal atau invetasi disebut dalam UUPM adalah Bidang Usaha, yang dijelaskan dalam pasal 12 angka (1) UUPM yakni semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.118

a. Produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan

Bidang usaha yang dimaksud tertutup bagi penanaman modal asing adalah:

b. Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.119

Dalam hal bidang usaha tertutup berdasarkan peraturan perundang-undangan dianggap pemerintah berdasarkan peraturan presiden menetapkan bidang usaha tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.120

Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan peraturan Presiden. Adapun Peraturan Presiden yang mengatur hal tersebut diatur dalam Peraturan Presiden

Hal ini dianggap pemerintah dapat membahayakan bagi kesehatan masyarakat, dan dampak risiko yang timbul akan merusak lingkungan serta keamanan nasional dan lain sebagainya yang dianggap penting oleh pemerintah.

118 Pasal 12 angka (1) UUPM 119 Pasal 12 angka (2) UUPM 120 Pasal 12 angka (3) UUPM


(47)

Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Dalam Pasal 1 angka (1) Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Pesyaratan di Bidang Penanaman Modal di katakana Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal.121

1. Pertanian

Daftar bidang usaha yang tertutup bagi Penanaman Modal terdiri dari bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal adalah sebagaimana tercantum di bawah ini (Lampiran I Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2014) tanggal 23 April 2014.

Budidaya dan pengelolahan Ganja 2. Kehutanan

1) Penangkapan Spesies Ikan yang Tercantum dalam Appendix I

Convention International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

2) Pemanfaatan (pengambilan) koral/karang dari alam untuk bahan bangunan/ kapur/ kalsium dan souvenir/ perhiasan, serta koral hidup atau koral mati (recent death coral) dari alam.

3. Industri

1) Industri Bahan Kimia yang Dapat Merusak Lingkungan: - Industri pembuat Chlor Alkali dengan Proses Merkuri

- Industri Bahan Aktif Pestisida: Dichloro DiphenyI Trichloroethane (DDT), Aldrin, Endrin, Dieldrin, Chroldane, Heptachlor, Mirex, dan Toxoaphene

- Industri Bahan Kimia Industri: Polychlorinated Biphenyl (PCB), Hexachlorobenzene

121 Pasal 1 angka (1) Peraturan Presiden No. 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha


(1)

ABSTRAK

TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA TERHADAP IZIN PENANAMAN MODAL BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 25

TAHUN 2007

*Tommy AditiaSinulingga **PendastarenTarigan

***SuriaNingsih

Investasimerupakanlangkahawalkegiatanproduksi,

sehinggadiperlukannyainvestasi yang besar di Indonesia. Adapun peraturan perundang-undangan mengenai penanaman modal adalah Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang biasanya disebut UUPM, yang merupakan bentuk usaha pemerintah dalam mendorong para investor untuk melakukan penananaman modal di Indonesia. Perizinan meruapakan hal yang sangat penting dalam proses penanaman modal, agar terciptanya kemudahan pelayanan perizinan investasi baik asing maupun domestic menerapkan konsep one roof system yakni sistem pelayanan satu atap untuk mempermudah para investor melakukan penanaman modal di Indonesia.

Rumusanmasalahdalampenelitianiniadalah: Pelaksanaanperizinan yang diselenggarakanpemerintah, pelayananpengurusanizinpenanaman modal,

sertaprosedurperolehanizinpenanaman modal ditinjaudari hokum

administrasinegara.

Metode yang digunakandalampenulisanskripsiiniadalah yuridis normatif, artinyapenelitian yang mengacukepadanorma-normahukum yang

terdapatdalamperaturanperundang-undangan yang berlakusebagai pijakan

normatif serta literature-literatur yang adakaitannyadenganpermasalahan.Sumber data yang digunakandalampenelitianskripsiinidibagimenjadi 3 (tiga) bagianyakni :bahanhukum primer, bahan hukum sekunder, danbahan hukum tersier.

Instrumenperizinanmerupakansalahsatuwujudkeputusanpemerintah yang

paling banyakdipergunakandalamHukumAdministrasi Negara untukmengendalikandanmempengaruhi tindakanmasyarakat untuk mengikuti cara

yang ditetapkan olehperaturanperundang-undangan yang berlaku. Pelayanan perizinan penanaman modal dalam urusan penanaman modal penanganannya dilayani melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), yang merupakan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan. Pemerintah terus menerus melakukan kebijakan dalam penanaman modal guna untuk terus menciptakan iklim penanaman modal yang faurable dalam hal sektor usaha penanaman modal sertafasilitas dan kemudahan dalam penanaman modal.

Kata Kunci :Prosedur, Pelayanan, Izin, Penanaman Modal. *Mahasiswa

**Dosen Pembimbing I, Dosen Fakultas Hukum USU

***Dosen Pembimbing II, Ketua Departemen Hukum Administrasi Negara KATA PENGANTAR


(2)

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH S.W.T atas segala berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul skripsi ini adalah “ Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Penanaman Modal Berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 2007.”

Untuk penulisan skripsi ini penulis berusaha agar hasil penulisan skripsi ini mendekati kesempurnaan yang diharapkan, tetapi walaupun demikian penulisan ini belumlah dapat dicapai maksimal, karena ilmu pengetahuan penulis masih terbatas. Oleh karena itu, segala saran dan kritik akan penulis terima dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafrudddin Hasibuan, SH, MH.DFM selaku Wakil Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. O.K Saidin, SH, M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Suria Ningsih, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum

Administrasi Negara yang telah banyak membantu dan memudahkan saya dalam mengajukan judul skripsi, sekaligus sebagai Pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan petunjuk dan bimbingan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(3)

6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS sebagai Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan banyak petunjuk serta bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Seluruh Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang

dengan penuh dedikasi menuntun dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan sampai dengan menyelesaikan skripsi ini.

8. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

memberikan pelayanan administrasi yang baik selama proses akademik penulis.

9. Terima kasih kepada kedua orang tua tercinta saya, bapak Teguh

Sinulingga dan Ibunda Ramayanna Br. Ginting yang telah mengasuh, membesarkan dan menyayangi saya serta memberikan doa dan dukungan moril serta motivasi sampai saya bisa menyelesaikan skripsi ini.

10.Terima kasih kepada kedua kakak kandung saya Kak Sri Hartati Br.

Sinulingga dan Kak Nurmayanti Sinulingga yang selalu memberikan semangat serta yang selalu mengingatkan saya dalam mengerjakan skripsi ini sehingga selesai.

11.Terima kasih untuk kawan terdekat saya Swandhana Pradipta & Hasrul Sani Harahap yang selalu menyemangati saya dalam menyelesaikan skripsi, bantuan dan dukungan yang selalu memotivasi saya menyelesaikan skripsi ini.

12.Terima kasih kepada saudari teristimewa Sri Wahyuni Br. Sembiring yang selalu memberikan dukungan dan support kepada saya dalam menjalani proses kegiatan kuliah serta terselesaikannya pembuatan skripsi ini.

13.Terima kasih untuk seluruh anggota IMKA ERKALIAGA FH USU yang

selalu memberikan semangat dan dukungan serta bantuan yang sangat luar biasa kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

14.Terima kasih untuk seluruh anggota Gemar Belajar (GEMBEL) yang

selalu memberikan dukungan kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.


(4)

15.Civitas Akademika Universitas Sumatera Utara di Medan yang telah banyak membantu dalam proses belajar di kampus.

16.Rekan-rekan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang selalu kompak dan penuh kecerian menjalani hari-hari perkuliahan.

Penulis mengucapkan terimakasih atas bimbingan dan bantuan dari semua pihak.

Medan, Januari 2016 Penulis

120200385 Tommy Aditia Sinulingga


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………i

KATA PENGANTAR ……….ii

DAFTAR ISI ………v

BAB I PENDAHULUAN ...………...………1

A. Latar Belakang ………..1

B. Perumusan Masalah ……….7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………7

D. Keaslian Penulisan ………8

E. Tinjauan Kepustakaan ………..9

F. Metode Penelitian ………13

G. Sistematika Penulisan ……….16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH ……….…..18

A. Pengertian Perizinan ………...18

B. Unsur-unsur Perizinan ………...25

C. Sifat Izin ……….….31

D. Jenis dan Bentuk Izin ……….……33


(6)

BAB III PELAYANAN PENGURUSAN IZIN PENANAMAN

MODAL ………..…..44

A. Tinjauan Tentang Izin Penanaman Modal………..44

B. Restrukturisasi dan Revitalisasi Pelayanan Perizinan …..64

BAB IV PROSEDUR PEROLEHAN IZIN PENANAMAN MODAL DITINJAU DARI HUKUM ADMINISTRASI NEGARA ..79

A. Kebijakan Pemerintah Dalam Penanaman Modal ………..79

B. Sektor Usaha Penanaman Modal ……….84

C. Fasilitas dan Kemudahan Penanaman Modal ……….88

D. Perkembangan Penanaman Modal Di Indonesia ………....93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………...124

A. Kesimpulan ……….124

B. Saran ………125