Latar Belakang Tinjauan Hukum Administrasi Negara Terhadap Izin Penanaman Modal Berdasarkan Undang-Undang No.25 Tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berkembang yakni negara yang sedang membangun. Untuk membangun suatu negara pemerintah melakukan terobosan- terobosan untuk menaikan perekonomian nasional, salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong perekonomian nasional adalah dengan melibatkan pihak swasta dalam bentuk investasi swasta 1 Keberadaan kedua instrumen hukum itu, diharapkan agar investor, baik investor asing maupun investor domestik untuk dapat menanamkan investasinya di Indonesia. Namun kedua instrument hukum tersebut yang mengatur tentang penanaman modal tersebut masih banyak kekurangan dalam kepastian hukum setelah mengikuti perkembangan zaman Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing PMA dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN tersebut di perbaharui yakni menjadi Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal yang sampai sekarang berlaku. , karena ekonomi melalui penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi, sehingga investasi pada hakekatnya langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi di suatu negara, maka diperlukan adanya modal atau investasi yang besar. Kegiatan penanaman modal di Indonesia telah dimulai sejak zaman penjajahan. Setelah kemerdekaan Indonesia mulai membentuk peraturan tentang penanaman modal pada tahun 1967, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing-PMA Lembaran Negara RI Tahun 1967 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2818 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri-PMDN Lembaran Negara RI Tahun 1968 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2583. 1 Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menata Ke Depan Perekonomian Nasional, Jakarta : Bappenas 1999 , hlm. 67. Pembangunan ekonomi melibatkan pihak swasta, baik yang berasal dari Penanaman Modal Asing PMA maupun Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN mempunyai peranan penting dalam kegiatan perekonomian. Karena bagaimanapun juga pertumbuhan ekonomi Indonesia terkait erat dengan tingkat penanaman modal, maka untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan tingkat penanaman modal yang tinggi pula. Namun upaya pemerintah untuk meningkatkan penanaman modal swasta sepertinya belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya minat pihak swasta, baik penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri untuk melakukan penanaman modal di tanah air. Bahkan jumlah penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri mengalami penurunan dari waktu kewaktu, penurunan ini tidak terlepas dari berbagai faktor yang secara ekonomi tidak menguntungkan bagi para pelaku usaha atau yang disebut investor untuk melakukakan penanaman modal. Implikasi ekonomis dari prosedur yang panjang dan berbelit-belit adalah semakin panjang jalur birokrasi atau prosedur yang harus dilalui, semakin besar pula biaya yang harus dikeluarkan. 2 Usaha pemerintah untuk mendorong para investor, tidak hanya menyediakan informasi yang telah terindikasi, tetapi juga memerlukan suatu informasi yang lebih komprehensif yang mendukung perkembangan potensi daerah seperti tersedianya sarana dan prasarana jalan, telepon, air minum, pasar, Berkaitan dengan menurunnya jumlah penanaman modal tersebut Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal BKPM mengeluarkan Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Republik IndonesiaNomor 5 Tahun 2013 Tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal. Guna untuk mempermudah prosedur dalam penanaman modal di tanah air, serta dapat memberikan harapan pada investor yang akan menanamkan modal baik itu Penanaman Modal Asing PMA maupun Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN. 2 Andrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta : Sinar Grafika, 2010, hlm. 49. lahan, sistem transportasi, tenaga kerja, upah buruh, lembaga keuangan, kondisi sosial budaya, sistem perizinan, dan sebagainya. Calon investor dapat melakukan kalkulasi sejauh mana keuntungan komperatif dan kompetitif yang akan diperoleh seandainya calon investor menanam modal pada jenis bisnis tertentu. Potensi investasi ini menggambarkan secara umum keadaan potensi yang ada dan peluang investasi di wilayah Indonesia, baik yang diusahakan pemerintah maupun yang diusahakan oleh swasta atau perorangan, baik berupa Penanaman Modal Asing PMA maupun Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN. Untuk tercapainya iklim investasi yang dinamis sangat ditentukan beberapa faktor, seperti keamanan, stabilitas politik, infrastruktur yang memadai, dan yang sangat penting adalah regulasi dan insentif yang dapat diberikan pemerintah untuk mendukung investasi dan yang sangat penting adalah tersedianya sarana dan fasilitas yang dapat diberikan oleh Pemerintah maupun kemudahan administrasi perizinan. Salah satu bagian dari proses penyelenggaraan penanaman modal, yaitu perizinan penyelenggaraan penanaman modal yakni Penanaman Modal Asing PMA dan Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN yang di sentralisasikan kepada pemerintah pusat. Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakuakan penanaman modal yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 3 3 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 5 Tahun 2013 tentang “Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Nonperizinan Penanaman Modal” Pasal 1 angka 6. Sejak tanggal 12 april 2004 persetujuan dan perizinan penanaman modal disentralisasikan kepada pemerintah pusat dengan ditetapkan keputusan presiden No. 29 Tahun 2004tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap. Padahal sebelumnya perizinan penanaman modal telah dilimpahkan kepada daerah-daerah dengan diberlakukan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah junto Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom. Bahkan untuk Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN berdasarkan Keputusan Presiden No. 117 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Presiden No. 97 Tahun 1993 Tentang Tata Cara Penanaman Modal, telah diserahkan kepada daerah, dimana untuk melaksanakan pelimpahan wewenang tersebut, Gubernur Kepala Daerah Propinsi dapat menugaskan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah BKPMD. Dalam hal menanamkan modal di Indonesia baik itu penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing, perizinan penyelenggaraan penanaman modal sangatlah penting dalam proses penanaman modal, maka dalam hal itu penanaman modal di tanah air ini tidak terlepas dari izin dalam proses penyelenggarakan penanaman modal. Pada kenyataannya hukum administrasi negara sangatlah berperan penting dalam hal perizinan penanaman modal, sebab tanpa adanya suatu izin yang diberikan oleh pemerintah yang berwenang, maka investor tidaklah dapat melakukan penanaman modal atau yang biasa disebut “investasi” karena hal tersebutlah peran dari hukum administrasi negara yakni sektor perizinan sangatlah penting dalam suatu perusahaan atau pihak-pihak swasta yang ingin menanamkan modalnya baik penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing. Dalam perspektif hukum penyelenggaraan perizinan berbasis pada teori negara hukum modern negara hukum demokratis yang merupakan perpaduan atau kolaborasi antara konsep negara hukum rechtsstaat dan konsep negara kesejahteraan welfare state. Negara hukum secara sederhana adalah negara yang menempatkan hukum sebagai acuan sebagai acuan tertinggi dalam penyelenggaraanaparatur negara atau pemerintahan supremasi hukum. Hukum administrasi negara mengatur tentang perizinan sebagai acuan dalam penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Dalam Pasal 30 angka 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang selanjutnya disebut dengan UUPM, dinyatakan “Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan penanaman modal yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan penyelenggaraaan penanaman modal yang menjadi urusan pemerintah”. 4 Di samping itu penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupatenkota menjadi urusan pemerintah provinsi, 5 dan penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupatenkota menjadi urusan pemerintah kabupatenkota. 6 Melihat kenyataan tersebut tentu saja diperlukan adanya perubahan paradigma pelayanan khususnya pelayanan perizinan investigasi, agar terciptanya prosedur perizinan penanaman modal yang dapat dikategorikan murah, cepat, dan jelas sesuai dengan standar pelayanan publik yang telah ditetapkan. Dengan kata Dalam kaitan dengan pelayanan perizinan investasi sekarang ini telah dikembangkan suatu sistem pelayanan yang tujuan utamanya diarahkan pada terciptanya kemudahan pelayanan perizinan investasi baik asing maupun dalam negeri, dengan tidak mengurangi syarat-syarat yang harus dipenuhi dengan menerapkan konsep one roof service system. Sebelumnya, konsep pelayanan perizinan investasi yang di usung adalah one stop service system dengan bertumpu kepada one door service system. Namun, konsep pelayanan perizinan tersebut tidak banyak membawa perubahan pada level bawah, di mana investor masih merasakan prosedur yang berbelit-belit seperti persyaratan, waktu, dan biaya yang harus dikeluarkan oleh investor tidak dapat diukur atau dipastikan. Namun dengan Keputusan Presiden No. 29 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Penanaman Modal Dalam Rangka Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri Melalui Sistem Pelayanan Satu Atap, pemerintah kembali memiliki kewenangan untuk memberikan persetujuan dan perizinan penanaman modal, sehingga menimbulkan perdebatan apakah kewenangan tersebut ada pada pemerintah pusat atau sebaliknya dilimpahkan kepada daerah. Maka perlu adanya kejelasan tentang kewenagan persetujuan dan perizinan penanaman modal demi menciptakan hukum yang lebih adil, bermanfaat dan memberikan kepastian hukum. 4 Pasal 30 angka 2 UUPM 5 Pasal 30 angka 5 UUPM 6 Pasal 30 angka 6 UUPM lain, pelayanan perizinan khususnya pelayanan perizinan penanaman modal di daerah haruslah sesuai dengan prosedur, syarat, dan ketentuan yang diadakan untuk itu agar tercipta persepsi yang sama dalam pemberian pelayanan baik pada dasar hukum pemberian pelayanan, jenis, persyaratan, biaya yang harus dikeluarkan, dan lamanya pelayanan diberikan. Dengan adanya standarisasi pelayanan publik dalam pemberian pelayanan perizinan penanaman modal tentu saja akan diperoleh sistem pelayanan yang baku dan berkepastian, sehingga para penanam modal yang biasa disebut investor baik asing maupun dalam negeri dapat mengukur tingkat aksesibilitas pelayanan yang diberikan oleh penyelenggaraan penanaman modal. Di sinilah diperlukan peranan dan fungsi kelembagaan pelayanan perizinan khususnya komitmen penyelenggara investasi di daerah dalam hal ini guna mengatur dan menentukan suatu standarisasi izin penanaman modal, agar diperoleh kepastian hukum dalam pemberian izin penanaman modal di daerah, sehingga pihak investor baik asing maupun dalam negeri dapat mengaplikasikan modalnya dengan lancar dan terukur. Pedoman umum prosedur izin penanaman modal, tentu saja akan membawa implikasi pada aplikasi penanaman modal yang umumnya dikeluhkan oleh para investor dengan teciptanya ekonomi biaya tinggi high cost economy. Persoalan lain yang dihadapi adalah, walaupun telah terdapat instrumen hukum, akan tetapi instrumen hukum tersebut memiliki kerancuan terutama sumber legitimasi wewenang antara pemerintah dengan pemerintah daerah di bidang yang berkaitan dengan penanaman modal. Selain itu pemikitan pemerintah daerah terhadap otonomi daerah masih lebih banyak dilihat dari aspek adanya wewenang pemerintah daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya, tanpa membedakan antara wewenang mengatur dan mengurus. Padahal antara kedua konsep diatas memiliki pengertian yang berbeda. Mengatur berarti menciptakan norma hukum yang berlaku umum dan bersifat abstrak, sementara mengurus berarti menciptakan norma hukum yang berlaku individual dan bersifat konkret, dengan kata lain dari wewenang mengatur melahirkan produk hukum yang bersifat mengatur dan wewenang mengurus melahirkan produk hukum yang bersifat keputusanketetapan. 7

B. Perumusan Masalah