Analisis TSS Perairan Teluk jakarta Hubungan antara TSS dan Konsentrasi Klorofil-a

material organik yellow substance, maupun material anorganik sedimen, dimana meningkatnya nilai reflektansi atau radians akan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi TSS Robinson, 1985.

4.2. Analisis TSS Perairan Teluk jakarta

Hubungan antara konsentrasi TSS in situ perairan dengan konsentrasi TSS hasil pendugaan terlihat pada Gambar 6. Dari gambar tersebut, dapat dilihat bahwa data konsentrasi TSS dugaan relatif lebih rendah dibandingkan konsentrasi TSS insitu, kecuali pada data ke 11, 12 dan 14 yang lebih tinggi dibandingakan TSS insitu. Secara umum, data konsentrasi TSS in situ dengan konsentrasi TSS dugaan memiliki kecenderungan yang hampir sama. Gambar 6. Hubungan antara TSS in situ dengan TSS Dugaan Perbedaan konsentrasi TSS in situ dengan TSS hasil pendugaan disebabkan oleh kondisi citra yang banyak mendapat pengaruh dari tutupan awan maupun kabut tipis haze yang tidak hilang meskipun sudah dilakukan koreksi atmosferik . 82 84 86 88 90 92 94 96 98 100 102 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 T S S m g l Data ke- Konsentrasi TSS insitu mgl Konsentrasi TSS dugaan mgl

4.3. Pengujian dan Validasi Data TSS

Terdapat dua pengujian data yang akan dilakukan, yaitu uji-t dan uji residual analisis. Uji-t dan uji residual analisis dilakukan pada variabel yang tidak memiliki keterikatan saling mempengaruhi.

4.3.1. Uji-t

Uji-t dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan nilai tengah µ antara konsentrasi TSS dugaan dari nilai radiansi transformasi kromatisiti kanal merah dengan konsentrasi TSS insitu Lampiran 1. Hasil yang diharapkan adalah antara nilai tengah TSS in situ dengan nilai tengah TSS dugaan tidak berbeda nyata µ 1 = µ 2 atau terima H sehingga model hubungan yang terbentuk tervalidasi dengan baik dan dapat digunakan. Hasil uji-t antara kedua variabel ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil Uji-t Variabel t-hitung t-tabel Keterangan TSS insitu dengan TSS hasil pendugaan 0.0035 2.0484 Terima H Hasil dari uji-t dari variabel TSS insitu dan TSS dugaan menunjukkan t-hitung berada pada selang ± t-tabel Gambar 7, sehingga dapat dikatakan terima H . Terima H memiliki arti tidak ada perbedaan yang nyata antara nilai tengah konsentrasi TSS insitu dan TSS dugaan . Jadi model algoritma dari transformasi kromatisiti kanal merah dapat digunakan untuk mengestimasi konsentrasi TSS. Gambar 7. Selang wilayah penerimaan atau penolakan hipotesis. -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 5 10 15 20 R e si d u m g l Data ke-

4.3.2. Uji Residual Analisis

Uji residual analisis dilakukan dengan variabel yang berbeda dari uji-F tetapi sama dengan uji-t, yaitu antara konsentrasi TSS insitu dengan TSS dugaan. Hasil yang diharapkan dari uji residual analisis adalah besarnya persentase ketepatan hubungan antara konsentrasi TSS insitu dengan TSS dugaan dengan suatu nilai selisih yang ditentukan dalam kajian ini nilai yang ditentukan adalah ± 3 mgl. Pada plot residual analisis, semakin banyak nilai residu yang mendekati nilai nol 0 maka semakin tinggi nilai ketepatannya Gambar 8 dan semakin menjauhi nilai nol 0 semakin rendah nilai ketepatan duga antara konsentrasi TSS insitu dengan TSS dugaan. Hasil uji residual analisis menunjukkan bahwa nilai ketepatan duganya yaitu 80 ± 3 mgl, hasil tersebut diperoleh dari Gambar 8. Gambar 8. Plot residual analisis Hasil residual analisis menunjukkan bahwa untuk selang kisaran ± 3 mgl hanya ada 3titik yang berada diluar kisaran tersebut dari 15 titik, atau 80 titik berada pada kisaran ketepatan duga ± 3 mgl. Batas residu ± 3 mgl menyatakan selang selisih antara hasil konsentrasi TSS dugaan dan konsentrasi TSS in situ. Dari nilai selisih tersebut, nilai hasil konsentrasi TSS dugaan tidak berbeda jauh dengan TSS in situ. Ketepatan 80 dihitung dari banyaknya data yang masuk dalam selang residu ± 3 mgl per jumlah data. Jadi dapat dikatakan bahwa model pendugaan empiris konsentrasi TSS memiliki tingkat ketepatan sebesar 80 pada kisaran bias ± 3 mgl. 4.4. Pemetaan Konsentrasi TSS Distribusi konsentrasi TSS di perairan Teluk Jakarta terbagi menjadi 8 kelas. Pembagian menjadi sembilan kelas tersebut untuk melihat sebaran variasi konsentrasi TSS yang didasarkan pada histogram perolehan hasil pendugaan konsentrasi TSS yang berkisar antara 80 mgl sampai 100 mgl Gambar 9. Kelas-kelas untuk distribusi konsentrasi TSS adalah: 1. Kelas 2: 80-85 mgl berwarna biru tua 2. Kelas 3: 85-88 mgl berwarna biru 3. Kelas 4: 88-91 mgl berwarna biru muda 4. Kelas 5: 91-93 mgl berwarna hijau 5. Kelas 6: 93-95 mgl berwarna kuning 6. Kelas 7: 95-97 mgl berwarna orange 7. Kelas 8: 97-100 mgl berwarna merah 8. Kelas 9: 100 mgl berwarna merah tua Gambar 9. Histog Model empiris pend tanggal 22 Maret 2010, k Februari, Maret dan Apr distribusi konsentrasi TS ogram citra MODIS hasil penerapan model algori ndugaan TSS Persamaan 5 menggunakan citra p kemudian diaplikasikan ke citra lainnya pada bu pril 2010. Gambar 10 memperlihatkan peta sebar TSS di Teluk Jakarta pada bulan-bulan tersebut. ritma pada bulan baran Gambar 10. Sebaran konsentrasi TSS pada 4 Februari, 22 Maret, 24 Maret, dan 7 April 2010 menggunakan model empiris persamaan 5. A=Aqua MODIS dan T=Terra MODIS Pada Gambar 10 dapat dilihat konsentrasi TSS pada 4 Februari 2010, 22 Maret 2010, dan 7 April 2010 termasuk tinggi dengan kisaran 85 hingga 100 mgl. Di depan muara sungai Citarum, Ciliwung dan Cisadane konsentrasi TSS berkisar 97-100 mgl yang ditandai dengan warna merah, yang kemudian mempengaruhi sebaran TSS disekitarnya. Pada 22 Maret 2010 nilai konsentrasi TSS tertinggi terdapat di muara Gembong yaitu 100 mgl berwarna merah tua. Semakin ke arah laut konsentrasi TSS semakin berkurang, tapi masih dalam kisaran 80-91 mgl. Sedangkan pada 4 Februari 2010 di sebelah barat laut Teluk Jakarta terdapat awan yang tidak dapat hilang dengan koreksi atmosferik. Pada 7 April 2010 konsentrasi TSS didominasi oleh warna kuning 93-95 mgl, namun memiliki kecenderungan yang sama dengan citra sebelumnya yaitu konsentrasi TSS akan meningkat semakin mendekati pesisir pantai atau muara-muara sungai. Pada tanggal 24 Maret 2010 lebih tinggi dibandingkan 22 Maret 2010, 4 Februari 2010 dan 7 April 2010 hal ini dikarenakan banyaknya tutupan awan dan haze di Teluk Jakarta yang tidak bisa hilang saat koreksi atmosferik terutama dibagian barat dan barat laut. Konsentrasi TSS berkisar 91 mgl warna kuning hingga 100 mgl warna merah tua. Muara sungai yang mempengaruhi konsentrasi TSS di Teluk Jakarta hanya muara sungai Ciliwung dengan kisaran nilai 97-100 mgl warna merah. Gambar 11. Sebaran konsentrasi TSS pada 9, 12, 19 dan 21 April 2010 menggunakan model empiris persamaan 5. A=Aqua MODIS dan T=Terra MODIS Pada bulan April 2010 konsentrasi TSS cukup merata dengan kisaran 85- 100 mgl dimana nilai yang tinggi hanya di muara sungai Citarum dengan kisaran 97-100 mgl warna merah. Sebaran TSS pada bulan tersebut didominasi oleh warna hijau dan kuning dengan nilai konsentrasi TSS 91-95 mgl. Konsentrasi TSS pada 9, 12, dan 19 April 2010 hanya berkisar antara 85-97 mgl, dimana konsentrasi TSS di dekat muara sungai lebih tinggi dibandingkan perairan di sekitarnya warna oranye namun tidak lebih tinggi dibandingkan tanggal 21 April 2010 konsentrasi TSS lebih tinggi dibandingkan peta sebaran TSS lainnya pada bulan yang sama, hal tersebut dapat terlihat dengan didominasinya warna oranye 95-97 mgl dan terdapat konsentrasi yang melebihi 100 mgl di muara sungai bagian timur dekat muara sungai Citarum. Jadi tampak jelas dari peta sebaran TSS pada Gambar 10 dan 11 bahwa masukan dari Sungai Ciliwung Citarum dan Cisadane memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap tingginya konsentrasi TSS di Teluk Jakarta dengan pola sebaran tinggi di sepanjang garis pantai 90-100 mgl dan rendah ke arah laut. Selain itu, di daerah sekitar Tanjung Priok cenderung memiliki kadar TSS yang tinggi karena diduga banyaknya buangan kapal-kapal yang berlabuh yang membuat perairan lebih keruh. Lee et al. 1978 in Adiputro 1994 mengamati pencemaran berdasarkan sebaran TSS dengan cara membagi tingkat pencemaran menjadi 4 kelas, yakni Kelas 1: 0-20 mgl belum tercemar, Kelas 2: 20-50 mgl tercemar ringan, Kelas 3: 50-100 mgl tercemar sedang, dan Kelas 4: 100 mgl tercemar berat. Berdasarkan hasil distribusi sebaran TSS pada Gambar 10, perairan Teluk Jakarta termasuk dalam kelas 3 tercemar sedang dan kelas 4 tercemar berat. Dari Gambar 10 dan 11 dapat dianalisis perbedaan hasil dari citra Terra dan Aqua MODIS. Terra MODIS bergerak dari utara ke selatan melewati ekuator di pagi hari sedangkan Aqua MODIS bergerak dari selatan ke utara melewati ekuator di siang hari NOAA, 2010. Dari perbedaan waktu pengambilan gambar permukaan bumi tersebut tampaknya bahwa perairan Teluk Jakarta pada citra Aqua MODIS lebih dinamis dibandingkan citra Terra MODIS, karena semakin siang, suhu akan meningkat dan peningkatan suhu akan menyebabkan tekanan menjadi tinggi, sehingga menyebabkan pergerakan angin menjadi lebih dinamis dibandingkan pagi hari, dimana setelit Terra lewat.

4.5. Hubungan antara TSS dan Konsentrasi Klorofil-a

TSS terdiri dari komponen organik khususnya fitoplankton dan anorganik sedimen, maka perlu kajian untuk melihat ada tidaknya hubungan antara TSS dan klorofil-a, terutama pada saat terjadinya marak alga meledaknya populasi fitoplankton, dimana diasumsikan bahwa pada saat itu, komponen organik dari TSS lebih mendominasi dari pada komponen anorganik. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan terlebih dahulu adalah memetakan konsentrasi klorofil- a. Peta sebaran konsentrasi klorofil-a dibuat dengan menggunakan algoritma Persamaan 2 yang dikembangkan oleh Wouthuyzen dkk 2006. Setelah peta sebaran klorofil-a tersedia maka dapat dilakukan uji F, dengan variabel yang berbeda dari uji-t. Pada uji-F variabel yang diujikan, yaitu konsentrasi TSS dan klorofil-a Lampiran 2. Hasil yang diharapkan adalah dapat diketahui ada tidaknya hubungan yang nyata antara konsentrasi TSS dengan klorofil-a perairan. Jika F hitung F tabel, maka terima Ho . Suatu model dikatakan berkorelasi tinggi dan tidak ada biasnya apabila nilai F-hitung empat hingga lima kali lebih besar dari nilai F-tabel pada taraf nyata = 0.05 Drapper dan Smith, 1981; Lathrop dan Lillesand, 1986, in Tarigan, 2008. Hasil uji-F antara konsentrasi TSS dan klorofil-a untuk citra tanggal 22 Maret 2010 ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 8. Hasil Uji-F Variabel F-hitung F-tabel Keterangan TSS insitu dengan Klorofil-a 13.6311 0.0027 Terima H Dari hasil Tabel 9 terbukti bahwa F-hitung lebih besar empat kali dari F- tabel, sehingga terima H . Terima H memiliki arti terdapat hubungan yang nyata antara nilai tengah konsentrasi TSS dan klorofil-a perairan, dimana konsentrasi klorofil-a mempengaruhi konsentrasi TSS perairan. Pemetaan konsentrasi klorofil-a dilakukan karena terdapatnya hubungan yang nyata antara TSS dan klorofil-a. Gambar 12 menampilkan peta sebaran konsentrasi klorofil-a tanggal 22 Maret 2010 dan Gambar 13 menampilkan peta sebaran konsentrasi klorofol-a tanggal 7 April 2010. Gambar 12. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada 22 Maret 2010 Pada tanggal 22 Maret 2010 konsentrasi klorofil-a sangat bervariasi dari dekat daratan hingga ke laut lepas. Konsentrasi klorofil-a di muara sungai berkisar antara 2.5-5 mgm 3 . Pada muara sungai Citarum dan muara Gembong nilai konsentrasi klorofil-a cukup tinggi yaitu berkisar 5-10 mgm 3 berwarna merah. Tingginya konsentrasi klorofil-a di daerah tersebut menandakan cukup banyaknya populasi fitoplankton yang terdapat pada perairan tersebut. Masukan nutrien zat hara berupa nitrat dan fosfat yang diangkut sungai ke perairan Teluk Jakarta memberikan kontribusi yang besar terhadap tingginya konsentrasi klorofil- a di Teluk Jakarta. Semakin ke arah laut nilai konsentrasi klorofil-a berkurang dengan kisaran 0,1-0,5 mgm 3 . Gambar 13. Sebaran konsentrasi klorofil-a pada 7 April 2010 Konsentrasi klorofil-a pada 7 April 2010 lebih bervariasi dibandingkan pada 22 Maret 2010. Pada distribusi sebaran terlihat konsentrasi klorofil-a di muara sungai tidak banyak perubahan, yaitu berkisar 2.5-5 mgm 3 dan di muara sungai Citarum berkisar 5-10 mgm 3 berwarna merah. Semakin kearah laut konsentrasi klorofil-a semakin berkurang, namun masih pada kisaran 0,75-2,5 mgm 3 . Nilai konsentrasi klorofil-a bulan April lebih tinggi daripada bulan Maret, karena input nutrien yang memicu pertumbuhan fitoplankton yang memicu tingginya konsentrasi klorofil-a diduga lebih tinggi dari pada bulan Maret 2010. Berdasarkan peta sebaran konsentrasi klorofil-a Gambar 12 dan 13, dapat diketahui bahwa marak alga tidak terjadi di perairan Teluk Jakarta pada kedua bulan Maret dan April tersebut, karena tidak terdapatnya konsentrasi klorofil-a yang sangat tinggi 10 mgm 3 dan menutupi sedikitnya 14 luas Teluk Jakarta Sediadi et al, 2010. Oleh karena itu, dicari citra lain yang memperlihatkan adanya fenomena marak alga, dan diperoleh satu set citra MODIS yang terdiri atas 3 citra yang memperlihatkan perkembangan kejadian marak alga, yaitu saat sebelum kejadiaan marak alge tanggal 12 September 2010, saat kejadian marak alge tanggal 14 September 2011 dan saat setelah selesainya kejadian marak alge 18 September 2010, seperti terlihat pada Gambar 14. Pada tanggal 12 September 2010 konsentrasi klorofil-a sangat bervariasi dari dekat daratan hingga ke laut lepas. Konsentrasi klorofil-a di dekat muara sungai berkisar antara 2.5-7 mgm 3 . Pada muara sungai Citarum dan muara gembong nilai konsentrasi klorofil-a cukup tinggi yaitu berkisar 5-7.5 mgm 3 berwarna merah. Pada muara sungai Ciliwung dan Tanjung Priok nilai konsentrasi klorofil-a lebih tinggi yaitu berkisar 5-10 mgm 3 . Konsentrasi TSS pada 12 September 2010 cukup tinggi di semua perairan Teluk Jakarta terlihat dengan dominasi warna oranye 95-97 mgl. Walaupun sebaran konsentrasi klorofil-a cukup tinggi, namun belum mengindikasikan fenomena kejadian marak alga. Konsentrasi klorofil-a pada 14 September 2010 terlihat berpusat di Teluk Jakarta dengan konsentrasi melebihi 10 mgm 3 dengan luas area yang cukup luas. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai kejadian marak alga. Jika dilihat dari sebaran TSS tidak jauh berbeda dengan sebaran klorofil-a, konsentrasi TSS juga berpusat di Teluk Jakarta dengan kisaran 97 hingga melebihi 100 mgl. Terjadinya kejadian marak alga dapat menyebabkan beberapa kerugian, salah satunya adalah terjadinya kematian masal ikan-ikan akibat racun yang ditimbulkan alga tersebut fitoplankton. Marak alga umumnya disebabkan oleh adanya eutrofikasi dari daratan maupun upwelling dan arus yang mengarah pada perairan Teluk Jakarta Wiadnyana, 1996. Pada 18 September 2010 konsentrasi klorofil-a mulai merendah nilainya, hal ini juga terlihat pada sebaran konsentrasi TSS. Konsentrasi TSS masih tinggi di perairan tersebut dengan kisaran 95-100 mgl warna merah. Pada 18 September 2010 konsentrasi klorofil-a mulai bervariasi kembali dan berkurang di pusat Teluk Jakarta. Konsentrasi klorofil-a menyebar ke arah laut lepas dengan kisaran 1.5-5 mgm 3 . Menyebarnya konsentrasi klorofil-a diakibatkan oleh arah arus yang keluar menuju utara laut lepas dari arah Teluk Jakarta, hal ini juga terlihat pada sebaran konsentrasi TSS. Konsentrasi TSS masih tinggi di perairan tersebut dengan kisaran 95-100 mgl warna merah, namun secara keseluruhan konsentrasi TSS bervariasi. Muara sungai sangat berpengaruh bagi tingginya konsentrasi TSS di wilayah perairan Teluk Jakarta. Dari tanggal 12, 14 dan 18 September 2010, terlihat arah penyebaran marak alga yang terjadi di Teluk Jakarta. Asal marak alga yang terjadi pada tanggal 14 September dapat terlihat pada sebaran tanggal 12 September. Arus membawa massa air ke arah Teluk Jakarta yang menyebabkan menumpuknya alga disertai terjadinya eutrofikasi di perairan tersebut, sehingga pada 14 September terjadi marak alga yang kemudian menyebabkan kematian massal ikan pada 16 September 2010. Menurut Sediadi et al. 2010 kriteria kejadian marak alga yang dapat menimbulkan kematian organism perairan yaitu jika konsentrasi klorofil-a-a 10 mgm 3 dan menutupi 14 luas Teluk Jakarta. a b Gambar 14. Sebaran konsentrasi klorofil-a a dan konsentrasi TSS b saat terjadinya perkembangan marak alga pada tanggal 12 sebelum kejadian, 14 pada saat kejadian tanggal dan 18 September 2010 setelah kejadian. Untuk melihat komponen mana yang lebih dominan dari material TSS pada saat marak alge, maka digunakan data tanggal 14 septembar 2010 Gambar 14. Plot hubungan antara konsentrasi TSS perairan dengan konsentrasi klorofil-a disajikan pada Gambar 15. Gambar 15. Hubungan antara TSS dan klorofil-a pada 14 September 2010 Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin tinggi nilai konsentrasi TSS maka semakin tinggi pula nilai konsentrasi klorofil-a. Konsentrasi TSS tertinggi 104 mgl setara dengan konsentrasi klorofil-a 18 mgm 3 . Plot hubungan antara konsentrasi TSS dan klorofil-a dapat ditunjukkan oleh persamaan regresi linear Y = -0.0159 + 0.026X dengan koefisien korelasi 0.60619. Koefisien korelasi tersebut, walaupun tidak terlalu tinggi namun menunjukkan keeratan antara kedua variabel, sehingga pada saat terjadinya marak alga tanggal 14 September 2010 material TSS didominasi oleh bahan organik klorofil-a dibandingkan dengan bahan anorganiknya. 43

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Model algoritma empiris pendugaan konsentrasi TSS perairan Teluk Jakarta berhasil dikembangkan menggunakan transformasi radiansi dari kromatisiti kanal merah dengan bentuk persamaan regresi model linear, sedangkan klorofil-a perairan menggunakan model algoritma Wouthuyzen dkk 2006. Tingkat ketepatan pendugaan TSS adalah 80 untuk kisaran kesalahan duga ± 3 mgl. Hubungan konsentrasi TSS dan klorofil di Teluk Jakarta memiliki korelasi positif yaitu semakin tinggi nilai klorofil diikuti oleh tingginya konsentrasi TSS. Marak alga tidak terjadi di Teluk Jakarta pada bulan Februari, Maret dan April 2010, akan tetapi, marak alga terjadi pada bulan September 2010 dengan konsentrasi klorofil-a 10 mgm 3 dan dengan area yang cukup luas. Konsentrasi TSS pada saat terjadi marak alga yaitu 100 mgl dan menutupi area yang luas Teluk Jakarta. Hasil kajian ini menunjukkan pula bahwa komponen material TSS pada saat kejadian marak alga didominasi oleh komponen organik dibandingkan komponen anorganik.

5.2 Saran

Penelitian selanjutnya disarankan mengambil data lapang secara berkala dan mewakili setiap kondisi perairan sehingga memiliki keakuratan data yang lebih baik, serta penggunaan citra sebaiknya sesuai pengambilan data lapang. Selain itu, diperlukan analisis lebih lanjut untuk membedakan material TSS organik dan anorganik.

Dokumen yang terkait

Analisis Kandungan Aluminium (Al), Sulfida, Bod, Cod, Total Padatan Tersuspensi (TSS) Dan pH Dari Air Sungai Kapal Keruk Di Desa Karang Anyer Kec. Secanggang Kab. Langkat

5 63 102

Penentuan Kandungan Padatan Total ( % Tsc ) Lateks Pekat Dan Pengaruhnya Terhadap Kekuatan Tarik Benang Karet Di PT. IKN – Medan

1 45 47

Pemodelan Algoritma Penduga Konsentrasi Klorofil-a Menggunaltan Citra Satelit Terra MODIS di Perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu

0 10 68

Kajian konsentrasi dan sebaran spasial klorofil-A di perairan teluk Jakarta menggunakan citra satelit Aqua Modis

0 14 86

Variabilitas konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dari citra satelit aqua modis serta hubungannya dengan hasil tangkapan ikan lemuru di perairan selat bali.

2 56 135

Pendugaan Konsentrasi Klorofil-a dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta dengan Citra Satelit Landsat.

3 18 123

Deteksi Tumpahan Minyak Dan Perubahan Konsentrasi Klorofil-A Dari Citra Modis Di Perairan Celah Timor

1 11 126

Variabilitas konsentrasi klorofil-a dan suhu permukaan laut dari citra satelit MODIS serta hubungannya dengan hasil tangkapan ikan pelagis di perairan Laut Jawa

4 8 197

Analisis Spasial dan Temporal Kualitas Perairan (Muatan Padatan Tersuspensi dan Klorofil-a) di Teluk Jakarta pada Tahun 2002-2012 menggunakan Citra Satelit LANDSAT-7 ETM.

3 16 30

Validasi Algoritma Estimasi konsentrasi Klorofil-a dan Padatan Tersuspensi Menggunakan Citra Terra dan Aqua Modis dengan Data In situ (Studi Kasus: Perairan Selat Makassar)

0 0 6