Studi Kasus Implementasi MRVpada Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut

17 karbon organik yang terlarut dalam air tidak diperlukan.

4.3 Studi Kasus Implementasi MRVpada Sektor Kehutanan dan Lahan Gambut

dalam RAN-GRK Secara teknis, pelaksanaan MRV untuk sektor yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya hutan,tata guna lahan, alih tata guna lahan hutan dan hutan Land Use Land Use Change and Forestry – LULUCF, memerlukan data penginderaan jauhdalam konteks pemantauan ataupun verifikasi data lapangan dengan rencana aksi yang disusun.Penggunaan data penginderaan jauh, seperti citra satelityang dikombinasikan dengan foto udara, citra optik dan radar untuk mengatasi adanya liputan awan yang tidak bisa ditembus oleh citra satelit, dan aplikasi sistem informasi geografi SIG merupakan suatu jalan keluar untukmelakukan pemantauan maupun verifikasi kegiatan dilapangan yang efisien dan efektif.Hal tersebut dapat pula diterapkan dalam salah satu bidang dalam RAN-GRK yang membutuhkan perhatian lebih saat ini, yaitu lahan gambut. Pelepasan karbon dari lahan gambut tropis memberikan tantangan tersendiri. Indonesia merupakan tempat bagigambut tropis yang jumlahnya sekitar 50 persen dari total wilayah gambut tropis dunia DNPI 2010a. Dalam skenario bisnis seperti biasatidak melakukan apa-apa business as usual – BAU, emisi dari lahan gambut di Indonesia diperkirakan akan meningkat sampai dengan 20 persen dari 772 MtCO 2 e pada tahun 2005 menjadi 972 MtCO 2 e pada tahun 2030. Sumber utama emisi terkait gambut ini berasal dari kebakaran dan dekomposisi gambut DNPI 2010a. Penelitian dan studi mengenai emisi yang berasal dari lahan gambut di Indonesia masih tergolong sedikit apabila dibandingkan dengan penelitian terhadap emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan maupun perubahan alih tata guna lahan.Beberapa studi mengenai perhitungan emisi yang berasal LULUCF dan lahan gambut sudah dilakukan. Studi tersebutdiantaranya dilakukan oleh Indonesia Forest Climate Alliance IFCA, Center for International Forestry Research CIFOR, Bank Dunia, KLH, DNPI, dan beberapa institusi serta peneliti lainnya untuk emisi pada tahun 2005. Hasil perkiraan perhitungan emisi dari LULUCF dan gambut dikelompokkan menjadi tiga sumber, yakni: LULUCF, kebakaran gambut, dan pembusukan gambut.Dari hasil studi yang dilakukan oleh IFCA, nilai perkiraan emisi yang berasal dari LULUCF dan kebakaran gambut berturut- turut adalah 473 dan 30 MtCO 2 e Kementerian Kehutanan 2008. Perkiraan perhitungan emisi selanjutnya yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui laporan Komunikasi Nasional Kedua Second National Communication – SNC, Bank Dunia, dan CIFORdalam Kurva Biaya Pengurangan Gas Rumah Kaca Indonesia DNPI 2010a berturut-turut adalah 290, 538, 18 Gambar 13 Perkiraan emisi dari LULUCF dan lahan gambut tahun 2005 DNPI 2010a dengan perubahan. dan 528 MtCO 2 e dari LULUCF; 451, 1260, dan 1271 MtCO 2 e dari kebakaran gambut; serta 379, 600, dan 600 MtCO 2 e dari dekomposisi gambut. Studi yang dilakukan oleh DNPI bersama konsultan sendiri, perkiraan emisi yang dihasilkan dari LULUCF, kebakaran dan pembusukan gambut berturut-turun adalah 838, 472, dan 300 MtCO 2 e DNPI 2010a.Studi dan penelitian berikut hasil perkiraan perhitungan emisi yang dilakukan lainnya dapat dilihat secara rinci pada Gambar 13. Dari beberapa hasil studi dan penelitian tersebut, masing-masing hasil studi menunjukkan perbedaan pada nilai emisi yang dihasilkan dari lahan gambut dan LULUCF.Hal tersebut menunjukkan adanya ketidakpastian dalam menghitung emisi yang berasal dari sektor LULUCF dan gambut, khususnya dari lahan gambut.Ketidakpastian dalam pengukuran di gambut diakibatkan oleh struktur biomasa gambut yang dominan berada dibawah permukaan tanah serta adanya kehilangan perhitungan karbon. Sehingga ketika dilakukan pengukuran terhadap emisi dari gambut, terdapat empat faktor yang sangat mempengaruhinya, yakni: pendekatan, metode, model, dan asumsi pengukurannya. Sebagai contoh, menurut penelitian yang dilakukan oleh Stahlhut dan Rieley 2007, hasil pengukuran dengan menggunakan model tren perubahan metode 2 nd order polynomial akan memiliki hasil yang berbeda dengan hasil pengukuran model interpolasi model pembobotan jarak terbalik atau inverse distance weighting – IDWmaupun dengan model geostatistik metode Kriging dan model geostatistik yang dilakukan oleh Wetlands International, seperti tergambar pada Gambar 14. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa perbedaan hasil pengukuran volume gambut pada model geostatistik yang menggunakan metode Krigging dan yang dilakukan oleh Wetlands International sekitar 5,95 km 2 atau sekitar 57 persen. Perbedaan yang sangat besar tersebut juga kemungkinan disebabkan oleh adanya ketidaktersediaannya data luasan gambut yang dalamnya lebih dari 3 meter. Selain dari empat faktor tersebut, faktor lain yang dapat mempengaruhi perbedaan hasil pengukuran adalah faktor kehilangan perhitungan karbon terkait dengan ketinggian air, kebakaran gambut, serta degradasi dan dekomposisi oleh mikroorganisme yang ada di dalam gambut tersebut.Ketidakpastian- ketidakpastian tersebut dapat dikurangi dampaknya dengan adanya sertifikasi standard internasional, jejaring penelitian internasional yang meneliti lebih dalam tentang gambut, serta sistem pengukuran yang komprehensif pada lahan gambut itu sendiri. 19 Gambar 14 Perbandingan estimasi ketebalan dan volume gambut Stahlhut dan Rieley 2007.

4.4 Tantangan dalam Pembangunan dan Pengembangan MRV di Indonesia