Perumusan Standar oleh BSN Perumusan Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar oleh BPOM

Penyusunan Standar PELAKSANA PESERTA HASIL PROSES Penyusunan konsep Rapat teknis RSNI1 RSNI2 Rapat konsensus Perbaikan RSNI2 RSNI3 Jajak pendapat disetujui Perbaikan RSNI3 RASNI RSNI4 Penetapan + penomoran Pemungutan suara disetujui RASNI SNI Publikasi Rapat teknis DT Konseptor dan PTSPT PTSPT dan TAS QC QC PTSPT dan TAS PTSPT BSN, MASTAN, PT SPT BSN PTSPT BSN, MASTAN, PT SPT BSN BSN BSN PT Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya 100 100 Keterangan: PT : Panitia Teknis SPT : Sub Panitia Teknis TAS :Tenaga Ahli Standardisasi sebagai pengendali mutu yang ditugaskan oleh BSN untuk memantau pelaksanaan rapat teknis BSN : Badan Standardisasi Nasional MASTAN : Masyarakat Standardisasi Indonesia RSNI : Rancangan Standar Nasional Indonesia DT : Dokumen Teknis Gambar 5. Mekanisme Perumusan Suatu Standar di Indonesia BSN, 2007a hasilkan rumusan yang baik BPOM, 2010. Mekanisme perumusan suatu peraturan dan pemberlakuan wajib standar yang saat ini berlaku di BPOM RI dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Mekanisme Perumusan Suatu Peraturan dan Pemberlakuan Wajib Standar di BPOM RI BPOM, 2010 Instansi teknis misal BPOM RI, Kemenkes, Kementan, KKP, Kemenperin, Kemenhut dapat memberlakukan wajib SNI yang terkait dengan kesehatan masyarakat, keamanan, keselamatan atau pelestarian lingkungan hidup danatau pertimbangan ekonomi. Intansi teknis dapat memberlakukan wajib keseluruhan atau sebagian danatau sebagian parameter di dalam suatu SNI. Jika instansi teknis, misalnya BPOM RI ingin memberlakukan wajib SNI, maka perlu mengajukan usulan kepada BSN terlebih dahulu. Usulan tersebut diberikan setahun sebelum rencana penetapan regulasi teknis yang akan memberlakukan wajib SNI. BSN memasukkan usulan pemberlakuan regulasi teknis di dalam Program Nasional Regulasi Teknis. Kemudian perumusan regulasi teknis dilakukan oleh instansi teknis dengan memperhatikan berbagai faktor agar regulasi tersebut efektif dijalankan dan tidak memberikan hambatan yang berarti bagi perkembangan dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi nasional. Draf regulasi teknis yang akan diberlakukan terlebih dahulu dilakukan notifikasi kepada World Trade Organization WTO untuk mendapatkan tanggapan dari anggota WTO. Notifikasi dilakukan melalui BSN. Jika draf regulasi teknis tersebut dianggap tidak memberatkan bagi negara anggota WTO, instansi teknis dapat menetapkan regulasi teknis tersebut. Regulasi teknis kemudian dapat diimplementasi dengan mempertimbangkan waktu bagi pelaku usaha untuk menyesuaikannya. Waktu implementasi regulasi tersebut minimal 6 bulan setelah ditetapkan. Setelah diimplementasikan, instansi teknis melakukan pengawasan pra pasar, pasar, dan didukung dengan pengawasan oleh masyarakat. Misalkan untuk BPOM RI, melakukan pengawasan pra pasar pada saat registrasi produk dari pelaku usaha. Pengawasan pasar dilakukan melalui surveilan. Pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh lembaga konsumen. Gambar 7. Skema Framework Regulasi Teknis BSN, 2011b Setelah beberapa waktu pemberlakuan berjalan, regulasi teknis perlu dievaluasi dan dikaji ulang mengenai efektifitas pelaksanaannya. Evaluasi dan kaji ulang minimal dilakukan setelah 5 tahun regulasi teknis berjalan. Jika ada hal yang perlu diperbaiki, maka instansi teknis dapat menyusun kembali draf regulasi teknis yang baru atau perbaikan regulasi teknis yang lama agar dapat diimplementasi secara efektif. Tata cara pemberlakuan SNI secara wajib Waktu Pelaksana Proses Rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1 Kompilasi rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1 Publikasi rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1 Masukan thd rencana SNI yg akan diberlakukan secara wajib tahun X+1 Rapat musyawarah penyelesaian duplikasi wewenang Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1 Penyampaian Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1 kpd Instansi Teknis Publikasi Program Nasional Regulasi Teknis tahun X+1 Perumusan Rencana Regulasi Teknis dan persiapan infrastruktur pendukungnya Notifikasi Rancangan Regulasi Teknis ke WTO Penetapan Regulasi Teknis Pemberlakuan Regulasi Pembahasan thd tanggapan Negara anggota WTO Masukan terkait duplikasi kewenangan Masukan tdk terkait duplikasi kewenangan Ada tanggapan Instansi Teknis BSN c.q. Pusat yang terkait dengan penerapan standar BSN Pejabat Es. I dari instansi terkait Pihak yang berkepentingan BSN BSN BSN Instansi Teknis Notification body Instansi Teknis Instansi Teknis Selambatnya bulan April tahun X Minggu kedua bulan Mei tahun X 14 hari setelah publikasi Tergantung kesiapan Instansi Teknis Peling singkat 60 hari setelah disampaikan kepada sekretariat WTO Paling singkat 6 bulan setelah ditetapkan Tidak ada tanggapan Tidak ada masukan Gambar 8. Tata Cara Pemberlakuan SNI Secara Wajib BSN, 2011b Berdasarkan keputusan kepala Badan Standardisasi Nasional dalam Peraturan Kepala BSN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Standardisasi Nasional Nomor 301 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia Secara Wajib, setiap intansi teknis seperti BPOM yang akan memberlakukan standar secara wajib harus mengikuti prosedur seperti Gambar 7 dan Gambar 8. Beberapa contoh standar yang diberlakukan wajib di bidang pangan dan pertanian oleh instansi teknis dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Di sektor industri makanan dan minuman terdapat 440 SNI, dan 428 SNI di antaranya memiliki relevansi dengan CAFTA China-ASEAN Free Trade Agreement sementara 12 SNI lainnya tidak terkorelasi BSN, 2010. Dari 428 SNI makanan dan minuman tersebut, 9 SNI di antaranya telah ditetapkan sebagai SNI wajib melalui regulasi pemerintah, dengan perincian pada Tabel 6. Tabel 6. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pangan BSN, 2010 No SNI Regulasi Pemerintah 1 SNI 01-3751-2006, Tepung Terigu Peraturan Menteri Perindustrian No. 49M-INDPER72008 2 SNI 01-3747-1995, Kakao Bubuk Peraturan Menteri Perindustrian No. 45M-INDPER52009 diubah menjadi No. 157M-INDPER112009 3 SNI 01-3553-2006, Air Minum dalam Kemasan Peraturan Menteri Perindustrian No. 69M-INDPER72009 4 SNI 01-3556-1994, Garam Konsumsi Beryodium Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 29MSK21995 5 SNI 01-3140.22006, Gula Kristal Rafinasi Peraturan Menteri Perindustrian No. 27M-INDPER22010 6 SNI 01-3140.12001, Gula Kristal Mentah raw sugar Keputusan Bersama No. 03Kpts KB.41012003 7 SNI 01-6993-2004, Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan - Persyaratan Penggunaan dalam Produk Pangan Surat Keputusan Kepala BPOM No.00.05.5.1.4547 8 SNI 01-0222-1995, Bahan Tambahan Makanan Peraturan Menteri Kesehatan No.722 MenkesPERXI88 9 SNI 01-0219 -1987, Kodeks Makanan Indonesia Surat Keputusan Kepala BPOM No.HK.00.05.5.00617 dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 43MENKESSKII1979 Di sektor industri pertanian dan produk pertanian terdapat 121 SNI, dan 117 SNI di antaranya memiliki relevansi dengan CAFTA sementara 4 SNI lainnya tidak terkorelasi BSN, 2010. Dari 121 SNI pertanian dan produk pertanian tersebut, 81 SNI di antaranya telah ditetapkan sebagai SNI wajib melalui 21 regulasi pemerintah seperti pada Tabel 7. Tabel 7. Regulasi Teknis Pemberlakuan Wajib SNI Bidang Pertanian BSN, 2010 No Nomor Regulasi Tentang 1 UU No. 12 Tahun 1992 Sistem budidaya tanaman 2 UU No. 16 Tahun 1992 Karantina hewan, ikan dan tumbuhan 3 UU No. 18 Tahun 2004 Perkebunan 4 UU No. 18 Tahun 2009 Peternakan dan kesehatan hewan 5 UU No. 22 Tahun 1983 Kesehatan masyarakat veteriner 6 UU No. 82 Tahun 2000 Karantina hewan 7 UU No. 14 Tahun 2002 Karantina tumbuhan 8 Keputusan Bersama No. 881MENKES SKBVIII1996 dan Nomor 711Kpts TP.27081996 Batas maksimum residu pestisida pada hasil pertanian 9 Peraturan Menteri No. 58Permentan OT.14082007 Pelaksanaan sistem standardisasi nasional di bidang pertanian 10 Keputusan Menteri No. 469Kpts HK.31082001 Tempat-tempat pemasukan dan pengeluaran media pembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina 11 Keputusan Menteri No. 380Kpts OT.130 102005 Penunjukan direktorat jenderal pengolahan dan pemasaran hasil pertanian sebagai otoritas kompeten competent authority pangan organik 12 Keputusan Menteri No. 381 KptsOT.140 102005 Pedoman sertifikasi kontrol veteriner unit usaha pangan asal hewan 13 Keputusan Menteri No. 37 KptsHK.060 12006 Persyaratan teknis dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan buah-buahan dan sayuran buah segar ke dalam wilayah negara RI 14 Peraturan Menteri No. 18 Permentan OT.14022008 Persyaratan dan tindakan karantina tumbuhan untuk pemasukan hasil tumbuhan hidup berupa sayuran umbi lapis segar 15 Peraturan Menteri No. 22 Permentan OT.14042008 Organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis karantina pertanian 16 Peraturan Menteri No. 35Permentan OT.14072008 Persyaratan dan penerapan cara pengolahan hasil pertanian asal tumbuhan yang baik good manufacturing practices 17 Peraturan Menteri No. 51 Syarat dan tata cara pendaftaran pangan No Nomor Regulasi Tentang Permentan OT.140 102008 segar asal tumbuhan 18 Peraturan Menteri No. 27 Permentan PP.34052009 Pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar asal tumbuhan 19 Peraturan Menteri No. 38Permentan PP.34082009 Perubahan peraturan menteri pertanian nomor: 27 PermentanPP.34052009 tentang pengawasan keamanan pangan terhadap pemasukan dan pengeluaran pangan segar asal tumbuhan 20 Peraturan Menteri No. 20Permentan OT.14042009 Pemasukan dan pengawasan peredaran karkas, daging, danatau jeroan dari luar negeri 21 Peraturan Menteri No. 09Permentan OT.14022009 Persyaratan dan tatacara tindakan karantina tumbuhan terhadap pemasukan media pembawa organisme pengganggu tumbuhan karantina ke dalam wilayah negara RI

4.1.3. Perumusan Standar oleh CAC

Peran Codex Alimentarius Commission CAC penting terutama setelah penandatanganan tentang perdagangan dan pengukuran sanitary pada General Agreement on Tariffs and Trade GATT Rees Watson, 2000. Pada tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi persetujuan pembentukan World Trade Organization WTO dan menjadi salah satu negara anggotanya. Untuk itu, produk Indonesia yang akan diekspor ke luar negeri, terutama ke negara anggota WTO, harus memenuhi standar Internasional. Standar internasional yang menjadi acuan adalah standar Codex dari CAC. Jika terjadi perselisihan perdagangan antar negara anggota WTO, maka standar yang menjadi acuan adalah standar Codex. Untuk itu, pengetahuan dan keterlibatan Indonesia di dalam perumusan standar Codex juga sangat diperlukan. Di dalam penelitian ini akan dibahas mengenai mekanisme penyusunan standar internasional yang ditetapkan oleh Codex Alimentarius Commission CAC. Prinsip-prinsip perumusan standar oleh CAC tersebut akan menjadi acuan dalam membandingkan dengan perumusan dan pemberlakuan wajib standar oleh otoritas di Indonesia BSN dan BPOM. Mekanisme perumusan standar di Codex Alimentarius Commission CAC adalah sebagai berikut CAC, 2010: 1. CAC memutuskan untuk menyusun suatu standar dan memberikan tugas kepada suatu komite untuk membahas. Keputusan untuk menyusun suatu standar dapat berasal dari “codex committee” 2. Sekretariat melakukan persiapan untuk menyusun suatu usulan rancangan standar menggunakan bahan dari “codex committee” 3. Usulan rancangan standar dikirim ke pemerintah negara serta organisasi internasional untuk mendapatkan komentar seperlunya 4. Sekretariat menyampaikan usul-usul yang diterima kepada “codex committee” 5. Usulan rancangan standar disampaikan ke CAC, melalui sekretariat untuk disetujui sebagai rancangan standar yang resmi 6. Rancangan standar disampaikan ke berbagai pemerintah dan organisasi internasional 7. Sekretariat menyampaikan kembali ke “codex committee” 8. Rancangan standar disampaikan kembali ke CAC untuk diterima dan disahkan menjadi CODEX STANDARD Berdasarkan prosedur yang berlaku di CAC, beberapa bagian berperan dalam perumusan standar. Diagram perumusan standar di CAC dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Proses Perumusan Standar Codex CAC, 2006 Tabel 8. Analisis Gap Perumusan Standar BSN, BPOM, dan CAC Berdasarkan Teori dan Naskah Peraturan No Kategori Perumusan Standar Secara Teoritis yang Diterapkan CAC Perumusan, Penetapan, dan Pemberlakuan Wajib Standar Berdasarkan Naskah Peraturan Rekomendasi BSN BPOM 1 Transparan Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: http:www.codexalimentarius.net Prosedur perumusan standar dapat diakses di website: http:bsn.or.id dan telah ditetapkan oleh kepala BSN Prosedur perumusan peraturan pemberlakuan standar belum diketahui secara luas oleh pihak yang berkepentingan Perumusan standar atau peraturan di BPOM perlu diketahui oleh semua pihak misalnya melalui publikasi di website 2 Terbuka  Adanya keterlibatan negara anggota, NGO internasional, pakar dari JECFAJEMRAJMPR  Setiap delegasi negara anggota dapat mengirim delegasi yang merupakan perwakilan dari industri, organisasi konsumen, dan lembaga akademisi. Mengakomodir kepentingan produsen, konsumen, pakar, dan regulator; serta MASTAN Masyarakat Standardisasi Nasional Adanya keterlibatan dari BPOM, perwakilan industri, konsumen, dan akademisi dalam penyusunan peraturan standar - 3 Konsensus dan Tidak Memihak  Persetujuan standar melalui konsensus  Setiap tahapan draf standar harus dipastikan telah mencapai konsensus sebelum diajukan ke tahap selanjutnya Rapat konsensus hanya dapat dilakukan apabila rapat mencapai kuorum Belum secara eksplisit dijelaskan BPOM perlu merumuskan prosedur konsensus dalam penetapan standarperaturan dan prosedur tersebut didokumentasikan dengan baik dan disahkan melalui keputusan kepala BPOM 4 Efektif dan Relevan o Dukungan Ilmiah  Didukung oleh lembaga bersama FAOWHO di bidang penelitian, yaitu JMPR Joint FAOWHO Meetings on Pesticide Residues , JECFA Joint FAOWHO Expert Committee on Food Additives , dan JEMRA Joint FAOWHO Expert Meetings on Microbiological Risk Assessment  Lembaga penelitian internasional lain dapat berperan memberikan masukan dan saran dalam penyusunan standar Dukungan ilmiah berasal dari individupakar perorangan, tanpa ada lembaga khusus yang diminta memberikan saran dan dukungan ilmiah dalam penyusunan standar. Dukungan ilmiah berasal dari individupakar perorangan dan tim mitra bestari Perlu dilakukan optimalisasi peran tim atau lembaga yang khusus mengkaji kriteria dalam standar secara ilmiah, terutama sebagai pengkaji risiko