20 mA. Pengambilan data difraksi dilakukan dalam rentang sudut difraksi 10
o
sampai 80
o
dengan kecepatan baca 0,02
o
per detik.
3.3.2 Sintesis hidroksiapatit
Hidroksiapatit disintesis
dengan menggunakan
sumber kalsium
dari cangkang kerang dan fosfatnya berasal dari
H
3
PO
4.
Metode sintesisnya
yaitu mereaksikan larutan H
3
PO
4
dengan larutan cangkang kerang. H
3
PO
4
yang sudah dilarutkan dengan aquabides kemudian
dimasukkan ke dalam larutan Ca dari cangkang kerang ranga dengan metode
presipitasi menggunakan buret yang tingkat laju alir 3 mlmenit dan diaduk
menggunakan magnetic stirrer dengan kecepatan 300 rpm. Ketika proses presipitasi
larutan Ca ditambahkan dengan larutan fosfat, permukaan gelas piala ditutup dengan
menggunakan aluminium foil. Kemudian hasil presipitasi tersebut diendapkan selama
6 jam pada suhu kamar. Hasil endapan tersebut disaring dengan menggunakan
vakum. Selanjutnya dikeringkan pada suhu 110
o
C selama 5 jam dan disintering dengan suhu 900
C selama 5 jam. Hasilnya dikarakterisasi dengan menggunakan XRD,
AAS, UV-VIS dan FTIR. Pada tahap ini dilakukan variasi konsentrasi larutan Ca, dan
H
3
PO
4.
Variasi yang digunakan yaitu: 1
Larutan Ca 1 M dan H
3
PO
4
0,6 M 2
Larutan Ca 0,5 M dan H
3
PO
4
0,3 M
3.3.3 Karakterisasi XRD
Sampel berupa serbuk sebanyak 200 mg ditempatkan di dalam plat aluminium
dengan ukuran diameter 2 cm. Setelah itu dikarakterisasi menggunakan XRD XD-610
SHIMADZU dengan sumber CuKα, yang memiliki panjang gelombang 1,54056 Å.
Tegangan yang digunakan sebesar 40 kV dan arus generatornya sebesar 20 mA.
Pengambilan data difraksi dilakukan dalam
rentang sudut difraksi βθ = 10
o
sampai βθ = 80
o
dengan kecepatan baca di atur 0,02
o
per detik.
3.3.4 Karakterisasi FTIR
Serbuk HAp sebanyak 2 mg dicampur dengan 100 mg KBr, kemudian dibuat pelet.
Setelah itu, sampel dikarakterisasi dengan menggunakan FTIR HITACHI 270
–50 dengan menggunakan bilangan gelombang
400 – 4000 cm
-1
.
3.3.5 Karakterisasi AAS.
Serbuk HAp sebanyak
1 gram dimasukkan ke dalam labu detuksi. Filtrat
diukur dengan menggunakan AAS Simatsu Tipe 7000, pada panjang gelombang 422,7
nm dan slite celah 0,2.
3.3.6 Karakterisasi UV-VIS.
Karakterisasi UV-VIS ini dilakukan untuk mengamati besar kandungan fosfat
yang sudah dihasilkan pada sintesis hidroksiapatit. Massa yang digunakan adalah
1 gram lalu dimasukkan ke dalam labu detuksi.
Lalu dikarakterisasi
dengan menggunakan sinar violet pada panjang
gelombang 230 nm.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis hidroksiapatit HAp dilakukan dengan menggunakan senyawa kalsium dari
serbuk cangkang kerang ranga dan fosfat dari H
3
PO
4
. Serbuk cangkang kerang ranga diperoleh dari perairan Belitung kerang
tersebut termasuk kedalam family cardiidae. Kerang dan serbuk kerang yang digunakan
dapat dilihat pada Gambar 6. Serbuk kerang diperoleh dengan cara
dibersihkan terlebih dahulu kemudian dipanaskan di atas kayu bakar untuk
menghilangkan pigmen warna yang berada pada
cangkang kerang.
Pemanasan dilakukan hingga cangkang kerang berwarna
putih dan lapuk. Selanjutnya, cangkang kerang ditumbuk hingga halus. Informasi ini
diperoleh dari hasil wawancara dengan
warga setempat. Sebelum digunakan untuk sintesis HAp
serbuk cangkang kerang dikeringkan pada suhu 110
C selama 5 jam untuk menghilangkan kadar air dan dikarakterisasi
menggunakan XRD.
a
b Gambar 6 Cangkang kerang ranga a dan
Cangkang kerang ranga yang sudah dihaluskan b.
Karakterisasi cangkang kerang dengan XRD bertujuan untuk mengetahui dan
mempelajari fase kalsium yang terdapat pada cangkang kerang. Pola karakterisasi XRD
cangkang kerang dapat dilihat pada gambar 7.
Hasilnya memperlihatkan bahwa kalsium yang terkandung pada serbuk cangkang
kerang ranga adalah kalsium karbonat CaCO
3
dapat dilihat pada gambar 7. Puncak-puncak XRD disesuaikan dengan
Joint Committee on Power Diffraction Standards
JCPDS untuk CaCO
3
dan CaO Lampiran 5. Puncak - puncak tertinggi
yaitu pada sudut 18,20
◦
, 29,52
◦
, 34, 23
◦
. Selain fase CaCO
3,
terdapat fase CaO dengan intensitas yang kecil pada sudut 54,42
◦
. Muncul fase CaO dikarenakan beberapa
senyawa CaCO
3
sudah berubah fase pada saat dikeringkan.
Gambar 7 Pola XRD cangkang kerang ranga
. Senyawa kalsium yang diperoleh
digunakan sebagai bahan dasar sintesis HAp yang direaksikan dengan H
3
PO
4
dengan metode presipitasi. Identifikasi fase yang
dihasilkan di analisis dengan menggunakan XRD. Pola XRD hasil sintesis diperlihatkan
pada Gambar 7. Penentuan fase dilakukan dengan data joint committee on power
diffraction standards
JCPDS no 09-0432 lampiran 3.
Hasil analisis untuk sampel dengan konsentrasi kalsium 1 M, dengan sintering
900 C Gambar 8 memperlihatkan fase
yang terbentuk adalah HAp. Pada konsentrasi yang sama namun tanpa proses
sintering, sampel yang hanya dikeringkan Gambar 8 memperlihatkan fase yang
terbentuk adalah HAp. Selain HAp pada sampel a
2
terdapat fase lain yaitu apatit karbonat tipe-A AKA, dan H
3
PO
4.
Fase AKA dapat muncul karena struktur HAp
karbonat digantikan oleh ion OH
-
. Selain itu, munculnya AKA dikarenakan pada saat
proses pengeringan menggunakan suhu yang rendah yaitu 110
C. Perbedaan sampel a
1,
dan a
2
adalah temperatur yang digunakan pada saat
pengeringan. Fase terbentuknya HAp paling banyak yaitu pada sampel a
1
yang menggunakan proses sintering dengan suhu
900 C.
Hasil analisis sampel yang memiliki konsentrasi kalsium sebesar 0,5 M dapat
dilihat pada Gambar 9. Pada sampel b
1
dan b
2
menunjukan mayoritas fase yang terbentuk adalah HAp.
Gambar 8 Pola XRD hidroksiapatit larutan Ca 1 M dan H
3
PO
4
0,6 M suhu 110
C a
1
dan pola XRD hidroksiapatit Larutan Ca 1 M
dan H
3
PO
4
0,6 M suhu 900 C
a
2
. βθ deg
Int ens
ita s
c ount
Int ens
ita s
c ount
Gambar 9 Pola XRD hidroksiapatit larutan Ca 0,5 M dan H
3
PO
4
0,3 M suhu 110
C b
1
dan pola XRD hidroksiapatit Larutan Ca 0,5 M
dan H
3
PO
4
0,3 M suhu 900 C
b
2
. Puncak-puncak
yang terbentuk
merupakan puncak milik HAp. Pada sampel b
1
puncak tertingginya yaitu βθ = γ1,8β50
dan pada sampel b
2
puncak tertingginya yaitu pada βθ = γ1,9844. Pada sampel b
2
terdapat fase lain selain HAp namun intensitas fase lain pada sampel ini sangat
rendah. Konsentrasi
yang berbeda
memperlihatkan pembentukan HAp yang berbeda. Pada sampel a yang memiliki
konsentrasi kalsium 1 M dan konsentrasi fosfat 0,6 M dengan suhu pengeringan
110
C dalam sintesis HAp masih terdapat banyak fase pengotor jika dibandingkan
dengan sampel b yang konsentrasi kalsium 0,5 M dan konsentrasi fosfat 0,3 M. Hal ini
dapat terjadi karena pada sampel a dengan suhu yang rendah pembentukan HAp lebih
lambat karena komposisi yang banyak.
Konsentrasi yang sama dengan variasi suhu yang berbeda menunjukan derajat
kristalinitas yang berbeda pula. Derajat kristalinitas merupakan besaran yang
menyatakan banyaknya kandungan kristal dalam
suatu material
dengan membadingkankan luasan kurva kristal
dengan luasan kurva amorf dan kristal. Pengukuran derajat kristalinitas diperoleh
langsung dari program karakterisasi XRD.
Pada Tabel 3 terlihat perbedaan derajat kristalinitas antara sampel a dan b.
Persentasi derajat kristalinitas meningkat sebanding dengan kenaikan suhu kalsinasi.
Suhu kalsinasi yang semakin tinggi menyebabkan susunan atom semakin teratur
sehingga menyebabkan banyak terbentuknya fase kristal. Sampel yang memiliki fase
AKA memiliki derajat kristalinitas yang rendah. Pada sampel a
2
menunjukan bahwa derajat kristalinitas lebih kecil dibandingkan
dengan a
1
yang seluruh fasenya adalah HAp. Sampel yang memiliki konsentrasi kalsium 1
M dan fosfat 0,6 M menunjukan derajat kristalinitas lebih tinggi dibandingkan
dengan sampel yang memiliki konsentrasi kalsium 0,5 M dan kosentrasi fosfat 0,3 M.
Tabel 3 Derajat Kristalinitas Sampel Kode
sampel Kristalinitas
a
1
84,43 a
2
72,12 b
1
82,54 b
2
66,11 Tabel 4 memperlihatkan nilai ukuran
kristal sampel yang dihitung dengan persamaan scherrer. Persamaan tersebut
adalah ...................................................3
Dimana K adalah konstanta untuk matrial biologi yang bernilai 0,9,
adalah panjang gelombang yang digunakan pada
alat XRD yaitu 0,15406 nm, dan adalah FWHM Full width at half maximum dari
garis difraksi skala βθ. Tabel 4 Ukuran kristal sampel
Kode sampel
deg rad D
002
nm a
1
0,0654 0,0011 828,2670 a
2
0,0885 0,0015 1129,4200 b
1
10,532 0,1838 8,5663 b
2
0,1708 0,0029 408,9359 Tabel 4 memperlihatkan nilai ukuran
kristal sampel yang dihitung dengan persamaan scherrer lampiran ukuran kristal
pada sampel berkisar antara 8,566387 –
408,9359 nm. Ukuran kristal yang didapatkan berbanding terbalik dengan nilai
FWHM. Jika nilai FWHM kecil maka ukuran kristal akan besar. Pada konsentrasi
kalsium dan fosfat 10,6 M ukuran kristal lebih kecil dibandingkan pada sampel yang
memiliki konsentrasi 0,50,3 M karena penambahan konsentrasi mengakibatkan
penurunan ukuran kristal.
Parameter kisi dapat dihitung dengan menggunakan jarak antara bidang pada
Int ens
ita s
c ount
geometri kristal hexagonal. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 5 parameter
kisi sampel berada pada kisaran HAp dengan kisaran akurasi parameter kisi a sebesar
86,03-92,72, sedangkan kisaran akurasi kisi c sebesar 99,25-99,94 sehingga dapat
dikatakan fase yang terbentuk adalah fase HAp.
Tabel 5 Parameter Kisi Sampel
Kode sampel
Parameter Kisi a Å Ketepatan c Å Ketepatan
a
1
8,213 87,21
6,935 99,25
a
2
8,732 92,72
7,379 92,85
b
1
8,102 86,03
6,887 99,94
b
2
8,190 86,96
6,907 99,66
Spektroskopi FTIR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi OH
-
, PO
4 3-
,CO
3 2-
yang terbentuk pada sampel. Variasi suhu dan konsentrasi CaP pada sampel
mempengaruhi bentuk pita serapan yang diidentifikasi
dengan spektroskopi
inframerah. Secara umum semua sampel menunjukan pita serapan gugus hidroksil,
pita serapan ν
1
, ν
3
, dan ν
4
fosfat dan ν
3,
ν
4
gugus karbonat.
Gambar 10 Pola FTIR hidroksiapatit larutan Ca 1 M dan H
3
PO
4
0,6 M suhu 110
C a
1
dan pola XRD hidroksiapatit Larutan Ca 0,5 M
dan H
3
PO
4
0,3 M suhu 900 C
a
2
. Intensitas
spektrum inframerah
bergantung pada kenaikan suhu pada saat kalsinasi dan kenaikan konsentrasi. Pada
kenaikan suhu dapat dilihat pada Gambar 13 menunjukkan gugus fosfat pada sampel a
2
lebih curam dibandingkan dengan sampel a
1
, dan semakin panjangnya gugus fosfat
menunjukkan konsentrasi yang tinggi. Pada konsentrasi kalsium 1 M dan konsentrasi
fosfat 0,6 M dengan suhu sintering 900 C
sampel a
2
pita serapan fosfat ν
1
berada pada bilangan gelombang 944,51cm
-1
sementara pada pita serapan fosfat ν
3
berada pada bilangan gelombang 1042,38 cm
-1
dan 1090,85 cm
-1
, dan pada pita serapan fosfat ν
4
berada pada bilangan gelombang 552,78 cm
- 1
dan 572,35 cm
-1
. Munculnya gugus fosfat menunjukan HAp pada sampel telah
terbentuk. Pita
serapan pada
sampel a
1
menunjukkan puncak yang lemah. Pita serapan vibrasi asimetri ν
3
fosfat yang terbentuk pada sampel a
2
tidak simerti, hal ini menunjukkan bahwa HAp pada sampel a
2
berbentuk kristal. Selain itu, belahan yang tinggi pada pita serapan ν
4
fosfat memperkuat nilai derajat kristalinitas yang
besar. Hal tersebut diperkuat oleh hasil XRD yang menunjukkan bahwa sampel a
2
memiliki derajat kristalinitas lebih tinggi dibandingkan dengan sampel a
1
. Gugus OH
-
yang merupakan karakteristik HAp berada pada bilangan gelombang 3576 cm
-1
dan 632 cm
-1
. Gugus OH
-
dengan karakteristik HAp tersebut muncul pada sampel a
2
, kondisi ini dapat memperlihatkan bahwa konsentrasi
yang tinggi dapat meningkatkan jumlah hidroksil. Gugus hidroksil pada konsentrasi
CaP 10,6 dengan suhu sintering 110 C
sampel a
1
memperlihatkan jumlah
hidroksil lebih sedikit. Suhu sintering yang tinggi menyebabkan nilai transmitansi yang
tinggi. Hal tersebut dapat terlihat pada sampel a
2
yang memiliki nilai transmitansi lebih tinggi dibandingkan dengan a
1
. Ion karbonat merupakan inhibitor
pertumbuhan kristal pada sampel. Pita serapan
karbonat pada sampel a
2
berada pada bilangan geombang 1417,82 cm
-1
dan pada sampel a
1
berada pada bilangan gelombang 1420,51 cm
-1
. Bilangan Gelombang cm
-1
Tr ansm
ita nsi
Gambar 11 Pola FTIR hidroksiapatit larutan Ca 0,5 M dan H
3
PO
4
0,3 M suhu 110
C b
1
dan pola XRD hidroksiapatit Larutan Ca 0,5 M
dan H
3
PO
4
0,3 M suhu 900 C
b
2
. Sampel b
1
dan b
2
menunjukkan pita serapan yang hampir sama dengan sampel a
1
dan a
2
. Pada sampel b
2
pita serapan ν
1
fosfat berada pada bilangan gelombang 944,51 cm
- 1
, pada pita serapan ν
3
fosfat berada pada bilangan gelombang 1090,85 cm
-1
, dan pada pita serapan ν
4
fosfat berada pada bilangan gelombang 603,57 cm
-1
. Pita serapan hidroksil pada sampel b
2
berada pada bilangan gelombang 3572,47 cm
-1
, dan pita serapan karbonat berada pada bilangan
gelombang 1417,32 cm
-1
. Pada sampel b
1
pita serapan hidroksil cukup banyak dibandingkan pada sampel yang lain. Hal ini
terjadi karena pada sampel b
2
kadar air yang terkandung dalam sampel masih cukup
banyak. Banyaknya kandungan air yang tersimpan dalam sampel dipengaruhi oleh
suhu yang digunakan. Pada saat kalsinasi sampel tersebut suhu yang digunakan untuk
proses pengeringan adalah 110 C.
Karakterisasi AAS digunakan untuk mengetahui kadar kalsium yang berada pada
sampel, dan
karakterisasi UV-VIS
digunakan untuk mengetahui kadar fosfat yang terdapat pada sampel. Tabel 6
memperlihatkan hasil pengukuran AAS dan UV-VIS. Konsentrasi mempengaruhi kadar
ion kalsium dan fosfat yang terkandung dalam suatu sampel. Pada konsentrasi yang
tinggi jumlah ion kalsium dan ion fosfat yang terkandung akan lebih banyak
dibandingkan dengan konsentrasi yang lebih kecil. Namun, pada sampel a
2
mempunyai kadar kalsium 25,80 bb dan kadar fosfat
sebesar 9,37 bb, sedangkan pada sampel b
2
kadar kalsium sebesar 34,56 bb dan kadar fosfat sebesar 8,42 bb. Hal
tersebut terjadi karena pada saat proses presipitasi ion fosfat pasampel a
2
banyak berikatan dengan ion yang lain, sehingga
kandungan karbonat pada sampel lebih kecil. Selain konsentrasi, suhu kalsinasi
mempengaruhi pula pada kandungan ion kalsium dan fosfat. Sampel a
1
dan a
2
memiliki konsentrasi yang sama namun suhu sintering
yang berbeda. Suhu kalsinasi yang tinggi akan meningkatkan jumlah ion
kalsium dan fosfat yang terkandung dalam sampel. Pada sampel a
1
kadar kalsium yang terdapat pada sampel adalah sebesar 24,60
bb dan kadar fosfat 15,62 bb. Kandungan kalsium pada sampel a
2
yang dikalsinasi menggunakan suhu 900
C lebih banyak dibandingkan dengan kandungan
kasium pada sampel a
1
yang dikalsinasi dengan menggunakan suhu sebesar 110
C. Hal tersebut terlihat pula pada sampel b
1
dan b
2
. Pada sampel b
2
kadar kalsium yang terdapat pada sampel adalah sebesar 34,56
bb dan kadar fosfat 8,42 bb, sedangkan pada sampel b
1
kadar kalsium yang terdapat pada sampel adalah sebesar 13,17 bb dan
kadar fosfat 11,729 bb. Tabel 6 Nisbah CaP dalam sampel
Kode sampel
Jumlah partikel Ca
Jumlah Partikel P
CaP a
1
1,8425E+21 2,2827E+21 0,81 a
2
1,8250E+21 8,5560E+20 2,13 b
1
1,4278E+21 1,1326E+21 1,26 b
2
2,6600E+21 8,3739E+20 3,17 Nisbah CaP murni HAp adalah sebesar
1,67. Hasil AAS dan UV-VIS menunjukan nisbah antara CaP pada sampel berbeda
dengan hasil murni HAp. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena pada saat proses
presipitasi munculnya impuritas. Besar dan kecilnya nisbah CaP bergantung pada
jumlah fosfat dalam sampel, semakin besar kadar
fosfat pada
sampel akan
mengakibatkan nisbah CaP akan semakin kecil. Pada sampel b
2
nisbah CaP paling besar, hal tersebut terjadi karena kandungan
fosfat pada sampel kecil sehingga menyebabkan nisbah CaP semakin besar,
sedangkan pada sampel a
1
yang memiliki nisbah paling rendah, kandungan fosfat yang
Bilangan Gelombang cm
-1
Tr ansm
ita nsi
terkandung pada sampel besar. Jadi semakin besar nilai impuritas yang terkandung pada
sampel akan menghasilkan nisbah yang menjauhi dari HAp murni.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN