Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian

degradasi ini makin meningkat seiring dengan waktu simpan. Besaran dan interval waktu simpan umpan pada suhu kamar ditentukan dalam penelitian pendahuluan. Untuk melihat parameter kuantitatif degradasi mutu umpan dilakukan uji mikrobiologi dan kimiawi yaitu TPC, pH, dan TVBN. Parameter- parameter ini digunakan untuk membuat latar belakang respons kemoresepsi kepiting bakau terhadap umpan pada berbagai umur simpan. Umpan dengan kadar TVBN yang berbeda-beda ini selanjutnya diujicobakan kepada kepiting bakau. Individu kepiting bakau pada percobaan tersebut akan memiliki karakteristik yang seseragam mungkin homogen. Berbagai faktor di luar umur simpan umpan juga didesain sama seperti air yang digunakan dan wadah. Respons kepiting bakau terhadap umpan yang diamati adalah: periode gerak pemangsaan, arah, dan pola gerakan Gambar 1. Analisis terhadap tingkah laku kepiting bakau terhadap umpan pada umur simpan yang berbeda digunakan untuk merancang strategi alternatif penangkapan berdasarkan hubungan antara tingkah laku target spesies terhadap stimulus umpan.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis respons kepiting bakau terhadap umpan keong emas yang berbeda tingkat kebusukannya, yang dilihat dari periode gerak mendekati umpan, serta pola dan arah gerakan kepiting bakau dalam mendekati umpan;

1.6 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai: 1 Referensi bagi penelitian lanjutan di lapangan yang menyangkut penggunaan umpan pada penangkapan kepiting bakau; 2 Alternatif teknologi aplikatif dalam penangkapan khususnya pada aspek penggunaan umpan untuk usaha penangkapan kepiting bakau. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Kepiting Bakau

Menurut Kasry 1996 dalam Mulya 2000, ciri-ciri anatomi kepiting bakau antara lain adalah: karapas berwarna sedikit kehijauan, pada kiri kanannya terdapat sembilan buah duri tajam, dan pada bagian depan di antara kedua tungkai matanya terdapat enam buah duri, capit kananya lebih besar daripada capit kirinya dengan warna kemerahan pada kedua ujungnya, mempunyai tiga pasang kaki jalan dan satu pasang kaki renang yang terdapat pada ujung abdomen dengan bagian ujung yang dilengkapi pendayung. Selanjutnya Sulistiono el al. 1992 yang dikutip oleh Mulya 2000 menyatakan bahwa karapas berbentuk cembung dan halus, lebar karapas satu setengah dari panjangnya, berbentuk alur H antara gatric dan cardiac jelas, empat gigi triangular pada lengan bagian depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas-ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga sedangkan pada kepiting bakau betina berbentuk sedikit membulat.

2.2 Habitat dan Kebiasaan Makan Kepiting Bakau

Kepiting bakau atau mud crab Scylla sp dapat ditemukan di sepanjang daerah Indo Pasifik Angell 1992. Menurut Moosa el al. 1985 dalam Cholik dan Hanafi 1992, di Indonesia dikenal ada dua genus Scylla. Spesies dari jenis pertama adalah Scylla serrata dan Scylla serrata var. paramimosain yang berwarna kemerahan atau kecoklatan. Spesies dari jenis kedua adalah Scylla tranquebarica dan Scylla oceanica yang berwarna hijau keabu-abuan. Scylla serrata adalah spesies yang dominan 80 tertangkap di Indonesia. Scylla serrata dapat ditemukan di hampir seluruh wilayah pesisir dan perairan payau Indonesia, pada salinitas 2 – 38 ppt Hill 1974 dalam Cholik dan Hanafi 1992. Kepiting bakau dikenal sebagai pemakan segala bangkai omnivorous- scavenger dan pemakan sesama jenis cannibal Ariola 1940 dan Moosa et al. 1985 dalam Mulya 2000. Kepiting bakau umumnya memangsa gastropoda, bivalvia dan berbagai hewan-hewan kecil yang dapat mereka tangkap, tetapi mereka juga pemakan bangkai yang giat vigorous scavenger Hill 1976. Sebagai pemakan bangkai mereka mudah tertangkap dengan perangkap berumpan baik dalam penangkapan komersial maupun rekreasional Hill 2007. Kepiting bakau adalah pemakan bangkai yang rakus voracious scavenger, yang dapat mencari dan memangsa bangkai di perairan estuarin yang keruh dan berhutan bakau. Kepiting bakau adalah pemakan bangkai oportunistik opportunistic scavenger Webley 2008. Garthe et al. 1996 menyatakan berbagai hewan karnivora dan omnivora akan segera memangsa bangkai segar begitu mereka menemukannya karena ini merupakan sumber nutrisi yang setara dengan mangsa yang biasa mereka tangkap dalam kondisi hidup. Ketika jumlah bangkai dalam suatu ekosistem berlimpah maka kestabilan populasi opportunistic scavenger akan lebih terjaga. Opportunistic scavenger umumnya mengadopsi strategi duduk dan menunggu sit and wait strategy untuk mencari bangkai Rose dan Polis 1998 dalam Webley 2008 sehingga bangkai yang diperoleh adalah bangkai yang sudah membusuk. Dalam perairan keruh atau gelap maka penglihatan menjadi tidak berfungsi dalam pencarian bangkai dan kemoresepsi akan lebih berfungsi seperti digunakan oleh banyak gastropoda dan krustasea estuarin Ferner dan Weissburg 2005. Kemoresepsi adalah mekanisme biologis organisme berupa pengenalan atas stimulus kimiawi untuk mengumpulkan informasi tentang kimia lingkungan internal dan eksternalnya yang terkait erat dengan stimulus kimiawi umpan yang ditangkap oleh organ reseptor kepiting bakau. Hill 1978 menyatakan bahwa kemoresepsi lebih dominan pada aktivitas pemangsaan oleh kepiting bakau. Gambar 2 Kepiting bakau Scylla serrata Forskal 1775