Desa Seseba, Kecamatan Batui

2.1. Desa Seseba, Kecamatan Batui

Di Desa Seseba, tempat yang direncanakan sebagai pemukiman baru karyawan Pertamina -Exspan Tomori Sulawesi adalah dataran luas yang subur. Sejak 20 tahun lebih, dataran ini menjadi penghasil tanaman palawija dan tanaman tahunan yang sukses di daerah Batui. Masyarakat Seseba sejak dulu sudah mengenal klasifikasi lahan sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu: hutan rakyat yang kepemilikannya komunal; tanah adat yang difungsikan masyarakat untuk menanam tanaman palawija (milik komunal, di mana warga masyarakat secara bergantian menanam dan memanen hasil tanah) dan tanaman tahunan (milik perorangan); serta perkebunan masyarakat yang digunakan warga masyarakat untuk menanam tanaman tahunan dalam skala besar, misalnya kelapa, coklat, kemiri, kopi. Seluruh luas areal lahan PT Delta Subur Permai mencapai 4090 ha yang sebagian besar merupakan hasil perampasan lahan perkebunan milik masyarakat dengan tanpa proses ganti rugi, dan sebagian lagi hasil pembukaan hutan yang dilakukan oleh perusahaan.

Penggusuran di dataran yang pernah menjadi basis perjuangan GPST (Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah) ini telah terjadi sejak tahun 1982 oleh PT Sentral Sulawesi. Pada tahun itu, masyarakat akhirnya mau menyerahkan lahannya setelah perusahaan menyepakati untuk membangun sekolah, mesjid, gereja, saluran irigasi, jalan aspal dan fasilitas lainnya dan janji bahwa semua tanaman milik masyarakat yang masuk dalam lokasi sebelum digusur akan dilakukan pendataan awal untuk ganti rugi. Kenyataannya perusahaan tidak memberikan ganti rugi, hanya membuat jalan darurat, hanya melakukan penggalian saluran air serta melakukan penggusuran dua lokasi pekuburan masyarakat bahkan memperluas areal penggusuran yang semula disepakati 2000 x 200 meter menjadi 2000 x semaunya. Penggusuran ini selain melibatkan Pemerintah Desa Honbola, Pemerintah

Kecamatan Batui, aparat Polsek Batui dan aparat militer dalam hal ini Komando Rayon Militer (Koramil) Batui. Penggusuran yang disertai dengan intimidasi menakut-nakuti masyarakat dengan menuduh mereka anggota PKI serta mengancam akan memenjarakan masyarakat bila tidak menyerahkan lahannya, menyebabkan masyarakat secara berkelompok mulai meninggalkan dataran Seseba.

Tahun 1984, karena tidak tahan dengan ulah dan perlakuan perusahaan, masyarakat melakukan aksi perlawanan tidak terorganisir dengan menghadang alat-alat berat perusahaan. Aksi ini ditanggapi dengan negosiasi ulang oleh perusahaan dan menghasilkan kesepakatan penghentian penggusuran sambil menunggu pendataan lahan yang akan digusur. Akan tetapi ketika pendataan lahan baru dimulai (tahun 1986), pihak perusahaan melepas secara bertahap sapi Bali dan sapi lokal sebanyak 1000 ekor di lokasi lahan dan tanaman milik masyarakat sehingga semua tanaman milik masyarakat rusak. Pelepasan sapi ini disertai dengan sikap perusahaan yang hanya mendata sebagian kecil lahan dan tanaman masyarakat, serta memberikan ganti rugi tidak seimbang menyebabkan kecemburuan di antara masyarakat. Masyarakat sendiri tidak berani melakukan apa-apa terhadap sapi-sapi yang dilepas tersebut, karena takut pihak perusahaan akan menggunakan aparat Tahun 1984, karena tidak tahan dengan ulah dan perlakuan perusahaan, masyarakat melakukan aksi perlawanan tidak terorganisir dengan menghadang alat-alat berat perusahaan. Aksi ini ditanggapi dengan negosiasi ulang oleh perusahaan dan menghasilkan kesepakatan penghentian penggusuran sambil menunggu pendataan lahan yang akan digusur. Akan tetapi ketika pendataan lahan baru dimulai (tahun 1986), pihak perusahaan melepas secara bertahap sapi Bali dan sapi lokal sebanyak 1000 ekor di lokasi lahan dan tanaman milik masyarakat sehingga semua tanaman milik masyarakat rusak. Pelepasan sapi ini disertai dengan sikap perusahaan yang hanya mendata sebagian kecil lahan dan tanaman masyarakat, serta memberikan ganti rugi tidak seimbang menyebabkan kecemburuan di antara masyarakat. Masyarakat sendiri tidak berani melakukan apa-apa terhadap sapi-sapi yang dilepas tersebut, karena takut pihak perusahaan akan menggunakan aparat

PT Delta Subur Permai pada tahun 1991 mengalihkan pengolahan lahannya ke PTAstra Agro Lestari (AAL), setelah sebelumnya melakukan lagi perluasan lahan. PTAAL menanami lahan yang masih bersengketa seluas 100 hektar dengan coklat. Tindakan anak perusahaan kelompok Astra tersebut menyebabkan masyarakat yang dimotori oleh Betani Sakey, kepala Desa Seseba, melakukan pemblokiran atau penghadangan alat berat milik PT AAL serta melakukan pengrusakan dengan melempar camp pemukiman karyawan dan kantor PT AAL yang ada di Dataran Seseba. Pihak perusahaan mendatangkan aparat keamanan dari TNI sebanyak 50 orang serdadu dengan persenjataan lengkap dan dipimpin langsung oleh Danramil (Komandan Rayon Militer) Batui. Melihat kedatangan pasukan TNI, masyarakat yang melakukan aksi menjadi ketakutan dan meninggalkan lokasi.

Persoalan Seseba ini mengundang perhatian Pemda Kabupaten Banggai, sehingga diutuslah Tim Sembilan yang terdiri dari Bupati Banggai, Ketua DPRD Banggai, Kepala BPN, Kasospol, Kapolres, Dandim, Sekretaris Daerah Kabupaten Banggai, Kepala Dinas Perkebunan Banggai, dan Kepala Dinas Kehutanan Banggai untuk meninjau langsung ke Dataran Seseba. Hasil kunjungan tersebut ditindaklanjuti dengan mengadakan pertemuan di Balai Desa Honbola untuk membicarakan masalah ganti rugi tanah. Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Kepala Desa Seseba, Kepala Desa Lamo dan Camat Batui tersebut menghasilkan kesepakatan ganti rugi tanah sebesar Rp 60 ribu per hektar. Beberapa saat, setelah pertemuan tersebut, Tim Sembilan mengadakan pertemuan tertutup dengan pihak perusahaan yang langsung diwakili oleh Upi Sugianto dan Hideo Amir. Pertemuan tersebut tidak melibatkan masyarakat atau wakil masyarakat karena baik Kepala Desa Seseba maupun Kepala Desa Lamo diperintahkan untuk menunggu di luar. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan baru ganti rugi tanah Rp 30 ribu per hektar. Awalnya keputusan tersebut tidak diterima oleh Kepala Desa Seseba dengan alasan pertanggungjawaban terhadap masyarakat, akan tetapi akhirnya, karena Bupati meninggalkan pertemuan dengan marah dan karena Betani Sakey merasa ditekan oleh aparat Muspida yang berada di situ, akhirnya keputusan tersebut diterima.

Pada tanggal 2 Oktober 1997, PT Delta Subur Permai memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) dengan Surat Keputusan HGU Nomor 123/HGU/BPN/1997. Pemberian HGU itu dijawab sekitar 200 kepala keluarga yang berasal dari Desa Honbola dan Desa Lamo di Kecamatan Batui serta Desa Samadoya, Dimpalon, dan Padang di Kecamatan Kintom dengan mengambilalih kembali tanah Seseba. Mereka tergabung dalam Forum Persaudaraan Petani Miskin. Komunitas ini kemudian mulai menanam kembali lahan tersebut dengan tanaman padi ladang, dan tanaman palawija lain. Atas kejadian ini, perusahaan melayangkan surat ke Kepolisian Sektor (Polsek) Batui dan ditindaklanjuti dengan menangkap lima orang tokoh masyarakat Desa Honbola, yakni Ibrahim Indangan, Betani Sakei, Minder Indangan, dan Yospian Naodja. Mereka ditangkap dengan tuduhan tindak pidana penyerobotan dan perampasan lahan dan pada tanggal 7 Maret 2003 dihukum lima bulan penjara. Keputusan pengadilan ini diikuti dengan tindakan aparat gabungan TNI/Polri (Polsek dan Koramil Batui) pada tanggal 4 Juni 2003 yang memaksa masyarakat menandatangani pernyataan keluar dari lokasi Seseba dengan batas waktu tanggal 10 Juni 2003. Selain itu aparat keamanan membongkar fasilitas bersama yang dijadikan tempat diskusi atau tempat ibadah masyarakat. Masyarakat melaporkan kejadian tersebut dengan melakukan aksi protes ke DPRD Banggai. Pertemuan ini kemudian memperbolehkan masyarakat kembali ke lokasi sambil menunggu diadakannya proses dua arah yang difasilitasi oleh Pemda Banggai.

Di tahun yang sama BPN Pusat melayangkan surat yang ditujukan kepada Kepala BPN Provinsi Sulawesi Tengah dengan tembusan kepada Kepala BPN Kabupaten Banggai. Surat tersebut adalah permohonan pembatalan izin Hak Guna Usaha Nomor 123/HGU/BPN/97 milik PT Delta Subur Permai dengan mengharapkan kesediaan BPN Propinsi Sulteng dan BPN Kabupaten Banggai meneliti masalah tersebut kembali. Karena sampai sekarang penelitian terhadap izin HGU tersebut belum dilaksanakan maka, Forum

Persaudaraan Petani Miskin Seseba melayangkan surat ke BPN Propinsi Sulawesi Tengah tembusan ke BPN Pusat, Presiden RI, Ketua DPR RI perihal permintaan laporan hasil penelitian.

Sebelum diperoleh jawaban terhadap surat tersebut, pada tanggal 18 September 2003 sepuluh orang warga masyarakat Honbola mendapat surat panggilan dari fihak Polri Sektor Batui No.Pol: S.Pgl/ 90/IX/03/Sek.Bti yang pada tanggal 16 September 2003 ditandatangani oleh Kapolsek Batui. Kesepuluh orang warga Desa Honbola tersebut dipanggil dengan status tersangka dengan perkara tindak pidana perampasan hak dan perbuatan tak menyenangkan (Pasal 167 dan Pasal 335 ayat 1 KUHP).

Surat penangkapan tersebut didahului dengan kedatangan 30 orang polisi dari Polsek Batui dan satuan Perintis Polres Banggai yang dipimpin Kapolsek Batui bersama aparat kecamatan dan aparat desa (Kepala Desa dan ketua BPD Honbola) pada tanggal 17 September 2003 pukul 13.00. Kedatangan mereka bertujuan untuk mengevakuasi masyarakat. Karena ketakutan, masyarakat sudah terlebih dahulu meninggalkan lokasi. Sehari kemudian beberapa orang masyarakat kembali ke lokasi dan bertemu dengan aparat keamanan yang langsung memerintahkan masyarakat mengosongkan lokasi serta membuat pernyataan untuk keluar dari lokasi dan pernyataan keluar dari Forum Persaudaraan Petani Miskin. Selain itu, mereka juga diminta membongkar fasilitas umum dan rumah masyarakat yang sudah berdiri selama dua dasawarsa. Perintah ini disertai dengan ancaman masyarakat akan terus ditangkap dan dipenjarakan apabila melawan.

Saat penelitian, tiga dari empat warga Seseba yang resmi menjadi tersangka, masih sedang dipenjara. Ketiga orang itu, Ibrahim Indangan, Minder Indangan, dan Demus Saampap bertekad untuk membawa kasus ini sampai ke Mahkamah Agung. Sementara itu Alexander Sakey dibebaskan setelah dikunjungi seorang wanita yang diduga or-ang perusahaan. Menurut pengakuan para tahanan kepada penulis, pada tanggal 10 Oktober 2003 mereka dikenakan hukuman pemukulan dan push up yang tidak wajar. Sebelumnya, Pengadilan Negeri Luwuk menolak memeriksa saksi yang diajukan warga Seseba. Akibat tekanan-tekanan fisik dan non-fisik itu, masyarakat Seseba terpecah dua. Ada yang masih mau berjuang mempertahankan tanah mereka, seperti ibu Nelly yang masuk kembali ke lahan bersengketa tersebut dan menanam tanaman palawija. Ada juga yang berhenti berjuang dan memutuskan untuk menjadi mata-mata bagi perusahaan.

Peristiwa penggusuran ini menjadikan masyarakat di dataran Seseba tamu di tanah sendiri. Mereka terpaksa menyingkir ke tiga lokasi berbeda, yaitu di daerah sekitar Seseba, ke seberang Sungai Seseba, di wilayah perkebunan desa, dan mengungsi dengan meminjam wilayah perkebunan milik seorang keturunan Tionghoa, Koh Yong. Hal yang aneh dari klaim pemilikan tanah melalui HGU ini, adalah ketika diantara seluruh wilayah HGU tersebut ada wilayah yang punya sertifikat tanah, milik Koh Yong. Hal ini membuktikan bahwa klaim HGU, punya kepentingan yang lebih besar dari sekedar kepemilikan tanah yaitu karena letak tata ruang wilayah Seseba sangat strategis sebagai wilayah pemukiman karyawan Pertamina - PT Exspan Tomori Sulawesi yang jaraknya sekitar 12 km dari pelabuhan barang Pertamina di Lamo dan berdekatan dengan rencana pelabuhan Samudera Tangkiang di Kintom serta rencana yang tertera dalam KAPET Batui tentang sentra daerah industri.

Pengalaman perlawanan rakyat Seseba tentu akan menjadi pelajaran menarik bagi pihak inves-tor yang menanamkan modalnya di Kabupaten Banggai. Karena itu, seperti Tomy Winata, Kelompok Medco juga membutuhkan jaminan keamanan.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24