Marger Migas dan Militer di Ketiak Sulaw

Marmer, Migas, dan Militer Di Ketiak Sulawesi Timur :

Antara Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Investor

Lian Gogali PENGANTAR

KEKAYAAN udara, air dan tanah adalah sebesar-besarnya untuk kedaulatan rakyat. Setidaknya hal ini menjadi spirit utama pengelolaan sumber daya alam yang tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kenyataannya, sumber daya alam tidak hanya dikuasai, melainkan juga sebesar-besarnya untuk para pemilik modal. Hal itu antara lain nampak dalam berbagai penguasaan sumber daya alam di berbagai tempat di Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Tengah.

Ironisnya proses penguasaan sumber daya alam di berbagai tempat di Indonesia terkesan diawali oleh konflik komunal. Kesan ini menimbulkan pertanyaan, apakah konflik berkaitan erat dengan penguasaan modal oleh investor. Tulisan ini adalah sebuah upaya kecil untuk mengungkapkan bagaimana hubungan antara dampak kerusuhan Poso berupa eskalasi kehadiran aparat bersenjata TNI dan Polisi, khususnya Brigade Mobil (Brimob) di wilayah Morowali dan Banggai dengan masuknya investor. Selain itu tulisan ini mau melihat respons masyarakat setempat, khususnya petani

dan nelayan, terhadap masuknya proyek-proyek raksasa yang sedang atau akan dibangun oleh para penanam modal itu.

Pendirian sebuah markas Kompi Brimob di daerah di mana sedang didirikan sebuah markas Kompi TNI/AD, menunjukkan tingkat rivalitas antara Angkatan Darat dan Polri, khususnya Brimob, yang mencerminkan ‚kekurangrelaan‛ fihak TNI/ AD untuk melepaskan sebagian fungsi keamanannya kepada Polisi, sebagaimana diamanatkan oleh TAP MPR No 6 dan 7 Tahun 2001. Kedua Ketetapan MPR itu menyebutkan bahwa TNI dan Polri adalah dua lembaga terpisah. TNI menangani persoalan pertahanan, Polri menangani masalah keamanan. Ini menegaskan perbedaan perbedaan tugas antara Polisi dan TNI, di mana Polri berperan sebagai penegak hukum (law enforcement officer) dan pemelihara ketertiban (order maintenance) sehingga kedudukan Polri sederajat dengan dua pilar hukum lain yang sudah lebih dulu mandiri, yakni kejaksaan dan kehakiman.

Sementara secara filosofis, tugas TNI adalah menjaga ancaman bagi Indonesia (baca: Negara Kesatuan Republik Indonesia) dari luar meskipun secara terinci apa yang menjadi tugas TNI sampai sekarang masih dalam perdebatan. Termasuk masalah dwi fungsi militer yang kontroversial. Sayangnya, tindakan positif pemisahan fungsi antara Polri dan TNI tersebut malah diikuti dengan rencana pemekaran kembali jumlah Kodam dari sepuluh menjadi tujuh belas oleh Jenderal Wiranto (Forum Keadilan,1999:18 ).

Pertanyaannya ada apa di balik usaha memekarkan kembali Kodam? Hal ini mengingat bahwa pembentukan Komando Daerah Militer yang dulu bernama Komando Teritorial ini didirikan 1948 untuk menanggulangi ancaman dari luar dalam bentuk gerilya (Soemarkidjo 2002 : 22). Apakah Jenderal Wiranto memperkirakan adanya ancaman dari luar bagi Indonesia? Ataukah ada tafsir lain mengenai ancaman itu? Walaupun Wiranto sudah lengser dari jabatan kemiliterannya, rencana pemekaran Kodam masih tetap berlanjut. Tidak lama setelah peristiwa pemboman di Bali, Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu menegaskan di depan peserta jambore nasional Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG), bahwa ia tidak akan membubarkan Kodam. Bahkan kalau bisa, menambahnya (Kompas, 17 Oktober 2003).

Kenyataannya, sejauh ini pemekaran Kodam dilaksanakan di daerah - daerah berkonflik misalnya di Maluku, Aceh bahkan pemekaran batalyon di Kabupaten Poso. Sejauh ini pertimbangan, mengapa perlu mendirikan Kodam di daerah-daerah tersebut, lebih kepada pengamanan wilayah. Akan tetapi konsep ‚ mar-kets of violence” Georg Elwert, antropolog dari Universitas Berlin (1999) punya analisa lain. Menurutnya, di balik setiap rangkaian kekerasan selalu terselip kepentingan ekonomi, dan ketakutan harus terus dipelihara, baik dengan mengawetkan konflik maupun dengan mengawetkan citra bahwa sebuah daerah masih tetap sangat rentan konflik. Kata Elwert (1999:45):

“A particular cost-effective form of mobilising troops is to create fear. Hence, pro-paganda acts as an important instrument of production. From an economic perspective, this can give a point to what would other-wise be pointless violence. The fear of re-taliation by the victims leaves no option open but to join an army or suppor t it for one’s own protection. Fear of revenge stabilises the system.”

[Satu teknik yang sangat efektif untuk memobilisasi pasukan-pasukan adalah dengan menciptakan ketakutan. Makanya, propa-ganda merupakan suatu instrumen produksi yang penting. Dari sudut ekonomi, pemahaman ini dapat memberikan penjelasan tentang penggunaan kekerasan, yang dari sudut lain sepertinya tak berdasar. Selanjutnya, ketakutan bahwa para korban akan membalas dendam mendorong para pelaku kekerasan untuk bergabung dengan militer, atau mendukung operasi militer demi perlindungan diri sendiri. Akhirnya, ketakutan akan pembalasan dendam menstabilkan sistem ini].

Saat ini diindikasikan, “bisnis proteksi” atau “bisnis penjagaan keamanan” adalah hal yang paling banyak terjadi di daerah-daerah kerusuhan atau yang diperkirakan rawan kerusuhan. Lucunya, terkesan seolah-olah ada perebutan wilayah proteksi antara TNI dan Polri, sehingga di mana ada pembentukan Kompi

Brimob, biasanya ada juga pembentukan Kompi TNI. Tidak jelas siapa yang mengikuti siapa, tapi kehendak penguasaan wilayah dengan alasan pengamanan pastilah mengikuti tujuannya. Di samping itu paradigma lama tentang TNI pun rupanya masih belum hilang dalam pikiran para pejabat pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan niat empat kabupaten baru di Sulawesi Tengah (Parimo, Buol, Morowali dan Bangkep) melalui Bupatinya untuk membentuk Komando Distrik Militer (Kodim) di masing - masing kabupaten dan bukan meminta terlebih dahulu untuk membentuk Polres. Permintaan para Bupati tersebut didasarkan pada pertimbangan keamanan yang menjadi ancaman terhadap masyarakat (Banggai Express, Minggu III Oktober 2002).

Menurut Danrem 123/Tadulako Sulawesi Tengah, Kol. Inf. Suwahyuhadji, rencana pembentukan Kodim harus ditinjau dalam aspek pertahanan dan keamanan, aspek ancaman daerah luar dan aspek kemampuan wilayah. Tidak jelas, apa yang ditafsirkan dari ketiga aspek tersebut. Tapi bagi para investor, jaminan keamanan adalah hal yang pasti apalagi bila telah menanam modal sebesar tiga juta dollar AS, seperti yang dilakukan Tomy Winata (Radar Sulteng, 3 Maret 2003). Saat rencana pemekaran batalyon diumumkan, Kol. Inf. Suwahyudi, menyebutkan bahwa Batalyon 714/ Sintuwu Maroso dengan ketiga kompinya akan bertugas langsung menangani masalah keamanan daerah pertambangan minyak dan gas Sinorang -

Toili, yang terbentang dari kecamatan Batui (Kabupaten Banggai ) sampai ke wilayah Teluk Tolo di Kabupaten Morowali. Dengan pembentukan batalyon baru itu, Propinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah lebih kurang 68 ribu km2 akan dijaga dua batalyon TNI/AD, yakni Batalyon 711/ Raksatama yang berkedudukan di Palu (Ibukota Provinsi) dan Batalyon 714/Sintuwu Maroso yang berkedudukan di kota Poso. Kedua batalyon itu berada di bawah perintah Kodam VII/Wirabuana (Kompas.com, 1 Jan. 2003; Suara Pembaharuan, 3 Jan. 2003). Ketiga Kompi yang dibangun adalah Markas Kompi A di Luwuk (ibukota kabupaten Banggai); Markas Kompi B di Markas Kompi B di Mohoni (Kabupaten Morowali);; dan Markas Kompi C di Pendolo, ibukota kecamatan Pamona Selatan Kabupaten Poso.

Saat ini ada wacana tentang dipindahkannya ibukota Kabupaten Poso di Pendolo, dan menjadikan Poso sebagai Kotamadya. Wacana ini bukan tidak mungkin berkaitan dengan penempatan pasukan di Markas Kompi C di Pendolo. Penempatan pasukan di Kompi C ini sudah diresmikan keberadaannya dengan upacara adat Pekasiwia, sebuah upacara adat Pamona dalam rangka menyambut kedatangan tamu agung.

Keberadaan beberapa markas Kompi TNI AD maupun markas Brimob di wilayah Sulawesi Tengah bisa jadi berkaitan dengan isu keamanan wilayah, rencana percepatan pembangunan di kawasan In-donesia Timur dan itu berarti berhubungan dengan masuknya investor. Hal ini mengingatkan sekaligus memperlihatkan bahwa reformasi militer ternyata hanya terjadi di atas kertas. Di atas kertas, reformasi militer telah mengurangi lingkup peran TNI dalam politik sehari-hari. Akan tetapi ternyata masih ada kemungkinan bagi TNI untuk dapat memegang kendali masalah-masalah kenegaraan yang penting. Hal ini dibuktikan antara lain dengan melihat bahwa Panglima TNI, dan Kepala Kepolisian Negara Keberadaan beberapa markas Kompi TNI AD maupun markas Brimob di wilayah Sulawesi Tengah bisa jadi berkaitan dengan isu keamanan wilayah, rencana percepatan pembangunan di kawasan In-donesia Timur dan itu berarti berhubungan dengan masuknya investor. Hal ini mengingatkan sekaligus memperlihatkan bahwa reformasi militer ternyata hanya terjadi di atas kertas. Di atas kertas, reformasi militer telah mengurangi lingkup peran TNI dalam politik sehari-hari. Akan tetapi ternyata masih ada kemungkinan bagi TNI untuk dapat memegang kendali masalah-masalah kenegaraan yang penting. Hal ini dibuktikan antara lain dengan melihat bahwa Panglima TNI, dan Kepala Kepolisian Negara

Keputusan Presiden No. 89 Tahun 1996 yang disempurnakan dengan Keputusan Presiden No. 167 Tahun 1998 tentang Kawasan Andalan Terpilih yang kemudian disebut Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) mendorong pengembangan pertumbuhan ekonomi di Wilayah Timur Indone-sia, termasuk di Sulawesi Tengah khususnya di beberapa kabupaten baru misalnya Morowali, Banggai Kepulauan, Tojo Una-una (Touna) dan Bungku.

Wilayah di Kabupaten Morowali dan Banggai dipilih sebagai fokus penelitian lapangan untuk menguji keterkaitan antara tiga faktor itu — eskalasi kehadiran aparat bersenjata, masuknya para investor besar, dan respons masyarakat setempat — karena di kedua wilayah ini pembangunan sedang dikembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu yang lazim disebut KAPET Batui.

Alasan lain adalah karena keterlibatan berbagai proyek besar di kedua wilayah tersebut, yakni Kelompok Artha Graha yang dipimpin oleh Tomy Winata yang lebih terfokus di Kecamatan Lembo, Petasia, Bungku Tengah, di Kabupaten Morowali, dan Arifin Panigoro melalui Kelompok Medco milik pengusaha-politikus PDI-P, yang wilayah konsesi migasnya meliputi Kabupaten Morowali dan Banggai.

Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan oleh Yayasan Tanah Merdeka, Palu dalam bentuk kertas Posisi. Uraian selengkapnya dapat di akses www. ytm .or.id/images2/stories//kertas_posisi_edisi_06.pdf

1. MOROWALI

KABUPATEN Morowali merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Poso berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang Pemekaran Kabupaten Morowali, Kabupaten Buol dan Kabupaten Banggai Kepulauan. Dari data yang dikumpulkan Sahabat Morowali, sebuah ornop lingkungan hidup yang berbasis di Kolonodale, kelompok-kelompok etno-linguistik (sukubangsa) yang berdiam di Kabupaten Morowali 40 % adalah To Mori, 40 % To Bungku, dan 20 % adalah pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan (Bugis). Sebagian besar bermata pencaharian bertani, nelayan dan pegawai negeri serta sebagian kecil pedagang. Sumber daya alam yang dimiliki daerah Morowali meliputi Marmer, Nikel, Emas, Nikel, Kelapa Sawit, Karet, Cokelat dan Padi. Marmer berada hampir di seluruh wilayah Kecamatan Mori Atas, Lembo dan Petasia. Nikel berada di daerah Kecamatan Bungku Tengah khususnya di Desa Mahoni. Kelapa Sawit terutama berada di daerah Kecamatan Mori Atas dan diolah oleh PTP. Karet dan cokelat (atau Kakao) berada di Kecamatan Mori Atas dan Kecamatan Petasia.

Kemungkinan besar agar terjadi perimbangan dari sudut kesukuan, saat ini Bupati Morowali yang pertama, Andi Muhamad berdarah campuran To Bungku - Bugis, sementara Wakil Bupati Morowali Datlin Tamalagi adalah To Mori. Sementara itu di Kabupaten Morowali sendiri sampai saat ini masih ada masalah tentang ibukota kabupaten yang melibatkan sentimen kesukuan. Dalam Undang-Undang No. 51 Tahun 1999 Pasal 10 dituliskan bahwa untuk sementara ibukota Kabupaten Morowali adalah Kolonodale, dengan ketentuan pal-ing lambat untuk lima tahun ibukota Kabupaten Morowali akan dipindahkan ke Bungku. Pasal tentang ibukota Kabupaten ini kemudian menjadi ‚bom waktu‛ di daerah Morowali.

Menurut seorang narasumber di Kolonodale, kericuhan mengenai letak ibukota kabupaten bermula dari manipulasi data oleh tokoh-tokoh DPRD Kabupaten Poso (yang kebetulan To Bungku) ketika hendak menentukan kota mana akan dijadikan ibukota Morowali. Pada awalnya ada tiga kota yang dinilai berpotensi menjadi ibukota, yaitu Beteleme, Kolonodale dan Bungku. Manipulasi data terjadi ketika foto semua fasilitas seperti Rumah Sakit, sarana komunikasi, listrik, sarana air minum dan beberapa infrastruktur lainnya di Kolonodale , dituliskan berada di Bungku. Manipulasi data ini terbongkar ketika tim DPR RI meninjau langsung ke daerah Bungku. Nama Andi Muhamad, Anggota DPR RI dan ketua DPP Pusat Partai Golkar dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan muncul sebagai orang yang paling menyuarakan kecurangan data yang terjadi. Sosok Andi Muhamad kemudian menarik perhatian sebagian besar masyarakat Morowali dan membuatnya terpilih sebagai Bupati Morowali yang pertama. Setelah menjadi Bupati, Andi Muhamad, kembali menegaskan bahwa letak ibukota Kabupaten Morowali adalah Kolonodale dan bukan Bungku. Penegasan ini mendapat simpati yang mendalam dari sebagian besar masyarakat Morowali di Kolonodale. Seorang polisi di Kolonodale bahkan mengungkapkan bahwa dia memilih untuk tetap menjadi polisi di Kolonodale daripada menjadi pejabat penting kepolisian tapi ditempatkan di Bungku.

Sementara itu, Datlin Tamalagi, Wakil Bupati yang To Mori malah mengeluarkan pernyataan bahwa ibukota Morowali yang sebenarnya adalah Bungku. Pernyataan ini membuat dukungan To Mori terhadap Datlin hilang. Bagi Forum Peduli Masyarakat Morowali - FP2M di Kolonodale (yang sebagian besar adalah To Mori), dukungan terhadap Andi Muhamad lebih karena penegasan tentang letak ibukota. Dukungan itu disampaikan juga dalam selebaran himbauan untuk melakukan aksi damai dengan pernyataan bahwa Andi Muhamad adalah penyelamat daerah ini dari instabilitas, dan bahwa Andi Muhamad adalah pencetus sejarah bagi daerah Morowali.

Saat ini untuk meredam pergolakan di masingmasing daerah, muncul wacana baru tentang pemekaran kabupaten Bungku sebagai kabupaten sendiri dan pada tanggal 26 Februari 2006, usul tersebut disetujui oleh oleh DPR-RI. Keputusan DPR

RI ini satu paket dengan rencana pendirian Propinsi Sulawesi Timur. Akan tetapi keputusan

DPR-RI ini disambut dengan ancaman pengerahan massa dari Pengurus Kerukunan Keluarga Bungku (KKB) yang direncanakan sejumlah 7.000 orang menuju Kolonodale sebagai bentuk protes (Radar Sulteng, 1 Maret 2004). Ancaman ini dibalas dengan konvoi massa dari Forum Peduli Masyarakat Morowali sejumlah 2.000 orang di Kolonodale pada tanggal 3 Maret 2004. Dalam selebaran yang diedarkan Pengurus Kerukunan Keluarga Bungku, salah satu isu yang dibawa adalah Kepemimpinan Andi Muhamad yang korup. Korupsi uang rakyat sebesar Rp 15 milyar (sesuai temuan DPRD Morowali) dijadikan alasan untuk menurunkan Bupati Morowali. Tuduhan tersebut bukan tanpa alasan. Wakil Ketua DPRD Morowali, Andi Asri Pettagading membeberkan dugaan mark up dana APBD oleh Andi Muhamad yang sempat bermasalah dengan tuduhan ijazah palsu.

Mark up yang dilakukan Andi Muhamad meliputi pengadaan mobil dinas dan pengadaan sejumlah perlengkapan rumah dinas Bupati. Dalam total anggaran pembelian mobil baru dicantumkan Rp 800 juta, artinya setiap unit mobil dihargai Rp 100 juta. Pada kenyataannya, mobil yang dibeli adalah mobil bekas jenis Daihatsu Taft dan Hiline yang harganya berkisar Rp 35 - 45 juta per unit. Mobil dinas Ketua DPRD Kabupaten Morowali jenis Nissan Terrano sumbangan pengusaha yang dekat dengan Andi Muhamad dimasukkan dalam anggaran pengadaan mobil dinas. Satu unit AC split 1,5 PK merek National seharga Rp 6 juta dianggarkan Rp 18,8 juta; AC split 1 PK merek LG C-90 KH seharga Rp 3 juta dianggarkan Rp 16,4 juta perunit; dis-penser merek National seharga ratusan ribu dianggarkan Rp 2,3 juta per buah; televisi 14 inci seharga Rp 1 juta dianggarkan Rp 3,9 juta; bantal merek Datron dianggarkan sebesar Rp 293 ribu per buah. Total mark up untuk rumah dinas Bupati dan perlengkapan kantor mencapai Rp 1,665 miliar (Fokus Indonesia, 15 April 2004: 8)

Isu tentang perseteruan letak ibukota kabupaten ini berpotensi konflik karena melibatkan dua suku besar di wilayah Kabupaten Morowali. Isu tentang ibukota ini mengakibatkan teralihkannya perhatian dan mengurangi pengawasan masyarakat terhadap bagaimana tata ruang dan lingkungan di ibukota kabupaten tersebut diatur sehubungan dengan rencana pembangunan dan masuknya in-vestor.

Masyarakat Morowali pada umumnya merasa bahwa pembangunan yang akan dibawa oleh para investor ke daerah mereka akan membawa

kemajuan, tanpa pertimbangan panjang dampak sosial dan lingkungan di sekitarnya. Misalnya kecerobohan Pemda Kabupaten yang mengijinkan sebuah perusahaan dari Makasar untuk menebang hutan jati di sepanjang perjalanan menuju Kolonodale. Hutan jati itu ditanam pada jaman Belanda yang berfungsi untuk menahan banjir di sekitar wilayah kolonodale. Tindakan menanam jati ini diikuti oleh masyarakat Desa Korololama, yang berjarak sekitar lima kilometer dari Kolonodale. Pada tahun 2001 terjadi banjir besar di Desa Korololama setinggi satu meter akibat penebangan hutan jati. Keputusan untuk mengijinkan penebangan pohon jati tersebut menunjukan pihak DPRD tidak belajar dari peristiwa tersebut. Hutan jati tersebut berada di tepi jalan sebelah kiri menuju ke Kolonodale sementara di sebelah kanan jalan adalah jurang kecil dekat pantai. Secara geografis, Kolonodale berada di tepi pantai dengan luas dataran satu kilometer, dikelilingi perbukitan sehingga membutuhkan pemikiran tentang tata ruang yang rumit.

Bupati Morowali yang dekat dengan Tomy Winata punya alasan strategis mengapa Kolonodale menjadi ibukota Kabupaten Morowali dan mengapa Bungku kemudian dimekarkan menjadi kabupaten baru. Alasan Andi Muhamad yang terkenal dengan jam kantornya yang aneh (karena berkantor pada malam hari dan berhak memerintahkan Bupati Morowali yang dekat dengan Tomy Winata punya alasan strategis mengapa Kolonodale menjadi ibukota Kabupaten Morowali dan mengapa Bungku kemudian dimekarkan menjadi kabupaten baru. Alasan Andi Muhamad yang terkenal dengan jam kantornya yang aneh (karena berkantor pada malam hari dan berhak memerintahkan

1.1. Kelompok Artha Graha: Sebagai Kabupaten baru, Morowali, tentu membutuhkan investor yang bisa mengolah

potensi di daerah tersebut. Begitu menurut Bupati Morowali, Andi Muhamad. Menurutnya pihak Pemerintah Kabupaten baru ini hanya akan bekerjasama dengan perusahaan yang mempunyai modal antara Rp 500 milyar - Rp 1 trilyun terutama di bidang tambang (Tabloid MAL , 1 Maret 2003). Sampai saat ini ada sebuah konsorsium beranggotakan sekitar 25 perusahaan yang bersedia bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Morowali. Konsorsium itu dipimpin oleh Tomy Winata. Pengusaha muda asal Jakarta itu melalui kelompok Artha Grahanya hendak menanamkan modal yang sangat besar di bidang kehutanan, perikanan (rencananya akan didirikan pabrik pengalengan ikan dengan kapasitas produksi 16 ton ikan per bulan), perkebunan (karet dan kelapa sawit), pertambangan, sumber daya listrik, perdagangan dan industri serta air bersih termasuk di bidang jasa seperti perbankan, properti, bandara perintis, pariwisata, dan perhotelan. Tomy Winata sendiri mengakui niatnya menginvestasikan sebagian modalnya di kawasan Indonesia Timur, selain Sulawesi Tenggara dan Morowali juga bisnis penangkapan ikan di Tual, Maluku Tenggara.

Sehingga bisa dibayangkan bahwa pembangunan di daerah Morowali akan dikuasai oleh usaha Tomy Winata. Kemungkinan besar ini juga didukung oleh pertemanan antara Tomy Winata dan Andi Mohamad sejak Tomy Winata masih berumur 18 tahun, seperti yang disampaikan oleh salah seorang pejabat Pemda Kabupaten Morowali. Apalagi diisukan bahwa pemilihan Andi Muhamad sebagai Bupati pertama Morowali didukung sepenuhnya oleh Tomy Winata. Perkenalan Tomy Winata dengan alam Morowali dimulai sejak Andi Muhamad menjabat sebagai bupati. Menurut Tomy Winata, niatnya menanamkan modal di wilayah Timur Indonesia baru dimulainya setelah menemukan figur bupati yang memiliki komitmet tinggi untuk membangun Kawasan Timur Indonesia (Radar Sulteng, 3 Maret 2003).

Dalam menindaklanjuti niatnya untuk menanam modal di wilayah Morowali pada tanggal

21 Maret 2003 Tomy Winata telah menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) dengan Bupati Morowali, Andi Muhamad di ibukota Kabupaten Morowali, Kolonodale. Penandatanganan MoU tersebut disaksikan langsung oleh para pejabat Pemerintah Kabupaten Morowali, termasuk ketua DPRD Morowali Zainal Abidin Ishak, sementara Tomy Winata didampingi sekitar 17 orang pengusaha dari Jakarta. Penandatanganan MoU tersebut merupakan bentuk kerjasama pembangunan antara Pemerintah Kabupaten Morowali dengan 21 Maret 2003 Tomy Winata telah menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) dengan Bupati Morowali, Andi Muhamad di ibukota Kabupaten Morowali, Kolonodale. Penandatanganan MoU tersebut disaksikan langsung oleh para pejabat Pemerintah Kabupaten Morowali, termasuk ketua DPRD Morowali Zainal Abidin Ishak, sementara Tomy Winata didampingi sekitar 17 orang pengusaha dari Jakarta. Penandatanganan MoU tersebut merupakan bentuk kerjasama pembangunan antara Pemerintah Kabupaten Morowali dengan

Investasi terbesar Tomy Winata di Morowali ada di bidang tambang marmer dengan luas lokasi eksploitasi sebesar 150 hektar. Direncanakan hasil produksi marmer akan diekspor ke beberapa negara (Gatra, 22 Maret 2003). Menurut Sutrisno Sembiring, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Morowali di masa depan akan dibangun pabrik pengolahan marmer di Kolonodale karena telah ditemukan sembilan jenis marmer dari 12 jenis yang ada di Kabupaten Moworali meskipun bukan yang terbaik di Indonesia. Dengan melihat lokasi potensi marmer yang terletak hampir di sepanjang Kecamatan Mori Atas, Lembo dan Petasia di Kabupaten Morowali, serta besarnya modal yang ditanamkan Tomy Winata untuk tambang marmer maka bukan tidak mungkin eksploitasi marmer besar akan terjadi di kabupaten yang baru terbentuk itu.

Di satu fihak dalam banyak pengalaman pengolahan marmer sebelumnya, lokasi pengolahan memerlukan pembebasan lahan apalagi bila berada dalam lokasi perumahan atau perkebunan penduduk. Karena itu apabila eksploitasi marmer besar akan terjadi di wilayah Morowali, maka pembebasan lahan perkebunan atau lokasi pemukiman penduduk tentu akan terjadi. Sebagai kabupaten yang baru akan memulai pembangunannya, perencanaan tentang tata ruang di wilayah yang kaya sumber daya alam ini tentulah merupakan prioritas utama. Dan kedekatan antara Tomy Winata dengan Andi Muhamad, tentu menjadi masalah penting dalam mempertimbangkan kelancaran bisnis Tomy Winata, termasuk dukungan pengusaha tersebut terhadap jabatan Andi Muhamad sebagai Bupati Morowali dan kebijakannya.

Hampir di sepanjang daerah Kabupaten Morowali yang berbukit-bukit ditemukan lokasi marmer. Mulai dari Kecamatan Mori Atas, Kecamatan Lembo, hingga ke Kecamatan Petasia dan Bungku Tengah dan dikerjakan oleh 15 perusahaan yang berbeda, meskipun sekarang sebagian besar tidak aktif lagi. Dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani, lokasi pengolahan marmer Tomy Winata adalah di Desa Bunta dan Koromatantu. Akan tetapi, tentang lokasi marmer yang akan diolah ini ada dalam beberapa versi lokasi

a. Koromatantu dan Bunta

Marmer di daerah Koromatantu seluas 15 ha dan 35 hektar pada awalnya dikelola PTTopaz Utama Koral dengan SIPD sejak 29 Desember 1997 sampai 29 Desember 2007. PT Topaz Utama Koral adalah perusahaan marmer milik dua orang pengusaha asal Palu, Robert Kasenda dan Umar Awad. Untuk mengembangkan usaha marmer ini keduanya menanamkan saham sejumlah Rp 5 milyar. Sampai tahun 2003, daerah di Koromatantu ini masih dalam tahap eksplorasi (Dinas Pertambangan dan Energi, 2003). Saat usaha mereka mulai terancam bangkrut, Tomy Winata yang diajak ikut bergabung menyatakan bersedia (Gatra, 22 Maret 2003: 27)

Di daerah Bunta, perusahaan yang mengolah marmer adalah PT Monte Marmolindo. Perusahaan ini mempunyai SIPD (Surat Ijin Penambangan Daerah) sejak tanggal 29 Desember 1997 sampai 29 Desember 2007. PT Monte Marmolindo mengolah marmer seluas 50 hektar di daerah Bunta yang terletak di tepi sungai La, sungai terpanjang di Sulawesi Tengah. Belum jelas bagaimana hubungan kerjasama PT. Monte Marmolindo dengan Tomy Winata. Jarak antara lokasi yang direncanakan untuk mengolah marmer hanya sekitar seratus meter dari dusun sagu milik masyarakat. Pada awalnya penduduk Desa Bunta tidak berdiam di sini tapi di Desa Bunta Lama. Mereka dipindahkan ke lokasi yang berawa (sekarang ditempati), oleh Belanda, dengan harapan para penduduk tersebut akan meninggal secara perlahan. Sekarang, daerah berawa tersebut menjadi tempat yang subur untuk menanam pohon sagu, makanan khas daerah Mori.

Lokasi bukit marmer di Bunta adalah sambungan bukit marmer dari Desa Korowalelo dan Desa Tinompo. Sementara lokasi bukit marmer di Desa Koromatantu, bersambungan dengan bukit marmer di Desa Korololama. Kedua bukit marmer di desa ini berada di antara jajaran hutan sepanjang Kecamatan Petasia, Kabupaten Morowali.

b. Korowalelo dan Korololama

Sejak tahun 1997, marmer yang ada di Desa Korowalelo dikelola oleh empat perusahaan yang berbeda, yakni PT Istana Marmerinto Perdana, PT Allindo Cemerlang, PT Sinar Permai, dan PT Wahana Bhakti Sinar Persada. Dari data terakhir Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Morowali pengelola marmer yang terbesar di Korowalelo adalah PT Istana Marmerinto Perdana. Seorang mantan pekerja PT Istana Marmerinto Perdana mengatakan bahwa marmer di desa ini izin pendirian pabriknya diurus langsung oleh Kol. Soegiyono, Bupati Poso dari tahun 1984 s/d tahun 1988. Proses pemberian izin usaha ini mengalami kendala ketika salah seorang warga menolak membebaskan lahannya. Penolakan ini disebabkan karena lahan tersebut adalah warisan leluhur yang turun-temurun. Penolakan ini menyebabkan pihak perusahaan menggunakan jalur pengadilan dan memenangkan pengadilan tersebut.

Marmer di Desa Korowalelo berbeda dengan marmer lain di wilayah Kabupaten Morowali. Di Desa Korowalelo marmernya berwarna merah muda dan tersebar dihampir seluruh dataran desa, termasuk kebun-kebun di belakang rumah penduduk. Seluruh Desa Korowalelo dikelilingi oleh bukit marmer, sebelah utara Desa Korowalelo adalah bukit marmer yang langsung menghubungkan dengan pegunungan yang menuju bukit marmer Desa Korololama. Menurut salah seorang mantan pekerja marmer di Korowalelo, PT Istana Marmerinto Perdana berhenti berproduksi sejak tahun 1998 karena krisis ekonomi. Selama berproduksi, PT Istana Marmerinto Perdana masih menggunakan mesin sederhana dan belum modern dengan 50 orang tenaga kerja yang sebagian besar tenaga ahli berasal dari Tulungagung. Belum diketahui kapan rencana perusahaan ini melanjutkan produksi marmernya termasuk apakah perusahaan lama akan menyerahkan produksi marmer ke perusahaan baru yang punya modal besar seperti Tomy Winata. Info terakhir, saat ini pihak PT Istana Marmerinto Perdana telah menjual kepemilikannya ke pengusaha dari Jakarta.

Desa Korololama adalah salah satu daerah yang dikunjungi langsung oleh Tomy Winata untuk melihat potensi marmernya, seperti disampaikan oleh Sutrisno Sembiring. Sejak tahun 1997, pengolahan marmer di Desa Korololama sudah dikerjakan oleh PT Sinar Permai seluas

50 hektar, akan tetapi sekarang dalam status tidak aktif. Satu masalah yang harus dihadapi oleh perusahaan apapun yang akan mengolah marmer di Korololama apalagi dalam jumlah 50 hektar, akan tetapi sekarang dalam status tidak aktif. Satu masalah yang harus dihadapi oleh perusahaan apapun yang akan mengolah marmer di Korololama apalagi dalam jumlah

Dengan adanya pengolahan marmer di daerah Bunta, Koromatantu dan kemungkinan di Desa Korololama serta Korowalelo maka kemungkinan besar tata ruang di wilayah Morowali akan mengalami perubahan yang drastis. Apalagi semua marmer terletak di bukit yang berada di hutan masyarakat, selain itu beberapa lokasi marmer bahkan berada di dekat lokasi tanaman masyarakat. Bukit marmer di Bunta, misalnya, hanya berjarak sekitar seratus meter dari lokasi tanaman sagu milik masyarakat. Bila bukit marmer tersebut ditambang maka dampak terbesar yang dialami oleh masyarakat adalah menurunnya bahan pangan (sagu) mereka. Dampak lain bila penambangan bukit-bukit marmer di Koromatantu, Korowalelo dan Korololama dilakukan maka akan mengganggu sumber air masyarakat karena bukit tersebut sekaligus berfungsi sebagai penahan air hujan, dan sumber air.

Hancurnya sumber sagu itu sekaligus menghancurkan sumber pangan masyarakat karena hancurnya dusun sagu tidak hanya akan dirasakan oleh warga masyarakat pemilik lahan tapi juga konsumen sagu di kota. Di daerah Morowali, selain nasi, sagu adalah makanan pokok yang khas. Perubahan lingkungan juga berkaitan dengan mata pencaharian penduduk yang sebagian besar petani ladang yang bertani coklat dan palawija. Dampak lain adalah mengenai sumber air. Selain sebagai sumber air, bukit marmer juga berfungsi sebagai penahan air hujan serta penampung rembesan sungai La’a yang berasal dari Desa Saemba / Tawaeli. Selama ini masyarakat desa di sepanjang Kabupaten Morowali mendapatkan sumber airnya dari bukit- bukit marmer. Karena itu pengolahan dalam skala besar tanpa mempertimbangkan peranan bukit marmer tersebut dapat menjadi ancaman baru bagi masyarakat.

1.2. Resistensi Rakyat : Kasus PT Tamaco Graha Krida

Sejarah perlawanan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang memihak investor di Kabupaten Morowali terjadi di beberapa tempat. Di daerah Kecamatan Bumi Raya, Wita Ponda, dan Bungku Barat, PT Tamaco Graha Krida mengolah kebun kelapa sawit seluas 13.230 hektar. Keleluasaan perusahaan mengolah lahan seluas itu berawal dari instruksi pemerintah mengenai integrasi perkebunan swasta skala besar dan proyek PIR-Trans. Kebijakan tersebut menyebabkan 1743 petani kehilangan lahan. Hanya sekitar 1.734 kepala keluarga petani lokal di 14 desa di Bungku yang mendapat tanah dua hektar sebagai petani plasma. Padahal mereka sudah menyerahkan lahan seluas 4.266 hektar kebun produktif untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Janji perusahaan untuk menyerap tenaga lokal, diingkari. Perusahaan lebih banyak menempatkan tenaga kerja luar daerah daripada menggunakan tenaga kerja lokal. Dalam pembagian lahan, perusahaan berlaku tidak adil dengan mengutamakan petani plasma tranmigrasi yang berasal dari Flores dan Nusa Tenggara Barat.

Kerugian ini menyebabkan mobilisasi kekuatan petani. Mereka membentuk Forum Petani Plasma Kelapa Sawit. Pada tahun 1999, sebanyak 5000 or-ang Forum Petani Plasma Kelapa

Sawit mendatangi kantor pusat PT Tamaco Graha Krida. Mereka memprotes kebijakan perusahaan dalam pembagian lokasi plasma, memprotes luas Lahan Inti Plasma yang melebihi 40 % dari luar plasma, juga memprotes penduduk transmigrasi yang menjadi prioritas utama perusahaan. Aksi Forum Petani Plasma Kelapa Sawit ini dibalas dengan aksi tandingan para petani transmigrasi peserta plasma yang berasal dari Flores, Nusa Tenggara Barat, dan Jawa. Aksi tandingan ini diorganisir oleh PTTamaco Graha Krida dan Pemerintah lokal. Aksi massa oleh Forum Petani Plasma Kelapa Sawit ini kemudian dilanjutkan dengan aksi massa besar di Poso, ibukota kabupaten. Akibat demo tersebut, ketua Forum, Guntur Lemangga diteror melalui telepon orang tak dikenal. Teror ini kemudian diadukan Guntur kepada Direktorat Jenderal Perkebunan (waktu itu masih Hasan Basri Durin), dan di Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Sementara itu di ibukota Kabupaten Morowali, Kolonodale, forum-forum rakyat atau organisasi non-pemerintah (ornop) yang mengecam kebijakan

pemerintah yang tidak berkiblat pada kepentingan rakyat kecil, tidak begitu menonjol. Hanya ada Sahabat Morowali, yang baru berdiri tahun 1996 dan secara khusus memperhatikan kehidupan nelayan di pantai. Bahkan menurut salah seorang aktivis Sahabat Morowali, kadang - kadang kebijakan Pemerintah Kabupaten Morowali tentang lingkungan misalnya soal penebangan hutan, mempertimbangkan keberadaan ornop ini. Kegiatan politik terorganisir yang terbesar baru muncul ketika ada perdebatan tentang ibukota kabupaten melalui Forum Peduli Masyarakat Morowali yang terbentuk sejak kabupaten ini berdiri. Peristiwa kerusuhan di daerah Peleru, Mayumba sampai ke Beteleme sempat juga menjadikan daerah yang dahulu tenang menjadi terusik.

1.3. Pengamananan Investasi?

Niat Tomy Winata itu tidak diimbangi dengan pengamanan wilayah sebagaimana layaknya pertimbangan investor, sehubungan dengan kasus kerusuhan Poso yang kemudian melebar di daerah Morowali. Karena itu menurut Sutrisno Sembiring, dalam wawancaranya dengan penulis, Tomy Winata mementingkan jaminan keamanan bagi bisnisnya terutama di sepanjang jalan yang dilalui untuk pengiriman hasil produksi. Rencana pembangunan jalan Morowali - Kendari ini tentu berkaitan dengan rencana investasi Tomy Winata di Kabupaten Morowali dan di Sulawesi Tenggara. Investasi Tomy Winata di Sulawesi Tenggara adalah sejumlah Rp 1 trilyun. Meskipun Tomy Winata membantah isu menyingkirkan pengusaha- pengusaha lokal atau melakukan monopoli usaha, tetapi membayangkan besarnya investasi, beragamnya jenis pembangunan dengan luasnya lokasi yang meliputi daerah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara tentu saja Tomy Winata membutuhkan pengamanan wilayah yang besar (Radar Sulteng, 3 Maret 2003).

Untuk jaminan pengamanan wilayah, direncanakan atau tidak, hampir di saat bersamaan TNI/AD memastikan berdirinya Batalyon 714/ Sintuwu Maroso dengan wilayah operasi Luwuk, Morowali dan Poso. Batalyon ini berpusat di desa Ranononcu di atas tanah seluas 2,5 hektar. Dari laporan Data Consult diindikasikan bahwa ekspansi bisnis Grup Artha Graha memperoleh dukungan dana dari yayasan - yayasan milik tentara, khususnya Yayasan Kartika Eka Paksi. Maklumlah, Tomy Winata dipercayai untuk memutar uang Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI Angkatan Darat. Terlihat juga pada awal kariernya di tahun 1972 Tomy Winata yang saat itu masih berusia 15 tahun membantu membangun markas Komando Rayon Militer (KORAMIL) di Singkawang, Kalimantan Barat, dan tahun 1975 Tomy Winata Untuk jaminan pengamanan wilayah, direncanakan atau tidak, hampir di saat bersamaan TNI/AD memastikan berdirinya Batalyon 714/ Sintuwu Maroso dengan wilayah operasi Luwuk, Morowali dan Poso. Batalyon ini berpusat di desa Ranononcu di atas tanah seluas 2,5 hektar. Dari laporan Data Consult diindikasikan bahwa ekspansi bisnis Grup Artha Graha memperoleh dukungan dana dari yayasan - yayasan milik tentara, khususnya Yayasan Kartika Eka Paksi. Maklumlah, Tomy Winata dipercayai untuk memutar uang Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI Angkatan Darat. Terlihat juga pada awal kariernya di tahun 1972 Tomy Winata yang saat itu masih berusia 15 tahun membantu membangun markas Komando Rayon Militer (KORAMIL) di Singkawang, Kalimantan Barat, dan tahun 1975 Tomy Winata

barak - barak asrama Kodam di Irian Jaya (Tempo, 6 Juni 1999: 29). Kajian ICW tentang kegiatan bisnis TNI menyebutkan tiga kategori bisnis TNI; pertama,

bisnis formal melalui yayasan dan koperasi yang didirikan oleh TNI sebagai institusi; kedua, bisnis informal, melalui penempatan personel TNI, baik yang sudah pensiun maupun yang masih aktif dalam perusahaan swasta dan BUMN; ketiga, criminal economy, bentuknya antara lain keterlibatan anggota TNI dalam berbagai aktivitas kriminal seperti beking perjudian, penyelundupan, perdagangan senjata dan sebagainya (Fajar, 20 Maret 2003). Pola kongsi Tomy Winata dengan militer, tampaknya mencakup ketiga kategori tersebut. Harian Fajar, edisi tersebut menjulukinya dengan istilah triumvirat: pengusaha - tentara -preman.

Sementara itu, gangguan keamanan ikut menyuburkan bisnis militer, dan tidak jarang gangguan keamanan itu dipicu dan dipacu oleh militer sendiri, untuk mengfasilitasi ekspansi modal besar. Seperti kata mantan koordinator KONTRAS, Munir SH, di mana konflik vertikal (rakyat menentang negara) semakin kuat, di situ konflik-konflik horisontal sengaja dipicu untuk memecah kekuatan rakyat menentang kekuatan Negara, yang seringkali berdiri di fihak modal besar. Hal - hal yang memungkinkan perlawanan secara tidak langsung akan dilawan dengan tindakan represif dari aparat yang sudah ditempatkan untuk alasan keamanan.

“This violence is to deflect attention and the resistance of the public from the demands for reform. The involvement of the apparatus is identical to the acts of provocateurs and/or civilians, who are supported by the apparatus in initiating the violence.”

[Kekerasan semacam ini dicetuskan untuk mengalihkan perhatian dan menumpulkan perlawanan publik dari tuntutan- tuntutan ke arah reformasi. Keterlibatan aparat keamanan di sini sama fungsinya seperti tindakan para provokator dan/atau orang-orang sipil yang didukung oleh aparat keamanan dalam memicu kekerasan demikian].

Tomy Winata memang tidak mengatakan keterlibatannya dalam membangun barak dan markas Batalyon 714/Sintuwu Maroso. Tetapi mengingat besarnya anggaran untuk membangun markas batalyon termasuk asramanya, serta pentingnya keamanan bagi bisnis

Tomy Winata, bukan tidak mungkin kerusuhan Poso akan ikut ‚dinikmati‛ oleh Tomy Winata dengan penempatan pasukan dalam skala besar yang tidak saja menjaga keamanan daerah dari orang - orang yang dianggap sebagai perusuh tapi juga untuk menjaga investasi para pebisnis. Selain markas Brimob yang sedang dibangun Desa Korowou, sekitar 20 km sebelah selatan Kolonodale, di daerah Morowali juga sedang dibangun Markas Kompi B Batalyon 714/Sintuwu Maroso di Desa Molino, sekitar 17 km dari Desa Bunta, atau sekitar 20 km dari Desa Korowou. Desa Korowou sendiri punya bukit marmer yang sudah dikelola sejak tahun 1997 oleh PT Sinar Permai. Selain Tomy Winata, perusahaan lain yang juga akan mendapat untung dari penempatan pasukan ini adalah PT Inco yang berniat memperlebar wilayah tambang nikelnya dari Sulawesi Selatan ke Sulawesi Tenggara.

Apabila pemekaran Batalyon ini adalah langkah malu-malu TNI untuk melakukan pemekaran KODAM di wilayah Sulawesi Tengah (mengingat potensi resistensi masyarakat, lihat Bagian tentang Banggai dalam tulisan ini), maka dapat dipastikan bisnis yang dijalankan Tomy Winata di sepanjang Kabupaten Morowali hingga ke Sulawesi Tenggara bisa berjalan dengan lancar. Demikian juga bisnis pengeboran minyak kelompok Medco di Pulau Tiaka yang

1.4. Penimbunan Terumbu Karang Tiaka di Teluk Tolo

Kepentingan besar menjaga keamanan wilayah juga diarahkan di wilayah pengeboran minyak di pulau buatan Tiaka, yang terletak 12 mil dari desa nelayan Kolo Bawah dan di sepanjang pesisir pantai Sulawesi Tengah bagian Timur, tempat ditemukannya cadangan gas. Daerah ini diperkirakan akan menghasilkan persediaan minyak dan gas untuk Indonesia untuk 15 tahun ke depan.

Lapangan minyak Tiaka ditemukan pertama kali pada tahun 1984 oleh perusahaan minyak Union Texas Petrolium Holding Inc., dan eksplorasi dilakukan pada tahun yang sama dengan mengebor empat sumur yaitu Tiaka-1, Tiaka-2, Tiaka -3 dan Tiaka 4. Dari hasil eksplorasi tersebut pada sumur minyak Tiaka-1, Tiaka-2 dan Tiaka-4 ditemukan minyak bumi, sedangkan pada Tiaka-3 terdapat adanya batas air dan minyak bumi. Hasil evaluasi dan perhitungan dari keempat sumur eksplorasi tersebut menunjukkan bahwa cadangan minyak di lapangan Tiaka sebesar 106,56 MMBO (million bar-rels of oil/ juta barrel minyak) dengan recoverable reserve sebesar 10,7 MMBO (10% recovery factor) (JOB PETS:2003a).

Sejak tahun 1998, saham Union Texas dijual ke Atlantic Richfield Co (Arco). Kemudian pada tahun 1997, PT Medco Energi International Tbk melalui anak perusahaannya PT Exspan Tomori Sulawesi memperoleh saham dari PT Arco. Berdasarkan besarnya potensi sumber minyak yang tersedia tersebut rencana pengembangan lapangan minyak Tiaka, oleh JOB Pertamina-PT Exspan Tomori Sulawesi direncanakan memerlukan masa operasi hanya sekitar sembilan tahun dengan total kapasitas produksi maksimum per hari sekitar 6500 barrel (BOPD = barrels of oil per day) yang diperoleh dari enam sumur. Dengan demikian rata-rata setiap sumur menghasilkan kurang lebih 10 BOPD dan dalam proses produksi tersebut akan dihasilkan juga gas ikutan sebanyak 3,5 MMSCFD (millions of square feet per day ) dan air terproduksi kurang lebih 3000 BOPD. Akan tetapi gas ikutan ini karena jumlahnya relatif kecil maka tidak akan diproses lebih lanjut melainkan langsung dibuang dan dialirkan serta dibakar ke udara, atau dalam bahasa teknis, gasnya diflare (JOB PETS 2003b).

Menurut Bupati Banggai, Kolonel Inf. Sudarto, SH, produksi minyak lepas pantai Tiaka diperkirakan antara 16,5 sampai 23 juta barrel. Potensi ini memberikan harapan pada masyarakat kabupaten Banggai untuk percepatan pembangunan karena hasil pengelolaan minyak dan gas tersebut akan memberikan nilai tambah ekonomi yang besar bagi Kabupaten Banggai (lihat Sudarto 2003). Sebaliknya, menurut Sutrisno Sembiring, produksi minyak bumi ini akan diolah di Pulau Tiaka dan selanjutnya hasil produksi akan dibawa ke Cilacap.

Saat ini di tengah-tengah terumbu karang Tiaka telah dibangun sebuah pulau buatan yang dinamakan Tiaka dengan luas empat hektar. Desa terdekat dengan Pulau Tiaka adalah Kolo Bawah, yakni sejauh delapan mil. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah disebutkan bahwa Otonomi Daerah merupakan pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan secara lebih leluasa untuk mengelola potensi daerah yang disertai dengan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih adil, rasional dan proposional. Disebutkan pula bahwa setiap hasil pengolahan sumber daya alam di daerah yang jaraknya sebelas mil lebih berada di bawah pengaturan propinsi. Jarak antara Pulau Tiaka dan Desa Kolo Bawah hanya delapan Saat ini di tengah-tengah terumbu karang Tiaka telah dibangun sebuah pulau buatan yang dinamakan Tiaka dengan luas empat hektar. Desa terdekat dengan Pulau Tiaka adalah Kolo Bawah, yakni sejauh delapan mil. Dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah disebutkan bahwa Otonomi Daerah merupakan pemberdayaan daerah dalam pengambilan keputusan secara lebih leluasa untuk mengelola potensi daerah yang disertai dengan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang lebih adil, rasional dan proposional. Disebutkan pula bahwa setiap hasil pengolahan sumber daya alam di daerah yang jaraknya sebelas mil lebih berada di bawah pengaturan propinsi. Jarak antara Pulau Tiaka dan Desa Kolo Bawah hanya delapan

Kabupaten Morowali (Desa Kolo Bawah masuk dalam Kecamatan Mamosalato). Tapi dalam perkembangan selanjutnya, ada perbedaan pendapat tentang kabupaten mana yang berhak

mengolah pendapatan daerah ini, begitu menurut seorang aktivis ornop di Luwuk. Termasuk perbedaan tentang kabupaten mana yang berhak memberikan izin lokasi pengeboran minyak. Karena terletak di Desa Kolo Bawah yang secara adminis-tratif adalah bagian dari Kabupaten Morowali, maka pendapatan daerah dan perizinan dimasukkan dalam APBD Kabupaten Morowali. Hal ini didukung dengan kenyataan tentang lokasi Pulau Tiaka yang berada di garis 1 derajat 4 menit LS dan 12 derajat 59 menit BT menunjukkan bahwa Pulau Tiaka berada di wilayah Kabupaten Morowali. Tetapi Kepala Badan Pertanahan Negara Sulawesi Tengah, Ir. Sortaman Sinaga, membatalkan surat Nomor 460 - 130 tanggal 28 Februari 2002 tentang pelaksanaan pemberian izin lokasi pengeboran minyak PT Pertamina kepada Kabupaten Morowali.

Pembatalan tersebut dengan tiga pertimbangan. Pertama, ditemukan bahwa lokasi Gosong Tiaka dengan jarak kurang lebih 15 mil dari lepas pantai Desa Rata, Kecamatan Toili Barat Kabupaten Banggai. Kedua, pelaksanaan pengeboran minyak di lokasi Senoro I, II dan III di Kabupaten Banggai adalah satu paket dengan kegiatan pembangunan di Tiaka. Ketiga, mempertimbangkan efisiensi dan kedekatan jarak, maka pelaksanaan pemberian ijin lokasi pada PT Pertamina Unit Pemasaran Wilayah VII dapat dilaksanakan oleh Kantor BPN Kabupaten Banggai. Sementara para nelayan yang berada di Desa Kolo Bawah menyatakan dengan tegas bahwa wilayah Pulau Tiaka berada di wilayah Kabupaten Morowali, selain alasan administratif juga karena selama ini nelayan yang menguasai daerah Pulau Tiaka adalah nelayan Kolo Bawah dan bukan nelayan dari desa lain di Kabupaten Banggai. Apalagi desa-desa terdekat dengan Pulau Tiaka adalah desa -desa di Kabupaten Morowali.

Saat itu Gubernur Sulawesi Tengah (sekarang mantan), Prof. Aminuddin Ponulele sebelumnya mengatakan bahwa ia akan mengeluarkan izin kepada PT Exspan Tomori Sulawesi dan Pertamina untuk membuat pulau buatan berdasarkan rekomendasi Komisi AMDAL Provinsi. Pihak Komisi menyatakan bahwa wilayah tersebut hanya terdiri dari gosong dan pembangunan di tempat itu tidak akan mengancam kehidupan laut sekitarnya. Komisi itu juga menyatakan bahwa dalam survei yang mereka lakukan ditemukan bahwa karang-karang di sekitar wilayah pengeboran sebagian besar sudah mati. PT Exspan Tomori Sulawesi dan Pertamina

juga melaporkan bahwa lebih dari 80% karang di wilayah itu sudah rusak (www.Pertamina.com) Dalam proses penimbunan terumbu karang itu, JOB Pertamina-PT Exspan Tomori Sulawesi menggunakan

dua sub kontraktor, yaitu PT Adhi Karya yang berpusat di Jakarta dan dipercayakan untuk menimbun terumbu karang sehingga menjadi pulau buatan, dan PT Tanjung Seta yang berpusat di Makassar yang menyediakan material. Untuk menunjang rencana penimbunan pulau, di Desa Pandauke dibangun base camp pembuatan mate-rial dan pelabuhan dengan meminjam lahan pemerintah di desa itu. Material penimbunan diambil dari Sungai Andolia, Sungai Tanasumpu dan Sungai Tirongan, yang masing-masing berada di Desa Pandauke dan Desa Momo.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24