Profil Penderita Asma Dewasa Yang Dirawat Jalan Di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan 2013
KARYA TULIS ILMIAH
PROFIL PENDERITA ASMA DEWASA YANG DIRAWAT JALAN
DI BAGIAN PARU RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN 2013
Oleh :
SIVASAKTHI SELLVAM
110100402
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
(2)
PROFIL PENDERITA ASMA DEWASA YANG DIRAWAT JALAN
DI BAGIAN PARU RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN 2013
Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh :
SIVASAKTHI SELLVAM
110100402
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : PROFIL PENDERITA ASMA DEWASA YANG DIRAWAT
JALAN DI BAGIAN PARU RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN 2013
Nama : Sivasakthi Sellvam NIM : 110100402
Pembimbing Penguji I
(Dr. dr. Amira Permatasari Tarigan, M.Ked(Paru., Sp.P(K)) (Prof.Dr.dr. Rozaimah Zain-Hamid, M.S., Sp.FK,) NIP 19691107 199903 2 002 NIP.19530417 198003 2 001
Penguji II
(Prof. em. Dr. Yasmeini Yazir)
Medan, 10 Januari 2015 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP 1954 02 20 1918 11 1 001
(4)
ABSTRAK
Asma merupakan penyakit pernapasan kronik menyebabkan gangguan inflamasi saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya.Inflamasi kronik menyebabkan hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO, penderita asma dunia berjumlah kurang lebih 300 juta orang, Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992, asma merupakan penyebab mortalitas keempat di Indonesia (5,6%). Sedangkan, menurut hasil penelitian Riset Kesehatan Dasar , prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh profil tentang penderita asma yang datang berobat jalan di bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif, dengan pendekatan menggunakan Cross Sectional Study, dan teknik pengambilan sampel adalah dengan teknik total sampling. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 136 orang yang diambil dari rekam medis. Data yang telah diambil akan diolah dengan bantuan program Statisticale Products Social Science (SPSS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas penderita asma berjenis kelamin perempuan (73,5%). Penderita berada pada kelompok umur 51-60 tahun (33,1%), dengan debu sebagai faktor pencetus terbanyak (14%), dan mayoritas memiliki derajat asma terknotrol (75,7%). Hasil dari faal paru terbanyak yaitu dengan VEP1/KVP 60-80% (56,6%) dan mayoritas menggunakan AsKes (62,5%). Pengobatan terbanyak adalah Obat Retaphyl (23,25%).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan profil penderita asma yang dirawat jalan di bagian paru RSUP Haji Adam Malik Medan mayoritas berusia antara 51-60 tahun dengan kecenderungan penderita perempuan, dengan faktor pencetus berupa debu, tergolong dalam derajat asma terkontrol, dengan faal paru VEP1/KVP 60-80%, menggunakan AsKes, dan diberikan Obat Retaphyl.
(5)
ABSTRACT
Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways in which many cells and cellular elements play a role. The Chronic inflammation is associated with airway hiperresponsiveness that leads to recurrent episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing. According to the World Health Organization (WHO), there are approximately 300 million worldwide asthma patients. According to the 1992 Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), asthma is the fourth leading causes of mortality in Indonesia (5,6%). Whereas according to Riset Kesehatan Dasar’ results, the prevalence of asthma in Indonesia is approximately 4%. The purpose of this study is to obtain a profile of asthma outpatients from RSUP Haji Adam Malik’s Pulmonary Division.
This is a descriptive study with a Cross Sectional Approach in which the samples were chosen using the total sampling method. The data from the 136 samples were taken from the medical record. The data collected is then analyzed using the Statisticale Products Social Science (SPSS) program. The results from this study show that the majority of asthma patients are female (73,5%). The patients are within the 51-60 years old age group (33,1%), having dust as the majority inciting factor (14%), and the majority asthma control (75,7%). The majority of lung function is VEP1/KVP 60-80% (56,6%), and uses AsKes (62,5%). The majority of medication given is Retaphyl (23,25%).
We can conclude that from this study the profile of asthma outpatients from RSUP Haji Adam Malik’s Pulmonary Division are within 51-60 years old age group with female as the dominating gender, dust as the inciting factor, classified under control asthma, with VEP/KVP lung function 60-80%, uses AsKes, and are given short Retaphyl medication.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala rahmat-Nya penulis dapat menyusun Karya Tulis Ilmiah ini. Penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Penelitian yang akan dilakukan berjudul “Profil Penderita Asma Dewasa Yang Dirawat Jalan Di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan 2013”.
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis memperoleh bantuan moral dan material dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
a. Pimpinan fakultas dan civitas academica Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memungkinkan dan mempermudah penulis dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
b. Dr. dr. Amira Permatasari Tarigan, Sp.P(K) selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
c. Prof. Dr. dr. Rozaimah Zain-Hamid, M.S., Sp.FK, dr. Hafaz Zakky Abdillah, M.Ked(Ped)., Sp.A dan Prof. em. Dr. Yasmeini Yazir selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran sehingga Karya Tulis Ilmiah ini menjadi lebih baik.
d. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberi materi perkuliahan mengenai penelitian dan statistika kedokteran sehingga penulis memiliki pengetahuan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
e. Seluruh staf Instalasi Rekam Medis RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan izin pelaksanaan survei awal penelitian.
f. Orangtua yang telah memberi dukungan moral dan material selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
(7)
g. Teman penulis yang telah membantu penulis dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah.
Penulis menyadari Karya Tulis Ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan Karya Tulis Ilmiah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Medan, 10 Januari 2015 Penulis,
Sivasakthi Sellvam NIM. 110100402
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN ... i
ABSTRAK ... ii
ABSTRACT ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 4
1.3. Tujuan Penelitian ... 4
1.3.1. Tujuan Umum ... 4
1.3.2. Tujuan Khusus ... 4
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6
2.1. Asma ... 6
2.1.1. Definisi Asma ... 6
2.1.2. Epidemiologi ... 6
2.1.3. Etiologi ... 6
2.1.4. Klasifikasi ... 8
2.1.5. Faktor Risiko Asma ... 8
2.1.6. Manifestasi Klinis ... 10
2.1.7. Patofisiologi ... 11
2.1.8. Diagnosis ... 12
2.1.8.1. Anamnesis ... 12
2.1.8.2. Pemeriksaan Fisik ... 12
2.1.8.3. Faal Paru ... 13
2.1.9. Diagnosa Banding ... 14
2.1.10. Penatalaksanaan Asma ... 14
2.1.10.1. Obat Pengontrol Asma ... 17
2.1.10.2. Obat Pelega/Reliever Asma ... 21
2.1.10.3. Pengobatan Berdasarkan Derajat ... 23
2.1.10.4. Tahapan Penatalaksanaan Asma ... 25
2.1.11. Komplikasi ... 26
2.1.12. Pencegahan Asma ... 26
(9)
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI
OPERASIONAL ... 29
3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 29
BAB 4 METODE PENELITIAN ... 31
4.1. Jenis Penelitian ... 31
4.2. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian ... 31
4.2.1. Tempat Penelitian ... 31
4.2.2. Waktu Penelitian ... 31
4.3. Populasi dan Sampel ... 31
4.3.1. Populasi ... 31
4.3.2. Sampel ... 31
4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 32
4.5. Pengolahan dan Analisa Data ... 33
4.5. Ethical Clearance ... 33
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 34
5.2 Karakteristisk Responden ... 34
5.2.1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 35
5.2.2. Distribusi Responden Jenis Kelamin ... 35
5.2.3. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pencetus ... 35
5.2.4. Distribusi Responden Berdasarkan Derajat Asma ... 36
5.2.5. Distribusi Responden Berdasarkan Faal Paru ... 36
5.2.6. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Penatalaksanaan ... 37
5.2.7. Distribusi Responden Berdasarkan Metode Pembayaran ... 37
5.2.8. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Faal Paru VEP1/KVP ... 38
5.2.9. Distribusi Kelompok Usia dengan Faal Paru VEP1/KVP ... 38
5.2.10. Distribusi Faal Paru VEP1/KVP dengan Jenis Penatalaksanaan ... 38
5.3. Pembahasan ... 39
5.3.1 Jumlah Sampel Penelitian ... 39
BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN ... 43
6.1 Kesimpulan ... 43
6.2 Saran ... 44
(10)
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman 2.1 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran
Klinis ... 8
2.2 Faktor risiko Pada Asma ... 9
2.3 Dosis Glucokotikosteroid Inhalasi dan Perkiraan ... 18
2.4 Onset (mula kerja) dan Durasi (lama kerja) inhalasi agonis β2 ... 21
3.1 Variabel, Alat Ukur, Hasil Ukur, Dan Skala Ukur... 30
5.1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 35
5.2. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin ... 35
5.3. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pencetus ... 35
5.4. Distribusi Responden Berdasarkan Derajat Asma ... 36
5.5. Distribusi Responden Berdasarkan Faal Paru VEP1/KVP ... 36
5.6. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Penatalaksanaan ... 37
5.7. Distribusi Responden Berdasarkan Metode Pembayaran ... 37
5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Dengan Faal Paru ... 38
5.9. Distribusi Kelompok Usia Dengan Faal Paru VEP1/KVP ... 38
5.10. Distribusi Faal Paru VEP1/KVP Dengan Jenis Penatalaksanaan ... 38
(11)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.5 Penatalaksanaan berdasarkan derajat asma ... 25
3.1 Kerangka konsep penelitian profil penderita asma ... 29
4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 32
(12)
DAFTAR SINGKATAN
APE Arus Puncak Ekspirasi
AsKes Asuransi Kesehatan
BPPK Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan DepKes R.I. Departemen Kesehatan Republik Indonesia
DPI Dry Powder Inahler
ENHIS European Environment and Health Information System
GINA Global Initiative for Asthma
IDT Inhalasi Dosis Terukur
JamKesMas Jaminan Kesehatan Masyarakat
KVP Kapasitas Vital Paksa
PDPI Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
PNS Pegawai Negri Sipil
PPOK Penyakit Paru Obstruktif Kronik Riskesdas Riset Kesehatan Dasar
RSUP Rumah Sakit Umum Pusat
SKRT Survey Kesehatan Rumah Tangga
SPSS Statisticale Products Social Science VEP1 Volume Ekspirasi Paksa detik pertama
(13)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Lembar Penjelasan
Lampiran 3 Surat Izin Survei Awal Penelitian
Lampiran 4 Daftar Nama Surat Izin Survei Awal Penelitian Lampiran 5 Logbook Bimbingan Proposal Penelitian Lampiran 6 Surat Permohonan Izin Penelitian
Lampiran 7 Daftar Nama Surat Permohonan Izin Penelitian Lampiran 8 Surat Ethical Clearance
Lampiran 9 Surat Izin Penelitian Lampiran 10 Data Induk
Lampiran 11 SPSS
(14)
ABSTRAK
Asma merupakan penyakit pernapasan kronik menyebabkan gangguan inflamasi saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya.Inflamasi kronik menyebabkan hiperresponsivitas saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia WHO, penderita asma dunia berjumlah kurang lebih 300 juta orang, Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992, asma merupakan penyebab mortalitas keempat di Indonesia (5,6%). Sedangkan, menurut hasil penelitian Riset Kesehatan Dasar , prevalensi penderita asma di Indonesia adalah sekitar 4%.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh profil tentang penderita asma yang datang berobat jalan di bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif, dengan pendekatan menggunakan Cross Sectional Study, dan teknik pengambilan sampel adalah dengan teknik total sampling. Sampel yang digunakan adalah sebanyak 136 orang yang diambil dari rekam medis. Data yang telah diambil akan diolah dengan bantuan program Statisticale Products Social Science (SPSS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas penderita asma berjenis kelamin perempuan (73,5%). Penderita berada pada kelompok umur 51-60 tahun (33,1%), dengan debu sebagai faktor pencetus terbanyak (14%), dan mayoritas memiliki derajat asma terknotrol (75,7%). Hasil dari faal paru terbanyak yaitu dengan VEP1/KVP 60-80% (56,6%) dan mayoritas menggunakan AsKes (62,5%). Pengobatan terbanyak adalah Obat Retaphyl (23,25%).
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan profil penderita asma yang dirawat jalan di bagian paru RSUP Haji Adam Malik Medan mayoritas berusia antara 51-60 tahun dengan kecenderungan penderita perempuan, dengan faktor pencetus berupa debu, tergolong dalam derajat asma terkontrol, dengan faal paru VEP1/KVP 60-80%, menggunakan AsKes, dan diberikan Obat Retaphyl.
(15)
ABSTRACT
Asthma is a chronic inflammatory disorder of the airways in which many cells and cellular elements play a role. The Chronic inflammation is associated with airway hiperresponsiveness that leads to recurrent episodes of wheezing, breathlessness, chest tightness, and coughing. According to the World Health Organization (WHO), there are approximately 300 million worldwide asthma patients. According to the 1992 Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), asthma is the fourth leading causes of mortality in Indonesia (5,6%). Whereas according to Riset Kesehatan Dasar’ results, the prevalence of asthma in Indonesia is approximately 4%. The purpose of this study is to obtain a profile of asthma outpatients from RSUP Haji Adam Malik’s Pulmonary Division.
This is a descriptive study with a Cross Sectional Approach in which the samples were chosen using the total sampling method. The data from the 136 samples were taken from the medical record. The data collected is then analyzed using the Statisticale Products Social Science (SPSS) program. The results from this study show that the majority of asthma patients are female (73,5%). The patients are within the 51-60 years old age group (33,1%), having dust as the majority inciting factor (14%), and the majority asthma control (75,7%). The majority of lung function is VEP1/KVP 60-80% (56,6%), and uses AsKes (62,5%). The majority of medication given is Retaphyl (23,25%).
We can conclude that from this study the profile of asthma outpatients from RSUP Haji Adam Malik’s Pulmonary Division are within 51-60 years old age group with female as the dominating gender, dust as the inciting factor, classified under control asthma, with VEP/KVP lung function 60-80%, uses AsKes, and are given short Retaphyl medication.
(16)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan peradangan jalan napas yang kronis. Hal ini didefinisikan oleh riwayat gejala pernapasan seperti mengi, sesak napas, dada terasa sempit, batuk dan keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi dari waktu ke waktu dan dalam intensitasnya. Definisi ini dicapai melalui konsensus, berdasarkan pertimbangan karakteristik yang khas asma dan untuk membedakannya dari kondisi pernapasan lainnya (GINA, 2014).
Asma adalah salah satu penyakit kronis yang paling sering didunia. Diperkirakan bahwa sekitar 300 juta orang di dunia saat ini menderita asma. Penelitian terhadap penyebab asma, dan efektivitas strategi intervensi primer dan sekunder, merupakan prioritas utama dalam bidang penelitian asma. Asma umumnya dapat dijumpai pada anak-anak dan orang dewasa di seluruh dunia dalam beberapa dekade terakhir. Kenaikan dalam prevalensi asma telah dikaitkan dengan peningkatan sensitisasi atopik, dan disejajarkan dengan peningkatan serupa pada gangguan alergi lainnya seperti eksema dan rhinitis. Dengan proyeksi peningkatan proporsi dunia populasi di perkotaan dari 45% menjadi 59 % pada tahun 2025, ada kemungkinan terjadi peningkatan jumlah penderita asma di seluruh dunia selama dua dekade berikutnya (GINA, 2014).
Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 9,3% pada anak dan 8% pada dewasa. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Pusat Nasional untuk Statistik kesehatan National melaporkan pada tahun 2010 bahwa asma mengenai kira kira 18,7 juta orang dewasa dan 7 juta anak-anak. Sekitar 9 orang meninggal akibat asma setiap hari, serta angka kematian karena asma pada tahun 2009 adalah 3,388 ( CDC, 2012).
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT)
(17)
1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortalitas) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, di bandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000 (PDPI, 2008).
Penyakit asma memberi dampak yang luas terhadap aktivitas, produktivitas, dan berbagai kondisi sosial masyarakat khususnya di kalangan pasien asma, yang tentu saja akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan dan beban ekonomi masyarakat. Mereka akan mengalami kehilangan hari kerja, ketidakhadiran di sekolah, serta gangguan aktivitas sosial lainnya . Salah satu penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa pasien asma juga menyebabkan 12.9 juta kunjungan ke dokter dan perawatan rumah sakit untuk 200.000 pasien pertahun. Di kalangan pasien dewasa, jumlah pekerja yang tidak masuk kerja lebih dari 6 hari pertahun mencapai 19,2% (asma derajat sedang/berat), dan 4,4% (asma derajat ringan). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat juga melaporkan bahwa ada sekitar 2 juta pasien asma yang mengunjungi Unit Gawat Darurat (UGD), dan 500.000 dari padanya harus dirawat di rumah sakit setiap tahunnya (Sundaru 2012)
Hasil survei yang dilakukan oleh Asthma Insight and Reality in Asia Pacific (AIRAPI) di berbagai kota besar Asia pada tahun 2003, menunjukkan bahwa penatalaksanaan penyakit asma belum maksimal dan belum mencapai target yang diinginkan. Hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa dalam 4 minggu terakhir pengobatan, 51.4% pasien asma masih menunjukkan gejala asma di siang hari, 44.3% mengalami gangguan tidur/terbangun malam hari karena asma. Gangguan aktivitas dan mangkir sekolah di kalangan pasien asma mencapai 36%, dan kunjungan ke unit gawat darurat (UGD) atau perawatan di rumah sakit dijumpai pada 43,6%, dan 56,3% pasien masih memerlukan agonis β2 kerja singkat, paling tidak tiga kali dalam seminggu. Sementara itu, inhalasi kortikosteroid hanya digunakan oleh 13,6% pasien asma (Lai, 2003).
(18)
Penatalaksanaan asma yang benar memerlukan obat yang sesuai (appropriate treatment) dan tepat (adequate treatment). Penatalaksanaan asma adalah melakukan penanggulangan patogenesis dasar penyakit asma, yaitu proses inflamasi yang terjadi pada saluran pernapasan. Penatalaksanaan asma yang sesuai (appropriate teratment), dilakukan dengan memberikan inhalasi kombinasi anti inflamasi (controller) dan bronkodilator/pelega (reliever) jangka panjang, yang tetap diberikan pada saat stabil (tidak sedang dalam serangan). Pemberian terapi inhalasi kombinasi kedua obat ini harus disertai dengan penilaian objektif terhadap kemampuan aliran udara yang dapat melalui saluran pernapasan, yang secara sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan peak flow meter, sehingga dapat diketahui pencapaian kemajuan terapi. Pengukuran fungsi saluran pernapasan, dengan peak flow meter sebelum penggunaan obat, perlu dilakukan untuk mengetahui derajat keparahan penyakit asma yang sedang dialami seorang pasien asma. Terapi inhalasi kombinasi yang dianjurkan untuk penatalaksanaan asma saat ini adalah inhalasi kombinasi kortikosteroid dengan agonis β2 kerja lama (long acting β2 agonist/LABA) (GINA, 2011). Kombinasi kortikosteroid
dengan agonis β2 kerja lama ini menghasilkan kerja sinergisme yang membuat masing-masing reseptor kedua obat tersebut menjadi “siap” (“on and on phenomena”). Oleh karena itu, penggunaan inhalasi kombinasi kedua obat ini telah terbukti meningkatkan asma terkontrol dan sekaligus meningkatkan kualitas hidup pasien asma (Syaifuddin, 2007).
Pencapaian mempertahankan asma terkontrol merupakan tujuan utama dari penatalaksanaan asma, yaitu kondisi optimal yang memungkinkan pasien asma dapat melakukan aktivitas kehidupannya seperti orang sehat lainnya. Indikator asma terkontrol adalah tidak adanya gejala, tidak ada keterbatasan aktivitas, tidak ada gejala pada malam hari, tidak perlu obat pelega, fungsi paru normal dan tidak ada serangan asma sepanjang tahun (GINA, 2011). Penatalaksanaan yang efektif untuk mencapai asma terkontrol, tidak saja menyebabkan pasien asma kembali pada kehidupan normal dengan kualitas hidup yang baik, tetapi juga menguntungkan secara ekonomi, baik bagi keluarga, masyarakat luas, maupun negara (Sundaru, 2012).
(19)
Di samping itu, sebagai mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Kedokteraan kita wajib mempelajari penatalaksanaan penyakit asma yang tepat dan benar untuk mencapai target kurikulum pendidikan dokter (Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012), yang menetapkan target pembelajaran untuk penyakit asma pada kompetensi 4A. Hal ini berarti kelak setiap dokter umum harus mampu menatalaksana penyakit asma mulai dari kemampuan mendiagnosis sampai dengan pemberian terapi asma secara tuntas (SKDI, 2012).
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah melihat bagaimana profil penderita asma dewasa yang berobat jalan di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui profil pasien penyakit asma yang berobat jalan di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui profil asma berdasarkan umur penderita asma dewasa yang berobat jalan di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. Mengetahui profil asma berdasarkan jenis kelamin penderita asma dewasa yang berobat jalan di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.
3. Mengetahui profil asma berdasarkan faktor pencetus penderita asma dewasa yang berobat jalan di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.
4. Mengetahui penatalaksaan asma pada saat berobat jalan dan apakah sudah tepat pengobatan penderita asma dewasa yang berobat jalan di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.
5. Mengetahui penggunaan peak flow meter pada setiap kunjungan ke poli untuk evaluasi penderita asma dewasa yang berobat jalan di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.
(20)
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
1. Dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk mengembangkan ilmu kesehatan terutama mengenai penanganan penderita asma.
2. Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan tentang penyakit asma dan menentukan langkah-langkah yang perlu diambil dalam menangani penderita asma pada RSUP Haji Adam Malik Medan.
3. Sebagai bahan informasi tambahan guna meningkatkan tingkat pengobatan di RSUP Adam Malik.
(21)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Asma
2.1.1. Definisi Asma
Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk-batuk terutama malam hari atau dini hari/subuh. Gejala ini berhubungan dengan luasnya inflamasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat reversibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (GINA, 2011).
2.1.2. Epidemiologi Asma
Sampai saat ini, penyakit asma masih menujukkan prevalensi yang tinggi. Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Selain itu setiap 250 orang, ada satu orang meninggal karena asma setiap tahunnya.
Di Indonesia, diperkirakan jumlah pasien asma 2-5% dari penduduk Indonesia (Sundaru, 2012). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 mengajukan angka sebesar 7,6%. Pada hasil SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema dinyatakan sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia mencapai 13/1000 penduduk dibandingkan bronkhitis kronik 11/1000 penduduk dan obstruksi paru 2/1000 penduduk (PDPI,2008).
2.1.3. Etiologi
Sebenarnya telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para ahli di bidang asma untuk menerangkan sebab terjadinya asma, namun belum satupun teori atau
(22)
hipotesis yang dapat diterima atau disepakati semua ahli. Meskipun demikian ada beberapa hal yang dapat disebut sebagai penyebabnya antara lain kepekaan saluran napas yang berlebihan dan peranan faktor keturunan dan lingkungan.
Saluran napas penderita asma memiliki sifat yang khas yaitu, sangat peka terhadap berbagai rangsangan. Asap rokok, tekanan jiwa, alergen pada orang normal tidak menimbulkan asma, tetapi pada penderita asma rangsangan tadi dapat menimbulkan serangan.
Lebih kurang seperempat penderita asma, keluarga dekatnya juga menderita asma, meskipun kadang-kadang asmanya sudah tidak aktif lagi, dan seperempatnya lagi mempunyai penyakit alergi lain. Diantara keluarga penderita asma, dua pertiganya memperlihatkan tes alergi yang positif. Keterangan di atas menunjukkan adanya hubungan antara asma, alergi dan keturunan. Selain itu asma juga terjadi karena adanya rangsangan yang cukup kuat pada saluran napas yang telah peka tersebut. Rangsangan ini pada asma lebih populer disebut dengan nama faktor pencetus. Dan masih terdapat kemungkinan ada juga hal-hal lain yang belum diketahui (Sundaru, 2012).
(23)
2.1.4. Klasifikasi
Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan faal paru dapat ditentukan klasifikasi (derajat) asma. Lihat tabel 2.3.
Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal paru
I. Intermiten Bulanan APE 80%
* Gejala < 1 x/minggu * Tanpa gejala di
luar serangan * Serangan singkat
* ≤ 2 kali sebulan * VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
APE ≥ 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE < 20%
II.Persisten Ringan Mingguan APE > 80%
* Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/ hari * Serangan dapat mengganggu
aktivitis dan tidur
* > 2 kali sebulan * VEP1≥80% nilai prediksi
APE ≥ 80% nilai terbaik
* Variabiliti APE 20-30%
III. Persisten Sedang Harian APE 60 – 80%
* Gejala setiap hari
* Serangan mengganggu aktiviti dan tidur * Membutuhkan bronkodilator setiap hari
* > 1x / seminggu * VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai
terbaik
* Variabiliti APE > 30%
IV. Persisten Berat Kontinyu APE ≤ 60%
* Gejala terus menerus * Sering kambuh * Aktiviti fisik
terbatas
* Sering * VEP1≤ 60% nilai prediksi
APE ≤ 60% nilai terbaik
* Variabiliti APE > 30%
Sumber: PDPI, 2008.
2.1.5. Faktor Risiko Asma
Berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti/hiperesponsif bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
(24)
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma, untuk berkembang menjadi asma, yang menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan gejala asma yang menetap. Beberapa hal/kondisi yang termasuk dalam faktor lingkungan, yaitu: alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan, diet, status sosio ekonomi dan besarnya keluarga (PDPI, 2008). Tabel faktor risiko terjadinya asma, dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Faktor Risiko pada Asma. Faktor Pejamu
Predisposisi genetic Atopi
Hiperesponsif saluran pernapasan Jenis kelamin
Ras/Etnik
Faktor Lingkungan
Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma
Alergen dalam ruangan Mite domestic
Alergen binatang Alergen kecoa
Jamur (fungi mold, yeasts) Alergen di luar ruangan Tepung sari bunga
Jamur (fungi mold,yeasts) Bahan di lingkungan kerja Asap rokok
Polusi udara Infeksi pernafasan Infeksi parasit Status sosio ekonomi Besar keluarga Diet dan obat Obesitas
Faktor lingkungan
Mencetuskan eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap
Alergen di dalam dan diluar ruangan Polusi di dalam dan di luar ruangan Infeksi pernapasan
Aktivitas fisik (exercise) dan hiperventilasi Perubahan cuaca
(25)
Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan
Ekspresi emosi yang berlebihan Asap rokok
Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray) Sumber: PDPI, 2008.
2.1.6 Manifestasi Klinis
Asma dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari yang ringan sampai yang parah. Gejala-gejala asma mungkin berbeda pada setiap orang dan mungkin berbeda pada orang yang sama dari waktu ke waktu. Gejala asma biasanya episodik, gejala dapat datang dan pergi, dan tidak harus ada terus menerus. Gejala klasik asma ada tiga yaitu mengi, batuk, dan sensasi napas tak normal atau dispnea. Gejala-gejala asma yang terjadi adalah variasi dari tiga gejala besar di atas.
Tanda dan gejala serius asma antara lain (a) tanda sesak napas dimana penderita sulit untuk berbicara dalam kalimat yang penuh, sulit berjalan, dada terasa sesak, dan mudah letih, (b) bernapas dengan berusaha, bahu naik dengan bernapas, leher dan tulang rusuk bergerak ke dalam dengan bernapas, cepat, pernapasan tidak nyaman,batuk, siang dan/ malam hari, mengi, (c) pikiran berubah-ubah, penderita sulit berpikir dengan jelas, bingung, kehilangan kewaspadaan, (d) oksigen yang rendah, yang membuat bibir abu-abu atau biru, jari telunjuk biru atau abu-abu, (e) nilai PEF (Arus puncak respirasi) rendah, PEF <60% terbaik personal, (f) obat-obatan “tidak bekerja” PEF gagal naik setelah menggunakan obat yang bekerja untuk melegakan pernapasan, dan gejala berlanjut. Asma dapat terjadi pada sembarang golongan usia; sekitar setengah dari kasus terjadi pada anak-anak, dan sepertiga lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Hampir 17% dari semua rakyat Amerika mengalami asma dalam suatu kurun waktu tertentu dalam kehidupan mereka. Meskipun asma dapat berakibat fatal, lebih sering lagi, asma sangat mengganggu, mempengaruhi kehadiran di sekolah, pilihan pekerjaan, aktivitas fisik, dan banyak aspek kehidupan lainnya (Smeltzer, 2011).
(26)
2.1.7. Patofisiologi
Menurut Smeltzer (2011) asma adalah obstruksi jalan napas difus reversibel. Obstuksi disebabakan oleh salah satu atau lebih dari yang berikut ini: (1) kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronki, yang menyempitkan jalan napas; (2) pembengkakan membran yang melapisi bronki; dan (3) pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronkial dan kelenjar mukosa membesar; sputum yang kental, banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap di dalam jaringan paru. Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui, tetapi apa yang paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf otonom.
Beberapa individu dengan asma mengalami respons imuns yang buruk terhadap lingkungan mereka. Antibodi yang dihasilkan (Ig E) kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi, menyebabkan pelepasan produk-produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikidin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansiyang bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme, pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mukus yang sangat banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf vagal melalui sistem parasimpatis. Pada asma idiopatik atau non alergi, ketika ujung saraf pada jalan napas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat. Pelepasan asetilkolin ini secara langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi yang dibahas di atas. Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respons parasimpatis.
Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam bronki. Ketika reseptor α-adrenergik dirangsang terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara α- dan β-adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat
(27)
(cAMP). Stimulasi reseptor-alfa mengakibatkan penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor-beta mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan β-adrenergik terjadi pada individu dengan asma. Akibatnya asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan menyebabkan konstriksi otot polos
2.1.8. Diagnosis
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
2.1.8.1. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
1. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan 2. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala
musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
3. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada dan berdahak yang berulang
4. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari 5. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
6. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
2.1.8.2. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal (GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (PDPI, 2008).
(28)
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA, 2009).
2.1.8.3. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma (Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Arus Puncak Ekspirasi meter (APE).
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan atau rasio VEP1/KVP (%).
Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%). Untuk mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2008).
(29)
2.1.9. Diagnosis Banding
Diagnosis banding asma antara lain (PDPI, 2008) : h. Penyakit Paru Obstruksi Kronik
i. Bronkitis kronik
j. Gagal Jantung Kongestif k. Batuk kronik akibat lain-lain l. Disfungsi larings
m. Obstruksi mekanis (misal tumor) n. Emboli Paru
2.1.10. Penatalaksanaan Asma (PDPI, 2008)
Program penatalaksanan asma meliputi 7 komponen: a. Edukasi
b. Menilai dan memonitor keparahan asma secara berkala c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
f. Kontrol secara teratur g. Pola hidup sehat
Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, ada tiga faktor yang perlu dicermati, yaitu:
a. Medikasi (obat-obatan): Obat asma dikelompokkan atas dua golongan yaitu: obat-obat pengontrol asma (Controller), yaitu anti-inflamasi dan obat pelega napas (Reliever), yaitu bronkodilator.
b. Tahapan pengobatan. c. Penanganan asma mandiri.
(30)
a. Medikasi Asma
1). Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah obat asma yang digunakan jangka panjang untuk mengontrol asma, karena mempunyai kemampuan untuk mengatasi proses inflamasi yang merupakan patogenesis dasar penyakit asma. Obat ini diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten, dan sering disebut sebagai obat pencegah. Berbagai obat yang mempunyai sifat sebagai pengontrol, antara lain:
a) Kortikosteroid inhalasi b) Kortikosteroid sistemik c) Sodium chromoglicate d) Nedochromil sodium e) Metilsantin
f) Agonis β2 kerja lama (LABA) inhalasi g) Leukotriene modifiers
h) Antihistamin (antagonis H1) generasi kedua
2). Pelega (Reliever)
Merupakan bronkodilator yang melebarkan saluran pernapasan melalui relaksasi otot polos, untuk memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut asma, seperti mengi, rasa berat dada dan batuk. Obat pelega tidak memperbaiki inflamasi atau menurunkan hiperesponsif pada saluran pernapasan. Oleh karena itu, penatalaksanaan asma yang hanya menggunakan obat pelega, tidak akan menyelesaikan masalah asma secara tuntas. Obat-obat yang termasuk obat pelega adalah:
a) Agonis β2 kerja singkat dan kerja lama
b) Antikolinergik (atrophine sulphate, ipratropium, tiotropium, dan lain-lain) c) Xanthine (Aminophylline)
(31)
b. Rute Pemberian medikasi
Obat asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi (diberikan langsung ke saluran pernapasan), oral dan parenteral (subkutan, intramuskular, intravena).
Kelebihan pemberian langsung ke saluran pernapasan (inhalasi) adalah: 1) Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di saluran pernapasan. 2) Efek sistemik minimal atau dapat dihindarkan.
3) Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak efektif pada Pemberian oral (Antikolinergik dan chromolyne). Waktu mula kerja (onset of action) bronkodilator yang diberikan melalui inhalasi adalah lebih cepat dibandingkan bila diberikan secara oral.
Pemberian obat secara inhalasi dapat melalui berbagai cara, yaitu: 1) Inhalasi Dosis Terukur (IDT)/Metered Dose Inhaler (MDI)
2) IDT dengan alat bantu (spacer) 3) Breath-actuated MDI
4) Dry powder inhaler (DPI) 5) Turbuhaler
6) Nebulizer
c. Penanganan Asma Mandiri
Penanganan asma mandiri sering disebut pelangi asma. Khusus untuk upaya penanganan asma mandiri, para dokter yang merawat pasien asma harus benar-benar menyadari bahwa pasiennya adalah mitra dalam usaha pencapaian keberhasilan terapi asma, karena pasien merupakan sumber informasi yang paling dapat dipercaya untuk mencapai asma terkontrol, karena mereka yang langsung merasakan dampak penatalaksanaan asma yang dilakukan oleh dokter yang merawatnya. Agar usaha ini dapat terlaksana dengan baik, maka faktor edukasi/komunikasi terapeutik di antara dokter dengan pasien asma dan keluarganya merupakan hal yang sangat mendasar dalam penatalaksanaan asma. Dokter merencanakan pengobatan jangka panjang sesuai kondisi penderita, realistik, sehingga memungkinkan pasien asma mencapai asma terkontrol. Sistem
(32)
penanganan asma mandiri mengharuskan pasien asma memahami kondisi kronik dan bervariasinya keadaan penyakit asma. Penatalaksanaan ini mengajak pasien memantau kondisinya sendiri, mengidentifikasi perburukan asma sehari-hari, mengontrol gejala klinis yang terjadi dan mengetahui bila saatnya pasien asma memerlukan bantuan medis/dokter (PDPI 2008).
2.1.10.1 Obat Pengontrol Asma (PDPI, 2008)
a.Kortikosteroid Inhalasi.
Sebagai anti inflamasi, kortikosteroid bekerja melalui beberapa mekanisme yaitu:
1) Menghambat metabolism arachidonic acid sehingga mempengaruhi produksi leukotriene dan prostaglandin.
2) Mengurangi kebocoran mikrovaskuler
3) Mencegah migrasi berbagai mediator inflamasi langsung ke sel-sel inflamasi 4) Menghambat produksi cytokines
5) Meningkatkan kepekaan reseptor β2 pada otot polos bronkus Keuntungan pemberian obat secara inhalasi adalah: 1) Dosis yang digunakan relatif rendah
2) Efek samping minmal
3) Bekerja terbatas pada saluran pernapasan (topikal), dengan mula kerja obat (onset of action) yang cepat.
4) Dapat memobilisasi sekret di saluran pernapasan.
Kortikosteroid inhalasi adalah medikasi jangka panjang merupakan obat yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala mengi, frekuensi dan beratnya serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Pada asma persiten berat, dibutuhkan dosis yang tinggi dan dosis maksimal yang dapat diberikan adalah 2000 mikrogram. Namun beberapa penelitian menyatakan bahwa kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti peningkatan dosis steroid inhalasi tidak selamanya sejalan dengan efek yang dihasilkannya. Dengan demikian,
(33)
peningkatan dosis inhalasi Kortikosteroid tidak memberikan efek lebih baik dibandingkan bila inhalasi Kortikosteroid dikombinasi dengan agonis β2 kerja lama (LABA) (GINA, 2011). Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persiten (ringan sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik aman pada dosis yang direkomendasikan. Perkiraan kesamaan potensi beberapa glukoKortikosteroid dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Dosis GlukoKortikosteroid Inhalasi dan Perkiraan Kesamaan
Potensi Dewasa
Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Obat
Beclomethasone 200-500 ug 500-1000 ug >1000 ug Dipropionat 22-400 ug 400-800 ug >800 ug Budesonide 500-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
Flinisolide 100-250 ug 250-500 ug >500 ug Fluticasone 400-1000 ug 1000-2000 ug >2000 ug
Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi
Beclomethasone 100-400 ug 400-800 ug >800 ug Dipropionate 100-200 ug 200-400 ug >400 ug Budesonide 500-750 ug 1000-1250 ug >1250 ug
Flinisolide 100-200 ug 200-500 ug >500 ug Fluticasone 800-1200 ug 800-1200 ug > 1200 ug Sumber: GINA, 2011, Bateman, 2008
Beberapa gluKortikosteroid yang digunakan di sistem pelayanan kesehatan memberikan potensi dan bioavaibiliti setelah inhalasi yang berbeda. Pada tabel 2.4 dapat dilihat kesamaan potensi dari beberapa gluKortikosteroid berdasarkan perbedaan tersebut. Kurva dosis respons steroid inhalasi adalah relatif datar, yang berarti meningkatkan dosis steroid tidak akan banyak menghasilkan manfaat untuk mengontrol asma (gejala, faal paru, hiperesponsif saluran pernapasan), bahkan meningkatkan risiko timbulnya efek samping.
(34)
Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena iritasi saluran pernapasan atas. Efek samping tersebut dapat dicegah dengan penggunaan spacer, higiene mulut yang baik atau berkumur-kumur setelah melakukan inhalasi kortikosteroid, untuk membuang steroid yang tersisa pada rongga mulut.
b. Metilsantin
Teofilin adalah obat pelega/bronkodilator turunan xanthine dan merupakan bronkodilator yang paling lemah dibandingkan dua golongan bronkodilator lain yaitu agonis β2 dan Antikolinergik. Sampai saat ini, Teofilin tidak mempunyai bentuk sediaan inhalasi, jadi pemberian Teofilin dilakukan secara oral atau pemberian sistemik (parenteral) lainnya, sehingga sering menimbulkan efek samping obat. Teofilin mempunyai efek menguatkan otot diafragma dan juga mempunyai efek anti inflamasi, sehingga berperan juga sebagai obat pengontrol asma. Obat ini dapat diberikan bersama-sama obat anti inflamasi seperti Kortikosteroid, pada pasien asma persisten berat dan sedang, bila steroid inhalasi pemberian belum memberikan hasil yang optimal. Pada pasien asma dengan gejala asma pada malam hari, pemberiannya pada sore hari dapat menghilangkan gejala yang timbul pada malam hari.
Teofilin atau aminophylline lepas lambat dapat juga digunakan sebagai obat pengontrol, meskipun potensinya tidak dapat menyamai Kortikosteroid. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Teofilin jangka lama, efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama, sehingga dapat digunakan untuk mengontrol gejala asma pada malam hari, dikombinasi dengan anti inflamasi yang lazim digunakan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa Metilsantin sebagai terapi tambahan pada pemberian glukoKortikosteroid inhalasi dalam berbagai tingkat dosis adalah efektif untuk mengontrol asma. Namun, sebagai terapi tambahan, kombinasi ini tidak seefektif inhalasi kombinasi Kortikosteroid dengan agonis kerja lama, meskipun masih merupakan obat pilihan, karena harganya yang jauh lebih murah dari sediaan inhalasi.
(35)
c. Agonis β2 Kerja Lama Inhalasi
Obat yang termasuk ke dalam kelompok LABA ini adalah salmeterol dan formoterol. Kedua obat ini adalah bronkodilator dengan lama kerja obat mencapai 18 jam yang juga mempunyai sifat anti inflamasi, sehingga pemberian obat cukup 2 kali sehari. Karena durasi efek obat yang lama ini, maka LABA lebih sesuai berperan sebagai obat pelega pada pengobatan pemeliharaan (maintenance therapy). Namun, formoterol sebagai salah satu LABA, mempunyai keistimewaan, yaitu mula kerja yang cepat dan durasi kerja obat yang relatif lama. Karena mula kerjanya yang lebih cepat daripada salmaterol, formoterol juga dapat digunakan pada serangan asma akut (rescue medication), yang memerlukan pelega dengan mula kerja (onset of action) yang cepat. Pemberian inhalasi kombinasi LABA dengan Kortikosteroid, memberikan hasil yang lebih baik daripada terapi Kortikosteroid tunggal, meskipun dosisnya ditingkatkan. Onset (mula kerja) dan durasi (lama kerja) berbagai agonis β2 inhalasi dapat dilihat pada Tabel 2.4.
Terapi inhalasi kombinasi yang tetap antara salmeterol dengan fluticasone serta formoterol dengan budesonide, merupakan bentuk terapi yang menjanjikan dalam pengobatan asma. Terapi kombinasi yang tetap ini mempunyai beberapa keuntungan antara lain:
a. Dosis Kortikosteroid dan agonis β2 kerja lama (LABA) yang digunakan pada terapi kombinasi, lebih rendah dibandingkan bila obat ini dipakai secara terpisah.
b. Pemberian inhalasi kombinasi kedua obat ini memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian steroid dengan dosis dua kali lipat.
c. Pemberian Kortikosteroiddapat meningkatkan sintesis reseptor agonis β2 dan
menurunkan desensitisasi terhadap agonis β2.
d. Pemberian agonis β2 menyebabkan reseptor steroid menjadi lebih “siap”, sehingga lebih sedikit Kortikosteroid yang dibutuhkan untuk menghasilkan aktivitas yang diharapkan.
(36)
Dengan demikian kombinasi kedua obat ini menghasilkan “on and on phenomena” (GINA, 2011). Bentuk kombinasi tetap ini dapat digunakan pada penyakit asma persisten ringan, sedang dan berat.
Tabel 2.4. Onset (mula kerja) dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis β2 Durasi (lama kerja) Onset
Cepat Singkat
Fenoterol Prokaterol Salbutamol/albuterol
Terbutalin Pirbuterol
Lama Formoterol
Lambat Salmaterol
Sumber: GINA 2011
2.1.10.2. Obat Pelega/Reliever (PDPI, 2008)
a. Agonis β2 Kerja Singkat
Obat yang termasuk golongan agonis β2 kerja singkat antara lain: salbutamol, terbutaline, phenoterol, dan procaterol, mempunyai mula kerja (onset of action) yang cepat. Lazimnya golongan obat ini mempunyai mula kerja yang cepat dengan durasi kerja obat yang singkat dan dapat diberikan secara inhalasi atau oral. Pemberian inhalasi memberikan mula kerja obat yang lebih cepat dengan efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme kerjanya seperti agonis β2 lainnya, yaitu relaksasi otot polos saluran pernapasan, meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator dari sel mast.
Bentuk aerosol atau inhalasi memberikan efek bronkodilatasi yang sama atau bahkan lebih baik dari bentuk oral. Sedang efek samping kardiovaskuler, tremor dan hipokalemianya lebih sedikit. Peningkatan frekuensi penggunaan agonis β2 mencerminkan perburukan asmanya dan merupakan indikasi untuk pemberian atau peningkatan dosis steroid inhalasi. Obat golongan agonis β2 kerja
(37)
singkat juga merupakan pilihan pada serangan asma akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada Exercise Induced Asthma.
b. Metilsantin
Merupakan bronkodilator yang efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis β2 kerja singkat. Aminophylline lepas lambat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala, karena durasi kerjanya yang lebih lama daripada agonis β2 kerja singkat. Manfaat aminophylline adalah untuk respiratory drive dan memperkuat otot-otot pernapasan dan mempertahankan respon terhadap agonis β2 kerja singkat. Timbulnya efek samping obat dapat dicegah dengan memberikan dosis yang sesuai dan melaksanakan pemantauan.
c. Antikolinergik
Antikolinergik inhalasi (ipratropium bromide) menghambat perangsangan nervus vagus di post ganglion. Obat ini bekerja dengan cara menurunkan tonus nervus vagus intrinsik saluran pernapasan. Selain itu, obat ini juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang ditimbulkan oleh inhalasi iritan. Efek bronkodilatasi tidak seefektif agonis β2 kerja singkat. Mula kerjanya lama dan membutuhkan 30-60 menit untuk mencapai efek maksimal.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ipratropium bromide mempunyai efek bronkodilatasi yang setara dengan agonis β2 kerja singkat pada serangan asma, memperbaiki faal paru dan menurunkan risiko perawatan rumah sakit secara bermakna.
d. Adrenalin
Dapat digunakan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis β2, atau tidak respons dengan agonis β2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan gangguan vaskuler. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan pengawasan sangat ketat.
(38)
2.1.10.3. Pengobatan Berdasarkan Derajat
Menurut PDPI (2008), pengobatan berdasarkan derajat asma dibagi menjadi:
Asma Intermiten (Lihat Gambar 2.5) a. Umumnya tidak diperlukan pengontrol
b. Bila diperlukan pelega, agonis β-2 kerja singkat inhalasi dapat diberikan. Alternatif dengan agonis β-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi
c. Bila dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama tiga bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
Asma Persisten Ringan (Lihat Gambar 2.5)
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan:
Glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (diberikan sekaligus atau terbagi dua kali sehari) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
Budenoside : 200–400 μ/hari
Fluticasone propionate : 100–250 μ/hari Teofilin lepas lambat
Kromolin
Leukotriene modifiers
b. Pelega bronkodilator (Agonis β-2 kerja singkat inhalasi) dapat diberikan bila perlu
Asma Persisten Sedang (Lihat Gambar 2.5)
a. Pengontrol diberikan setiap hari agar dapat mengontrol dan mencegah progresivitas asma, dengan pilihan:
Glukokortikosteroidinhalasi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi
Budenoside: 400–800 μ/hari
Fluticasone propionate : 250–500 μ/hari
Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μ/hari) ditambah teofilin lepas lambat.
(39)
Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μ/hari) ditambah agonis β-2 kerja lama oral.
Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 μ/hari).
Glukokortikosteroid inhalasi (400–800 μ/hari) ditambah leukotriene modifiers.
b. Pelega bronkodilator dapat diberikan bila perlu
Agonis β-2 kerja singkat inhalasi: tidak lebih dari 3–4 kali sehari, atau Agonis β-2 kerja singkat oral, atau
Kombinasi teofilin oral kerja singkat dan agonis β-2 kerja singkat
Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol.
c. Bila penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah dan belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis β-2 kerja lama inhalasi d. Dianjurkan menggunakan alat bantu / spacer pada inhalasi bentuk IDT atau
kombinasi dalam satu kemasan agar lebih mudah
Asma Persisten Berat (Lihat Gambar 2.5)
1. Tujuan terapi ini adalah untuk mencapai kondisi sebaik mungkin, gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek samping obat seminimal mungkin.
2. Pengontrol kombinasi wajib diberikan setiap hari agar dapat mengontrol asma, dengan pilihan.
3. Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (terbagi dalam dua dosis) dan agonis β-2 kerja lama inhalasi.
4. Beclomethasone dipropionate: >800 μ/hari.
5. Selain itu teofilin lepas lambat, agonis β-2 kerja lama oral, dan leukotriene modifiers dapat digunakan sebagai alternative agonis β-2 kerja lama inhalai ataupun sebagai tambahan terapi.
6. Pemberian budenoside sebaiknya menggunakan spacer, karena dapat mencegar efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia, dan batuk karena iritasi saluran napas atas.
(40)
Gambar 2.5 Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma.
Sumber: GINA, 2009
2.1.10.4. Tahapan Penatalaksanaan Asma
Penatalaksanaan asma harus dilaksanakan jangka panjang agar tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Pendekatan dalam memulai pengobatan jangka panjang harus melalui pemberian terapi maksimum pada awal pengobatan terrmasuk pemberian glukokortikosteroid oral dan atau inhalasi kombinasi glukoKortikosteroid dengan agonis β2 kerja lama untuk segera mengontrol asma, setelah asma terkontrol, dosis diturunkan secara bertahap sampai seminimal mungkin dengan tetap mempertahankan kondisi asma terkontrol Cara itu disebut step-down therapy Pendekatan lain adalah step-up therapy yaitu meningkatkan terapi secara bertahap jika dibutuhkan, untuk mencapai asma terkontrol. Kondisi ini dikenal sebagai adjustable dosing.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan step-down therapy untuk penatalaksanaan asma yaitu memulai pengobatan seoptimal mungkin dengan upaya menekan inflamasi jalan nafas dan mencapai keadaan asma terkontrol sesegera mungkin. Setelah asma terkontrol, penggunaan obat
(41)
dapat diturunkan sampai seminimal mungkin, dengan tetap mempertahankan asma terkontrol. Bila terdapat keadaan asma yang tetap tidak terkontrol dengan terapi awal/maksimal tersebut (misalnya setelah satu bulan terapi) maka diperlukan pertimbangan untuk mengevaluasi kembali diagnosis asma yang telah ditegakkan, sambil tetap memberikan pengobatan asma sesuai dengan pedoman standar yang ada.
2.1.11.Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada asma adalah : 1. Pneumotoraks,
2. Atelektasis 3. Gagal nafas 4. Bronkitis 5. Fraktur iga
6. Emfisema subkutis
7. Aspergilosis bronkopuimoner alergi (Brunner, Suddart. 2001).
2.1.12. Pencegahan Asma
Pencegahan berlaku untuk semua penderita asma meskipun ditekankan kepada penderita yang pernah mendapat serangan asma berat dan asma kronik di mana gejala asmanya sering sekali timbul. Pencegahan asma meliputi pencegahan primer yaitu mencegah tersensitisasi dengan bahan yang menyebabkan asma, pencegahan sekunder adalah mencegah yang sudah tersensitisasi untuk tidak berkembang menjadi asma; dan pencegahan tersier adalah mencegah agar tidak terjadi serangan atau bermanifestasi klinis asma pada penderita yang sudah menderita asma.
Menghindari alergen pada bayi dianjurkan dalam upaya menghindari sensitisasi atau pencegahan primer. Akan tetapi beberapa studi terakhir menunjukkan bahwa menghindari pajanan dengan kucing sedini mungkin, tidak mencegah alergi; dan sebaliknya kontak sedini mungkin dengan kucing dan anjing kenyataannya mencegah alergi lebih baik dari pada menghindari binatang tersebut.
(42)
Penjelasannya sama dengan hipotesis hygiene, yang menyatakan hubungan dengan mikrobial sedini mungkin menurunkan penyakit alergik dikemudian hari.
Berbagai studi dan data menunjukkan bahwa ibu perokok bedampak pada kesakitan saluran napas bawah pada anaknya sampai dengan usia 3 tahun, walau sulit untuk membedakan kontribusi tersebut pada periode prenatal atau postnatal. Berbagai studi menunjukkan bahwa ibu merokok selama kehamilan akan mempengaruhi perkembangan paru anak, dan bayi dari ibu perokok, 4 kali lebih sering mendapatkan mengi dalam tahun pertama kehidupannya. Sedangkan hanya sedikit bukti yang mendapatkan bahwa ibu yang merokok selama kehamilan berefek pada sensitisasi alergen. Sehingga disimpulkan merokok dalam kehamilan berdampak pada perkembangan paru, meningkatkan frekuensi gangguan mengi pada bayi, tetapi mempunyai peran kecil pada terjadinya asma alergi di kemudian hari. Sehingga jelas bahwa pajanan asap rokok lingkungan baik periode prenatal maupun postnatal (perokok pasif) mempengaruhi timbulnya gangguan atau penyakit dengan mengi. Sebagaiman penjelasan di atas bahwa pencegahan sekunder dilakukan untuk mencegah yang sudah tersensitisasimuntuk tidak berkembang menjadi asma. Pengamatan pada asma kerja menunjukkan bahwa menghentikan pajanan alergen sedini mungkin pada penderita yang sudah terlanjur tersensitisasi dan sudah dengan gejala asma, adalah lebih menghasilkan pengurangan/resolusi total dari gejala darpada jika pajanan terus berlangsung.
Pencegahan tersier dilakukan bagi penderita yang sudah asma tetapi mencegah terjadinya serangan yang dapat ditimbulkan oleh berbagai jenis pencetus. Sehingga menhindari pajanan pencetus akan memperbaikikondisi asma dan menurunkan kebutuhan medikasi atau obat (PDPI, 2008)
2.1.13. Edukasi mengenai asma
Menurut (PDPI 2008), edukasi yang baik akan menurunkan morbiditi dan mortaliti, menjaga penderita agar tetap masuk sekolah atau kerja dan mengurangi biaya pengobatan karena kurangnya serangan akut terutama bila membutuhkan kunjungan ke unit gawat darurat atau perawatan rumah sakit.
(43)
Edukasi kepada penderita atau keluarga bertujuan untuk meningkatkan pemahaman mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit asma sendiri, meningkatkan keterampilan atau kemampuan dalam penanganan asma, meningkatkan kepuasan, meningkatkan rasa percaya diri, meningkatkan kepatuhan dan penanganan mandiri.
Edukasi harus dilakukan terus menerus, dapat dilakukan secara perorangan maupun berkelompok dengan berbagai metode. Edukasi sudah harus dilakukan saat kunjungan pertama dengan bahan edukasi terutama mengenai cara dan waktu pengguanaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma.
Bentuk edukasi yang dapat dilakukan antara lain dengan komunikasi atau nasehat saat berobat, ceramah, latihan atau training, supervisi, diskusi, tukar menukar informasi, film atau video presentasi, leaflet, brosur, buku bacaan, dan lain-lain.
(44)
BAB 3
KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian Penderita Asma Rawat Jalan
1. Umur
2. Jenis kelamin 3. Faktor pencetus 4. Derajat asma 5. Faal paru
6. Pengobatan asma di rawat jalan
(45)
Tabel 3.1. Variabel, Alat Ukur, Hasil Ukur, dan Skala Ukur
Variabel Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur Usia Melihat rekam
medik Data rekam medik 21-30,31-40,41-50, 51-60,61-70,71-80. Rasio Jenis kelamin Melihat rekam
medik
Data rekam medik
Laki-laki, Perempuan Nominal Faktor pencetus Melihat rekam medik Data rekam medik Paparan terhadap rokok/polusi udara, Pekerjaan yang berhubungan dengan zat-zat kmia, Riwayat infeksi pernapasan, Cuaca, Debu, Tepung sari/polen, Binatang, Kegiatan fisik
Nominal
Derajat asma Melihat rekam medik Data rekam medik Intermiten (Gejala bulanan), Persisten ringan (Gejala mingguan), Persisten sedang (Gejala harian), Persisten ringan (Gejala kontinyu) Ordinal
Faal paru Melihat rekam medik
Data rekam medik
APE& VEP1≥80%, APE & VEP1 60-80%, APE & VEP1<60%
Interval Metode pembayaran Melihat rekam medik Data rekam medik Biaya sendiri, Asuransi kesehatan (AsKes), Jaminan kesehatan masyarakat (JamKesMas) Nominal Pengobatan asma Melihat rekam medik Data rekam medik Glukokortikosteroid inhalasi, Glukokortikosteroid sistemik, Agonis β-2 kerja lama inhalasi, Agonis β-2 kerja lama oral, Teofilin, Agonis β-2 kerja singkat
(46)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang akan menggambarkan profil pasien asma. Jenis pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan desain cross-sectional menggunakan data sekunder dari rekam medik RSUP Haji Adam Malik Medan.
4.2. Tempat Penelitian dan Waktu Penelitian 4.2.1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan.
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2014 sampai September 2014.
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh data pasien yang diambil dari rekam medis dengan penyakit asma yang berobat jalan pada Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan sejak bulan Januari 2013 sampai Desember 2013.
4.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dari populasi yang memenuhi kriteria penelitian dengan teknik total sampling.
4.3.2.1Jumlah Sampel Penelitian
Pada awal penelitian dilakukan studi pendahuluan untuk mengetahui jumlah pasien yang akan diamati. Dari studi pendahuluan tersebut diperoleh pasien dengan jumlah 306 orang. Setelah dilakukan penyeleksian terhadap seluruh pasien berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, diperoleh jumlah pasien yang digunakan sebagai sampel penelitian sebanyak 136 orang.
(47)
Kriterai Inklusi:
- Asma pada orang dewasa.
- Asam yang dirawat jalan di bagian paru. - Rekam medik yang lengkap.
Kriteria Eksklusi: - Asma pada anak.
- Asma yang dirawat selain dari bagian paru. - Rekam medik yang tidak lengkap.
- Rekam yang tidak ada.
4.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dengan mengambil data sekunder berupa rekam medis penderita asma yang berobat jalan pada Bagian paru RSUP Haji Adam Malik Medan. Dimana, hal yang diperlukan dalam menggambarkan profil pasien akan dicatat dan diuraikan berdasarkan kebutuhan peneliti.
Gambar 4. Teknik Pengumpulan Data
Penyajian data dalam bentuk tabel
Rekam Medik RSUP Haji Adam Malik Medan
Profil Penderita Asma: 1. Umur
2. Jenis kelamin 3. Faktor pencetus 4. Derajat asma 5. Faal paru
6. Pengobatan asma di rawat jalan 7. Metode pembayaran
(48)
4.5. Pengolahan dan Analisa Data
Semua data yang telah dicatat dari rekam medis akan diolah, disusun, dipresentasikan dalam bentuk tabel dengan bantuan program Statisticale Products Social Science (SPSS), dan kemudian akan dituangkan dalam bentuk grafik sesuai dengan tujuan penelitian.
4.6. Ethical Clearance
Ethical clearance merupakan keterangan tertulis yang diberikan oleh Komisi Etik Penelitian untuk penelitian yang melibatkan mahluk hidup (manusia, hewan, dan tumbuhan) yang menyatakan bahwa suatu proposal penelitian layak dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan tertentu. Penelitian ini dilakukan dengan metode observasional, yaitu menggunakan data rekam medis. Dalam hal ini, peneliti tidak memberikan intervensi apapun terhadap subjek penelitian. Data rekam medis pasien Asma yang berobat jalan di Bagian Paru RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013 akan digunakan sebagai sumber data setelah mendapat persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
(49)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik yang beralamat di Jalan Bunga Lau No. 17 Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara. RSUP Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A, sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990. Dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes /SK/IX/1991, RSUP Haji Adam Malik juga merupakan pusat rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat dan Riau. Penelitian ini dilakukan di bagian paru RSUP Haji Adam Malik dan juga pada sub bagian rekam medis RSUP Haji Adam Malik.
5.2. Karakteristik Responden
Responden yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien yang datang berobat dan telah didiagnosa oleh dokter menderita asma yaitu sebanyak 136 orang. Dari keseluruhan responden yang ada, diperoleh gambaran mengenai karakteristiknya meliputi: kelompok usia, jenis kelamin, faktor pencetus asma, derajat asma, faal paru, jenis penataklaksanaan dan metode pembayaran. Data lengkap mengenai karakteristik responden tersebut dapat dilihat pada tabel-tabel yang ada di bawah ini:
(50)
5.2.1. Distribusi Responden Berdasarkan Usia
Tabel 5.1. Distribusi responden berdasarkan Usia
Kelompok Usia ( Tahun) Frekuensi (N) Persentase (%)
21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 8 22 40 45 14 7 5,9 16,2 29,4 33,1 10,3 5,1
Total 136 100
Berdasarkan tabel 5.1 diperoleh mayoritas penderita asma dewasa berada dalam kelompok usia 45-54 tahun, sebanyak 45 orang (33.1%). Seterusnya dikuti kelompok usia 41-50 tahun sebanyak 40 orang (29,4%), kelompok usia 31-40 tahun sebanyak 22 orang (16.2%), kelompok usia 61-70 tahun sebanyak 14 orang (10.3%), kelompok usia 21-30 tahun sebanyak 8 orang (5.9%), kelompok usia 71-80 tahun sebanyak 7 orang (5.1%).
5.2.2. Distribusi Responden Jenis Kelamin
Tabel 5.2. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi ( N ) Persentase (% )
Laki – laki Perempuan
36 100
26,5% 73,5%
Total 136 100
Berdasarkan tabel 5.2 diperolehpenderita asma dewasa mayoritas perempuan sebanyak 100 orang (73,5%), dibandingkan dengan laki-laki sebanyak 36 orang (26,5%).
5.2.3. Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Pencetus
Tabel 5.3. Distribusi responden berdasarkan Faktor Pencetus Faktor Pencetus Frekuensi ( N ) Persentase (% )
Aktivitas Berat 1 0.7
Cuaca,Debu 19 14.0
Riwayat Keluarga 1 0.7
Tidak diketahui 115 84,6
(51)
Berdasarkan tabel 5.3 diperoleh bahwa faktor pencetus asma dewasa terbanyak adalah kerana cuaca, debu, dengan jumlah responden 19 orang (14%), lalu dikuti oleh aktivitas berat dengan jumlah responden 1 orang (0.7%) dan riwayat keluarga sebanyak 1 orang (0,7%).
5.2.4. Distribusi Responden Berdasarkan Derajat Asma
Tabel 5.4. Distribusi responden berdasarkan derajat asma Derajat Asma Frekuensi ( N ) Persentase (% )
Kontrol Tidak Kontrol
103 33
75,7% 24,3%
Total 136 100
Berdasarkan tabel 5.4 diperoleh mayoritas derajat asma adalah kontrol, dengan jumlah responden 103 orang (75,7%), dan yang tidak kontrol sebanyak 33 orang (24,3%).
5.2.5. Distribusi Responden Berdasarkan Faal Paru
Tabel 5.5. Distribusi responden berdasarkan faal paru VEP1/KVP Faal Paru VEP1/KVP Frekuensi ( N ) Persentase (% )
<60 19 14,0
60-80 77 56,6
>80 23 16,9
Tidak diketahui 17 12,5
Total 136 100
Berdasarkan tabel 5.5 diperoleh mayoritas penderita asma dewasa mempunyai faal paru VEP1/KVP 60-80, dengan jumlah responden 77 orang (56,6%). Seterusnya, faal paru >80 sebanyak 23 orang (16,9%), diikuti faal paru <60 sebanyak 19 orang (14,0).
(52)
5.2.6. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Penatalaksanaan
Tabel 5.6. Distribusi responden berdasarkan Jenis Penatalaksanaan
Jenis Penatalaksanaan Frekuensi (N) Persentase (%)
Salbutamol Flixotide Seretide Simbicort Retaphyl Aminophyline Obucort Berotec Inhaler 86 10 83 40 93 3 27 58 21,5 2,5 20,75 10 23,25 0,75 6,75 14,5
Total 400 100
Berdasarkan tabel 5.6 diperoleh bahwa jenis pengobatan yang paling banyak diberikan kepada penderita asma dewasa adalah obat retaphyl yang diberikan kepada 93 orang (23,25%), dikuti obat Salbutamol yang diberikan kepada 86 orang (21,5%), obat Seretide yang diberikan kepada 83 orang (20,75%), obat Berotec Inhaler yang diberikan kepada 58 orang (14,5%), obat Simbicort yang diberikan kepada 40 orang (10,0%), obat Obucort yang diberikan kepada 27 orang (6,75%), obat Flixotide yang diberikan kepada 10 orang (2,5%), dan obat Aminophyline yang diberikan kepada 3 orang (0,75%).
5.2.7. Distribusi Responden Berdasarkan Metode Pembayaran
Tabel 5.7. Distribusi responden berdasarkan Metode Pembayaran
Metode Pembayaran Frekuensi (N) Persentase (%)
Jamkesmas 25 18,4
Umum 26 19,1
Akses Wajib 85 62,5
Total 136 100
Berdasarkan tabel 5.7 diperoleh bahwa metode pembayaran mayoritas penderita asma dewasa adalah dengan Akses Wajib, dengan jumlah responden 85 orang (62,5%), dikuti dengan metode pembayaran Umum dengan jumlah 26 orang (19,1%) dan dengan metode pembayaran Jamkesmas dengan jumlah 25 orang (18,4%).
(53)
5.2.8. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Faal Paru VEP1/KVP
Tabel 5.8. Distribusi responden berdasarkan Jenis Kelamin dengan Faal Paru VEP1/KVP
Faal Paru VEP1/KVP
Jenis Kelamin
Total
Laki-laki Perempuan
N % N % N %
<60 60-80 >80 5 21 7 3,7 15,4 5,1 14 56 16 10,3 41,2 11,8 19 77 23 14,0 56,6 16,9 Tidak diketahui 3 2,2 14 10,3 17 12,5
Total 36 26,5 100 73,5 136 100
5.2.9. Distribusi Kelompok Usia dengan Faal Paru VEP1/KVP
Tabel 5.9. Distribusi Kelompok Usia dengan Faal Paru VEP1/KVP
Kelompok Usia
Faal Paru VEP1/KVP
<60 60-80 >80 Tidak
Diketahui Total
N % N % N % N % N %
21-30 31-40 41-50 51-60 61-70 71-80 0 4 4 10 1 0 0.0 2,9 2,9 7,4 0,7 0,0 2 12 29 22 10 2 1,5 8,8 21,3 16,2 7,4 1,5 3 4 2 8 2 4 2,2 2,9 1,5 5,0 1,5 2,9 3 2 5 5 1 1 2,2 1,5 3,7 3,7 0,7 0,7 8 22 40 45 14 7 5,9 16,2 29,4 33,1 10,3 5,1
Total 19 14,0 77 56,6 23 16,9 17 12,5 136 100
5.2.10. Distribusi Faal Paru VEP1/KVP dengan Jenis Penatalaksanaan Tabel 5.10. Distribusi Faal Paru VEP1/KVP dengan Jenis Penatalaksanaan
Jenis Penatalaksanaan
Faal Paru VEP1/KVP
<60 60-80 >80 Tidak
Diketahui Total
N % N % N % N % N %
Salbutamol Flixotide Seretide Simbicort Retaphyl Aminophyline Obucort Berotec Inhaler 17 2 13 2 15 2 5 6 4,25 0,5 3,25 0,5 3,75 0,5 1,25 1,5 45 8 52 31 51 1 17 40 11,25 2,0 13,0 7,75 12,75 0,25 4,25 10,0 15 0 16 2 17 0 4 4 3,75 0,0 4,0 0,5 4,25 0,0 1,0 1,0 9 0 2 5 10 0 1 8 2,25 0.0 0,5 1,25 2,5 0,0 0,25 2,0 86 10 83 40 93 3 27 58 21,5 2,5 20,75 10 23,25 0,75 6,75 14,5
(54)
5.3. Pembahasan
Berdasarkan penetilian ini yang menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP. H. Adam Malik dari Januari 2013 hingga Desember 2013, diperoleh data mengenai profil penderita asma dewasa yang dirawat jalan di bagian Paru di RSUP. H. Adam Malik. Data – data yang dikumpul akan digunakan sebagai dasar dari pembahasan hasil akhir penelitian ini dan akan dijabarkan seperti berikut.
5.3.1 Jumlah Sampel Penelitian
Pada awal penelitian dilakukan studi pendahuluan untuk mengetahui jumlah pasien yang akan diamati. Dari studi pendahuluan tersebut diperoleh pasien dengan jumlah 306 orang. Setelah dilakukan penyeleksian terhadap seluruh pasien berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi, diperoleh jumlah pasien yang digunakan sebagai sampel penelitian sebanyak 136 orang.
Gambaran mengenai penyeleksian sampel penelitian dapat dilihat pada bagan berikut:
Gambar 5.1. Gambaran penyeleksian sampel/subjek penelitian
Jumlah pasien = 306
Jumlah sampel = 136 Asma pada Anak Asma selain
bagian Paru
Data rekam medis tidak lengkap
Rekam medis tidak ada
(55)
Berdasarkan tabel 5.1 penderita asma dewasa mayoritas berada dalam kelompok usia 51-60 tahun, yang berjumlah 45 orang (33,1%). Hal tersebut dikarenakan terjadinya akumulasi paparan terhadap alergen dan polutan lingkungan seiring dengan pertambahan usia.
Berdasarkan tabel 5.2 diperoleh sebanyak 136 orang penderita asma mayoritas perempuan berjumlah 100 orang (73,5%). Sedangkan penderita asma laki-laki berjumlah 36 orang (26,5%). Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Pratama (2009), pada pasien rawat jalan Poli Asma RSUP Persahabatan dengan subjek yang berjumlah 604 orang, sebanyak 389 (64%) orang adalah perempuan.
Berdasarkan tabel 5.3 terdapat 115 orang subjek penelitian yang tidak diketahui faktor pencetusnya. Hal ini disebabkan karena tidak lengkapnya data dalam rekam medis pasien sehingga mengurangkan manfaat rekam medis sebagai sumber informasi bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa mayoritas faktor pencetus terjadinya asma terbanyak adalah cuaca/debu, dengan jumlah responden 19 orang (14,0%), lalu dikuti oleh aktivitas fisik dengan jumlah responden 1 orang (0,7%). Hasil ini sesuai dengan teori yang selama ini diketahui bahwa penderita asma dapat mengalami eksaserbasi yang dipicu oleh kontak dengan alergen lingkungan yang berlebihan berupa debu (80% penderita).
Berdasarkan tabel 5.4 derajat asma hanya diperoleh berdasarkan apakah asma pasien dewasa dikontrol atau tidak kontrol. Hal ini dikarenakan tidak lengkapnya data dalam rekam medis pasien. Berdasarkan penelitian diperoleh bahwa mayoritas pasien asma dewasa adalah kontrol dengan jumlah responden 103 orang (75,7%). Kepatuhan dalam menggunakan suatu obat didefinisikan sebagai sikap menjaga dan mengikuti dosis serta saran atau anjuran dari tenaga kesehatan terhadap penyakit yang diderita. Kepatuhan dalam mengikuti suatu terapi menunjukkan sebuah pemahaman tentang bagaimana obat digunakan (Genaro, 2000). Menurut pendapat saya, dapat menyimpulkan bahawa pasien asma dewasa yang berobat di poliklinik dalam keadaan kontrol mendapat maanfaat yang lebih baik dalam proses penyembuhan asma pasien.
(1)
Crosstabs
JENIS KELAMIN * FEV1/FVC Crosstabulation FEV1/FVC
Total
< 60 60-80 >80 TIDAK ADA
JENIS KELAMIN LAKI LAKI Count 5 21 7 3 36
% of Total 3.7% 15.4% 5.1% 2.2% 26.5%
PEREMPUAN Count 14 56 16 14 100
% of Total 10.3% 41.2% 11.8% 10.3% 73.5%
Total Count 19 77 23 17 136
% of Total 14.0% 56.6% 16.9% 12.5% 100.0%
UMUR PASIEN * FEV1/FVC Crosstabulation FEV1/FVC
Total
< 60 60-80 >80 TIDAK ADA
UMUR PASIEN 21-30 Count 0 2 3 3 8
% of Total .0% 1.5% 2.2% 2.2% 5.9%
31-40 Count 4 12 4 2 22
% of Total 2.9% 8.8% 2.9% 1.5% 16.2%
41-50 Count 4 29 2 5 40
% of Total 2.9% 21.3% 1.5% 3.7% 29.4%
51-60 Count 10 22 8 5 45
% of Total 7.4% 16.2% 5.9% 3.7% 33.1%
61-70 Count 1 10 2 1 14
% of Total .7% 7.4% 1.5% .7% 10.3%
(2)
Total Count 19 77 23 17 136
% of Total 14.0% 56.6% 16.9% 12.5% 100.0%
FEV1/FVC * SABUTAMOL Crosstabulation SABUTAMOL
Total
YA TIDAK
FEV1/FVC < 60 Count 17 2 19
% of Total 12.5% 1.5% 14.0%
60-80 Count 45 32 77
% of Total 33.1% 23.5% 56.6%
>80 Count 15 8 23
% of Total 11.0% 5.9% 16.9%
TIDAK ADA Count 9 8 17
% of Total 6.6% 5.9% 12.5%
Total Count 86 50 136
% of Total 63.2% 36.8% 100.0%
FEV1/FVC * FLIXOTIDE Crosstabulation FLIXOTIDE
Total
YA TIDAK
FEV1/FVC < 60 Count 2 17 19
% of Total 1.5% 12.5% 14.0%
60-80 Count 8 69 77
% of Total 5.9% 50.7% 56.6%
>80 Count 0 23 23
% of Total .0% 16.9% 16.9%
TIDAK ADA Count 0 17 17
% of Total .0% 12.5% 12.5%
Total Count 10 126 136
(3)
FEV1/FVC * SERETIDE Crosstabulation SERETIDE
Total
YA TIDAK
FEV1/FVC < 60 Count 13 6 19
% of Total 9.6% 4.4% 14.0%
60-80 Count 52 25 77
% of Total 38.2% 18.4% 56.6%
>80 Count 16 7 23
% of Total 11.8% 5.1% 16.9%
TIDAK ADA Count 2 15 17
% of Total 1.5% 11.0% 12.5%
Total Count 83 53 136
% of Total 61.0% 39.0% 100.0%
FEV1/FVC * SIMBICORT Crosstabulation SIMBICORT
Total
YA TIDAK
FEV1/FVC < 60 Count 2 17 19
% of Total 1.5% 12.5% 14.0%
60-80 Count 31 46 77
% of Total 22.8% 33.8% 56.6%
>80 Count 2 21 23
% of Total 1.5% 15.4% 16.9%
TIDAK ADA Count 5 12 17
% of Total 3.7% 8.8% 12.5%
Total Count 40 96 136
(4)
RETAPHYL
Total
YA TIDAK
FEV1/FVC < 60 Count 15 4 19
% of Total 11.0% 2.9% 14.0%
60-80 Count 51 26 77
% of Total 37.5% 19.1% 56.6%
>80 Count 17 6 23
% of Total 12.5% 4.4% 16.9%
TIDAK ADA Count 10 7 17
% of Total 7.4% 5.1% 12.5%
Total Count 93 43 136
% of Total 68.4% 31.6% 100.0%
FEV1/FVC * AMIN0PHYLINE Crosstabulation AMIN0PHYLINE
Total
YA TIDAK
FEV1/FVC < 60 Count 2 17 19
% of Total 1.5% 12.5% 14.0%
60-80 Count 1 76 77
% of Total .7% 55.9% 56.6%
>80 Count 0 23 23
% of Total .0% 16.9% 16.9%
TIDAK ADA Count 0 17 17
% of Total .0% 12.5% 12.5%
Total Count 3 133 136
(5)
FEV1/FVC * OBUCORRT Crosstabulation OBUCORRT
Total
YA TIDAK
FEV1/FVC < 60 Count 5 14 19
% of Total 3.7% 10.3% 14.0%
60-80 Count 17 60 77
% of Total 12.5% 44.1% 56.6%
>80 Count 4 19 23
% of Total 2.9% 14.0% 16.9%
TIDAK ADA Count 1 16 17
% of Total .7% 11.8% 12.5%
Total Count 27 109 136
% of Total 19.9% 80.1% 100.0%
FEV1/FVC * BI Crosstabulation BI
Total
YA TIDAK
FEV1/FVC < 60 Count 6 13 19
% of Total 4.4% 9.6% 14.0%
60-80 Count 40 37 77
% of Total 29.4% 27.2% 56.6%
>80 Count 4 19 23
% of Total 2.9% 14.0% 16.9%
TIDAK ADA Count 8 9 17
% of Total 5.9% 6.6% 12.5%
Total Count 58 78 136
(6)
ANTI INFLAMASI
Total
TIDAK IH MP
FEV1/FVC < 60 Count 12 0 7 19
% of Total 8.8% .0% 5.1% 14.0%
60-80 Count 43 2 32 77
% of Total 31.6% 1.5% 23.5% 56.6%
>80 Count 11 0 12 23
% of Total 8.1% .0% 8.8% 16.9%
TIDAK ADA Count 11 0 6 17
% of Total 8.1% .0% 4.4% 12.5%
Total Count 77 2 57 136