menjadi 5,98 per 100.000, naik 2 kali lipat. Angka empyema pneumokokus tetap stabil, namun tingkat empyema staphylococcal naik tiga kali lipat. Tingkat rawat
inap untuk empyema lain atau yang tidak diketahui etiologi nya 62,4 dari rawat inap empyema naik dua kali lipat, seperti halnya tingkat empyema streptokokus
non-pneumococcal Chalmers, et al, 2009. Angka pasti untuk kasus seputar masalah infeksi pleura dan komplikasinya
di Indonesia belum ada. Meski demikian, beberapa studi yang dikerjakan di beberapa center dapat memberikan gambaran amplitudo masalah ini. Studi di RS
Persahabatan Jakarta di tahun 2012 menemukan 119 pasien dengan efusi pleura; 104 dengan efusi pleura eksudatif dan 15 pasien dengan efusi pleura transudatif.
Pasien laki-laki sebanyak 66 55,5 pasien dan sisanya 53 44,5 pasien adalah perempuan Khairani, et al, 2012. Proporsi laki-laki yang lebih banyak ini sama
dengan hasil yang ditemukan pada studi di RS Adam Malik Medan yakni laki-laki 65,4 89 pasien dan perempuan 34,6 47 Tobing dan Widirahardjo, 2013.
2.1.2 Etiologi
Sebenarnya hampir semua jenis pneumonia bakterial, viral, atipikal bisa menyebabkan EPP. Namun insidensi relatif EPP bervariasi sesuai organisme
penyebabnya. Pneumonia viral dan pneumonia mycoplasma menyebabkan efusi pleura pada 20 pasien. Untuk empyema toraks, pneumonia bakterial menjadi
penyebab pada 70 kasus. Sebagai tambahan pula, empyema thorax merupakan komplikasi dari operasi sebelumnya, yang menyumbang 30 dari kasus. Kasus
trauma juga dapat dipersulit oleh oleh superinfeksi pada rongga pleura. Bilamana
tidak ada infeksi atau trauma, organisme penginfeksi dapat menyebar dari darah atau organ lainnya ke dalam rongga pleura, yang nantinya akan berkembang
menjadi abses subdiafragma, ruptur esofagus, mediastinitis, osteomyelitis, perikarditis, kholangitis dan divertikulitis Sahn, 2007.
2.1.3 Bakteriologi
Sejak munculnya antibiotik, gambaran bakteriologis EPP dengan kultur- positif telah berubah. Sebelum jaman antibiotik, yang terbanyak tumbuh di cairan
empyema adalah Streptococcus pneumoniae atau Streptococcus hemolyticus. Di periode tahun 1955
– 1965, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering diisolasi dari cairan pleura. Pada awal 1970-an, organisme anaerob yang
paling sering diisolasi. Kini, ternyata bahwa organisme aerob yang lebih sering menimbulkan sebagian besar empyema dibanding anaerob. Studi atas 197 pasien
dengan kultur-positif bakteri untuk cairan pleura di RS militer menemukan kalau bakteri aerobik dapat diisolasi pada 64 pasien, 13 pasien hanya ditemukan
organisme anaerob dan di 23 dari pasien ditemukan organisme aerobik dan anaerob Tsang, 2007.
Streptococcus pneumoniae , S. pyogenes dan Staphylococcus aureus
merupakan organisme tersering yang dikaitkan dengan infeksi pleura Burgos, et al, 2011. Juga kelompok S. anginosus dikenal sebagai kelompok S. milleri yang
terdiri dari S. anginosus, S. constellatus dan S. intermedius merupakan flora normal manusia yang menjadi signifikan dalam konteks infeksi pleura, muncul
pada 30-50 kasus CAP dewasa Burgos, et al, 2011; Ahmed, et al, 2006; Maskell, et al, 2005.
S. aureus lebih sering ditemukan pada pasien rawat inap tua yang memiliki
komorbiditas. Biasanya disertai kavitasi dan pembentukan abses, dengan empyema muncul pada 1-25 kasus dewasa. Kini juga ada laporan tentang
peningkatan jumlah kasus empyema yang disebabkan oleh community-acquired MRSA
, dan bakteri ini patut dicurigai community- dan hospital-acquired empyema Lindstrom, 1999. Namun bakteri anaerob juga berkontribusi signifikan terhadap
infeksi pleura, diisolasi sebagai agen tunggal atau co-patogen di 25-76 kasus anak Micek, 2005.
2.2 Patofisiologi