VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURAEKSUDAT PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI.

(1)

TESIS

VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA

DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURAEKSUDAT

PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH

DENPASAR BALI

YOHANES PUTRA MBAMA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

TESIS

VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA

DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURAEKSUDAT

PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH

DENPASAR BALI

YOHANES PUTRA MBAMA NIM : 1014028110

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA

DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURA EKSUDAT

PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH

DENPASAR BALI

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

YOHANES PUTRA MBAMA NIM. 1014028110

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 9 MEI 2016

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, SpGK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS(K) NIP. 195805211985031002 NIP. 195902151985102001

Pembimbing I,

Dr. dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV NIP. 196011151987021002

Pembimbing II,

Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana SpPD-KGH NIP. 195607071982111001


(5)

Lembar Penetapan Panitia Penguji Tesis Ini Telah Diuji pada

Tanggal 17 Mei 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, Nomor : 2123/UN14.4/HK/2016 Tanggal 12 Mei 2016

Ketua : Dr. dr. Ketut Putu Yasa, Sp.B, SpBTKV

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. I Gde Raka Widiana, SpPD-KGH 2. dr. I.N.W. Steven Christian, Sp.B(K)Onk 3. dr. Ida Bagus Darma Putra, Sp.B-KBD 4. dr. Ketut Sudiasa, SpB(K) Trauma


(6)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS UDAYANA

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK Alamat :Sekretariat Pascasarjana Universitas Udayana,-Jl Panglima Sudirman Denpasar, Bali Telp. 0361-7475076, 7425201. Fax 0361-246656, 223797. Email. Csaam_fkunud@yahoo.com

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Nama : dr. Yohanes Putra Mbama NIM : 1014028110

Program Studi : Magister Ilmu Biomedik (Combine-Degree)

Judul : Validitas Kadar Glukosa Cairan Pleura Dalam Memprediksi Efusi Pleura Eksudat Parapneumonik di RSUP Sanglah Denpasar Bali

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Denpasar,………..

Yang membuat pernyataan,


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Saya panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat–Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul

Validitas Kadar Glukosa Cairan Pleura Dalam Memprediksi Efusi Pleura Eksudat Parapneumonik Di RSUP Sanglah Denpasar Bali”.

Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi–tingginya saya haturkan kepada:

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD–KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di Universitas yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SpS (K), selaku Direktur Program Pasca sarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Combined Degree Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu.

Dr. dr. Ketut Putu Yasa, SpB, SpBTKV selaku pembimbing utama penelitian yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan


(8)

inspirasi, bimbingan, dan nasehat sehingga mempermudah saya dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, SpPD-KGH selaku pembimbing kedua dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, SpBS(K) selaku Kepala Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di program studi Bedah Umum.

dr. I Ketut Wiargitha, SpB(K)Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda TustaAdiputra, SpB(K)Onk sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

dr. Anak Ayu Sri Saraswati, MKes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan saya kesempatan untuk mengikuti pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.

Seluruh Staf Pengajar Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/ RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan saya yang dengan penuh dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan


(9)

dan dukungan kepada saya selama mengikuti pendidikan Bedah Umum dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Orang tua saya, Hironimus Rasyi, BA dan Maria Margaretha Fatima,, istri saya dr. Hildegardis DC Siba, kedua putra saya Josep Guernica Nigel Rasyi dan Innocentius Cicero Galen Rasyi, kedua putri kembar saya Eleonora Amarisa Megan Rasyi dan Theodora Avariella Vegan Rasyi, dan adik saya Fransiskus Mario Djemero atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan tiada henti selama saya menjalani pendidikan spesialis ini.

Sahabat saya dr. A. A. Bagus Tananjaya Wiyasa, dr. I Ketut Subhawa, dr. Kurniawan Eko Wibowo, dr. Jackson Sihombing, dr. Made Sopan Pradnya Nirartha serta seluruh rekan PPDS I Bedah Umum atas kerja sama, dukungan dan bantuannya dalam proses penelitian serta selama proses pendidikan.

Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan Bedah RSUP Sanglah Denpasar.

Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas segala kekurangan.

Denpasar, 9 Mei 2016


(10)

ABSTRAK

VALIDITAS KADAR GLUKOSA CAIRAN PLEURA DALAM MEMPREDIKSI EFUSI PLEURA EKSUDAT PARAPNEUMONIK DI RSUP SANGLAH DENPASAR BALI

Efusi pleura parapneumonik merupakan penyebab terbanyak efusi pleura eksudatif. Sementara baku emas untuk pemeriksaan mikrobiologi tidak selalu tersedia di setting rumah sakit perifer. Perlu dicari satu pemeriksaan yang sederhana, mudah, murah dan cepat yang dapat dipakai untuk memprediksi efusi pleura parapneumonik.

Penelitian ini adalah uji diagnostik untuk mencari validitas kadar glukosa pleura dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada 30 pasienefusi pleura yang datang ke rumah sakit Sanglah. Data dianalisis dengan menggunakan kurva ROC dan uji diagnostik tabel 2x2 sehingga didapatkan AUC,

cut offpoint, sensitivitas, spesifisitas, NPP dan NPN.

Pada penelitian ini didapatkan cut-offpoint kadar glukosa pleura 54 mg/dL dengan AUC 0,8326 (>0,7). Sensitivitas dan spesifisitas glukosa pleura cukup baik dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi pleura yaitu sebesar 81,3% dan 92,9% (CI 95%). Hasil NPP 92,9% dan NPN 81,3% menegaskan bahwa nilai diagnostik kadar glukosa pleuracukup baik dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi pleura.

Validitas glukosa pleura dalam memprediksi terjadinya efusi pleura parapneumonik pada pasien efusi pleura memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitasyang baik.


(11)

ABSTRACT

VALIDITY OF PLEURAL FLUID GLUCOSE IN PREDICTING PARAPNEUMONIC PLEURAL EFFUSIONIN SANGLAH HOSPITAL

DENPASAR

Parapneumonic pleural effusion is among the common cause of exudative pleural effusion. While gold standard for microbiological examination is not always available in many remote area hospital, there is a need for a simple, easy, cheap and fast biomarker that can predict the parapneumonic pleural effusion.

This is a diagnostic study to assess the validity of pleural glucose levels in predicting parapneumonic pleural effusion in 30 patients who came to the hospital Sanglah. Data were analyzed using ROC curves and diagnostic2x2 table to obtain AUC, cut-off point, sensitivity, specificity, NPVand PPV.

Cut-off point for pleural glucose levels isat 54 mg / dL with the AUC 0.8326 (> 0.7). Sensitivity and specificity of pleural glucose in predicting parapneumonic pleural effusion in patients with pleural effusion are 81.3% and 92.9% (CI 95%), respectively.Value of PPV and NPV 92.9% and 81.3% confirm the gooddiagnostic value of pleural glucose levels in predicting parapneumonic pleural effusion in patients with pleural effusion.

Thisstudyshowedthatpleuralglucose level havegood sensitivity and specificity values in predicting parapneumonic pleuraleffusion.


(12)

DAFTAR ISI

SAMPULAN DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ... iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR SINGKATAN ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.2 Tujuan Umum ... 4

1.3.2 Tujuan khusus ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Manfaat Akademik ... 5


(13)

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6

2.1 Latar Belakang ... 6

2.1.1 Epidemiologi ... 7

2.1.2 Etiologi ... 8

2.1.3 Bakteriologi ... 9

2.2 Patofisiologi ... 10

2.3 Gejala dan Tanda Klinis ... 17

2.4 Diagnosis ... 18

2.5 Analisa Pleura : Glukosa Cairan Pleura ... 20

2.6 Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Cairan Pleura ... 21

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP ... 23

3.1.Kerangka Berpikir ... 23

3.2 Konsep Penelitian ... 24

BAB IV METODE PENELITIAN ... 25

4.1 Rancangan Penelitian ... 25

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 25

4.3.1 Kriteria inklusi ... 25

4.3.2 Kriteria eksklusi ... 26

4.4 Besar Sampel ... 26

4.5 Variabel Penelitian ... 26

4.6 Definisi Operasional ... 27

4.7 Prosedur Penelitian ... 27

4.8 Alur Penelitian ... 28


(14)

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

5.1 Hasil ... 31

5.1.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 31

5.1.2 Analisis Kurva ROC ... 32

5.1.3 Uji Diagnostik ... 34

5.2 Pembahasan ... 35

5.2.1 Sensitivitas ... 36

5.2.2 Spesifisitas ... 37

5.2.3 Nilai Prediksi Positif (NPP) dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) ... 38

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 39

6.1 Simpulan ... 39

6.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman

2.1 Penyebab efusi pleura eksudatif dan transudatif ... 12 4.1 Tabel 2x2 Hasil Penelitian Diagnostik ... 29 5.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian ... 32 5.2 Detail kurva ROC kemampuan kadar glukosa pleura dalam

memprediksi diagnosis EPP ... 33 5.3 Hasil uji diagnostik tabel 2x2 kadar glukosa pleura dalam


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Terbentuknya transudat dan eksudat. ... 11

2.2 Rangkuman patogenesis efusi pleura parapneumonik ... 13

2.3 Perkiraan perjalanan penyakit EPP ... 15

2.4 Algoritma terapi efusi parapneumonik... 19

3.1 Skema konsep penelitian ... 22

4.1 Skema alur penelitian ... 26

5.1 Kurva ROC kemampuan kadar glukosa pleura dalam memprediksi diagnosis efusi pleura parapneumonik ... ... 31


(17)

DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA

SINGKATAN

AUC : Area UnderCurve

AGD : Analisa Gas Darah BTA : Bakteri Tahan Asam

CAP :Community-acquired Pneumonia

CRP :C-reactive protein

CI : Confidence Interval

CPPE : ComplicatedParapneumonicEffusion

EP : Efusi Pleura

EPP : Efusi Pleura Parapneumonik IL : Interleukin

LDH : Laktat Dehidrogenase NPN : Nilai Prediksi Negatif NPP : Nilai Prediksi Positif PCT : Procalcitonin

RKN : Rasio Kemungkinan Negatif RKP : Rasio Kemungkinan Positif ROC : ReceiverOperatingCharacteristic

SD : Standar Deviasi

SIRS : SystemicInflammatoryResponseSyndrome

Sen : sensitivitas Spe : spesifisitas TN : TrueNegative

TNF-α : tumor necrosisfactor-alpha

UPPE : UncomplicatedParapneumonicEffusion

TP : TruePositive

USG : Ultrasonografi

CT-scan : ComputedTomography-scan


(18)

% : Persentase < : lebih kecil > : lebih besar

≤ : lebih kecil atau sama dengan


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik ... 44

Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian ... 45

Lampiran 3. Lembar Pengumpulan Data Sampel ... 46

Lampiran 4. Data Sampel Penelitian ... 47

Lampiran 5. Analisis Data Penelitian... 48


(20)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Efusi pleura merupakan akumulasi cairan abnormal pada rongga pleura yang disebabkan oleh produksi berlebihan cairan ataupun berkurangnya absorpsi. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan etiologi yang bermacam-macam mulai dari kardiopulmoner, inflamasi, hingga keganasan yang harus segera dievaluasi dan diterapi.

Infeksi pleura (baik efusi parapneumonik maupun empyema) telah ada sejak dulu, dilaporkan dalam teks-teks medis Yunani Kuno. Diperkirakan 4 juta orang terkena pneumonia setiap tahunnya, dengan hampir separuhnya terkena efusi parapneumonik. Infeksi pleura merupakan komplikasi pneumonia, dilaporkan menyerang 65 ribu pasien per tahunnya di AS dan Inggris (Rosenstengel dan Lee, 2012) dengan perkiraan total belanja kesehatan mencapai USD $320 juta. Infeksi pleura meningkatkan morbiditas dan mortalitas infeksi paru, dengan angka mortalitas pada orang dewasa mencapai 20% (Rosenstengel dan Lee, 2012). Insidensinya secara internasional diperkirakan lebih dari 3000 orang dalam 1 juta populasi tiap tahun. Di Amerika, dijumpai 1,5 juta kasus efusi pleura setiap tahunnya (Sahn, 2008). Sementara perkiraan prevalensinya di negara-negara maju lainnya mencapai 320 kasus per 100.000 orang (Sahn, 2006). Sedangkan di Indonesia sendiri, catatan medik Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang, menunjukkan prevalensi penderita efusi pleura semakin bertambah


(21)

setiap tahunnya yaitu terdapat 133 penderita pada tahun 2001 (Ariyanti, 2003).Di tahun 2011, Tobing dan Widirahardjo mendapati kasus efusi pleura dalam setahun di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik berjumlah 136 di mana laki-laki lebih banyak dari perempuan (65,4% vs 34,6%), sedangkan etiologi tersering adalah tuberkulosis (44,2%) diikuti tumor paru (29,4%) (Tobing dan Widirahardjo, 2013). Ada lebih dari 55 penyebab efusi pleura yang telah dicatat. Sedangkan insidensi berdasarkan penyebabnya sendiri bervariasi bergantung dari area demografik serta geografisnya.

Efusi pleura digolongkan dalam tipe transudat dan eksudat, berdasarkan mekanisme terbentuknya cairan dan biokimiawi cairan pleura. Transudat timbul karena akibat ketidakseimbangan antara tekanan onkotik dan tekanan hidrostatik, sementara eksudat timbul akibat peradangan pleura atau berkurangnya drainase limfatik. Pada beberapa kasus, cairan pleura yang dihasilkan dapat saja menunjukkan kombinasi sifat transudat dan eksudat(Rubins, 2011).

Langkah awal dalam mencari penyebab efusi adalah dengan menentukan apakah cairan itu transudat atau eksudat (Yetkinet al, 2006). Jika ternyata hasilnya adalah transudat, maka kemungkinan penyebabnya relatif lebih sedikit, oleh karenanya tidak perlu dilakukan prosedur diagnostik yang lebih jauh lagi terhadap cairan pleura tersebut. Namun jika hasilnya adalah eksudat, ada banyak kemungkinan penyebab yang mendasarinya sehingga pemeriksaan diagnostik selanjutnya perlu dilakukan (Yataco dan Dweik, 2005)

Kriteria yang paling umum diterima untuk membedakan eksudat dan transudat adalah dengan pengukuran kadar total protein dan Laktat Dehidrogenase


(22)

(LDH) di dalam serum dan di cairan pleura. Kriteria ini disusun oleh Light et al di tahun 1972, dengan sensitivitas 99% dan spesifisitas 98%. Kriteria ini menetapkan bahwa cairan efusi pleura exudatif setidaknya memiliki satu dari 3 hal berikut, yakni rasio protein pada cairan pleura dibanding serum >0,5, rasio LDH cairan pleura dibanding serum > 0,6 dan kadar LDH cairan pleura > 2/3 batas atas LDH serum normal (Light, et al, 1972).

Setelah menetapkan efusi pleura exudatif, barulah kita lanjutkan dengan mencari tahu penyakit tersering yang menjadi penyebabnya, antara lain pneumonia(efusi pleura parapneumonik = EPP), tuberkulosis (TB), keganasan dan tromboemboli paru (Porcell dan Light, 2013). Untuk menentukan penyebab efusi pleura exudatif, beberapa studi sebelumnya telah mengajukan parameter seperti pH, kadar amilase, kadar rheumatoidfactor, adenosindeaminase (ADA) dan analisa lipid. Sayangnya, tidaklah murah untuk memasukan tes-tes ini ke dalam pemeriksaan rutin efusi pleura.

Bilamana dicurigai ada infeksi, yang perlu diperiksa adalah pH, glukosa LDH dan kultur mikrobiologi dari cairan pleura. Selain itu sitologi pleura dan BTA pleura. Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis efusi pleura karena infeksi seperti tumor necrosisfactor-alpha (TNF-α), myeloperoxidase, C-reactive protein (CRP) dan procalcitonin (PCT). Namun, tak satu pun dari parameter tersebut yang lebih unggul dari parameter klasik pH pleura <7.20, atau glukosa pleura <60 mg / dL (Porcel, et al, 2009).

Semakin dini kita menegakkan diagnosis PPE, semakin baik pula outcome


(23)

mengerjakan baku emas dari kausa EPP, sementara kondisi pasien menuntut untuk segera diberikan terapi empirik. Hal ini menjadi tantangan besar bagi penyedia layanan kesehatan di perifer. Itulah sebabnya, peneliti ingin mengukur sensitivitas dan spesifisitas kadar glukosa cairan pleura dalam memprediksi EPP. Bila terbukti akurasinya tinggi, para penyedia layanan kesehatan di perifer dapat mempertimbangkan tes ini sebagai tes diagnostik sehingga terapi empirik bagi kausa efusi pleura dapat segera diberikan.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah kadar glukosa cairan pleuramempunyai sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi yang baik dalam mendiagnosis efusi pleura parapneumonik?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui validitas kadar glukosacairan pleuradalam memprediksi diagnosis efusi pleura parapneumonik.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Mengetahui sensitivitaskadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik.

2. Mengetahui spesifisitas kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik.


(24)

3. Mengetahui nilai prediksi positif kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik.

4. Mengetahui akurasi kadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademik

Memberikan informasi nilai sensitivitaskadar glukosa cairan pleura dalam diagnosis efusi pleura parapneumonik.

1.4.2Manfaat praktis

1. Sebagai data ilmiah bahwa kadar glukosa cairan pleura dapat digunakan sebagai alat diagnostik awal yang dapat dikerjakan secara praktis, sederhana dan ekonomis untuk menegakkan diagnosis efusi pleura parapneumonik.

2. Hasil kadar glukosa cairan pleura dapat digunakan sebagai acuan penanganan awal pada penderita efusi pleura parapneumonik.


(25)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Latar Belakang

Meski antibiotik yang poten telah banyak dikembangkan, pneumonia bakterial masih membawa masalah morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Angka insidensi tahunan pneumonia bakterial diperkirakan mencapai 4 juta, dengan 25% di antaranya membutuhkan perawatan RS. Efusi pleura parapneumonik (EPP) masih menjadi penyebab tersering dari efusi pleura karena sebanyak 40% dari pasien rawat inap dengan pneumonia bakteri mengalami efusi pleura (Koegelenberg, et al, 2008). Morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan pneumonia dan pleura efusi lebih tinggi dibandingkan pasien dengan pneumonia saja. Pada satu studi terhadap 1.424 pasien rawat inap dengan pneumonia-komunitas (community-acquired pneumonia = CAP), pasien dengan efusi pleura 2,7 kali lebih mungkin mengalami kegagalan pengobatan dibandingkan mereka yang tanpa efusi pleura (Manendez, et al, 2004). Risiko relatif kematian pada pasien dengan CAP adalah 6,5 kali lebih tinggi untuk pasien dengan efusi pleura bilateral dan 3,7 kali lebih tinggi untuk pasien dengan efusi pleura unilateral ukuran sedang atau besar bila dibandingkan dengan pasien lain dengan komunitas yang didapat pneumonia saja. Naiknya morbiditas dan mortalitas pada beberapa pasien dengan PPE terjadi lebih karena salah tata laksana dari efusi pleura (Light, 2006).


(26)

2.1.1 Epidemiologi

Belum ada angka pasti insidensi pneumonia secara global. Laporan WHO menunjukkan beban penyakit yang berhubungan dengan kematian akibat infeksi saluran pernapasan bawah pada tahun 2004 mencapai 4,2 juta. Perkiraan angka insidensi efusi pleura dan empyema dapat dibuat dari angka insidensi di AS, namun angka ini harus dihitung dengan hati-hati mengingat kurangnya perawatan dan pengobatan tertunda di negara-negara berkembang mungkin saja membuat insidensi global meroket tajam (Limsukon, 2014).

Sekitar 1,3 juta pasien dirawat di rumah sakit setiap tahun dengan pneumonia di Amerika Serikat. Prevalensi efusi pleura parapneumonik sebagian tergantung pada organisme yang terlibat. Secara keseluruhan, efusi pleura muncul pada sekitar 35-40% pasien dengan pneumonia bakteri atau pneumonia anaerob, dengan prevalensi pneumonia pneumokokus mendekati 60%. Efusi pleura komplikata lebih sering muncul dengan infeksi pleuropulmoner anaerob. Sehingga diperkirakan ada sekitar 500,000-750,000 pasien dengan efusi parapneumonik per tahun. Belum ada angka pasti mengenai berapa banyak pasien yang akhirnya mengalami efusi komplikata atau empyema, tapi dari satu studi kecil ada sekitar 5-10% yang memerlukan drainase atau prosedur bedah (Limsukon, 2014).

Studi tentang data rawat inap di Amerika Serikat menemukan bahwa pada tahun 1996, secara nasional tingkat rawat inap diagnosa terkait empyema parapneumonik adalah 3,04 per 100.000; pada tahun 2008, angka ini meningkat


(27)

menjadi 5,98 per 100.000, naik 2 kali lipat. Angka empyema pneumokokus tetap stabil, namun tingkat empyema staphylococcal naik tiga kali lipat. Tingkat rawat inap untuk empyema lain atau yang tidak diketahui etiologi nya (62,4% dari rawat inap empyema) naik dua kali lipat, seperti halnya tingkat empyema streptokokus non-pneumococcal (Chalmers, et al, 2009).

Angka pasti untuk kasus seputar masalah infeksi pleura dan komplikasinya di Indonesia belum ada. Meski demikian, beberapa studi yang dikerjakan di beberapa center dapat memberikan gambaran amplitudo masalah ini. Studi di RS Persahabatan Jakarta di tahun 2012 menemukan 119 pasien dengan efusi pleura; 104 dengan efusi pleura eksudatif dan 15 pasien dengan efusi pleura transudatif. Pasien laki-laki sebanyak 66 (55,5%) pasien dan sisanya 53 (44,5%) pasien adalah perempuan (Khairani, et al, 2012). Proporsi laki-laki yang lebih banyak ini sama dengan hasil yang ditemukan pada studi di RS Adam Malik Medan yakni laki-laki 65,4% (89 pasien) dan perempuan 34,6% (47) (Tobing dan Widirahardjo, 2013).

2.1.2 Etiologi

Sebenarnya hampir semua jenis pneumonia (bakterial, viral, atipikal) bisa menyebabkan EPP. Namun insidensi relatif EPP bervariasi sesuai organisme penyebabnya. Pneumonia viral dan pneumonia mycoplasma menyebabkan efusi pleura pada 20 % pasien. Untuk empyema toraks, pneumonia bakterial menjadi penyebab pada 70% kasus. Sebagai tambahan pula, empyema thorax merupakan komplikasi dari operasi sebelumnya, yang menyumbang 30 % dari kasus. Kasus trauma juga dapat dipersulit oleh oleh superinfeksi pada rongga pleura. Bilamana


(28)

tidak ada infeksi atau trauma, organisme penginfeksi dapat menyebar dari darah atau organ lainnya ke dalam rongga pleura, yang nantinya akan berkembang menjadi abses subdiafragma, ruptur esofagus, mediastinitis, osteomyelitis, perikarditis, kholangitis dan divertikulitis (Sahn, 2007).

2.1.3 Bakteriologi

Sejak munculnya antibiotik, gambaran bakteriologis EPP dengan kultur-positif telah berubah. Sebelum jaman antibiotik, yang terbanyak tumbuh di cairan empyema adalah Streptococcus pneumoniae atau Streptococcus hemolyticus. Di periode tahun 1955 – 1965, Staphylococcus aureus adalah bakteri yang paling sering diisolasi dari cairan pleura. Pada awal 1970-an, organisme anaerob yang paling sering diisolasi. Kini, ternyata bahwa organisme aerob yang lebih sering menimbulkan sebagian besar empyema dibanding anaerob. Studi atas 197 pasien dengan kultur-positif bakteri untuk cairan pleura di RS militer menemukan kalau bakteri aerobik dapat diisolasi pada 64% pasien, 13% pasien hanya ditemukan organisme anaerob dan di 23% dari pasien ditemukan organisme aerobik dan anaerob (Tsang, 2007).

Streptococcus pneumoniae, S. pyogenes dan Staphylococcus aureus

merupakan organisme tersering yang dikaitkan dengan infeksi pleura (Burgos, et al, 2011). Juga kelompok S. anginosus (dikenal sebagai kelompok S.milleri) yang terdiri dari S. anginosus, S. constellatus dan S. intermedius merupakan flora normal manusia yang menjadi signifikan dalam konteks infeksi pleura, muncul


(29)

pada 30-50% kasus CAP dewasa (Burgos, et al, 2011; Ahmed, et al, 2006; Maskell, et al, 2005).

S. aureus lebih sering ditemukan pada pasien rawat inap tua yang memiliki komorbiditas. Biasanya disertai kavitasi dan pembentukan abses, dengan empyema muncul pada 1-25 % kasus dewasa. Kini juga ada laporan tentang peningkatan jumlah kasus empyema yang disebabkan oleh community-acquired MRSA, dan bakteri ini patut dicurigai community- dan hospital-acquired empyema

(Lindstrom, 1999). Namun bakteri anaerob juga berkontribusi signifikan terhadap infeksi pleura, diisolasi sebagai agen tunggal atau co-patogen di 25-76 % kasus anak (Micek, 2005).

2.2 Patofisiologi

Rongga pleura normal terisi cairan dalam jumlah yang relatif sedikit yakni 0,1 – 0,2 mL/kgbb pada tiap sisinya. Fungsinya untuk memfasilitasi pergerakan kembang-kempis paru selama proses pernafasan. Cairan pleura diproduksi dan dieliminasi dalam jumlah yang seimbang. Jumlah cairan pleura yang diproduksi normalnya adalah 17 mL/hari dengan kapasitas absorpsi maksimal drainase sistem limfatik sebesar 0,2-0,3 mL/kgbb/jam. Cairan ini memiliki konsentrasi protein lebih rendah dibanding pembuluh limfe paru dan perifer.

Cairan pleura berisi 1.500 – 4500 sel/mL dengan komponen makrofag (75%), limfosit (23%), eritosit dan mesotel bebas. Kandungan protein normal di pleura adalah 1 – 2 g/100mL. Elektroforesis protein cairan pleura menunjukkan bahwa kadar protein cairan pleura setara dengan kadar protein serum, namun


(30)

kadar protein berat molekul rendah seperti albumin, lebih tinggi dalam cairan pleura. Kadar molekul bikarbonat cairan pleura 20 – 25% lebih tinggi dibandingkan kadar bikarbonat plasma, sedangkan kadar ion Natrium lebih rendah 3 – 5% dan kadar ion klorida lebih rendah 6 – 9% sehingga pH cairan pleura lebih tinggi dibandingkan pH plasma. Keseimbangan ionik ini diatur melalui transpor aktif mesotelium. Kadar glukosa dan ion kalium cairan pleura setara dengan plasma (Putratomo dan Yunus, 2013).

Gambar 2.1

Terbentuknya transudat dan eksudat. A, Tekanan hidrostatik normal (panah biru) ± 32 mmHg di ujung arteri dari kapiler dan 12 mmHg di ujung vena dari kapiler;

rerata tekanan osmotik koloid jaringan ± 25 mmHg (panah hijau), yang sama dengan rata-rata tekanan kapiler. Makanya, hampir tidak ada aliran bebas cairan

melintasi vascular bed. B, Transudat terbentuk karena kebocoran cairan akibat naiknya tekanan hidrostatik atau menurunnya tekanan osmotik. C, Eksudat


(31)

terbentuk pada proses inflamasi karena meningkatnya permeabilitas vaskuler sebagai akibat dari merenggangnya ruang interendotelial. (Gambar dari Kumar et

al, 2014)

Efusi pleura muncul saat lebih banyak cairan yang memasuki rongga pleura daripada yang dibuang (Gambar 1). Mekanisme akumulasi cairan pleura antara lain: bertambahnya cairan interstitial di paru-paru akibat naiknya tekanan kapiler paru (misalnya, gagal jantung) atau meningkatnya permeabilitas (pneumonia); penurunan tekanan intrapleural (atelektasis); penurunan tekanan onkotik plasma (hipoalbuminemia); meningkatnya permeabilitas membran pleura dan obstruksi aliran limfatik (keganasan atau infeksi pleura); defek diafragma (hydrothorax hepatis); dan ruptur duktus toraks (chylothorax). Meskipun berbagai macam penyakit dapat menimbulkan efusi pleura, penyebab yang paling umum pada orang dewasa adalah gagal jantung, keganasan, pneumonia, tuberkulosis, dan emboli paru, sementara penyebab pada anak yang paling sering adalah pneumonia (Porcel dan Light, 2006). Tabel 1 menguraikan berbagai penyebab efusi pleura.

Tabel 2.1

Penyebab efusi pleura eksudatif dan transudatif (Na, 2014)

Tipe Eksudat Transudat

Paling sering Keganasan Gagal Jantung Kiri

Efusi parapneumonik Sirosis hepar

TBC

Kurang sering Emboli paru Hipoalbuminemia

Artritis rheumatoid dan pleuritis otoimun lainnya Dialisis peritoneal

Efusi asbestos benigna Hipotiroidisme

Pankreatitis Sindrom Nefrotik

Infark Post-myokardium Stenosis Mitral

Pasca operasi bypass arteri koroner

Jarang Yellow nail syndrome Perikarditis konstruktif

Gangguan limfatik lainnya (limfangioleiomyomatosis) Urinotoraks

Obat-obatan Meigs’ syndrome


(32)

Efusi pleura parapneumonik adalah setiap efusi pleura yang disebabkan oleh pneumonia bakterial, abses paru, atau bronkiektasis. Pada beberapa pasien kasusnya berkembang menjadi empyema dengan munculnya nanah dalam rongga pleura. Empyema didefinisikan sebagai cairan pleura dengan BJ > 1,018, WBC > 500 sel/mm3, atau protein > 2,5 g/dL. Juga, ada yang menyatakan bahwa empyema adalah cairan pleura yang kultur bakterinya positif atau dengan WBC > 15.000/mm3 dan protein > 3,0 g/dL. Sementara menurut Light, empyema adalah efusi pleura dengan cairan kental kental dan purulen, meski beberapa pasien dengan empyema tidak mengalami proses pneumonik (Light, 2008).

Gambar 2.2

Rangkuman patogenesis efusi pleura parapneumonik. IL-8, interleukin-8; TNF, tumor necrosis factor; PAI, plasminogen activator inhibitor; t-PA, tissue


(33)

Saat penderita mengalami pneumonia, pleura bereaksi terhadap hadirnya mikroba dengan respon inflamasi yang kuat. Produksi cairan pleura akan meningkat cepat. Kenaikan ini terutama berasal dari cairan interstitial paru, dan kedua karena naiknya permeabilitas kapiler di paru. Ketika jumlah cairan pleura yang masuk ke rongga pleura lebih besar dari kapasitas limfatik pleura untuk menyerap cairan, maka terjadilah efusi pleura. Pada mulanya, kadar glukosa dan pH cairan pleuranya masih normal dengan LDH dan leukosit yang rendah. Sel-sel mesotel aktif melakukan fagositosis, yang memicu respon inflamasi ketika dipicu oleh adanya bakteri, dan melepaskan chemokine (grup C-X-C), sitokin (1, IL-6, IL-8 TNF-α), oksidan dan protese (Bouros, 2009).

Pada beberapa pasien, proses ini berlanjut dengan bakteri yang menginvasi cairan pleura. Akibatnya, kadar glukosa dan pH cairan pleura menurun, LDH naik dan cairan makin kental. Juga, lembaran-lembaran fibrin membentuk loculus

cairan dan menutupi pleura visceralis, yang akan menghalangi paru mengembang bilamana cairannya sudah dibuang. Proses ini bisa reversibel dengan pemberian antibiotik yang tepat selama fase eksudatif dini (Bouros, 2009).

Klasifikasi klinis praktis EPP adalah sebagai berikut: (1) efusi pleura parapneumonik non-komplikata (UPPE, uncomplicated parapneumonic effusion) sembuh dengan terapi antibiotik saja, tanpa sequelae pada ruang pleura; (2) efusi pleura parapneumonik komplikata (CPPE, complicated parapneumonic effusion) membutuhkan drainase pleura untuk mengatasi sepsis pleura dan mencegah terjadinya empyema; dan (3) empyema, tahap akhir dari EPP. Empyema ditentukan oleh tampilannya; cairan kental, keruh, kuning-keputihan, yang


(34)

merupakan hasil dari koagulasi serum protein, debris seluler, dan deposisi fibrin. Empyema muncul terutama karena pasien dengan pneumonia lanjut dan infeksi pleura progresif telat berobat dan, pada kasus yang lebih jarang, akibat dari manajemen klinis yang tidak tepat (Sahn, 2007).

Gambar 2.3 menjelaskan proses evolusi EPP dalam 3 tahap yaitu tahap eksudatif, fibrinopurulen dan organisasi.

Gambar 2.3

Perkiraan perjalanan penyakit EPP yang tidak diobati atau diobati tidak dengan tepat. Umumnya empyema muncul 4 –6 minggu setelah onset aspirasi bakteri ke

dalam paru (Sahn, 2007)

Pemicu pada sebagian besar kasus pneumonia adalah aspirasi dari organisme dari orofaring. Jika load (muatan) organismenya tinggi dan pertahanan

host memang terganggu (misalnya, sebagai akibat dari merokok atau konsumsi alkohol), pasien lebih gampang terkena pneumonia. Jeda antara aspirasi organisme dan munculnya pneumonia bervariasi dari beberapa hari sampai 1 minggu. Pneumonia biasanya dimulai pada lobus di pinggiran paru-paru dan, jika


(35)

tidak diobati, menyebar secara sentripetal menuju hilus. Jika tidak diobati untuk 2-5 hari berikutnya, muncullah UPPE. Efusi muncul karena dari naiknya permeabilitas kapiler pada jejas endotel yang dipicu oleh oleh neutrofil teraktivasi, yang melepaskan metabolit oksigen, konstituen granul, dan produk-produk dari fosfolipase membran. Cairan paru ekstravaskuler yang bertambah ini akan meningkatkan gradien tekanan interstitial-pleura dan mendorong terbentuknya efusi pleura saat cairan bergerak antara sel mesothelial ke rongga pleura (Sahn, 2007). Jika pembentukan cairan interstitial melebihi kapasitas limfatik paru-paru dan pleura, terjadilah efusi pleura. Jika tidak diobati untuk 5-10 hari berikutnya, EPP akan berubah ke tahap fibrinopurulen, ditandai oleh adhesi, naiknya neutrofil, dan munculnya bakteri. Fibrin terbentuk sebagai bekuan protein intravaskular yang memasuki rongga pleura, bersamaan dengan terhambatnya fibrinolisis pada rongga pleura. Fibroblas memasuki ruang pleura oleh 2 kemungkinan mekanisme: (1) gerakan dari fibrocytes sumsum tulang ke lokasi inflamasi, dan (2) perubahan sel-sel mesotelium menjadi fibroblast oleh sitokin. Nanti di tahap fibrinopurulen, nanah akan disedot melalui thoracosentesis; namun, paru-paru biasanya masih dapat mengembang. Kalau tahap fibrinopurulen ini terus berlanjut, pasien makin susah diobati tanpa drainase rongga pleura. Untuk 10-21 hari berikutnya, EPP akan berkembang ke tahap organisasi atau empyema, dengan paru yang terjebak akibat fibrosis pleura visceralis. Pasien dengan empyema selalu membutuhkan drainase pleura untuk resolusi yang mengatasi sepsis pleura dan sering membutuhkan dekortikasi (Sahn, 2007).


(36)

Pada kondisi pleura normal, glukosa berdifusi bebas melintasi membran pleura dan konsentrasi glukosa cairan pleura setara dengan yang di serum. Pada kondisi infeksi, karena meningkatnya aktifitas metabolisme, terjadi peningkatan konsumsi glukosa tanpa disertai penggantian yang adekuat.

Kadar glukosa pleura yang rendah (< 3,4 mmol/l) dapat ditemukan di CPPE, empyema, arthritis pleuritis dan efusi pleura TB, keganasan dan rupture esofagus. Penyebab paling umum dari kadar glukosa pleura yang sangat rendah (<1,6 mmol/l) adalah arthritis dan empyema (Hooper, et al, 2010)

2.3 Gejala dan Tanda Klinis

Manifestasi klinis efusi PPE dan empyema sangat tergantung pada apakah pasien terkena infeksi aerob atau anaerob. Onset infeksi aerobik lebih akut dengan gejala demam akut, sementara infeksi anaerob lebih lambat dan gejalanya mungkin tidak spesifik disertai demam ringan. Jika masih demam berlangsung selama lebih dari 48 jam setelah mulai pengobatan antibiotik, kemungkinan besar sudah terjadi CPPE atau empyema (Limsukon, 2014).

Manifestasi klinis pasien dengan pneumonia anaerob mirip dengan pasien pneumonia bakterial. Juga muncul demam akut disertai nyeri dada, produksi sputum dan leukositosis. CPPE ditandai pula dengan adanya demam lebih dari 48 jam setelah pemberian antibiotik. Sementara itu, pasien dengan infeksi bakteri anaerob yang melibatkan pleura biasanya datang dengan keluhan subakut. Umumnya gejala muncul lebih dari 7 hari, disertai penurunan berat badan dan


(37)

anemia. Faktor predisposisi yang memicu aspirasi bakteri berulang antara lain higiene mulut yang buruk dan konsumsi alkohol (Light, 2006).

Pada pemeriksaan fisik didapati takipnea dan takikardi, pasien tampak toksik dan disertai gejala dan tanda yang mengarah ke SIRS. Tanda-tanda efusi pleura antara lain menurunnya suara nafas, perkusi yang redup, dan menurunnya fremitus (Limsukon, 2014).

2.4 Diagnosis

Dalam evaluasi atas pneumonia, pertimbangkan selalu kemungkinan EPP. Pemeriksaan radiologis seperti foto polos thorax, USG dan CT-scan berperan penting. Selain menemukan penumpulan sudut kostofrenikus pada foto polos, CT-scan bisa membedakan konsolidasi paru dari efusi pleura yang hipodens. USG membantu mengarahkan ke lokasi terbaik untuk pemasangan drainase, meningkatkan kinerja, dan mengurangi risiko komplikasi (Garrido, et al, 2014).

Lakukan thoracentesis dan pengambilan darah bila dicurigai efusi pleura. UPPE dapat berkembang menjadi CPPE dalam kurang dari 12 jam, sehingga tata laksana klinis sangat penting. Efusi pleura parapneumonik ditandai dengan adanya mikroorganisme dalam cairan, bau yang busuk atau kekeruhan, yang disebut empyema bila mengandung nanah. Seringkali kultur cairan pleuranya negatif atau kondisi pasien menuntut untuk segera diberikan keputusan terapi sedini mungkin, sebelum hasil kultur bisa keluar. Dalam kasus-kasus seperti inilah, nilai pH bisa menjadi marker terbaik. Yang perlu dicatat adalah bahwa pH dapat bervariasi


(38)

dalam berbagai ruang EP loculated, dan juga bahwa itu adalah asam di PE ganas,

rheumatoid arthritis, pleuritis lupus dan PE TB. (Garrido, 2014).


(39)

Algoritma terapi efusi parapneumonik. Terapi antibiotik harus diberikan sedini mungkin pada semua kasus, lalu disesuaikan dengan hasil kultur.

(Garrido, et al, 2014)

2.5 Analisa Pleura: Glukosa Cairan Pleura

Identifikasi atas infeksi secara definitif dilakukan dengan analisis cairan pleura. Gambaran pus/nanah yang nyata sudah menunjukkan adanya empyema, jadi tidak memerlukan pemeriksaan biokimia lebih lanjut. Sekitar 40% efusi pleura yang infektif memberi hasil kultur yang negatif, sehingga kita memerlukan pemeriksaan tambahan, untuk menentukan ada tidaknya infeksi yakni pH, LDH dan glukosa pleura (Rahman dan Davies, 2008). Nilai pH pleura merupakan pemeriksaan terbaik, diikuti glukosa pleura dan LDH pleura.

Meskipun nilai pH cairan pleura merupakan yang terbaik dalam mengetahui infeksi dalam cairan pleura, sayangnya akurasi pengukuran pH pleura sangat tergantung pada teknik pengambilan sampel. Sedikit saja udara atau sisa lidokain dalam tabung pengumpul akan mengubah hasil nilai pH. Di saat yang sama, pengukuran kadar glukosa pleura, baik oleh alat pengukur AGD atau mesin analisa konvensional, tidaklah gampang terpengaruh oleh teknik pengumpulan sampel atau penundaan analisa. Jadi, bilamana nilai pH pleura tidak dapat dipakai, kita bisa memakai kadar glukosa cairan pleura untuk mengetahui proses infeksi di pleura (Rahman et al, 2008).

Dalam keadaan normal, kadar glukosa serum dan pleura harusnya sama karena glukosa memiliki berat molekul rendah dan transportasinya dari darah ke cairan pleura cukup dengan difusi sederhana melintasi membran endotel dan mesotel. Kadar glukosa cairan pleura rendah artinya < 60 mg/dL atau rasio


(40)

glukosa pleura/serum <0,5. Kadar glukosa pleura yang rendah ini berbanding lurus dengan kadar laktat dan nilai pCO2 cairan pleura, yang menunjukkan kalau akumulasi produk-akhir glukosa inilah yang menyebabkan menurunnya pH cairan pleura pada empyema. Dan pada percobaan empyema, glukosa turun dengan cepat setelah masuknya bakteri ke dalam rongga pleura (Sahn dan Heffner, 2008).

Mekanisme rendahnya pH dan kadar glukosa cairan pleura pada EPP/empyema adalah karena meningkatnya konsumsi glukosa oleh karena fagositosis neutrofil dan metabolisme bakteri yang disertai akumulasi produk akhir glikolisis, CO2 dan asam laktat, dan berujung pada turunnya kadar glukosa dan nilai pH cairan pleura (Sahn, 2009). Selain itu juga, menebalnya membran pleura juga mengganggu transpor glukosa dari darah masuk ke cairan pleura (Chavalittamrong, 1979)

. Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis efusi pleura yang infektif seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), myeloperoxidase, CRP dan PCT. Namun, tak satu pun dari parameter tersebut yang lebih unggul dari parameter klasik pH pleura <7.20, atau glukosa pleura <60 mg / dL (Porcel, et al, 2009). Belum lagi, biaya pemeriksaannya jauh lebih mahal dibandingkan pemeriksaan glukosa cairan pleura.

2.6 Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Cairan Pleura

1. Sampel pleura diambil sebanyak 10 – 20 cc dari toracentesis, simpan dalam tabung EDTA


(41)

2. Bila sampel jernih, langsung tambahkan reagen untuk pemeriksaan glukosa kemudian diperiksa dengan menggunakan spektrofotometer/

autoanalyzer

3. Bila sampel keruh, disentrifus dulu, diambil supernatannya, lalu ditambahkan reagen untuk pemeriksaan glukosa. Selanjutnya langsung diperiksa dengan spektrofotometer/ autoanalyzer.


(1)

Pada kondisi pleura normal, glukosa berdifusi bebas melintasi membran pleura dan konsentrasi glukosa cairan pleura setara dengan yang di serum. Pada kondisi infeksi, karena meningkatnya aktifitas metabolisme, terjadi peningkatan konsumsi glukosa tanpa disertai penggantian yang adekuat.

Kadar glukosa pleura yang rendah (< 3,4 mmol/l) dapat ditemukan di CPPE, empyema, arthritis pleuritis dan efusi pleura TB, keganasan dan rupture esofagus. Penyebab paling umum dari kadar glukosa pleura yang sangat rendah (<1,6 mmol/l) adalah arthritis dan empyema (Hooper, et al, 2010)

2.3 Gejala dan Tanda Klinis

Manifestasi klinis efusi PPE dan empyema sangat tergantung pada apakah pasien terkena infeksi aerob atau anaerob. Onset infeksi aerobik lebih akut dengan gejala demam akut, sementara infeksi anaerob lebih lambat dan gejalanya mungkin tidak spesifik disertai demam ringan. Jika masih demam berlangsung selama lebih dari 48 jam setelah mulai pengobatan antibiotik, kemungkinan besar sudah terjadi CPPE atau empyema (Limsukon, 2014).

Manifestasi klinis pasien dengan pneumonia anaerob mirip dengan pasien pneumonia bakterial. Juga muncul demam akut disertai nyeri dada, produksi sputum dan leukositosis. CPPE ditandai pula dengan adanya demam lebih dari 48 jam setelah pemberian antibiotik. Sementara itu, pasien dengan infeksi bakteri anaerob yang melibatkan pleura biasanya datang dengan keluhan subakut. Umumnya gejala muncul lebih dari 7 hari, disertai penurunan berat badan dan


(2)

anemia. Faktor predisposisi yang memicu aspirasi bakteri berulang antara lain higiene mulut yang buruk dan konsumsi alkohol (Light, 2006).

Pada pemeriksaan fisik didapati takipnea dan takikardi, pasien tampak toksik dan disertai gejala dan tanda yang mengarah ke SIRS. Tanda-tanda efusi pleura antara lain menurunnya suara nafas, perkusi yang redup, dan menurunnya fremitus (Limsukon, 2014).

2.4 Diagnosis

Dalam evaluasi atas pneumonia, pertimbangkan selalu kemungkinan EPP. Pemeriksaan radiologis seperti foto polos thorax, USG dan CT-scan berperan penting. Selain menemukan penumpulan sudut kostofrenikus pada foto polos, CT-scan bisa membedakan konsolidasi paru dari efusi pleura yang hipodens. USG membantu mengarahkan ke lokasi terbaik untuk pemasangan drainase, meningkatkan kinerja, dan mengurangi risiko komplikasi (Garrido, et al, 2014).

Lakukan thoracentesis dan pengambilan darah bila dicurigai efusi pleura. UPPE dapat berkembang menjadi CPPE dalam kurang dari 12 jam, sehingga tata laksana klinis sangat penting. Efusi pleura parapneumonik ditandai dengan adanya mikroorganisme dalam cairan, bau yang busuk atau kekeruhan, yang disebut empyema bila mengandung nanah. Seringkali kultur cairan pleuranya negatif atau kondisi pasien menuntut untuk segera diberikan keputusan terapi sedini mungkin, sebelum hasil kultur bisa keluar. Dalam kasus-kasus seperti inilah, nilai pH bisa menjadi marker terbaik. Yang perlu dicatat adalah bahwa pH dapat bervariasi


(3)

dalam berbagai ruang EP loculated, dan juga bahwa itu adalah asam di PE ganas,

rheumatoid arthritis, pleuritis lupus dan PE TB. (Garrido, 2014).


(4)

Algoritma terapi efusi parapneumonik. Terapi antibiotik harus diberikan sedini mungkin pada semua kasus, lalu disesuaikan dengan hasil kultur.

(Garrido, et al, 2014) 2.5 Analisa Pleura: Glukosa Cairan Pleura

Identifikasi atas infeksi secara definitif dilakukan dengan analisis cairan pleura. Gambaran pus/nanah yang nyata sudah menunjukkan adanya empyema, jadi tidak memerlukan pemeriksaan biokimia lebih lanjut. Sekitar 40% efusi pleura yang infektif memberi hasil kultur yang negatif, sehingga kita memerlukan pemeriksaan tambahan, untuk menentukan ada tidaknya infeksi yakni pH, LDH dan glukosa pleura (Rahman dan Davies, 2008). Nilai pH pleura merupakan pemeriksaan terbaik, diikuti glukosa pleura dan LDH pleura.

Meskipun nilai pH cairan pleura merupakan yang terbaik dalam mengetahui infeksi dalam cairan pleura, sayangnya akurasi pengukuran pH pleura sangat tergantung pada teknik pengambilan sampel. Sedikit saja udara atau sisa lidokain dalam tabung pengumpul akan mengubah hasil nilai pH. Di saat yang sama, pengukuran kadar glukosa pleura, baik oleh alat pengukur AGD atau mesin analisa konvensional, tidaklah gampang terpengaruh oleh teknik pengumpulan sampel atau penundaan analisa. Jadi, bilamana nilai pH pleura tidak dapat dipakai, kita bisa memakai kadar glukosa cairan pleura untuk mengetahui proses infeksi di pleura (Rahman et al, 2008).

Dalam keadaan normal, kadar glukosa serum dan pleura harusnya sama karena glukosa memiliki berat molekul rendah dan transportasinya dari darah ke cairan pleura cukup dengan difusi sederhana melintasi membran endotel dan mesotel. Kadar glukosa cairan pleura rendah artinya < 60 mg/dL atau rasio


(5)

glukosa pleura/serum <0,5. Kadar glukosa pleura yang rendah ini berbanding lurus dengan kadar laktat dan nilai pCO2 cairan pleura, yang menunjukkan kalau akumulasi produk-akhir glukosa inilah yang menyebabkan menurunnya pH cairan pleura pada empyema. Dan pada percobaan empyema, glukosa turun dengan cepat setelah masuknya bakteri ke dalam rongga pleura (Sahn dan Heffner, 2008).

Mekanisme rendahnya pH dan kadar glukosa cairan pleura pada EPP/empyema adalah karena meningkatnya konsumsi glukosa oleh karena fagositosis neutrofil dan metabolisme bakteri yang disertai akumulasi produk akhir glikolisis, CO2 dan asam laktat, dan berujung pada turunnya kadar glukosa dan nilai pH cairan pleura (Sahn, 2009). Selain itu juga, menebalnya membran pleura juga mengganggu transpor glukosa dari darah masuk ke cairan pleura (Chavalittamrong, 1979)

. Juga ada beberapa biomarker baru yang diteliti untuk mendiagnosis efusi pleura yang infektif seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), myeloperoxidase, CRP dan PCT. Namun, tak satu pun dari parameter tersebut yang lebih unggul dari parameter klasik pH pleura <7.20, atau glukosa pleura <60 mg / dL (Porcel, et al, 2009). Belum lagi, biaya pemeriksaannya jauh lebih mahal dibandingkan pemeriksaan glukosa cairan pleura.

2.6 Cara Pemeriksaan Kadar Glukosa Cairan Pleura

1. Sampel pleura diambil sebanyak 10 – 20 cc dari toracentesis, simpan dalam tabung EDTA


(6)

2. Bila sampel jernih, langsung tambahkan reagen untuk pemeriksaan glukosa kemudian diperiksa dengan menggunakan spektrofotometer/ autoanalyzer

3. Bila sampel keruh, disentrifus dulu, diambil supernatannya, lalu ditambahkan reagen untuk pemeriksaan glukosa. Selanjutnya langsung diperiksa dengan spektrofotometer/ autoanalyzer.