VALIDITAS SKOR ANGIOGRAFI UNTUK MEMPREDIKSI TERJADINYA AMPUTASI PADA KAKI DIABETIK DI RSUP SANGLAH.

(1)

i

TESIS

VALIDITAS SKOR ANGIOGRAFI UNTUK

MEMPREDIKSI TERJADINYA AMPUTASI PADA

KAKI DIABETIK DI RSUP SANGLAH

ANAK AGUNG GEDE AGUNG BUDHI KUSUMA

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

TESIS

VALIDITAS SKOR ANGIOGRAFI UNTUK

MEMPREDIKSI TERJADINYA AMPUTASI PADA

KAKI DIABETIK DI RSUP SANGLAH

ANAK AGUNG GEDE AGUNG BUDHI KUSUMA NIM 1014028109

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(3)

iii

VALIDITAS SKOR ANGIOGRAFI UNTUK

MEMPREDIKSI TERJADINYA AMPUTASI PADA

KAKI DIABETIK DI RSUP SANGLAH

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Studi Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana

ANAK AGUNG GEDE AGUNG BUDHI KUSUMA NIM 1014028109

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(4)

iv

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 28 APRIL 2016

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. dr Ketut Putu Yasa, Sp.BTKV Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH

NIP 19601115 198702 1 002 NIP 19560707 198211 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur

Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana,

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP 19580521 198503 1 002 NIP 19590215 198510 2 001


(5)

v

Tesis ini Telah Diuji Pada

Tanggal 28 April 2016

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No. 1896/UN14. 4/HK/2016,

Tanggal 25 April 2016

Ketua : Dr. dr. Ketut Putu Yasa, Sp.BTKV

Anggota :

1. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH 2. dr. I Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma

3. Dr. dr. Nyoman Putu Riasa, Sp.BP-RE (K) 4. dr. Gede Wirya Kusuma Duarsa, M. Kes, Sp.U


(6)

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis dengan judul

Validitas Skor Angiografi Untuk Memprediksi Terjadinya Amputasi Pada Kaki Diabetik Di RSUP Sanglah”.

Karya tulis ini adalah salah satu persyaratan dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Umum di Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar. Terima kasih yang tidak terhingga dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis haturkan kepada:

Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku rektor Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan belajar di universitas yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pasca sarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan untuk menjadi mahasiswa Program Combined Degree Program Studi Ilmu Biomedik pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, MSc, Sp.GK selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan untuk menimba ilmu.

Dr. dr. Ketut Putu Yasa, Sp.BTKV selaku pembimbing utama penelitian yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan inspirasi,


(7)

vii

bimbingan, dan nasehat sehingga mempermudah penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH selaku pembimbing kedua dalam penelitian ini yang telah memberikan bimbingan dan masukan untuk memperlancar penyelesaian karya tulis ini.

Prof. Dr. dr. Sri Maliawan, Sp.BS (K) selaku Kepala Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di program studi Bedah Umum.

dr. Ketut Wiargitha, Sp.B (K) Trauma selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dan dr. Putu Anda Tusta Adiputra, Sp.B (K) Onk. Sebagai Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar yang memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikan pendidikan.

dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M. Kes selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar yang telah memberikan kesempatan kepada penelitian untuk belajar di lingkungan rumah sakit yang beliau pimpin.

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan penelitian kesempatan untuk mengikuti pendidikan spesialis Bedah Umum di fakultas yang beliau pimpin.

Seluruh staf pengajar Departemen/SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar sebagai guru dan teladan penulis yang dengan penuh dedikasi dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan


(8)

viii

dan dukungan kepada penulis selama mengikuti pendidikan Bedah Umum dan dalam menyelesaikan karya tulis ini.

Orang tua penulis, Prof. Dr. dr A. A Gede Budhiarta, Sp.PD-KEMD, Tjok Istri Sri Juwati Indira Laksmi, mertua penulis Ketut Ayu Budiasih Sudira, SH, istri penulis dr. A. A Istri Sri Kumala Dewi, putri penulis A. A. Istri Agung Tyarina Nadeswari, dan putra penulis A. A. Gede Agung Raditya Kusuma. Atas cinta kasih, motivasi, dan dukungan yang tiada henti selama penulis menjalani pendidikan spesialis ini.

Seluruh staf dan paramedis di Instalasi Bedah Sentral RSUP Sanglah, seluruh staf sekretariat Bedah, serta paramedis di Instalasi Rawat Inap Bedah, Instalasi Rawat Jalan Bedah RSUP Sanglah Denpasar.

Akhir kata, semoga karya tulis ini dapat bermanfaat,dan mohon maaf atas segala kekurangan.

Denpasar, 28 April 2016


(9)

ix ABSTRAK

VALIDITAS SKOR ANGIOGRAFI UNTUK MEMPREDIKSI

TERJADINYA AMPUTASI PADA KAKI DIABETIK DI RSUP SANGLAH

Kaki diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus (DM) yang sampai saat ini masih memberikan masalah berupa luka yang sulit sembuh dan resiko amputasi yang tinggi. Salah satu faktor resiko amputasi adalah adanya penyakit oklusi ateri perifer/peripheral artery disease (PAD) merupakan salah satu bentuk gangguan vaskular pada ulkus kaki diabetik. Angiografi merupakan suatu langkah diagnostik untuk melihat gambaran pembuluh darah, merencanakan tindakan terapi serta dapat memprediksi prognosis yaitu terjadinya amputasi dengan memakai skor angiografi.

Penelitian ini adalah uji diagnostik untuk mencari validitas skor angiografi dalam memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik pada 23 pasien yang datang ke rumah sakit Sanglah. Data dianalisis dengan menggunakan kurva ROC dan uji diagnostik tabel 2x2 sehingga didapatkan AUC, cut off point, sensitifitas, spesifisitas, NPP, NPN, RKP dan RKN.

Pada penelitian ini didapatkan cut off point skor angiografi 33% dengan AUC 0,9841 (> 0,7) pada persen skor dan cut off point 6 dengan AUC 0,9960 pada total skor (> 0,7). Sensitivitas dan spesifisitas skor angiografi sangat baik untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik yaitu sebesar 92,9% dan 88,9% (CI 95%). Hasil NPP 92,9% dan NPN 88,9% mendukung bahwa nilai diagnostik skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik baik.

Validitas skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik memiliki nilai sensitifitas lebih dari 90% dan spesifisitas lebih dari 85% baik digunakan untuk tujuan skrining dan diagnostik.


(10)

x ABSTRACT

VALIDITY OF ANGIOGRAPHY SCORE TO PREDICT AMPUTATION OF DIABETIC FOOT IN RSUP SANGLAH

Diabetic foot is a complication of diabetes mellitus (DM) which is still giving problems such as wounds that do not heal and the high risk of amputation. One of the risk factors for amputation is their peripheral artery occlusive disease/peripheral artery disease (PAD) is a form of vascular disorders in diabetic foot ulcers. Angiography is a diagnostic step to see the picture of the blood vessels, as well as the therapeutic action plan can predict the prognosis amputation by using a angiography score.

This research is a diagnostic testing to find out the validity of angiography score to predicting amputation of 23 diabetic foot patients in RSUP Sanglah. The data analysis is using ROC curve and diagnostic texting table 2x2, so that AUC, cut off point, sensitivity, specificity, NPP, NPN, RKP and RKN were discovered.

From this research it is found that the cut off point angiography score is 33% with AUC 0,9841 (> 0,7) on percent score and cut off point 6 with AUC 0,9960 on total score (> 0,7). Sensitivity and Specificity of angiography score is very good to predicting amputation of diabetic foot, which is 92,9% and 88,9% (CI 95%). The result of NPP 92,9% and NPN 88,9% is supporting that the diagnostic value of angiography score to predicting the amputation of diabetic foot patients is good.

Validity of angiography score to predict amputation of diabetic foot has a value of more than 90% sensitivity and specificity of more than 85% is good used for screening and diagnostic purposes.


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PRASYARAT GELAR ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PENETAPAN PANTIA PENGUJI ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v

UCAPAN TERIMA KASIH ... vi

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT ... x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR SINGKATAN ... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan Penelitian ... 5


(12)

xii

1.3.2 Tujuan khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 6

1.4.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Diabetes Melitus ... 7

2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus ... 8

2.1.2 Diagnosis Diabetes Melitus ... 9

2.2 Kaki Diabetik ... 10

2.2.1 Definisi ... 10

2.2.2 Anatomi Kaki ... 11

2.2.3 Epidemiologi Kaki Diabetik ... 13

2.2.4 Klasifikasi Kaki Diabetik ... 15

2.2.5 Patogenesis Kaki Diabetik ... 16

2.2.5.1 Neuropati Diabetik ... 17

2.2.5.2 Vaskulopati Diabetik ... 18

2.2.5.3 Imunopati Diabetik ... 19

2.2.5.4 Perubahan Struktur Tulang dan Sendi ... 21

2.2.6 Gambaran Klinis Kaki Diabetik ... 22

2.2.7 Pemeriksaan Kaki Diabetik ... 23


(13)

xiii

2.2.7.2 Pemeriksaan Penunjang ... 25

2.2.8 Amputasi pada Kaki Diabetik ... 26

2.3 Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial Disease (PAD) ... 27

2.3.1 Definis ... 27

2.3.2 Faktor Resiko Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial Disease (PAD) ... 28

2.3.3 Patogenesis Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial Disease (PAD) ... 29

2.3.3.1 Inflamasi ... 29

2.3.3.2 Disfungsi Endotel ... 30

2.3.3.3 Platelet ... 31

2.3.3.4 Koagulasi dan Rheologi ... 32

2.3.4 Diagnosis Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial Disease (PAD) ... 33

2.4 Angiografi ... 35

2.4.1 Definisi ... 35

2.4.2 Indikasi Angiografi pada Kaki Diabetik ... 36

2.4.2.1 Digital Subtraction Angiography (DSA) ... 37

2.4.2.2 MR Angiography (MRA) ... 38


(14)

xiv

2.4.2.4 Doppler Ultrasound ... 39

2.4.3 Sistem Skoring Angiografi ... 41

2.4.3.1 Skor Bollinger ... 41

2.4.3.2 Klasifikasi Graziani ... 42

2.4.3.3 Trans Atlantic Inter-Society Consensus (TASC) ... 43

2.4.3.4 Klasifikasi Joint Vascular Societies Council ... 45

2.4.3.5 Skor angiografi menurut Faglia ... 46

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP ... 47

3.1 Kerangka Berpikir ... 47

3.2 Konsep Penelitian ... 48

BAB IV METODE PENELITIAN ... 49

4.1 Rancangan Penelitian ... 49

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

4.3 Penentuan Sumber Data ... 49

4.3.1 Populasi ... 49

4.3.2 Populasi Terjangkau ... 50

4.3.3 Sampel Penelitian ... 50

4.3.4 Besar Sampel ... 50

4.3.5 Kriteria Pemilihan Sampel ... 51


(15)

xv

4.3.5.2 Kriteria Eksklusi ... 51

4.4 Definisi Operasional Variabel ... 51

4.5 Prosedur Penelitian ... 53

4.5.1 Tindakan Angiografi ... 53

4.5.2 Pengukuran Skor Angiografi ... 53

4.5.3 Amputasi ... 53

4.6 Alur Penelitian ... 54

4.7 Analisa Data ... 55

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

5.1 Hasil ... 57

5.1.1 Analisis Statistik Deskriptif ... 57

5.1.2 Analisi Kurva ROC ... 59

5.1.3 Uji Diagnostik ... 61

5.2 Pembahasan ... 62

5.2.1 Sensitifitas ... 65

5.2.2 Spesifisitas ... 66

5.2.3 Nilai Prediksi Positif (NPP) dan Nilai Prediksi Negatif (NPN) ... 67

5.2.4 Rasio Kemungkinan Positif (RKP) dan Rasio Kemungkinan Negatif (RKN) ... 67


(16)

xvi

6.1 Simpulan ... 68

6.2 Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70


(17)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi tulang pada kaki ... 12

Gambar 2.2 Anatomi pembuluh darah pada kaki ... 13

Gambar 2.3 Pathogenesis kaki diabetik ... 22

Gambar 2.4 Perubahan fungsi platelet dan faktor koagulasi ... 33

Gambar 2.5 Klasifikasi TASC II pada lesi arteri femoropopliteal ... 45

Gambar 3.1 Skema konsep penelitian ... 48

Gambar 5.1 Kurva ROC kemampuan skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik pada persen skor ... 59

Gambar 5.2 Kurva ROC kemampuan skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik pada total skor ... 60


(18)

xviii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Sistem klasifikasi kaki diabetik menurut Wagner ... 16

Tabel 2.2 Sistem klasifikasi kaki diabetik menurut University of Texas wound classification ... 16

Tabel 2.3 Derajat PAD berdasarkan nilai ABI ... 35

Tabel 2.4 Keuntungan dan kerugian dari alat diagnostik ... 40

Tabel 2.5 Skor Bollinger ... 42

Tabel 2.6 Klasifikasi Graziani ... 43

Tabel 2.7 Klasifikasi TASC I pada lesi arteri femoropopliteal ... 44

Tabel 2.8 Klasifikasi TASC I pada lesi arteri infrapopliteal ... 44

Tabel 2.9 Klasifikasi Joint Vascular Societies Council ... 45

Tabel 2.10 Skor angiografi menurut Faglia ... 46

Tabel 4.1 Sistem klasifikasi kaki diabetik menurut Wagner ... 52

Tabel 4.2 Skor angiografi menurut Faglia ... 52

Tabel 5.1 Gambaran karakteristik subyek dan variabel penelitian ... 57

Tabel 5.2 Jumlah lokasi lesi pembuluh darah pada 23 sampel pasien kaki diabetik ... 58

Tabel 5.3 Nilai batas, sensitifitas dan spesifisitas dari skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik pada persen skor ... 60


(19)

xix

Tabel 5.4 Nilai batas, sensitifitas dan spesifisitas dari skor

angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada

kaki diabetik pada total skor ... 61 Tabel 5.5 Hasil uji diagnostik tabel 2x2 skor angiografi untuk


(20)

xx

DAFTAR SINGKATAN

ABI : Ankle Brachial Index

AUC : Area Under Curve

CI : Confidence Interval

CLI : Critical Limb Ischemic

CRP : C-reactive protein

CTA : Computed Tomographic Angiography

DM : Diabetes Melitus

DSA : Digital Subtraction Angiography

eNOS : Endothelial Nitric oxide Synthase

FFA : Free Fatty Acid

IDF : International Diabetes Federation

MRA : Magnetic Resonance Angiography

MRI : Magnetic Resonance Imaging

NF-ĸB : Nuclear Factor-ĸB

NPN : Nilai Prediktif Negatif NPP : Nilai Prediktif Positif

PAD : Peripheral Artery Disease

PAI-1 : Plasminogen Activator Inhibitor-1


(21)

xxi

RAGE : Reseptor Advanced Glycation end Products

RKN : Rasio Kemungkinan Negatif RKP : Rasio Kemungkinan Positif ROC : Receiver Operating Characteristic

ROS : Reactive Oxigen Species

SD : Standar Deviasi

TASC I : Trans Atlantic Inter-Society Consensus I TASC II : Trans Atlantic Inter-Society Consensus II USG : Ultrasonography

VSMC : Vascular Smooth Muscle Cell


(22)

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Surat Kelaikan Etik ... 77 Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian ... 78 Lampiran 3 Lembar Pengumpulan Data Sampel ... 79 Lampiran 4 Data Sampel ... 80 Lampiran 5 Analisis Data Penelitian ... 81


(23)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kaki diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus (DM) yang sampai saat ini masih memberikan masalah berupa luka yang sulit sembuh dan risiko amputasi yang tinggi. Adapun salah satu faktor risiko amputasi adalah adanya penyakit oklusi arteri perifer/peripheral artery disease (PAD) yang merupakan salah satu bentuk gangguan vaskular pada ulkus kaki diabetik yang sampai saat ini belum tertangani secara optimal. Angiografi merupakan suatu langkah diagnostik untuk melihat gambaran pembuluh darah, merencanakan tindakan terapi serta dapat memprediksi prognosis yaitu terjadinya amputasi dengan memakai skor angiografi.

Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit yang komplek dimana melibatkan hampir semua organ vital dari tubuh. Sekitar 347 juta orang di seluruh dunia terdiagnosa penyakit DM dan sebagian besar merupakan DM tipe 2. Angka insiden dari DM terus meningkat dan diperkirakan akan terus meningkat dua kali lipat pada tahun 2030. Pasien dengan DM merupakan masalah kesehatan yang sangat serius, dimana dapat mengenai organ lain seperti mata, ginjal, kaki, kulit, dan jantung (Singh, et al. 2013).

Di Indonesia, berdasarkan laporan Riskesdas 2007 yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, Republik Indonesia, prevalensi nasional penyakit DM adalah 1,1% (Riskesdas, 2007).


(24)

2

Indonesia kini telah menduduki peringkat keempat jumlah penyandang DM terbanyak setelah Amerika Serikat, China dan India. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penyadang diabetes pada tahun 2003 sebanyak 13,7 juta orang dan berdasarkan pola pertambahan penduduk diperkirakan pada 2030 akan ada 20,1 juta penyandang DM dengan tingkat prevalensi 14,7 persen untuk daerah urban dan 7,2 persen di rural. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health

Organisation, WHO) memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia

dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030 (Pusat Data dan Informasi PERSI, 2012).

Penderita DM mempunyai kemungkinan untuk menderita ulkus 17 kali lebih besar dibandingkan non DM. (Pyene, 2002). Ulkus diabetik merupakan salah satu kompikasi kronis penyakit DM yang menyebabkan kematian dan morbiditas seumur hidup. Ulkus yang tidak pernah sembuh, edema kaki, nyeri saat berjalan atau istirahat, gangren, dan amputasi merupakan penderitaan yang akan menggangu kualitas hidup. (Supartondo, et al. 1987; Batista, 2009).

Di Bombay, India dilaporkan lebih dari 10% penderita DM yang menjalani rawat inap memerlukan perawatan kaki diantaranya 70% memerlukan intervensi bedah (debridemen dan perawatan luka) dan lebih dari 80% memerlukan amputasi pada ekstremitas bawah (Jain, et al. 2012). Ulkus yang tidak kunjung sembuh merupakan penyebab utama amputasi. Penderita ulkus diabetik yang mengalami amputasi akan mengalami depresi, hilangnya kontak sosial, terganggunya aktivitas seksual dan terbatasnya kegiatan sehari-hari (Pinzur, 2009). Dilaporkan angka mortalitas penderita ulkus diabetik berkisar 6%


(25)

3

sampai 13,8% (Batista, 2009). Di RSUD Dr Sutomo Surabaya, melaporkan selama kurun waktu 5 tahun angka kejadian ulkus diabetik sebesar 25% dari penderita DM yang rawat inap, 30% diantaranya dilakukan amputasi, dan angka mortalitas sebesar 12% (Tjokroprawiro, 1986).

Amputasi pada kaki lebih sering dilakukan atas dasar infeksi jaringan lunak yang luas atau kombinasi dengan osteomielitis, disamping faktor-faktor lain seperti iskemia oleh karena penyakit oklusi arteri perifer/peripheral artery disease (PAD), dan neuropati (Van Baal, 2004; Widatalla, et al. 2009). Telah diketahui bahwa peripheral artery disease (PAD) merupakan salah satu bentuk gangguan vaskular pada ulkus kaki diabetik sebagai sumber penyebab hipoksia jaringan, karena kebanyakan ulkus kaki diabetik berlokasi pada bagian kaki yang mengalami iskemia akibat komplikasi vaskuler dari DM kronis (Lerman, et al. 2003). Kejadian PAD pada ulkus kaki diabetik bervariasi antara 10-60%, dan merupakan prediktor kuat untuk ulkus kaki kronis yang sulit sembuh, amputasi ektremitas bawah, morbiditas dan mortalitas (Tellechea, et al. 2010).

Gangguan pada pembuluh darah perifer dapat ditegakkan selain secara klinis, adanya gejala tertentu dan melalui beberapa pemeriksaan menggunakan metode tidak invasif untuk analisa pembuluh darah arteri yang mengalami PAD dapat dilakukan pemeriksaan dengan metode Ankle Brachial Index (ABI),

ultrasonography doppler hingga metode seperti angiografi. Modalitas angiografi ini memberikan informasi diagnostik penting yang diperlukan untuk dapat merencanakan pengobatan dan tindakan pada pasien dengan penyakit vaskular (Sanchez, et al. 1998; Apelqvist, 2012).


(26)

4

Angiografi merupakan indikasi pada pasien diabetes dengan ulkus yang tidak sembuh atau osteomyelitis, dan penyakit vaskular yang memerlukan gambaran dari penyakit pembuluh darah sebelum dilakukan endovaskular atau tindakan pembedahan. Hampir tanpa pengecualian, pasien dengan ulkus pada kaki akan memiliki penyakit steno-oklusif yang melibatkan pembuluh darah pada kaki (arteri femoral, femoral superfisial, femoral profunda, popliteal, tibia anterior, tibia posterior, dan peroneal) (Hochman, 2012).

Ada beberapa sistem skoring dan klasifikasi dalam mengevaluasi hasil dari angiografi, diantaranya adalah Bollinger scoring system, klasifikasi Graziani, Trans Atlantic Inter-Society Consensus (TASC I) dan (TASC II), klasifikasi Joint Vascular Societies Council, dan skoring menurut Faglia (Bergellini, et al. 2012; Toursarkissian, et al. 2002; Faglia, et al. 1998).

Dari sistem skoring tersebut diatas, skoring menurut Faglia dianggap paling sederhana, mudah diterapkan, dan menggambarkan seluruh pembuluh darah pada ekstremitas bawah. Pada penelitian ini digunakan sistem skoring angiografi menurut Faglia untuk mengevaluasi gambaran angiografi pada pasien dengan kaki diabetik, dimana sistem skoring angiografi ini bisa untuk meramalkan terjadinya amputasi pada ekstremitas bawah.


(27)

5

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Berapakah cut off point skor angoigrafi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik di RSUP Sanglah?

2. Berapakah sensitifitas skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik di RSUP Sanglah ?

3. Berapakah spesifisitas skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik di RSUP Sanglah ?

4. Berapakah akurasi skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik di RSUP Sanglah ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui validitas skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik di RSUP Sanglah.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Menentukan cut off point skor angoigrafi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik di RSUP Sanglah.

2. Mengetahui sensitifitas skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik di RSUP Sanglah.


(28)

6

3. Mengetahui spesifisitas skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik di RSUP Sanglah.

4. Mengetahui akurasi skor angiografi untuk memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik di RSUP Sanglah.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui validitas skor angiografi dalam memprediksi terjadinya amputasi pada kaki diabetik, sehingga dapat digunakan sebagai acuan teoritis yang telah ada.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam penatalaksanaan pasien dengan kaki diabetik dalam hal memprediksi terjadinya amputasi, sehingga bisa dipakai sebagai informasi awal pada pasien dan keluarganya.

2. Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan untuk melakukan amputasi lebih awal, sehingga bisa memperpendek masa rawat dan menghemat biaya perawatan.

3. Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.


(29)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya (Perkeni 2011).

DM adalah kelainan yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi normal (hiperglikemia) dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormone insulin secara relatif maupun absolut, apabila dibiarkan tidak terkendali dapat terjadinya komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskular jangka panjang yaitu mikroangiopati dan makroangiopati (Soegondo, et al. 2004).

DM merupakan masalah kesehatan utama di dunia dan mencapai proporsi epidemik. WHO memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang cukup besar pada tahun-tahun mendatang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). Menurut laporan terakhir, jumlah penderita DM di dunia telah


(30)

8

meningkat secara mengkhawatirkan dan biaya pengelolaannya pun menjadi 3 kali lipat termasuk biaya pemeriksaan laboratorium yang merupakan bagian penting dalam penanggulangan mortalitas dan morbiditas DM. (Payne, 2002; Supartondo, et al. 1998).

2.1.1 Klasifikasi Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013) diabetes dibagi menjadi 4 tipe utama, yaitu: Diabetes Tipe 1, Diabetes Tipe 2, Diabetes Gestasional dan Diabetes tipe spesifik akibat kondisi lain.

Sedangkan menurut Perkeni (2011) klasifikasi DM dapat dibedakan menjadi:

1. Tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut 1) Autoimun

2) Idiopatik 2. Tipe 2

Bervariasi, mulai yang dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek sekresi insulin disertai resistensi insulin 3. Tipe lain

1) Defek genetik fungsi sel beta 2) Defek genetik kerja insulin 3) Penyakit eksokrin pankreas 4) Endokrinopati


(31)

9

5) Karena obat atau zat kimia 6) Infeksi

7) Sebab imunologi yang jarang

8) Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM 4. Diabetes mellitus gestasional

2.1.2 Diagnosis Diabetes Melitus

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, keluhan lain dapat berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2011).


(32)

10

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2013), kriteria diagnosis diabetes mellitus meliputi satu dari beberapa tes laboratorium berikut:

1. Glukosa plasma puasa ≥ 7,0 mmol/L (≥ 126 mg/dL)

2. Gejala klinis diabetes disertai dengan kadar glukosa darah acak ≥ 11,1

mmol/L (≥ 200 mg/dL)

3. 2 jam setelah pemberian glukosa 75 g oral, kadar glukosa plasma ≥ 11,1

mmol/L (≥ 200 mg/dL)

4. A1C ≥ 6,5 %

2.2 Kaki Diabetik

2.2.1 Definisi

Berdasarkan WHO dan International Working Group on the Diabetic Foot

kaki diabetik adalah ulkus, infeksi, dan atau kerusakan dari jaringan, yang berhubungan dengan kelainan neurologi dan penyakit pembuluh darah perifer pada ekstremitas bawah (Katsilambros, et al. 2003). Gangguan pada saraf dan aliran darah ini disebabkan karena hiperglikemia, sedangkan menurut Waspadji (2006) kaki diabetik adalah kelainan tungkai bawah akibat diabetes melitus yang tidak terkontrol. Kesimpulannya, kaki diabetik adalah kerusakan jaringan pada kaki yang diakibatkan karena gula darah yang tidak terkontrol.

Terdapat 3 macam bentuk ulkus diabetik yaitu ulkus neuropati, ulkus iskemia dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah bula, dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang-tulang yang menenjol pada jari-jari kaki atau di daerah plantar. Ulkus iskemia biasanya pucat,


(33)

11

nekrosis, sangat sakit, tidak terbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari-jari kaki, tepi-tepi kaki dan tumit (Pinzur, 2009).

Pasien dengan DM cendrung mempunyai kelainan dini pada makrovaskular sehingga mengakibatkan penurunan aliran darah. Hilangnya aliran darah ini menyebabkan matinya jaringan tubuh (nekrosis) diikuti oleh infeksi bakteri, pembusukan dan pembentukan gas yang disebut gangren. Gangren yang disebabkan paling banyak oleh infeksi bakteri anaerob jenis Clostridium perfringens dikenal sebagai gas gangren. Bakteri ini dapat menghancurkan jaringan dengan gas dan toksin yang dihasilkannya (Sutherland, et al. 2004). Selain Clostridia, infeksi dengan gas dapat disebabkan oleh mikroorganisme anerob lainnya seperti Bakteriodes dan Streptoccus anaerob, atau fakultatif anaerob seperti Coliformis (Smith, et al. 2006; Cooney, et al. 2011). Smith, et al

membagi infeksi pada pasien diabetes manjadi infeksi lokal dan sistemik. Infeksi lokal dapat terjadi pada kulit, fasia, atau otot. Clostridia dan Streptococcus

menyebabkan infeksi sistemik karena menghasilkan eksotoksin dan enzim yang dapat menghancurkan jaringan serta meningkatkan penyebaran kuman (Smith, et al. 2006).

2.2.2 Anatomi Kaki

Tulang-tulang pada kaki terdiri dari tulang talus, calcaneus, cuneiforme, cuboid, metatarsal dan phalanx. Anatomi tulang sangat penting dalam patofisiologi kaki diabetik khususnya pada kasus osteomielitis dan charcot foot. Telapak kaki adalah bagian bawah kaki manusia, secara anatomis telapak kaki


(34)

12

disebut juga aspek plantar. Tidak seperti bagian tubuh lainnya, kulit telapak kaki tak memiliki bulu atau pigmen, dan memiliki konsentrasi pori keringat yang tinggi. Telapak kaki memiliki sejumlah lipatan yang terbentuk selama embriogenesis dan mengandung lapisan kulit paling tebal pada tubuh manusia karena bobot yang terus bertumpu di atasnya (Katsilambros, et al. 2003).

Sedangkan Pembuluh darah pada ekstremitas bawah memiliki beberapa anastomosis yang mempunyai dua fungsi utama yaitu:

1. Sebagai suplai darah alternatif jika terjadi gangguan pada salah satu pembuluh darah dan digunakan untuk desain flap.

2. Untuk memprediksi status penyembuhan luka. Hubungan anastomosis ini sangat penting dalam menyokong kaki jika terjadi gangguan aliran darah pada salah satu vaskular (Robert, et al. 2008).

Gambar 2.1


(35)

13

Gambar 2.2

Anatomi pembuluh darah pada kaki (Robert, et al. 2008).

2.2.3 Epidemiologi Kaki Diabetik

DM merupakan salah satu penyakit kronis yang paling banyak hampir di seluruh dunia, dan prevalensinya terus bertambah yang disebabkan oleh karena perubahan gaya hidup yang menyebabkan berkurangnya aktifitas fisik, dan meningkatnya obesitas. Ulkus diabetik merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada penderita DM dan meliputi beberapa kelainan patologi, termasuk: diabetes neuropati, penyakit pembuluh darah perifer, Charcot neuroarthropathy,

ulserasi pada kaki, dan osteomyelitis. Pasien dengan kaki diabetik juga memiliki beberapa komplikasi dari diabetes itu sendiri dan perlu perhatian dari berbagai disiplin ilmu (Zubair, et al. 2015). Khanolkar, et al (2008) melaporkan, berdasarkan populasi tahunan kejadian untuk ulkus kaki diabetik adalah sebesar 1-4%, dengan prevalensi 4-10%. Di Amerika Serikat dilaporkan sebesar 15% penderita DM mengalami ulkus diabetik dan 12% menjalani amputasi dengan


(36)

14

angka mortalitas berkisar antara 6% sampai 13,8%. Di RSUD Dr Soetomo Surabaya, selama kurun waktu 5 tahun angka kejadian ulkus diabetik sebesar 3,8% dari penderita DM yang rawat jalan, 25% dari penderita DM yang rawat inap dan sebesar 30% dari penderita yang rawat inap dilakukan amputasi dengan angka kematian 12%.

Penderita ulkus diabetik yang mengalami amputasi akan mengalami depresi, hilangnya kontak sosial, terganggunya aktivitas seksual dan terbatasnya kegiatan sehari-hari. Proporsi ulkus kaki diabetik derajat Wagner III-V mencapai 74,6 % dibandingkan dengan derajat Wagner I-II yang hanya mencapai 25,4 % dari seluruh kasus ulkus kaki diabetik yang dirawat di RS Sanglah, semakin tinggi derajat ulkus semakin besar risiko amputasi (Muliawan, et al. 2006).

Permasalahan ekonomi akan muncul secara bermakna dengan mahalnya biaya perawatan ulkus diabetik. Di Amerika Serikat diperkirakan 200 juta dolar per tahunnya dibutuhkan untuk biaya perawatan gangguan kaki ini. Diperkirakan biaya perawatan ulkus sebesar 6.600 dolar Amerika tiap kali perawatannya. Di RSCM Jakarta Waspadji (2006), melaporkan bahwa mahalnya biaya perawatan ulkus diabetik berkisar 1,5-2 juta rupiah yang sering tidak terjangkau oleh masyarakat umum.

Waspadji (2006), dalam penelitiannya menghubungkan derajat ulkus diabetik dengan beberapa faktor terhadap kesulitan penyembuhan. Didapatkan bahwa faktor merokok memberikan risiko 7 kali terjadi ulkus diabetik. Derajat ulkus diabetik yang lebih atau sama dengan Wagner 3 memberikan risiko 4,27 kali dalam hal kesulitan penyembuhan luka. Mulyawan (2006), juga melaporkan


(37)

15

bahwa semakin tinggi derajat Wagner, semakin tinggi prevalensi bakteri anaerob, dan waktu penyembuhan lebih lama daripada infeksi bakteri aerob.

2.2.4 Klasifikasi Kaki Diabetik

Ada beberapa klasifikasi derajat ulkus kaki diabetik dikenal saat ini seperti, klasifikasi Wagner, University of Texas wound classification system, dan lain-lain. Klasifikasi Wagner banyak dipakai secara luas, menggambarkan derajat luas dan berat ulkus namun tidak menggambarkan keadaan iskemia dan ikhtiar pengobatan (Oyibo, et al. 2001; Widatalla, et al. 2009 ). Kriteria diagnosa infeksi pada ulkus kaki diabetik bila terdapat dua atau lebih tanda-tanda berikut: bengkak, indurasi, eritema sekitar lesi, nyeri lokal, teraba hangat lokal, adanya pus (Bernard, et al. 2007; Lipsky, et al. 2012). Infeksi dibagi dalam infeksi ringan (superfisial, ukuran dan dalam terbatas), sedang (lebih dalam dan luas), berat (disertai tanda-tanda sistemik atau gangguan metabolik) (Lipsky, et al. 2012). Termasuk dalam infeksi berat seperti fascitis nekrotikan, gas gangren, selulitis, terdapat sindroma kompartemen, infeksi dengan toksisitas sistemik atau instabilitas metabolik yang mengancam kaki dan jiwa pasien (Zgonis, et al. 2008). Sistem klasifikasi yang lain adalah klasifikasi University of Texas. Klasifikasi ini menggambarkan kedalaman ulkus dan adanya infeksi dan iskemik seperti digambarkan pada tabel 2.2. Semakin tinggi grade dan stage maka proses penyembuhan akan semakin jelek. (Singh, et al. 2013).

Adapun klasifikasi ulkus diabetik berdasarkan Wagner Ulcer Classification System adalah seperti pada table 2.1 (Pinzur, 2009).


(38)

16

Tabel 2.1

Sistem klasifikasi kaki diabetik menurut Wagner (Pinzur, 2009).

Kategori Derajat Lesi

Ringan

0 1 2

Kulit utuh, ada kelainan bentuk kaki akibat neuropati Ulkus superfisial terlokalisir

Ulkus lebih dalam, mengenai tendon, ligament, otot, sendi, belum mengenai tulang, tanpa selulitis atau abses Berat

3 4 5

Abses yang dalam dengan atau tanpa osteomyelitis Gangren jari atau kaki bagian distal

Gangren seluruh kaki

Tabel 2.2

Sistem klasifikasi kaki diabetik menurut University of Texas Wound Classification System (Oyibo, et al. 2001).

University of Texas Diabetic Wound Classification System

Stage Grade

0 I II III

A

(No infection or ischemia)

Pre- or post ulcerative lesion completely epithelialized Superficial wound not involving tendon, capsule, or bone Wound penetrating to tendon or capsule Wound penetrating to bone or joint

B Infection Infection Infection Infection

C Ischemia Ischemia Ischemia Ischemia

D Infection and ischemia Infection and ischemia Infection and ischemia Infection and ischemia

2.2.5 Patogenesis Kaki Diabetik

Ulkus kaki diabetik merupakan hasil dari beberapa faktor penyebab yang secara simultan mempengaruhi keadaan fisiologi pada kaki. Dua penyebab utama kaki diabetik adalah neuropati diabetik dan iskemik akibat PAD (Khanolkar, et al. 2008; Singh, et al. 2013).

Dimana mekanisme metabolisme terganggu pada DM, maka terjadi peningkatan risiko infeksi dan penyembuhan luka yang buruk karena mekanisme


(39)

17

yang meliputi respon sel dan faktor pertumbuhan sel menurun, berkurangnnya aliran darah perifer dan penurunan lokal angiogenesis. Dengan demikian kaki cendrung terkena penyakit pembuluh darah perifer, kerusakan saraf perifer, deformitas, ulkus dan gangren. Infeksi pada pasien diabetes akan lebih serius jika gula darahnya tidak terkontrol. Hal ini disebabkan pada infeksi akan disekresi hormon anti-insulin seperti katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan glukagon yang dapat menyebabkan intoleransi glukosa ringan sampai ketoasidosis berat. Pasien diabetes khususnya yang tidak terkontrol sangat rentan terhadap infeksi yang diperkirakan karena efek kemotaksis atau gangguan fagositosis leukosit pada keadaan hiperosmolaritas (Edmonds. 2008).

2.2.5.1 Neuropati Diabetik

Neuropati menyebabkan lebih dari 60% dari ulkus kaki diabetik dan dapat mengenai pada pasien dengan DM tipe 1 dan tipe 2. Peningkatan kadar gula darah menyebabkan peningkatan produksi enzim seperti aldose reductase dan sorbitol dehydrogenase. Enzim ini mengubah glukosa menjadi sorbitol dan fruktosa. Dimana bila terjadi penumpukan gula, maka sintesis sel saraf myonositol menurun yang mempengaruhi konduksi saraf itu sendiri. Selanjutnya keadaan dimana hiperglikemia berimbas pada mikroangiopati yang mengakibatkan kelainan metabolik, kerusakan sistem imun dan iskemik dari saraf autonom, motorik, dan sensorik. Hal ini yang menyebabkan penurunan sensasi perifer dan kerusakan saraf yang menginervasi otot pada kaki dan vasomotor pada sistem sirkulasi. Bila sudah terjadi kerusakan pada saraf, pasien dengan DM mempunyai


(40)

18

risiko yang lebih tinggi terjadinya cidera hingga menjadi ulkus tanpa disadari. Risiko terjadinya ulkus kaki diabetik pada pasien dengan gangguan sensoris meningkat hingga 7 kali lipat, dibandingkan dengan pasien DM tanpa kelainan neuropati (Singh, et al. 2013)

DM juga mempengaruhi sistem saraf otonom, yang mengakibatkan kulit kering dan timbulnya fisura, membuat rentan terhadap terjadinya infeksi. Sistem saraf otonom juga mengontrol mikrosirkulasi pada kulit. Perubahan ini pada akhirnya berakibat terjadinya perkembangan ulkus, gangren, dan risiko kehilangan anggota tubuh (Singh, et al. 2013; Robolledo, et al. 2011).

2.2.5.2 Vaskulopati Diabetik

Keadaan Hiperglikemia menyebabkan disfungsi sel endotelial dan kelainan sel otot polos pada arteri perifer. Sel endotel mensintesis nitric oxide

yang menyebabkan vasodilatasi dan melindungi pembuluh darah dari cedera endogen. Oleh karena itu, pada hiperglikemia terjadi gangguan sifat fisiologis dari

nitric oxide yang biasanya mengatur homeostasis endothelial, antikoagulan, adhesi leukosit, proliferasi sel otot polos, dan kapasitas antioksidan. Penurunan vasodilator endotelium dan nitric oxide menyebabkan penyempitan pembuluh darah dan kecendrungan untuk terjadinya aterosklerosis, dan pada akhirnya menyebabkan iskemia. Sistem mikrosirkulasi juga terganggu yang disebabkan karena arteriol venular shunting, dimana mengurangi sirkulasi darah ke tempat yang membutuhkan. Hiperglikemia pada DM juga berhubungan dengan peningkatan thromboxane A2 menyebabkan hiperkoagulabilitas plasma. Secara


(41)

19

klinis pasien memiliki gejala-gejala dari kelainan pembuluh darah seperti: klaudikasio, nyeri pada saat istirahat (rest pain), tidak teraba pulsasi, penipisan kulit, hilangnya rambut pada kaki, dan lain-lain (Singh, et al. 2013).

2.2.5.3 Imunopati Diabetik

Dibandingkan dengan orang yang sehat sistem kekebalan tubuh pada pasien dengan DM jauh lebih lemah. Dengan demikian infeksi kaki diabetik pada pasien dengan diabetes adalah mengancam nyawa. Dalam keadaan hiperglikemia menyebabkan peningkatan dari sitokin pro inflamasi dan penurunan fungsi sel

polimorfonuclear (PMN), seperti kemotaksis, fagositosis, dan lain-lain (Singh, et al. 2013). Fagositosis dan aktivitas bakterisidal intraselular dipengaruhi oleh kontrol glikemia. Peningkatan kadar glukosa darah pada pasien diabetes menyebabkan gagalnya fungsi neutrofil dan sistem imunologi (Yasa, et al. 2003). Selama fagositosis terjadi peningkatan terhadap pemakaian glukosa, konsumsi O2

dan produksi laktat. Tetapi energi yang disimpan PMN relatif sedikit dan memerlukan glukosa eksogen untuk mempertahankan aktivitasnya, dengan perkiraan kemotaksis PMN dalam keadaan normal berlangsung selama 4 jam tanpa memerlukan tambahan glukosa. Insulin melekat erat pada sel PMN dan dapat secara terus-menerus menyumbangkan energi yang besar melalui jalur

Embden-Meyerhof yang diperlukan sel pada proses kemotaksis. Pemakaian glukosa, produksi laktat, dan sintesis glikogen menurun pada PMN pasien diabetes yang kehilangan insulin selama 36 sampai 72 jam. Pemakaian glukosa, produksi laktat, dan sintesis glikogen akan meningkat bila PMN diinkubasi


(42)

20

kembali dengan insulin (Sapico, et al. 2000).

Pasien dengan defisiensi kemotaksis PMN dapat menjadi lebih berat apabila disertai penebalan membran basalis kapiler. Penebalan membran basalis disebabkan peningkatan produk akhir glikosilasi yang akan menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Produk akhir glikosilasi akan berinteraksi dengan reseptor pada makrofag dan sel endotel yang akan menginduksi terjadinya penumpukan bahan berlebihan dan trombosis setempat. Selain itu makrofag tersebut dapat melepaskan sitokin yang akan melukai sel endotel dan meningkatkan pembentukan plak. Penebalan ini akan menghalangi gerakan keluar masuknya leukosit dan mencegah difusi insulin serta glukosa yang dibutuhkan leukosit dalam jaringan pada tempat masuknya bakteri (Sapico, et al. 2000; Smith, et al. 2006).

Selain itu tingginya kadar gula dalam darah merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Organisme yang paling dominan pada infeksi kaki diabetik adalah kuman aerob gram positif seperti Staphylococcus aureus dan

Streptococcus β hemoliticus. Jaringan lunak pada kaki seperti plantar aponeurosis, tendon, otot, dan fasia tidak bisa menahan infeksi. Selain itu, beberapa kompartemen di kaki saling berhubungan dan tidak bisa membatasi penyebaran infeksi dari yang satu ke yang lain. Infeksi pada jaringan lunak ini dengan cepat dapat menyebar ke tulang menyebabkan osteoitis. Jadi ulkus sederhana pada kaki mudah mengakibatkan komplikasi seperti osteitis atau


(43)

21

2.2.5.4 Perubahan Struktur Tulang dan Sendi

Perubahan struktural pada anatomi kaki dan persendian menyebabkan kelemahan dan muscle wasting pada otot-otot intrinsik kecil. Hal ini menyebabkan hilangnya keseimbangan pada saat berjalan, clawing of toes, dan plantar fleksi metatarsal head (charcot foot). Musculus interosseous dan otot-otot intrinsik berfungsi sebagai penyeimbang dan menahan phalang agar ekstensi (Rebolledo, et al. 2011).

Gangguan morfologi dan fungsional struktur kaki, jari-jari kaki, dan sendi mempengaruhi absorbsi dan distribusi tekanan saat berjalan. Efek pada kaki meliputi reduksi gerakan dan perubahan terhadap sudut subtalar dan sendi

metatarsophalangeal pertama. Pada pasien diabetes, tendon fleksor dan ekstensor cenderung lurus dan kaku. Deformitas equinus dapat terjadi akibat pemendekan tendon achilles dan kolaps fascia plantaris, memfasilitasi abduksi dan adduksi kaki depan. Hal ini menyebabkan terjadinya hammer toes dan tekanan beban tubuh terpusat pada permukaan anterior jari-jari kaki (Rebolledo, et al. 2011).

Charcot foot merupakan deformitas ulkus diabetik akibat neuropati yang klasik dengan empat tahap perkembangan. Pada tahap pertama biasanya disertai riwayat trauma ringan disertai kaki yang panas, merah, dan bengkak. Keadaan ini harus dibedakan dari selulitis. Tahap kedua terjadi fragmentasi dan fraktur pada persendian tarsometatarsal. Selanjutnya pada tahap ketiga terjadi fraktur dan kolaps persendian. Bila pasien tetap berjalan dengan posisi kaki yang tidak tepat maka akan terjadi tahap keempat yaitu ulserasi plantar (Andrew, et al. 2004).


(44)

22

Gambar 2.3

Pathogenesis kaki diabetik (Rebolledo, et al. 2011).

2.2.6 Gambaran Klinis Kaki Diabetik

Terdapat tiga macam bentuk ulkus diabetik yaitu ulkus neuropati, ulkus iskemia dan ulkus neuroiskemia (campuran). Karakteristik ulkus neuropati adalah bula, dikelilingi oleh kalus, tidak nyeri dan berlokasi di atas tulang–tulang yang menonjol pada jari–jari kaki atau di plantar pedis. Ulkus iskemia biasanya pucat, nekrosis, sangat sakit, tidak berbentuk kalus dan lokasinya sering pada jari–jari kaki, tepi–tepi kaki dan tumit (Payne, 2002).

Pertimbangan yang diperlukan dalam mengevaluasi krepitasi pada luka yaitu membedakan penyebabnya, nonbakteri atau bakteri. Krepitasi nonbakteri dapat berkaitan dengan fisik atau kimia. Krepitasi yang berkaitan dengan fisik disebabkan penetrasi dan perforasi udara, sedang yang berkaitan dengan kimia disebabkan kontak antara tubuh dengan gas, termasuk hidrogen peroksida,


(45)

23

benzine, dan kompleks magnesium tertentu. Krepitasi oleh karena bakteri dapat disebabkan oleh Clostridia atau non-Clostridia. Krepitasi non-Clostridia dapat disebabkan oleh bakteri anaerob fakultatif misalnya Klebsiella dan Enterobacter

atau bakteri anaerob obligat misalnya Peptostreptococcus dan Bacteroides.

Membedakan kedua macam infeksi ini penting karena penanganan kedua keadaan ini sangat berbeda (Sapico, et al. 2000; Hendromartono, 2003).

2.2.7 Pemeriksaan Kaki Diabetik

Pada anamnesa informasi yang penting adalah pasien telah mengidap DM sejak lama. Gejala neuropati diabetik yang sering ditemukan adalah kesemutan, rasa panas di telapak kaki, kram, badan sakit semua terutama malam hari. Gejala neuropati menyebabkan hilang atau menurunnya rasa nyeri pada kaki. Manifestasi gangguan pembuluh darah berupa nyeri tungkai sesudah berjalan pada jarak tertentu akibat aliran darah ke tungkai yang berkurang (klaudikasio intermiten). Manifestasi lain berupa ujung jari terasa dingin, nyeri kaki diwaktu malam, denyut arteri hilang dan kaki menjadi pucat bila dinaikkan (Frykberg, 2009).

2.2.7.1 Pemeriksaan Fisik

Kesan umum akan tampak kulit kaki yang kering dan pecah-pecah akibat berkurangmya produksi keringat. Tampak pula hilangnya rambut kaki atau jari kaki, penebalan kuku, kalus pada daerah daerah yang mengalami penekanan seperti pada tumit, plantar aspek kaput metatarsal. Adanya deformitas berupa claw toe sering pada ibu jari (Pinzur, 2006). Pada daerah yang mengalami penekanan


(46)

24

tersebut merupakan lokasi ulkus diabetikum karena trauma yang berulang-ulang tanpa atau sedikit dirasakan pasien (Supartondo, et al. 1998). Tergantung dari derajatnya saat kita temukan, ulkus yang terlihat mungkin hanya suatu ulkus superfisial yang hanya terbatas pada kulit dengan dibatasi kalus yang secara klinis tidak menunjukkan tanda–tanda infeksi (Payne, 2002).

Pada palpasi dinilai ada atau tidaknya denyut atau pulsasi arteri perifer, tidak terabanya pulsasi dan kaki teraba dingin dapat diasumsikan bahwa terjadi oklusi arteri. Palpasi dilakukan pada Arteri Femoralis, Arteri Poplitea, Arteri Dorsalis Pedis dan Arteri Tibialis Posterior, dibandingkan kanan dan kiri. Kulit yang kering serta pecah-pecah mudah dibedakan dengan kulit yang sehat. Kalus disekeliling ulkus akan teraba sebagai daerah yang tebal dan keras. Deskripsi ulkus harus jelas karena sangat mempengaruhi prognosis serta tindakan yang akan dilakukan. Apabila pus tidak tampak maka penekanan pada daerah sekitar ulkus sangat penting untuk mengetahui ada tidaknya pus. Ulkus harus dibuka lebar untuk melihat luasnya kavitas serta jaringan bawah kulit, otot, tendon serta tulang yang terlibat (Yasa, et al. 2003).

Disamping gejala serta tanda adanya kelainan vaskular, perlu diperiksa dengan tes vaskular noninvasif, ankle-brachial index (ABI), dan toe systolic pressure (tekanan darah ibu jari). ABI didapat dengan cara membagi tekanan sistolik betis dengan tekanan sistolik lengan. Pada orang normal ABI > 1, bila ABI < 0,5 menunjukan iskemia yang berat. Toe systolic pressure (tekanan darah ibu jari) lebih akurat dibandingkan ABI. Mereka menemukan bahwa 25 mmHg merupakan batas minimal untuk penyembuhan ulkus pada kaki (N: >40 mmHg)


(47)

25

(Edmond, 2001). Arteriografi perlu dilakukan untuk memastikan terjadinya oklusi arteri (Pinzur, 2006).

2.2.7.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi akan dapat mengetahui apakah didapat gas subkutan, benda asing serta adanya osteomielitis (Levin, 2006). Untuk mengetahui adanya oklusi pada pembuluh darah maka dilakukan pemeriksaan penujang radiologi seperti ultrasonografi doppler/duplex, angiografi, MR angiografi, dan CT angiografi. Ultrasonografi doppler yang merupakan prosedur pemeriksaan yang paling sederhana dan non invasif. Pemeriksaan dengan

ultasonografi doppler cukup sensitif untuk mendiagnosis adanya penyakit arteri perifer oklusif tungkai bawah. Angiografi merupakan baku emas pemeriksaan vaskular karena akan memberikan informasi mengenai ada tidaknya sumbatan, luas sumbatan, serta kolateral. Kelemahan angiografi adalah bersifat invasif, memerlukan waktu dan mahal serta menggunakan kontras yang nefrotoksik, maka arteriografi jarang dipakai (Payne, 2002; Singh, et al. 2013). Untuk menentukan adanya osteomilitis dapat dikerjakan pemeriksaan seperti CT Scan, MRI, Gallium Scintigrahy yang semua ini memiliki resolusi yang sangat baik untuk melihat tulang dan jaringan (Gerhard, 2005).


(48)

26

2.2.8 Amputasi pada Kaki Diabetik

Diabetes merupakan penyebab utama terjadinya amputasi di seluruh dunia. Dan di India ulkus kaki diabetik ini menyebabkan lebih dari 80% amputasi pada ekstremitas bawah (Jain, et al. 2012).

Amputasi pada kaki diabetik diindikasikan bila terdapat neuropati diabetik, penyakit pembuluh darah, dan deformitas ulseratif yang telah menyebabkan nekrosis jaringan lunak, osteomyelitis, sepsis, atau nyeri. Secara keseluruhan, DM adalah penyebab utama untuk amputasi non traumatik tungkai bawah (Sage, et al. 2006; Weledji, et al. 2014). Selain itu terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi amputasi pada kaki diabetik antara lain seperti riwayat ulkus kaki diabetik sebelumnya, usia lanjut, tekanan darah tinggi, jenis kelamin laki-laki, peningkatan kadar glycosidic hemoglobin, proteinuria (Santos, et al. 2006)

Penyakit oklusi arteri perifer atau peripheral arterial disease (PAD) merupakan komplikasi yang paling sering pada diabetes melitus dibandingkan dengan subyek normal. Prevalensi PAD meningkat 60% pada pasien dengan diabetes dan berhubungan dengan manifestasi klinis yang berat dan risiko tinggi untuk terjadinya critical limb ischemic (CLI) dan amputasi ektremitas bawah. PAD pada pasien dengan diabetes berbeda dalam hal histologi, anatomi dari oklusi pembuluh darah sehingga perlu kewaspadaan yang cukup tinggi untuk mendeteksi, diagnosis dan penanganan yang lebih akurat pada PAD dengan kaki diabetik untuk mencegah terjadinya amputasi (Graziani, et al. 2007).

Amputasi pada ekstremitas bawah pada penyakit oklusi pembuluh darah harus dipertimbangkan luas jaringan nekrosis, infeksi sekunder yang


(49)

27

menyebabkan gangren atau osteomyelitis, dan gejala-gejala sepsis. Waktu dan prosedur tindakan tergantung dari kondisi klinis pasien. Bila terjadi kerusakan jaringan dan berhubungan dengan infeksi dan sepsis, tindakan amputasi dikerjakan segera untuk menyelamatkan nyawa (Sefranek, 2007).

Tindakan revaskularisasi pada ekstremitas bawah merupakan terapi pilihan pada kebanyakan pasien dengan penyakit oklusi arteri perifer. Tindakan rekontruksi vaskular juga bermanfaat untuk menyelamatkan ekstremitas bawah dari amputasi (Sefranek, 2007).

Adapun tipe-tipe amputasi yang dilakukan pada ekstremitas bawah (Sage,

et al. 2006; Sefranek, 2007)

1. Amputasi minor: toe amputation, Ray amputation, transmetatarsal amputation, dan Syme’s amputation

2. Amputasi mayor: below knee amputation, above knee amputation.

2.3 Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial Disease (PAD) 2.3.1 Definisi

Penyakit Oklusi Arteri Perifer atau Peripheral Arterial Disease (PAD) adalah penyakit karena oklusi pembuluh darah perifer bisa pada aorta, iliaka maupun arteri pada ektremitas bawah. Sementara itu PAD merupakan faktor risiko utama terjadinya amputasi pada ekstremitas bawah (ADA, 2003).

Menurut Kelkar (2006), terjadinya ulkus kaki diabetik pada lebih dari 50% kasus dan sering terjadi pada arteri tibialis dan arteri peroneus. Disfungsi sel endotel dan abnormalitas otot polos pembuluh darah terjadi pada hiperglikemia


(50)

28

persisten. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan pada proses vasodilatasi sehingga akan terjadi vasokonstriksi.

PAD pada tungkai bawah merupakan komplikasi paling sering pada diabetes melitus. Prevalensi PAD meningkat 60% secara signifikan pada pasien dengan DM (Graziani, et al. 2007). PAD dan diabetes memerlukan perhatian sebab dibandingkan dengan PAD dengan faktor risiko lain, PAD pada diabetes berbeda dalam biologi, gambaran klinik dan penatalaksanaan. Keterlibatan vaskular sedikit unik dimana tersering pada pembuluh darah dibawah lutut dan hampir selalu disertai dengan neuropati. Oleh sebab itu, sering tanpa gejala atau hanya merasakan keluhan yang tidak jelas tidak seperti gejala klasik PAD seperti klaudikasio intermiten. Sehingga sebagai konsekuensi dari adanya neuropati, sering penderita PAD dan diabetes datang terlambat dan sudah dengan gejala rest pain, ulkus sampai gangren dan pada akhirnya berakhir dengan amputasi (ADA, 2003)

2.3.2 Faktor Risiko Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial Disease (PAD)

Diabetes dan merokok merupakan faktor risiko terkuat untuk PAD. Faktor risiko lainnya yang telah diketahui antara lain hipertensi, hyperlipidemia, obesitas, dan stres. Beberapa hal yang potensial menjadi faktor risiko PAD meliputi peningkatan level dari C-reactive protein (CRP), fibrinogen, homosistein, apo-lipoprotein B, apo-lipoprotein (a) dan viskositas plasma. Pada penderita diabetes, risiko PAD meningkat oleh usia, lamanya diabetes dan adanya neuropati perifer.


(51)

29

Orang Afrika Amerika dan Hispanik dengan diabetes memiliki prevalensi PAD lebih tinggi dibandingkan kulit putih non-Hispanik (ADA, 2003).

Penting dicatat bahwa diabetes sangat berkaitan dengan terjadinya PAD di daerah femoral-popliteal dan tibial (di bawah lutut), sedangkan faktor risiko lainnya (misalnya, merokok dan hipertensi) berhubungan dengan lokasi PAD yang lebih proksimal di pembuluh aorto-iliofemoral (ADA, 2003).

2.3.3 Patogenesis Penyakit Oklusi Arteri perifer/Peripheral Arterial Disease (PAD)

DM berpengaruh pada hampir semua pembuluh darah, dan ada keunikan dari pengaruh DM pada peristiwa aterotrombosis pembuluh darah perifer. Perubahan-perubahan metabolik pada diabetes akan berpengaruh pada perubahan struktur dan fungsi dinding arteri. Onset dari perubahan ini telah lebih dulu terjadi sebelum muncul klinis diabetes, jadi relatif sedikit pengetahuan biologi PAD pada pasien diabetes. Begitu pun, kelihatannya perubahan-perubahan aterogenik yang diamati pada penyakit aterosklerotik seperti pada pembuluh darah koroner dan karotis umumnya bisa juga diaplikasikan pada pasien PAD dengan diabetes (ADA, 2003).

2.3.3.1 Inflamasi

Inflamasi telah terbukti sebagai marker risiko penyakit atero-trombosis termasuk PAD (Beckman, et al. 2002). Meningkatnya C-reactive protein (CRP) berhubungan kuat dengan terjadinya PAD. Telah terbukti level CRP meningkat


(52)

30

pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa dan diabetes. CRP telah terbukti berikatan dengan reseptor endotel sehingga memacu apoptosis. CRP juga merangsang endotel untuk memproduksi procoagulan tissue factor, leucocyte adhesion molecule dan substansi kemotaksis dan menghambat produksi Nitric Oxide synthase endothelial (eNOS) sehingga tonus vaskular menjadi abnormal. CRP juga meningkatkan produk lokal yang mengganggu fibrinolisis seperti

plasminogen activator inhibitor (PAI-1 ) (ADA, 2003; Creager, et al. 2003).

2.3.3.2 Disfungsi Endotel

Endotel yang berada pada permukaan pembuluh darah secara biologi adalah organ aktif. Endotel berperan menjaga keseimbangan antara trombosis dan fibrinolisis serta mempunyai peran utama pada interaksi lekosit dan dinding vaskular. Kelainan pada fungsi endotel akan memudahkan arteri mengalami aterosklerosis. Pada pasien diabetes, termasuk PAD menunjukkan kelainan pada fungsi endotel dan regulasi vaskular. Mediator disfungsi endotel pada diabetes sebenarnya banyak, tetapi yang terutama adalah gangguan pada bioavailabilitas NO. Hiperglikemia akan menghambat fungsi endotel NOS (eNOS) dan mendorong produksi ROS (reactive oxigen species), yang mengganggu fungsi vasodilator endotelium. NO merupakan stimulus yang potensial untuk vasodilatasi, dan membatasi reaksi inflamasi melalui modulasi interaksi lekosit dan dinding vaskular. NO juga menghambat migrasi VSMC (vascular smooth muscle cell) juga proliferasi dan aktifasi platelet. Sehingga berkurangnya peran hemostasis normal NO endotel akan memacu terjadinya aterosklerosis dan


(53)

31

konsekwensi komplikasi lanjut. Ada mekanisme lain yang mempengaruhi homeostasis NO termasuk diantaranya resistensi insulin, dan produksi FFA (free fatty acid) (Steinberg, et al. 2002).

Efek lain dari disfungsi endotel adalah aktifasi reseptor advanced glycation end products (RAGE), sehingga meningkatkan inflamasi lokal dinding vaskular, diperantarai oleh meningkatnya produksi faktor transkripsi, nuclear factor-ĸB

(NF-ĸB) danactivator protein 1 (ADA, 2003).

2.3.3.3 Platelet

Platelet mempunyai peranan penting dan krusial dalam hal hemostasis dan pembekuan darah di lokasi terjadinya cedera atau luka pada pembuluh darah. Akan tetapi sebaliknya, aktivasi platelet dan aterial trombosis juga mempunyai peranan dalam terjadinya berbagai kelainan pembuluh darah. Suatu studi meta analisis yang besar menunjukkan bahwa pemberian aspirin atau obat anti-platelet lainnya mengurangi insiden terjadinya infark miokard, stroke, atau kematian pada pasien dengan PAD. Ini menunjukkan bahwa platelet mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan arterosklerosis dan komplikasinya. Hal ini didukung dengan hasil studi Antiplatelet Trialists Collaboration yang menyimpulkan bahwa terapi antiplatelet mengurangi risiko oklusi arteri pada pasien dengan PAD yang menjalani operasi bypass atau angioplasti. Arterosklerosis adalah dasar terjadinya PAD sehingga platelet mempunyai peranan dalam terjadinya PAD. Kesimpulan yang sama juga didapatkan pada suatu studi double-blind controlled trial dimana


(54)

32

penggunaan antiplatelet menurunkan secara signifikan progesifitas PAD dibandingkan dengan kelompok plasebo (Cassar, et al. 2003).

Bukti peranan platelet pada pembentukan arterosklerosis didapatkan dari observasi pasien dengan diabetes mellitus. Diabetes adalah salah satu faktor risiko mayor untuk PAD. Fungsi platelet pada pasien dengan diabetes mengalami gangguan. Sama seperti endotel, platelet akan mengambil lebih banyak glukosa dan meningkatkan stress oksidatif sehingga platelet lebih mudah agregasi. Sebagian besar studi menunjukkan bahwa pada pasien dengan diabetes mengalami peningkatan agregasi platelet, peningkatan aktifitas jalur arakhidonat, peningkatan prostaglandin dan peningkatan formasi A2. Ikatan antara fibrinogen

dengan platelet juga meningkat pada pasien dengan diabetes dibandingkan dengan kelompok kontrol (Cassar, et al. 2003).

2.3.3.4 Koagulasi dan Rheologi

Ada berbagai elemen kelainan trombosis dan fibrinolisis pada pasien diabetes. Diabetes akan menyebabkan keadaan hiperkoagulasi (hypercoagulable state). Pada diabetes terjadi peningkatan faktor-faktor koagulan seperti faktor VII, thrombin dan tissue factor sedangkan antikoagulan endogen (thrombomodulin dan protein C) menurun. Peningkatan juga terjadi pada produksi plasminogen activator inhibitor-1, suatu penghambat fibrinolisis. Hal-hal ini dapat meningkatkan risiko terjadinya ruptur pada plak trombosis (Creager, et al. 2003).


(55)

33

Gambar 2.4

Perubahan fungsi platelet dan faktor koagulasi (Creager, et al. 2003).

Sebagai kesimpulan, diabetes akan meningkatkan risiko aterogenesis melalui berbagai efek pada dinding vaskular, efek terhadap sel-sel darah dan reologi. Kelainan vaskular yang menyebabkan aterosklerosis pada pasien diabetes terbukti telah ada sebelum diabetesnya didiagnosis, dan akan semakin memburuk sesuai dengan lamanya diabetes dan tidak terkontrolnya glukosa darah (Creager, et al. 2003).

2.3.4 Diagnosis Penyakit Oklusi Arteri Perifer/Peripheral Arterial Disease (PAD)

Penyakit arteri perifer pada penderita diabetes melitus didiagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta dibantu oleh pemeriksaan penunjang. Keluhan yang dirasakan pasien dapat berbagai macam, dari yang tanpa keluhan, klaudikasio intermiten, nyeri saat istirahat, dan sampai dengan


(56)

34

terdapatnya luka yang tidak sembuh-sembuh ataupun gangren. Selain itu, adanya faktor risiko sangat perlu ditanyakan seperti merokok, tekanan darah tinggi, kegemukan, kelainan lemak darah, DM, dan kurangnya olah raga. Adanya faktor risiko tersebut akan menguatkan dugaan terjadinya komplikasi ini.

Tahap selanjutnya, diikuti dengan pemeriksaan fisik yang teliti dengan memperhatikan warna kulit apakah sianosis atau pucat (pallor), kulit teraba dingin, dan nadi (arteri dorsalis pedis atau tibialis posterior) yang sangat lemah atau bahkan tidak teraba, (pulselessness). Sering kali ditemukan pula perubahan yang khas pada kulit, kulit menjadi licin, hilangnya kuku dan rambut. Adanya gejala-gejala 5P (pulselessness, pain, paresthesia, parese/paralysis dan pallor) sangat menguatkan dugaan klinis adanya PAD. Beberapa pemeriksaan yang dapat juga membantu yaitu tes elevasi dengan jalan mengangkat kaki selama 20-60 menit, kulit akan tampak semakin pucat, selanjutnya dapat diamati kelambatan pengisian kembali vena di kaki tersebut (setelah 20 menit diangkat), pada keadaan normal, pengisian vena kembali sudah terjadi dalam beberapa detik (kulit kaki tampak merah kembali), timbulnya keluhan nyeri kaki yang menghilang dengan istirahat menandakan adanya kelainan pada pembuluh darah tepi (Faxon, et al. 2004).

Pemeriksaan yang lebih baik diperlukan untuk menentukan PAD mengingat seringnya klinis PAD pada diabetes tanpa gejala ataupun gejala yang tidak jelas yaitu dengan pengukuran ABI (ankle brachial index). Pemeriksaan ini cukup akurat, cepat, sederhana dan noninvasif. ABI adalah rasio tekanan darah sistolik pada ankle dibagi tekanan darah sistolik pada lengan (brachial). ABI


(57)

35

memiliki sensitivitas 79%-95% dengan spesifitas 95%-96% dibandingkan dengan pemeriksaan angiography sebagai standar baku emas (Kim, et al. 2012).

Tabel 2.3

Derajat PAD berdasarkan nilai ABI (ADA, 2003). Rentang Nilai Derajat

0.91-1.30 Normal 0.70-0.90 Obstruksi ringan 0.40-0.69 Obstruksi sedang < 0.40 Obstruksi berat > 1.30 Gangguan kompresi

2.4 Angiografi 2.4.1 Definisi

Angiografi adalah suatu prosedur tindakan yang menggunakan jarum dan atau kateter kedalam pembuluh darah (arteri) dengan menggunakan media kontras untuk melihat pencitraan dari pembuluh darah. Selain sebagai untuk diagnostik angiografi digunakan sebagai alat untuk terapeutik (Sanchez, et al. 1998; Singh, et al. 2003)

Sampai saat ini angiografi masih merupakan standar baku emas untuk mengevaluasi adanya stenosis dan oklusi dari pembuluh darah. Rata-rata komplikasi pada angiografi pada populasi secara umum kurang dari 3,3%. Pendekatan angiografi pada transfemoral merupakan tindakan yang paling aman.


(58)

36

Adapun komplikasi dari tindakan ini berupa hematoma, pseudoaneurisma, trombosis, dan emboli (Yokoi, 2012; Sanchez, et al. 1998).

Kerusakan ginjal merupakan komplikasi yang sangat penting dari angiografi. Gangguan ginjal yang berhubungan dengan bahan kontras terjadi pada 6,5% menjadi 8,2% dari pasien yang menjalani angiografi. Pasien yang sudah memiliki gejala azotemia dan level serum kreatinin lebih dari 2,0 memiliki risiko tinggi untuk komplikasi gagal ginjal setelah angiografi. Penggunaan kontras osmolar rendah telah digunakan dalam beberapa studi untuk mencegah kerusakan ginjal. Hidrasi yang adekuat sebelum tindakan angiografi sangat efektif untuk mengurangi risiko nephropati. Manitol digunakan untuk efek osmotik deuresis untuk membantu mencegah toksisitas dari bahan kontras. Vasodilator seperti dopamin juga telah digunakan karena efek nefrotoksik dari bahan kontras dianggap menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah intra renal (Sanchez, et al. 1998; Xiang, et al. 2013).

2.4.2 Indikasi Angiografi pada Kaki Diabetik

Angiografi merupakan indikasi pada pasien diabetes dengan ulkus yang tidak sembuh atau osteomyelitis, dan penyakit vaskular yang memerlukan gambaran dari penyakit pembuluh darah sebelum dilakukan endovaskular atau tindakan pembedahan. Hampir kebanyakan, pasien dengan ulkus pada kaki akan memiliki penyakit steno-oklusif yang melibatkan pembuluh darah pada kaki (Arteri Common Femoral, Femoral Superfisial, Femoral Profunda, Popliteal, Tibialis Anterior, Tibialis Posterior, dan Peroneal) (Hochman, 2012).


(59)

37

Menurut Faglia, et al (1998) dalam studinya menunjukan dari 104 pasien dengan kaki diabetik yang dilakukan angiografi terdapat lesi yang signifikan pada pembuluh darah ektremitas bawah, meskipun memiliki pulsasi pedal, ABI, dan TcPO2 normal.

Beberapa pemeriksaan radiologi untuk melihat pembuluh darah pada ekstremitas bawah antara lain: konvensional angiografi atau digital subtraction angiography (DSA), MR angiography, CT angiography, dan duplex Doppler ultrasound. Secara umum, penyakit vaskular pada diabetes cenderung memiliki kaliber vaskular yang kecil pada ektremitas bawah, sehingga menimbulkan tantangan khusus dibidang radiologi (Hochman, 2012).

2.4.2.1 Digital Subtraction Angiography (DSA)

Konvensional contrast digital subtraction angiografi (DSA) merupakan teknik pencitraan pembuluh darah. Pemeriksaan dengan teknik ini bisa melihat struktur pembuluh darah serta aliran darah secara akurat. Prosedur tindakan ini bersifat invasif, dimana menggunakan bahan kontras yang bersifat nefrotoksik dan bisa menyebabkan kerusakan ginjal lebih lanjut (Khoudoud, 2006).

Kateter yang tipis dan fleksibel dimasukan ke dalam aorta atau arteri, biasanya melalui pendekatan arteri femoral. Kontras iodin disuntikan ke dalam kateter intraluminal dan dilakukan urutan pengambilan foto menggunakan

fluoroscopy. DSA ini sangat menguntungkan untuk pencitraan penyakit pembuluh darah yang berhubungan dengan diabetes, karena lebih unggul dalam hal penggunannya dimana dapat digunakan pada pembuluh darah yang memiliki


(60)

38

diameter kecil dan menggunakan lebih sedikit bahan kontras. Dalam DSA, pengambilan gambar dapat diperoleh sebelum memasukan bahan kontras dan foto disimpan secara automatis. Pengambilan gambar pembuluh darah dapat dilakukan pada saat pemberian kontras. Penggunaan DSA ini bisa langsung melihat strukur anatomi dari pembuluh darah tanpa harus menunggu film yang akan di cetak. Penggunaan kontras iso osmolar non ionic pada DSA memerlukan biaya yang mahal, namun keuntungan dari bahan kontras ini berhubungan dengan nyeri dan risiko rendah untuk terjadinya nephropati yang disebabkan oleh bahan kontras terutama pada pasien dengan diabetes. Adapun keuntungan dari konvensional angiografi ini bukan saja dilakukan untuk diagnostik, akan tetapi dilakukan untuk terapeutik secara simultan, seperti angioplasty, arterectomy, stenting, dan

thrombolisis. Dan kerugian dari DSA ini meliputi radiasi, perdarahan, cedera pada dinding pembuluh darah, emboli, dan risiko gagal ginjal atau reaksi alergi dari bahan kontras (Hochman, 2012).

2.4.2.2 MR Angiography (MRA)

Baru-baru ini, Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah memegang peranan yang penting dalam pencitraan pembuluh darah dalam bentuk Magnetic

Rasonance Angiography (MRA). Dimana pemeriksaan MRA memberikan

gambaran anatomi yang jelas pada pembuluh darah serta tidak diperlukan tindakan pemasangan kateter arteri sehingga komplikasi bisa dihindari. Pengunaan kontras dan tanpa kontras pada MRA paling banyak digunakan untuk


(61)

39

ekstremitas bawah. Secara umum, MR angiografi memiliki sensitifitas 92-97% dan spesifisitas sebesar 89-98% (Hochman, 2012).

2.4.2.3 CT Angiography (CTA)

Computed Tomographic Angiography (CTA) merupakan prosedur

diagnostik yang relatif baru untuk mengevaluasi pembuluh darah perifer. Prosedur diagnostik ini hampir sama dengan DSA yaitu dengan memasukan bahan kontras melalui pembuluh darah dan prosedur ini tidak memerlukan waktu yang lama. Selain untuk melihat pembuluh darah CTA ini juga bisa melihat jaringan tulang dan jaringan lunak. Hampir sama dengan MRA dimana hasil dari prosedur ini bisa dibuat dalam bentuk dua dimensi maupun 3 dimensi (Hochman, 2012; Pollak, et al. 2012).

2.4.2.4 Doppler Ultrasound

Pengunaan prosedur diagnostik doppler ultrasound mempunyai peranan yang sangat penting untuk kelainan pembuluh darah, dimana bisa digunakan untuk menilai arteri maupun vena dan juga untuk melihat aliran darah. Keuntungan dari prosedur ini hampir sama dengan pemeriksaan Ultra Sonography (USG) pada umumnya dimana prosedur ini bersifat noninvasif, tidak memerlukan bahan kontras sehingga kerusakan ginjal maupun alergi bahan kontras dapat dihindari, dan biaya untuk prosedur ini sangat murah dibandingakan angiografi diagnostik. Kerugian prosedur ini tergantung dari operator itu sendiri, dan tidak bisa menggambarkan pembuluh darah secara rinci. Pemeriksaan duplex


(62)

40

ultrasound bisa digunakan sebagai alat diagnostik pada kaki diabetik sebelum dilakukan prosedur revaskularisasi. USG bisa juga digunakan untuk menggambarkan panjang oklusi dan stenosis dari pembuluh darah berdasarkan pada kecepatan laju aliran darah (Hochman, 2012).

Tabel 2.4

Keuntungan dan kerugian dari alat diagnostik (Hochman, 2012)

Alat diagnostik Keuntungan Kerugian

Angiografi/DSA  Menggambarkan pembuluh darah secara keseluruhan

 Bisa langsung dilakukan tindakan terapeutik secara simultan

 Bersifat invasif

 Biaya mahal

 Banyak komplikasi

MR Angiografi (MRA)

 Menggambarkan pembuluh darah secara keseluruhan

 Minimal invasif

 Komplikasi minimal

 Tidak bisa

dilakukan tindakan terapeutik secara simultan

 Biaya mahal CT Angiografi

(CTA)

 Menggambarkan pembuluh darah secara keseluruhan

 Minimal invasif

 Komplikasi minimal

 Tidak bisa

dilakukan tindakan terapeutik secara simultan

 Biaya mahal

Doppler Ultrasound

 Minimal invasif

 Biaya murah

 Komplikasi minimal

 Tidak bisa

dilakukan tindakan terapeutik secara simultan

 Tidak bisa menggambarkan pembuluh darah secara keseluruhan


(63)

41

2.4.3 Sistem Skoring Angiografi

Banyak faktor dapat mempengaruhi hasil pada pasien ulkus kaki diabetik, tetapi derajat berat ringannya penyakit pembuluh darah pada ekstremitas bawah merupakan faktor risiko yang berdiri sendiri untuk terjadinya amputasi (Faglia, et al. 1998).

Penyakit oklusi arteri perifer/PAD merupakan komplikasi yang sering pada diabetes melitus dan berhubungan dengan beratnya gejala klinis dan risiko tinggi untuk terjadinya critical limb ischemic (CLI) serta amputasi pada pasien dengan diabetes (Bargellini, et al. 2012).

Ada beberapa sistem skoring dan klasifikasi untuk mengevaluasi hasil dari angiografi pada pasien dengan penyakit oklusi arteri perifer/PAD salah satunya untuk menilai perbaikan klinis pasca tindakan revaskularisasi endoluminal, penyelamatan pada ekstremitas bawah, dan sebagai penentu prognostik untuk terjadinya amputasi. Sistem skoring dan klsifikasi yang digunakan seperti skor

Bollinger, klasifikasi Graziani, Trans Atlantic Inter-Society Consensus (TASC I) dan (TASC II), klasifikasi Joint Vascular Societies Council dan skor angiografi menurut Faglia (Bergellini, et al. 2012; Toursarkissian, et al. 2002; Faglia, et al. 1998).

2.4.3.1 Skor Bollinger

Skor Bollinger merupakan sarana untuk mendeskripsikan angiogram pada pembuluh darah ekstremitas bawah. Skor ini dibuat untuk mengevaluasi berdasarkan angka numerik untuk penyakit oklusi arteri (Korhonen, 2011).


(1)

2.4.3 Sistem Skoring Angiografi

Banyak faktor dapat mempengaruhi hasil pada pasien ulkus kaki diabetik, tetapi derajat berat ringannya penyakit pembuluh darah pada ekstremitas bawah merupakan faktor risiko yang berdiri sendiri untuk terjadinya amputasi (Faglia, et al. 1998).

Penyakit oklusi arteri perifer/PAD merupakan komplikasi yang sering pada diabetes melitus dan berhubungan dengan beratnya gejala klinis dan risiko tinggi untuk terjadinya critical limb ischemic (CLI) serta amputasi pada pasien dengan diabetes (Bargellini, et al. 2012).

Ada beberapa sistem skoring dan klasifikasi untuk mengevaluasi hasil dari angiografi pada pasien dengan penyakit oklusi arteri perifer/PAD salah satunya untuk menilai perbaikan klinis pasca tindakan revaskularisasi endoluminal, penyelamatan pada ekstremitas bawah, dan sebagai penentu prognostik untuk terjadinya amputasi. Sistem skoring dan klsifikasi yang digunakan seperti skor Bollinger, klasifikasi Graziani, Trans Atlantic Inter-Society Consensus (TASC I) dan (TASC II), klasifikasi Joint Vascular Societies Council dan skor angiografi menurut Faglia (Bergellini, et al. 2012; Toursarkissian, et al. 2002; Faglia, et al. 1998).

2.4.3.1 Skor Bollinger

Skor Bollinger merupakan sarana untuk mendeskripsikan angiogram pada pembuluh darah ekstremitas bawah. Skor ini dibuat untuk mengevaluasi berdasarkan angka numerik untuk penyakit oklusi arteri (Korhonen, 2011).


(2)

Tabel 2.5

Skor Bollinger (Korhonen, 2011) Severity

Stenosis Stenosis Plaque

Occlusion >50% ≤ 50% ≤ 25% Extent of disease

4 2 1 Single lesion

13 5 3 2 Multiple lesions

affecting half of the segment or less

15 6 4 3 Multiple lesions

affecting more than half of the Segment

: Vectorial score

2.4.3.2 Klasifikasi Graziani

Klasifikasi Graziani ini merupakan klasifikasi morfologi berdasarkan beratnya penyakit yang mana di bagi menjadi 7 kelas. Menurut Graziani klasifikasi ini rutin digunakan untuk menentukan berat penyakit dan perbaikan kondisi penyakit berdasarkan gambaran angiografi setelah pengobatan endovaskular (Graziani, 2007).


(3)

Tabel 2.6

Klasifikasi Graziani (Graziani, 2007)

Class Angiografi finding

1 Isolated, one vessel tibial or peroneal artery obstruction

2a Isolated femoral/popliteal artery or two below-knee arteries obstructed but with patency of one of the two tibial arteries

2b Isolated femoral/popliteal artery or two below-knee tibial arteries obstructed but with patency of the peroneal artery

3 Isolated, one artery occluded and multiple stenosis of tibial/ peroneal and/ or femoral/ popliteal arteries

4 Two arteries occluded and multiple stenosis of tibial/ peroneal and/ or femoral/ popliteal vessels

5 Occlusion of all tibial and peroneal arteries (below knee cross-sectional occlusion)

6 Three arteries occluded and multiple stenosis of tibial/ peroneal and/ or femoral/ popliteal arteries

7 Multiple femoropopliteal obstructiosns with no visible below the knee arterial segments

2.4.3.3 Trans Atlantic Inter-Society Consensus (TASC)

TASC di tetapkan pada januari 2000 dimana digunakan untuk menejemen PAD. TASC digunakan untuk gambaran morfologi pada arteri femoropopliteal dan infra popliteal sebagai rekomendasi untuk strategi pengobatan. Dan pada tahun 2007 di tetapkan konsensus TASC II yang digunakan sebagai klasifikasi lesi dari arteri femoropopliteal, dimana TASC II diperbaharui pada tipe dan manajemennya (Korhonen, 2011).


(4)

Tabel 2.7

Klasifikasi TASC I pada lesi arteri femoropopliteal (Korhonen, 2011)

Type Lesions

Type A  Single stenosis <3 cm

Type B  Single stenosis 3–10 cm in length, not involving the distal popliteal artery

 Heavily calcified stenoses ≤3 cm in length

 Multiple lesions, each < cm (stenoses or occlusions)

 Single or multiple lesions in the absence of continuous tibial runoff to improve inflow for distal surgical bypass

Type C  Single stenosis or occlusion >5 cm

 Multiple stenoses or occlusions, each 3–5 cm, with or without heavy calcification

Type D  Complete common femoral artery or superficial femoral artery occlusions or complete popliteal and proximal trifurcation occlusions

Tabel 2.8

Klasifikasi TASC I pada lesi arteri infrapopliteal (Korhonen, 2011)

Type Lesions

Type A  Single stenoses <1 cm in the tibial or peroneal vessels Type B  Multiple focal stenoses of the tibial or peroneal vessels, each

<1 cm in length

 1 or 2 focal stenoses, each <1 cm long, at the tibial trifurcation  Short tibial or peroneal stenosis in conjunction with

femoropopliteal angioplasty Type C  Stenoses 1–4 cm in length

 Occlusions 1–2 cm in length of the tibial or peroneal vessels  Extensive stenoses of the tibial trifurcation

Type D  Tibial or peroneal occlusions >2 cm


(5)

Gambar 2.5

Klasifikasi TASC II pada lesi arteri femoropopliteal (Korhonen, 2011).

2.4.3.4 Klasifikasi Joint Vascular Societies Council

Klasifikasi ini banyak digunakan untuk sistem skoring pada angiografi dimana penggunaanya lebih mudah dan klasifikasi ini digunakan pada angiografi di daerah infrapopliteal (Bargellini, 2012).

Tabel 2.9

Klasifikasi Joint Vascular Societies Council (Bargellini, 2012)

Score Angiographic finding

0 Stenosis less then 20% 1 20%-49% stemosis 2 50%-99% stenosis

2.5 Occlusion of less than one-half the total length of the vessel 3 Occlusion if more than one-half the total length of the vessel


(6)

2.4.3.5 Skor angiografi menurut Faglia

Skor angiografi ini digunakan oleh Faglia pada studinya, dimana sistem skor ini hampir sama dengan klasifikasi Joint Vascular Societies Council. Perhitungan skor ini digunakan pada gambaran angiografi pada seluruh pembuluh darah ekstremitas bawah (arteri common femoral, femoral superfisial, femoral profunda, popliteal, anterior dan posterior tibia, dan peroneal). Dimana lesi dari gambaran angiogram setiap segmen pembuluh darah memiliki skor 0 sampai 3 dan penjumlahan skor dari semua segmen pembuluh darah antara 0 sampai 21. Dan apabila pada satu segmen pembuluh darah memiliki dua kelainan (oklusi atau stenosis) maka oklusi atau stenosis paling tinggi yang di ukur. Pada studinya dikatakan pasien dengan skor angiografi < 10 tidak dilakukan amputasi dan dilakukan amputasi pada skor angiografi > 14 (Faglia, et al. 1998).

Tabel 2.10

Skor angiografi menurut Faglia (Faglia, et al. 1998).

Score Angiographic finding

0 Stenosis involved a vessel lumen reduction of <50% 1 Stenosis involved 50 to <75% reduction

2 Stenosis involved 75 to <100% reduction 3 Total occlusion was present