7. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setelah peneliti mendapat izin dari melakukan penelitian dari Fakultas Keperawatan dan RSUD dr. Pirngadi Medan. Setelah
mendapat izin, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian dengan cara memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian. Calon
responden yang bersedia diminta untuk menandatangani informed consent surat persetujuan. Setelah itu, peneliti memberikan lembar kuesioner data demografi
dan kuesioner HARS yang telah dimodifikasi atau membacakan kuesioner tersebut jika pasien memintanya sambil melakukan observasi untuk mengetahui
tingkat kecemasan hal ini dilakukan kurang lebih 5-10 menit. Selama pengumpulan data demografi dan pengkajian tingkat kecemasan responden diberi
kesempatan untuk bertanya jika ada pernyataan peneliti yang kurang dimengerti oleh responden pretest. Setelah pembacaan kuesioner peneliti menanyakan
kabar dan persepsi responden tentang seksio sesarea. Kemudian membuat kontrak waktu dengan pasien untuk membahas tentang perasaan dan penyebab
kecemasannya serta menjelaskan operasi seksio sesarea yang akan dihadapinya. Peneliti melaksanakan treatment komunikasi terapeutik selama 10-15
menit yaitu menjelaskan operasi sekiso sesarea dan penyebab kecemasannya. Lalu mengevaluasi perasaan dan pengetahuan responden setelah treatment. Setelah itu,
responden dibiarkan selama 5 menit sebelum tingkat kecemasannya di ukur sesudah pemberian treatment. Setelah itu peneliti kembali memberikan kuesioner
data demografi dan kuesioner HARS sambil melakukan observasi untuk mengetahui perubahan tingkat kecemasan responden selama 5-10 menit dan
Universitas Sumatera Utara
responden diberi kesempatan untuk bertanya kepada peneliti bila ada pernyataan yang tidak dipahami posttest, selanjutnya data yang diperoleh dikumpulkan
untuk di analisa.
8. Analisa Data
Setelah semua data terkumpul, dilakukan analia data dengan cara: a.
Editing yaitu memeriksa kembali semua data satu persatu yakni data demografi responden dan memastikan bahwa semua jawaban telah di isi
sesuai dengan petunjuk. b.
Coding yaitu pemberian kode terhadap semua pernyataan yang telah diajukan guna mempermudah peneliti ketika menganalisa data.
c. Processing yaitu memasukkan data kedalam program analisa statistik pada
komputer. d.
Cleanning yaitu mengecek ulang kelengkapan data. Setelah semua data dipastikan benar kemudian dilakukan pengolahan data dengan menggunakan
bantuan komputer. Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui frekuensi dan persentase
sebaran karakteristik demografi ibu bersalin seksio sesarea, karakteristik tingkat kecemasan sebelum dilakukan intervensi dan karakteristik kecemasan setelah
dilakukan intervensi. Sedangkan Statistik inferensial digunakan untuk mengetahui pengaruh sebelum dan sesudah pemberian intervensi komunikasi
terapeutik terhadap perubahan tingkat kecemasan pada ibu bersalin seksio sesarea yaitu dengan menggunakan uji beda dua mean dependen paired t- test apabila
datanya berdistribusi normal. Dan pada penelitian ini, didapatkan bahwa data
Universitas Sumatera Utara
berdistribusi normal melalui uji Shapiro-wilk. Peneliti menggunakan uji Shapiro- wilk untuk melihat kenormalan data dikarenakan jumlah sampel kurang dai 30
orang. Pada uji Shapiro-wik bila signifikansi 0,05 maka data berdistribusi normal, sedangkan bila signifikansi 0,05 maka data tidak berdistribusi normal.
Pada uji Shapiro-wilk didapatkan bahwa nilai signifikansi sebelum komunikasi terapeutik sebesar 0,119dan nilai signifikansi setelah komunikasi terapeutik
sebesar 0,359 yang berarti data berdistribusi normal. Dari uji pairedt-test akan diperoleh nilai ρ, yaitu nilai yang menyatakan besarnya peluang hasil penelitian.
Kesimpulan hasilnya dilakukan dengan membandingkan nilai ρ dan nilai alpha
a =0,05. Jika nilai ρ0,05 maka keputusannya adalah Ha diterima dan jika nilai
ρ0,05 maka Ha ditolak.
Universitas Sumatera Utara
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitian
Pada bab ini akan diuraikan hasil analisa data dalam penelitian yang meliputi data demografi dan data instrument serta pembahasan mengenai
efektifitas komunikasi terapeutik terhadap penurunan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea di RSUD dr. Pirngadi medan. Pengumpulan data yang dilakukan
oleh peneliti kepada ibu hamil yang direncanakan akan melahirkan dengan seksio sesarea dimulai pada tanggal 07 Maret sampai dengan 07 Mei 2014.
1.1 Data Demografi
Data demografi responden disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase yaitu berdasarkan umur, agama, pendidikan, pekerjaan,
frekuensi melahirkan secara seksio sesarea, dan alasan responden melakukan operasi seksio sesarea.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi data demografi responden di RSUD dr. Pirngadi Medan tahun 2014
Data demografi Frekuensi
Persentase Umur
20 tahun 1
3,8 20-35 tahun
23 88,5
35 tahun 2
7,7
Agama
Islam 16
61,6 Kristen Protestan
9 34,6
Katolik 1
3,8
Pendidikan
SD 4
15,5 SMP
3 11,5
SMA 13
50,0 D3
3 11,5
Sarjana 3
11,5
Pekerjaan
Bekerja 7
26,9 Tidak bekerja
19 73,1
Frekuensi seksio sesarea
Seksio sesarea pertama kali 17
65,4 Seksio sesarea lebih dari 1 kali
9 34,6
Alasan seksio sesarea
Plasenta previa 5
19,3 Panggul sempit
9 34,6
Presentasi bokong 3
11,5 Letak lintang
1 3,8
Tiroid 2
7,7 Ketuban pecah tanpa kontraksi
1 3,8
PreeklampsiEklampsi 5
19,3
Total 26
100,0
Dari tabel 5.1 diatas mayoritas responden yang akan menjalani persalinan secaraseksio sesarea berada pada rentang umur 20-35 tahun sebanyak 23 orang
88,5, sedangkan umur dibawah 20 tahun hanya 1 orang 3,8. Lebih dari
Universitas Sumatera Utara
setengah responden beragama islam yaitu 16 orang 61,6, sedangkan responden yang beragama katolik hanya 1 orang 3,8. Pada tingkat pendidikan, mayoritas
responden memiliki tingkat pendidikan SMA yaitu 13 orang 50, sedangkan responden dengan pendidikan tingkat SD, D3, dan Sarjana masing-masing hanya
sebanyak 3 orang 11,5. Mayoritas responden yang akan menjalani persalinan secara seksio sesarea tidak bekerja ibu rumah tangga sebanyak 19 orang 73,1
dan responden yang bekerja PNS dan Wiraswasta sebanyak 7 orang 26,9. Pada frekuensi seksio sesarea, mayoritas responden baru pertama kali akan
menjalani persalinan secara seksio sesarea sebanyak 17 orang 65,4 dan respoden yang lebih dari 1 kali sebanyak 9 orang 34,6. Alasan seksio sesarea
mayoritas dikarenakan panggul sempit sebanyak 9 orang 34,6 dan paling sedikit dikarenakan letak lintang dan ketuban pecah tanpa kontraksi, masing-
masing sebanyak 1 orang 3,8.
1.2 Tingkat Kecemasan
Hasil penelitian tentang tingkat kecemasan pade responden sebelum dan sesudah komunikasi terapeutik di RSUD dr. Pirngadi Medan.
Tabel 5.2 Gambaran tingkat kecemasan responden sebelum dan sesudah komunikasi terapeutik
Tingkat Kecemasan Pre Treatment
Post Treatment F
F Tidak Ada Kecemasan
4 15,4
16 61,5
Cemas Ringan 6
23,1 8
30,8 Cemas Sedang
14 53,8
2 7,7
Cemas Berat 2
7,7 Cemas Berat Sekali
Total
16 100,0
26 100,0
Universitas Sumatera Utara
Dari tabel 5.2 diatas mayoritas responden berada pada tingkat cemas sedang yaitu 14 orang 53,8 dan sesudah dilakukan komunikasi terapeutik kecemasan
pasien berada pada tingkat tidak ada kecemasan yaitu 16 orang 61,5. Tidak dijumpai responden dengan tingkat cemas berat sekali panik baik sebelum
maupun sesudah dilakukan komunikasi terapeutik.
1.3 Efek Komunikasi Terapeutik
pada penelitian ini digunakan teknik perhitungan statistik uji beda duan mean dependen paired t-test dependen untuk desain one group pretest-posttest
dengan jumlah responden 26 orang dan taraf kepercayaan level of significance α=0,05.
Kecemasan responden Mean
SD df
t ρ
Value Sebelum komunikasi terapeutik
2,54 0,859
25 6,499
0,000 Setelah komunikasi terapeutik
1,46 0,647
Uji t-test menghasilkan rata-rata nilai kecemasan sebelum komunikasi terapeutik 2,54 dengan standar deviasi SD 0,859 dan rata-rata nilai kecemasan
setelah komunikasi terapeutik 1,46 dengan standar deviasi SD 0,647. Nilai t
hitung
sebesar 6,499 dengan ρ value 0,000 atau tepatnya 0,0001 hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan rata - rata tingkat kecemasan sebelum diberikan komunikasi
terapeutik dan setelah diberikan komunikasi terapeutik. Pada hasil uji t-test juga dilihat bahwa nilai t
hitung
bernilai 6,499 pada df 25 dengan tingkat signifikansi 95 α=0,05, sedangkan nilai t
tabel
pada df 25 dengan signifikansi 95 α=0,05 bernilai 2,060 yang berarti bahwa Ha diterima. Dalam hal ini juga dilihat pada
Universitas Sumatera Utara
tabel hasil analisis di dapatkan bahwa hasil ρ=0,000 0,05 yang berarti Ha diterima.
2. Pembahasan
2.1 Kecemasan sebelum dan sesudah komunikasi terapeutik
Berdasarkan hasil penelitian didapati sebanyak 84,6 ibu mengalami kecemasan dimana mayoritas berada pada cemas sedang 53,8,. Akan tetapi,
kecemasan setelah dilakukan komunikasi terapeutik relatif lebih rendah dibanding sebelum komunikasi terapeutik, dimana mayoritas responden tidak mengalami
kecemasan 16 orang 61,5. Tingkat kecemasan responden yang relatif sedang 53,8 sebelum komunikasi terapeutik dikarenakan operasi yang dilakukan
adalah operasi yang direncanakan dan responden sudah diberitahu terlebih dahulu oleh tim medis bahwa responden akan menjalani prosedur operasi seksio sesarea,
sehingga umumnya tingkat kecemasan responden tidak berada pada tingkat cemas berat sekali panik melainkan berada pada tingkat cemas sedang. Berdasarkan
data diatas, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mahmudah 2010 dengan judul hubungan dukungan keluarga dan religiusitas dengan
kecemasan melahirkan pada ibu hamil anak pertama Primigravida yang mengatakan bahwa lebih dari separuh pasien mengalami kecemasan yang sedang
dalam melahirkan, yang berarti bahwa kecemasan pada sebagian besar responden tidak begitu tinggi namun tidak begitu rendah.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 15,4 ibu tidak mengalami kecemasan sebelum komunikasi terapeutik. Hal tersebut diduga karena
Universitas Sumatera Utara
ketidakterbukaan ibu pada saat peneliti melakukan wawancara dan observasi.Sedangkan hal ini tidak sesuai dengan penelitian Efendy 2005 dalam
Zuchra, 2012 yang mengatakan bahwa respon psikologi karena pembedahan berkisar dari cemas ringan, sedang, berat, dan panik.
Tingginya proporsi ibu bersalin dengan seksio sesarea berada pada kelompok umur 20-35 tahun 88,5 . Pada kelompok umur 20-35 tahun adalah
masa produktif bagi ibu untuk hamil dan melahirkan, sedangkan umur yang lebih muda akan lebih mudah mengalami stress dan kecemasan yang lebih tinggi
daripada yang berusia tua. Pada kelompok umur ini juga cara berpikir ibu sudah dewasa. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Sinaga 2007 dimana
sebanyak 78,6 ibu yang menjalani seksio sesarea di daerah Sidikalang pada tahun 2007 berada pada rentang umur 20-35 tahun.
Selain itu jika ditinjau dari aspek spiritual diperoleh hasil sebagian besar ibu yang menghadapi operasi seksio sesarea yang beragama islam 61,5. Aspek
spiritual seorang ibu berhubungan dengan tingkat kecemasan ibu tersebut.Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti,
didapatkan bahwa ibu mengaku pasrah dan berserah kepada Tuhan dan merasa bahwa kondisi yang mereka alami adalah sesuatu yang harus dijalani. Dengan
adanya keyakinan yang dimiliki maka tingkat kecemasan akan berkurang dalam menghadapi masalah. Hal ini juga didukung dengan penelitian Nuralita dan
Hadjam 2002 manusia yang benar-benar religius akan terlindung dari keresahan, selalu terjaga keseimbangannya dan selalu siap untuk menghadapi segala
malapetaka yang terjadi.
Universitas Sumatera Utara
Faktor lain yang berkaitan dengan tingkat kecemasan responden adalah tingkat pendidikan yang dimilikinya. Frekuensi pendidikan responden dalam
penelitian ini mayoritas berada pada tingkat sedang, yaitu 50. Notoadmojo 2003 dalam Dachi, 2013 mengatakan bahwa tingkat pendidikan yang rendah
akan menyebabkan seseorang mudah mengalami stress. Stress dan kecemasan yang rendah disebabkan kurangnya informasi yang didapatkan oleh orang
tersebut. Seorang ibu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan cenderung mencari informasi tentang hal yang akan dialaminya pada saat operasi
seksio sesarea dan cara perawatan bayi dan luka pascaoperasi. Hal ini juga didukung oleh Sinaga 2007 dalam penelitiannya tentang karakteristik ibu yang
mengalami persalinan dengan seksio sesarea yang dirawat inap di RSUD Sidikalang juga mengatakan bahwa pendidikan ibu merupakan salah satu faktor
penting dalam usaha menjaga kesehatan ibu, anak, dan juga keluarganya. Semakin tinggi pendidikan formal seorang ibu maka semakin meningkat pengetahuan dan
kesadarannya dalam mengantisipasi kesulitan dalam kehamilan dan persalinannya.
Jika ditinjau dari pekerjaan dengan kecemasan responden dalam penelitian ini maka didapatkan bahwa sebanyak 73,1 ibu yang akan menjalani operasi
seksio sesarea tidak bekerja. Kecemasan juga berhubungan dengan masalah keuangan, misalnya kebutuhan yang lebih besar dibanding pendapatan. Hasilnya
ibu yang tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan secara otomatis akan memikirkan bagaimana pemenuhan biaya operasi dan perawatan selanjutnya.
Hawari 2001 dalam Sigiro, 2008 menjelaskan bahwa kehilangan pekerjaan
Universitas Sumatera Utara
dapat berakibat terjadinya penggangguran yang berdampak pada kesehatan bahkan sampai kematian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 65,4 respoden menjalani operasi seksio sesarea untuk pertama kalinya. Dimana berdasarkan hasil wawancara dan
observasi peneliti bahwa salah satu kecemasan responden dikarenakan mereka tidak memiliki pengalaman sama sekali dibanding ibu yang pernah menjalani
operasi seksio sesarea sebelumnya. Pengalaman ibu dalam menjalani proses persalinan secara seksio sesarea juga dipengaruhi oleh pengalamannya masa lalu.
Ibu yang pernah melahirkan dengan seksio sesarea memiliki kecemasan yang berbeda dengan ibu yang baru pertama kali menjalani seksio sesarea.kemungkinan
ibu yang pernah menjalani seksio sesarea lebih siap dalam menghadapi operasi seksio sesarea selanjutnya. Sebaliknya, ibu yang baru pertama kali menjalani
operasi seksio sesarea akan cenderung kebingungan, marah, dan mengajukan pertanyaan tetang operasi yang akan mereka jalani. Nuralita dan Hadjam 2002
juga mengatakan bahwa kecemasna menggambarkan suatu reaksi ketakutan dikarenakan adanya stimulus yang berkaitan dengan peristiwa yang menyakitkan
dimasa lalu. Oleh sebab itu, pengalaman seorang ibu akan sangat mempengaruhi persepsinya terhadap operasi seksio sesarea
Menurut Lutfa dan Maliya 2008 dalam Kaplan dan Sadock 1997 salah satu faktor ekstrinsik yang mempengaruhi kecemasan pasien adalah kondisi medis
diagnosa penyakit. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa 100 ibu menjalani operasi seksio sesarea berdasarkan indikasi medis plasenta previa,
paaggul sempit, presentasi bokong, letak lintang, tiroid, ketuban pecah tanpa
Universitas Sumatera Utara
kontraksi, dan preeklampsieklampsi, sedangkan faktor indikasi medis tertinggi adalah faktor ibu, yaitu panggul sempit 34,6. Dimana hal ini diagnosa medis
menentukan tingkat kecemasan seorang pasien. Pada pasien dengan diagnosa yang baik, bisa jadi tidak akan terlalu cemas. Sebaliknya, pasien yang
mendapatkan diagnosa pembedahan akan mempengaruhi tingkat kecemasannya, misalnya ibu hamil yang akan menjalani operasi seksio sesarea akan
mempengaruhi tingkat kecemasannya.
2.2 Komunikasi terapeutik
Pengukuran kecemasan yang dilakukan peneliti sebelum komunikasi terapeutik didapati yang tidak ada kecemasan 15,4, cemas ringan 23,1, sedang
53,8, cemas berat 7,7 dan cemas sekali 0. Sedangkan pengukuran kecemasan yang dilakukan peneliti setelah komunikasi terapeutik di dapati bahwa
responden yang tidak ada kecemasan sebesar 61,5, cemas ringan 30,8, cemas sedang 7,7, cemas berat 0, cemas 0. Berdasarkan data diatas rata-rata
terdapat penurunan kecemasan yang dialami responden.
Hasil uji paired t-test dependent pada taraf kepercayaan 95 α=0,05,
untuk mengetahui pengaruh komunikasi terapeutik terhadap tingkat kecemasan responden yang akan menjalani seksio sesarea bahwa terdapat perbedaan tingkat
kecemasan sebelum dan setelah pemberian komunikasi terapeutik yaitu cemas sedang 53,8 menjadi tidak ada kecemasan 61,5. hasil uji paired t-test
dependent diperoleh nilai ρ=0,000 menunjukkan terdapat perbedaan yang
Universitas Sumatera Utara
signifikan terhadap penurunan tingkat kecemasan responden sebelum dan setelah dilakukan komunikasi terapeutik dengan mean 2,54 menjadi 1,46.
Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong ekspresi perasaan dan ide, serta menyampaikan penerimaan dan penghargaan.
Dibutuhkan latihan berulang-ulang sehingga semakin terampil dan nyaman dalam mengerjakannya karena kepuasan besar akan timbul dari keberhasilan membentuk
hubungan terapeutik dan pencapaian hasil klien yang diinginkan Potter Perry, 2009. Komunikasi terapeutik pada ibu bersalin secara seksio sesarea adalah suatu
cara yang digunakan untuk menurunkan kecemasan ibu bersalin seksio sesarea. Menurut Fatmawati dan Musliha 2010 komunikasi terapeutik
memegang peranan yang sangat penting untuk membantu pasien dalam memecahkan masalahnya. Dalam era kemajuan seperti komunikasi dari perawatan
sebagai orang yang terdekat dengan pasien menjadi hal yang sangat penting baik secara verbal maupun non verbal dalam membantu pasien. Untuk itu perawat
sebagai komponen penting dalam proses keperawatan sangat dituntut untuk mampu berkomunikasi karena pandangan mata, mimik, senyum, sentuhan tidak
dapat diganti oleh peralatan canggih apapun. Sebelum bertemu dan melakukan komunikasi terapeutik terhadap
responden, peneliti perlu mempersiapkan dirinya sebelum bertemu dengan ibu yang memiliki latar belakang dan karakter yang berbeda dengan melihat catatan
medik ibu, sehingga peneliti lebih siap dalam menghadapi ibu yang akan menjalani seksio sesarea. Pada saat bertemu dengan ibu, peneliti memulai
Universitas Sumatera Utara
menyapa ibu, memperkenalkan diri dan tujuan, meminta izin menjadi responden dan membuat kontrak waktu, kemudian bertanya tentang keadaan dan perasaan
ibu saat itu. Teknik ini dilakukan supaya pasien terlibat secara aktif dalam melakukan interaksi, termasuk memberikan informasi mengenai kondisi yang
sedang dialaminya, hal ini sejalan dengan penelitian Nugroho 2009 berusaha mengetahui keadaan pasien melalui komunikasi dengan memberi kesempatan
kepada paien untuk menjelaskan kondisinya. Peneliti menemukan berbagai macam respon responden pada tahap awal, dimana ada responden yang bersifat
cuek atau tidak peduli, selalu tersenyum dan ramah, da nada juga yang ketakutan. Pada saat pengumpulan data peneliti memberi kesempatan kepada responden
untuk menceritakan keadaan mereka dan responden terlihat senang ketika ada orang yang berusaha mendengarkan keluhan merekameskipun responden pada
tahap awal terlihat gugup dan menaruh curiga ketika disapa, setelah ditanya mereka khawatir apakah wawancara yang akan berlangsung berdampak negatif
atau mempersulit keadaan mereka dikemudian. Hal ini sesuai dengan respon afektif perilaku cemas dimana seseorang akan menaruh curiga dan bingung
berlebihan terhadap orang lain sebagai bentuk dari reaksi emosi terhadap kecemasan.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi hampir sebagian besar ibu yang akan menjalani proses operasi seksio sesarea mengalami kecemasan tentang
situasi yang akan mereka alami dikarenakan tidak mengerti persalinan yang akan dihadapinya atau faktor ketidakpercayaan terhadap tim medis yang akan
melakukan tindakan dan mereka sangat membutuhkan penjelasan yang baik dari
Universitas Sumatera Utara
tim medis terutama perawat yang bertanggung jawab diruangan tersebut karena tindakan sering dilakukan oleh para mahasiswa yang sedang dinas diruangan.
Namun di lain sisi ibu cenderung merasa takut untuk bertanya tentang informasi operasi seksio sesarea kepada tim medis, sehingga lebih bertanya kepada orang
lain.Akibatnya, ibu semakin merasa bahwa hal yang akan mereka jalani akan sangat menakutkan dan bisa menyebabkan kematian baik kepada ibu maupun
janinnya sendiri sehingga hal itu membuat ibu tidak tenang dalam menantikan masa-masa kelahiran. Oleh sebab itu, aspek pengetahuan tentang operasi seksio
sesarea yang akan mereka jalani sangatlah penting untuk membantu pasien menjadi lebih tenang karena banyak dari pasien yang merasa khawatir dan
ketakutan menjalani operasi. Sama seperti Notoadmodjo 2007 yang mengatakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat mempengaruhi perilaku individu,
yang mana semakin tinggi pengetahuan seseorang tentang kesehatan, makin tinggi untuk berperan. Sehingga komunikasi terapeutik menjadi sangat dibutuhkan oleh
pasien terlebih bagi pasien yang akan menjalani operasi seksio sesarea. Dilain hal diagnosa juga membuat seorang ibu merasa cemas dengan
keadaan yang dialaminya. Salah seorang responden yang mengalami kelumpuhan dikedua tangannya merasa khawatir dalam perawatan anaknya kelak sehingga
tidak siap untuk menjalani operasi seksio sesarea. Lamanya proses penyembuhan luka operasi juga turut membuat ibu merasa khawatir dengan operasi seksio
sesarea dikarenakan ibu juga turut membantu suami dalam mencari nafkah. Aspek spiritual juga menjadi sangat penting dalam menurunkan kecemasan ibu yang
merasa ketakutan untuk situasi yang akan dihadapinya, ketika ibu kembali
Universitas Sumatera Utara
diingatkan untuk lebih berserah kepada Tuhan dan percaya bahwa operasi seksio sesarea adalah jalan terbaik, ibu merasa tenang dan lebih kuat dari sebelumnya.
Sehingga, respon ibu sebelum komunikasi terapeutik berbeda setelah dilakukan komunikasi terapeutik
Dari hasil penelitian pengukuran kecemasan yang dilakukan peneliti sebelum komunikasi terapeutik didapati bahwa rata-rata terdapat penurunan
kecemasan yang dialami ibu. Meskipun demikian komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh peneliti tidak maksimal karena hanya dilakukan dengan 1x
pertemuan dalam dalam rentang waktu yang terbatas. Hal ini sesuai dengan penelitian Nugroho 2009 yang mengatakan bahwa komunikasi terapeutik
merupakan komunikasi yang berproses pada pengembangan. Proses komunikasi terapeutik di awali dengan perkenalan yang dangkal, namun terus berkembang
menjadi hubungan yang semakin akrab. Bahkan komunikasi tidak hanya terjadi dalam proses perawatan, tetapi bisa juga diluar asuhan keperawatan. Berdasarkan
pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik dapat mengurangi kecemasan. Oleh karena itu, perawat yang lebih banyak
menghabiskan waktunya dengan pasien, seharusnya tidak hanya berkolaborasi dengan tenaga profesional lain tetapi dapat langsung memberikan intervensi
keperawatan dan salah satunya adalah melakukan komunikasi terapeutik kepada pasien.
Namun komunikasi terapeutik yang dilakukan oleh peneliti dengan rentang waktu yang singkat membuat tingkat keterbukaan ibu tentang perasaan
yang dialaminya tidak maksimal. Sebagian ibu terlihat enggan untuk bercerita
Universitas Sumatera Utara
banyak tentang perasaan yang sedang dialaminya terlebih ketika keluarga yang menemani ibu merupakan salah satu faktor penyebab peningkatan kecemasan
ibu.Hambatan dalam berkomunikasi juga menjadi salah satu hal penting dimana komunikasi terapeutik tidak berjalan dengan baik. Dimana perbedaan bahasa
membuat peneliti kurang mengerti tentang apa yang sedang dirasakan ibu meskipun ada keluarga yang menjelaskan kembali apa yang sedang dirasakan ibu.
Universitas Sumatera Utara
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Rumah Sakit Daerah dr. Pirngadi Medan dengan jumlah responden 26, dapat disimpulkan bahwa:
1. Sebelum komunikasi terapeutik mayoritas kecemasan ibu seksio sesarea berada pada rentang cemas sedang yaitu 14 orang 53,8.
2. Setelah komunikasi terapeutik mayoritas ibu tidak mengalami kecemasan yaitu 16 orang 61,5 dan tidak didapati tingkat kecemasan berat sekali
panik yang dialami oleh ibu baik sebelum maupun sesudah dilakukan komunikasi terapeutik.
3. Komunikasi terapeutik efektif terhadap penurunan kecemasanibu bersalinan seksio sesarea. Komunikasi terapeutik memilki peran yang sangat penting
dalam membantu proses penyembuhan seorang pasien terutama untuk menurunkan tingkat kecemasan seseorang.
Universitas Sumatera Utara
2. Saran