Durasi Duration Narasi dan Naratologi

1980:111 mengatakan bahwa adegan dalam teks Proust berperan sebagai “temporal hearth or magnetic pole for all sorts of supplementary information and incidents”. Perubahan fungsi dari adegan dramatik ke adegan ilustratif membawa implikasi. Pada adegan dramatik, nyaris tidak muncul selingan berupa deskripsi, aktivitas pikiran, maupun pembolak-balikan waktu anachronic interference. Pada adegan ilustratif, adegan berpadu dengan topik-topik yang melantur, retrospeksi bayangan masa lalu, antisipasi perkiraan masa depan, bagian yang ditulis dalam kurung dan bersifat iteratif maupun deskriptif, serta intervensi menggurui dari narator. Hal-hal baru yang mungkin dipadukan dalam adegan ilustratif tersebut disebut silepsis Genette, 1980:111. Silepsis membuat adegan ilustratif menjadi gambaran psikologis dan sosial. Silepsis adalah “the fact of taking together—temporal or other—to anachronic groupings governed by one or another kinship spatial, temporal, or other”. Contoh silepsis adalah silepsis geografis di mana serangkaian tindakanperistiwa dituturkan bersamaan karena kesamaan lokasi geografis. Pada silepsis tematik, serangkaian tindakankejadian dituturkan bersamaan atas kesamaan tema. Alasan tindakanperistiwa itu dituturkan bersama adalah karena adanya hubungan analogi maupun kontras Genette, 1980:85. Singkatnya, fungsi silepsis adalah “synthetizing similar events” Genette, 1980:155. Silepsis merupakan komponen penyusun penceritaan iteratif yang akan diulas di sub-bab frekuensi.

3. Frekuensi Frequency

Frekuensi dalam naratologi mengkaji hubungan perulangan antara cerita dan penceritaan. Pada hakikatnya, sesuatu hal bisa terjadi berulang kali. Namun, yang terulang bukanlah kejadian yang sama persis, melainkan kejadian yang identik. Begitu juga dengan penuturan cerita. Sebuah cerita bisa dituturkan hanya satu kali atau berulang kali dalam penceritaannya. Frekuensi kejadian dalam cerita dan dalam penceritaaan dapat diidentifikasi menjadi empat jenis: 1 menceritakan sekali apa yang terjadi sekali 1N1S; 2 menceritakan n kali apa yang terjadi n kali nNnS; 3 menceritakan n kali apa yang terjadi sekali nN1S; dan 4 menceritakan sekali apa, atau menceritakan dalam satu waktu, yang terjadi n kali 1NnS. Jenis pertama dan kedua disebut penceritaan singulatif singulative narrative, jenis ketiga disebut penceritaan berulang repeating narrative, dan jenis keempat disebut penceritaan iteratif iterative narrative. a. Penceritaan Iteratif Yang menjadi perhatian di sini adalah penceritaan iteratif. Penceritaan iteratif adalah “a synthetic narrating of the events that occur and reoccur in the course of iterative series that is composed of a certain number of singular units” Genette, 1980:127. Dalam penceritaan tipe ini, beberapa hal “singular units” dituturkan secara serangkai “in the course of an iterative series” dalam satu waktu sehingga dalam aspek tata ia berkaitan dengan akroni, dan dalam aspek adegan dia berkaitan dengan silepsis. Silepsis termasuk cara membentuk penceritaan iteratif. Dalam novel-novel klasik, penceritaan iteratif sering hadir sebagai bagian subordinat dari penceritaan singulatif. Dia hanya berfungsi sebagai “moral portrait”. Bentuk iteratif menjadi bagian dari deskripsi yang menyangga adegan singulatif. Dengan demikian, kehadirannya bergantung pada penceritaan singulatif. Genette menyebut Gustave Flaubert dalam Madame Bovary sebagai pionir yang menempatkan penceritaan iteratif sepenuhnya otonom. Penceritaan iteratif hadir tidak sebagai penyangga atau pun deskripsi penceritaan singulatif yang “dramatically very important” Genette, 1980:117. Dalam karya Proust, singulatif dan iteratif tidak saling otonom, melainkan berpadu. “[…] the singulative itself is to some extent integrated into the iterative, compelled to serve and illustrate it, positively or negatively, either by respecting its code or by transgressing it, which is another way of manifesting it Genette, 1980: 140. Terkait waktu, perlu diperhatikan dampak dari kehadiran bagian iteratif iterative section dalam adegan singulatif. Bidang waktu temporal field yang dicakup bagian iteratif memperluas bidang waktu adegan singulatif. Bagian iteratif membuat bidang waktu tertentu dalam adegan singulatif beralih ke periode yang lebih luas “the iterative to some extent opens a window onto the external period”, Genette, 1980:118. Bentuk ini disebut generalizing iterations atau external iterations. Namun, iteratif juga bisa merujuk ke periode waktu adegan itu sendiri, bukan ke periode waktu yang lebih luas “iterative syllepsis extends not over a wider period of time but over the period of time of the scene itself”, Genette, 1980:119. Bentuk ini disebut internal iteration atau synthesizing iteration. Dalam bentuk yang lebih spesifik, integrasi antara bentuk iteratif dengan bentuk singulatif bisa digeneralisir dalam empat kemungkinan berikut Genette: 1980:143. Pertama, bagian iteratif yang berfungsi deskriptif maupun penjelas, subordinat terhadap adegan singulatif. Kedua, adegan singulatif yang berfungsi ilustratif, subordinat terhadap bangunan iteratif iterative development. Ketiga, anekdot tunggal yang yang menjadi penjelas bagi bangunan iteratif sekaligus subordinat terhadap adegan singulatif. Keempat, adegan singulatif yang subordinat terhadap bagian iteratif, kemudian adegan tersebut berubah menjadi bagian iteratif. Dengan memakai empat kemungkinan tersebut, maka salah satu fungsi bentuk iteratif adalah sebagai strategi peralihan cerita alternation or transition, Genette, 1980: 143. Strategi peralihan cerita semacam ini berlainan dengan strategi klasik di mana hanya digunakan adegan dan ringkasan secara bergantian. À la Recherche du Temps Perdu adalah contoh karya yang sama sekali tidak menggunakan stretegi klasik tersebut, melainkan memakai bentuk penceritaan iteratif. Aspek iteratif dalam karya Proust dijelaskan Genette dalam kutipan berikut. “A large number of these descriptions undoubtedly, more than a third are the iterative type, that is, they are not connected to a particular moment in the story but to a series of analogous moments, and consequently cannot in any way contribute to slowdown the narrative but, indeed, the reverse […] so many pages all synthetizing several occurences of the same sight into one single descriptive section. […] that description never brings about a pause in the narrative […].” Genette, 1980:99–100 Singkatnya, bentuk baru penceritaan iteratif dengan berbagai variasi bentuknya seperti yang dipaparkan di atas memiliki dua fungsi. Pertama, sebagai moral portrait sebagaimana fungsinya di novel-novel klasik. Kedua, sebagai strategi peralihan cerita seperti yang dilakukan Proust dalam À la Recherche du Temps Perdu.

4. Modus Mode

Modus adalah berbagai bentuk yang digunakan untuk menjelaskan intensitas hal yang dibicarakan. Modus juga mengungkapkan berbagai sudut pandang. Seseorang bisa bercerita banyak atau sedikit; juga dapat bercerita berdasarkan sudut satu atau beberapa tokoh tertentu. Modus berkaitan dengan 1 pengaturan banyak-sedikit informasi yang diberikan penceritaan dan 2 pengaturan kemunculan narator. Ada dua jenis penceritaan, yakni mimesis dan diegesis. Mimesis adalah penceritaan di mana ada satu tokoh rekaan yang menuturkan cerita. Tokoh ini menjadi perantara pengarang dalam menuturkan cerita. Lewat perantara, atau narator, pengarang menuturkan cerita seakan-akan dari mulut orang lain. Pembaca dikonstruksi agar tidak menyadari bahwa ada seorang pengarang yang menuturkan cerita. Diegesis atau pure narrative adalah penceritaan di mana pengarang menegaskan bahwa dia sendirilah yang menuturkan cerita tersebut. Bila diukur berdasar kuantitas informasi dan intensitas kemunculan narator, dalam mimesis kuantitas informasi maksimum, intensitas narator minimum. Dalam diegesis sebaliknya, yaitu kuantitas informasi minimum dan intensitas narator maksimum. Berdasarkan kuantitas informasi dan intensitas kemunculan narator, bahasan mengenai modus kemudian difokuskan pada dua hal, yakni mengenai jarak distance dan perspektif perspective. Yang akan dibahas di sini adalah yang kedua. Perspektif adalah persoalan mengenai sudut pandang karakter mana yang dipakai narator. Genette membedakan perspektif dengan tutur voice. Jika perspektif dipakai untuk menyelidiki sudut pandang yang dipakai dalam penceritaan, maka tutur mempersoalkan siapa yang menjadi narator. Genette menyatakan secara sederhana bahwa perspektif adalah tentang siapa yang memandang, sedangkan tutur adalah persoalan tentang siapa yang bicara Genette, 1980:186. Dengan demikian, perspektif juga menyelidiki letak pemandang.