c. Infibulation or Pharaonic Circumcision Infibulation or Pharaonic Circumcision adalah pemotongan seluruh atau
sebagian dari mons veneris, labia majora, labia monora, klitoris, yang kemudian dijahit dan hanya meninggalkan lubang kecil untuk aliran kemih dan menstruasi.
d. Excision Istilah ini digunakan untuk menggambarkan operasi selain sunat atau
infibulasi, dan yang berdiri antara mereka. Istilah ini dapat diterapkan untuk setiap operasi dalam kondisi yang sama.
e. Introcision Introcision adalah pemotongan dari vagina dan atau pemisahan perineum.
Ini adalah bentuk terberat dari mutilasi alat kelamin perempuan.
2. Sunat Perempuan sebagai Tradisi
Sunat perempuan yang diyakini sebagai ajaran Islam masih menimbulkan perdebatan di kalangan ulama, ilmuwan, dan peneliti. Sebagian mereka
mengatakan bahwa sunat perempuan merupakan ajaran agama Islam dan hukumnya wajib sebagaimana sunat pada laki-laki, sementara sebagian yang lain
mengatakan bahwa sunat perempuan bukan merupakan ajaran agama Islam, melainkan tradisi masyarakat kuno Musyarofah, 2003: 25.
Sementara itu, beberapa penelitian tentang sunat perempuan atau FGM di Afrika menyebutkan bahwa praktik sunat perempuan telah dikenal oleh
masyarakat Mesir jauh sebelum agama Islam lahir. Dalam jurnal Islam and Female Circumcision 2006: 59 mengatakan bahwa praktik sunat perempuan
pertama kali dikembangkan di lembah Nil di Mesir kuno pada abad ke-5 SM, kemudian menyebar ke tempat lain melalui kontak perdagangan dengan lembah
Nil. Data lain menunjukkan bahwa praktik tersebut telah dilakukan kira-kira sejak 6000 tahun yang lalu di sebelah selatan Afrika, bahkan terdapat bukti gambar-
gambar relief dari zaman Mesir pada tahun 2800 SM. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Kartono Mohamad dalam sebuah makalah bahwa sunat
perempuan bukan berawal dari ajaran Islam, tetapi berawal dari tradisi masyarakat Afrika yang paternalistik yang tidak menginginkan kaum perempuan tertarik
kepada laki-laki, selain suaminya Musyarofah, 2003: 26.
3. Faktor Penyebab Sunat Perempuan
Penyebab sunat perempuan mencakup campuran faktor budaya, agama dan sosial dalam keluarga dan masyarakat. Berikut adalah penyebab-penyebab
menurut WHO:
a. Sunat perempuan merupakan konvensi sosial. Tekanan sosial untuk
menyesuaikan diri dengan apa yang lain lakukan dan telah lakukan adalah motivasi yang kuat untuk melanggengkan praktik.
b. Sunat perempuan seringkali dianggap sebagai bagian penting dari
membesarkan seorang gadis baik, dan cara untuk mempersiapkan dirinya untuk dewasa dan menikah.
c. Sunat perempuan sering termotivasi oleh keyakinan tentang apa yang
dianggap perilaku seksual yang tepat untuk keperawanan pranikah dan kesetiaan perkawinan. Sunat perempuan di banyak masyarakat dipercaya
untuk mengurangi libido wanita dan karena itu diyakini membantunya melawan tindakan seksual di luar perkawinan.
d. Meskipun tidak ada hadits agama yang menganjurkan sunat perempuan,
praktisi sering percaya praktik ini memiliki dukungan agama.
e. Sunat perempuan dikaitkan dengan cita-cita budaya feminitas dan kerendahan
hati, yang meliputi gagasan bahwa anak perempuan “bersih” dan “indah” setelah pengangkatan bagian tubuh yang dianggap “laki-laki” atau “haram”.
f. Para pemimpin agama mengambil berbagai posisi yang berkaitan dengan
sunat perempuan. Beberapa mempromosikannya, beberapa menganggapnya tidak relevan dengan agama, dan lain-lain berkontribusi terhadap
eliminasinya.
g. Kekuasaan dan otoritas dari struktur lokal, seperti tokoh masyarakat, tokoh
agama, dukun sunat, dan bahkan beberapa tenaga medis dapat berkontribusi untuk menegakkan praktik ini.
h. Di sebagian besar masyarakat, sunat perempuan dianggap sebagai tradisi
budaya yang sering digunakan sebagai argumen untuk kelanjutannya.
i. Dalam beberapa masyarakat, sunat perempuan dilakukan oleh kelompok-
kelompok baru ketika mereka pindah ke daerah di mana penduduk lokaknya melakukan praktik ini WHO,
http:www.who.intmediacentre
.
4. Dampak dari Sunat Perempuan a. Dampak Fisik
Sunat perempuan yang umumnya dilakukan oleh para dukun merupakan tindakan yang membahayakan karena mengandung risiko terjadinya infeksi,