Sumber Hukum Pidana Indonesia Sejarah Hukum Pidana Indonesia

Kebanyakan sarjana berpandangan bahwa hukum pidana adalah hukum public. Mereka diantaranya adalah Simons, Van Hamel, Van Scravendijk, Tresna, Van Hattum dan Han Bing Siong. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik karena mengatur hubungan antara warga masyarakat dengan Negara. Namun sejarahnya menunjukkan hukum pidana awalnya juga bersifat hukum privat. Suatu perbuatan yang menimbulkan kerusakan atau merugikan seseorang baik fisik ataupun materiil akan mendapatkan pembalasan dari pihak yang dirugikan korban.Selanjutnya pembalasan kemudian diganti dengan ganti kerugian untuk menciptakan keseimbangan kembali. Pada awalnya jumlah ganti kerugian sangat tergantung pada pihak yang dirugikan, sampai akhirnya muncul keterlibatan pihak yang berkuasa untuk mengaturnya. Akhirnya setelah muncul Negara, maka kemudian Negara diberikan hak untuk mengambil alih dan meminta pelaku bertanggungjawab atas perbuatannya dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Hal ini menunjukkan hubungan antara pelaku dan korban tidak lagi bersifat pribadi, tetapi telah menjadi hukum yang bersifat publik. Dari uraian diatas dapat disimpulkan, hukum pidana berasal dari hukum privat yang kemudian berkembang menjadi hukum publik, selanjutnya meletakkan kekuasaan untuk menjalankan hukum tersebut di tangan Negara penguasa dalam upaya menciptakan ketertiban. Namun demikian, masih ada aturan-aturan hukum pidana yang bersifat privat, sehingga Negara tidak serta merta bias menegakkannya, tidak memiliki kewajiban untuk menjalankannya tanpa adanya permohonan dari pihak yang dirugikan. Kerugian pihak korban dianggap lebih besar daripada kepentingan masyarakat dan bersifat sangat pribadi. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan delik aduan dalam hukum pidana.

6. Sumber Hukum Pidana Indonesia

1. KUHP Wet Boek van Strafrecht sebagai sumber utama hukum pidana Indonesia terdiri dari : a Tiga buku KUHP yaitu Buku I bagian umum, Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran. b Memorie van Toelichting MvT atau penjelassan terhadap KUHP. Penjelasan ini tidak seperti penjelasan dalam perundang-undangan Indonesia. 2. Undang-undang di luar KUHP yang berupa tindak pidana khusus, seperti UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Narkotika dan lain-lain. Selain undang- undang yang merupakan tindak pidana khusus, sumber hukum pidana Indonesia juga dapat dijumpai dalam berbagai ketentuan perundang-undangan bukan pidana, misalnya UU Kesehatan, UU Pendidikan, UU Telematika dan sebagainya. 3. Di daerah-daerah tertentu untuk perbuatan-perbuatan tertentu yang tidak diatur oleh hukum pidana positif, berupa hukum adat hukum pidana adat masih tetap berlaku. Keberadaan hukum adat ini masih diakui berdasarkan UU drt. No.1 Tahun 1951 Pasal 5 Ayat 3 Sub b.

7. Sejarah Hukum Pidana Indonesia

Sejarah hukum pidana Indonesia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan masyarakat Indonesia. Hukum pidana modern Indonesia dapat dibagi menjadi hukum pidana zaman penjajahan belanda, hukum pidana zaman penjajahan jepang, dan hukum pidana zaman kemerdekaan. Hukum pidana pada zaman penjajahan belanda dapat dilihat dari dua masa yaitu masa sebelum kekuasaan pemerintah Belanda dan masa pemerintahan Belanda. Masa sebelum pemerintahan belanda dimulai dari kedatangan VOC. Hukum pidana yang dibuat pada masa ini sebagai awal perkembangan hukum pidana Indonesia, karena pada masa inilah mulai dikenal hukum pidana dalam bentuk tertulis yang berlaku di wilayah Indonesia. Hukum yang dibuat oleh VOC di Indonesia berdampingan dengan hukum yang dibuat oleh direksi-direksi mereka di belanda yang disebut heeren zeventien. Untuk melaksanakan peraturan-peraturan dari direksi tersebut, pengurus VOC di Indonesia membuat peraturan organic yang diumumkan dalam plakat- plakat. Plakat-plakat itupun disusun secara sistematis disebut statute van Batavia statute Batavia yang pada tahun 1650 mendapat pengesahan oleh direksi VOC di Belanda. Selanjutnya pada tahun 1766 statuta Batavia diperbaharui dan diberikan nama Nieuwe Bataviase Statuten statute betawi baru yang berlaku sampai dengan tahun 1866. Memasuki masa setelah dibubarkannya VOC tahun 1798, pemerintahan Belanda masih memberlakukan ketentuan lama. Demikian pula pada masa penjajahan Inggris yang mengambil alih pemerintahan Belanda, ketentuan tersebut masih dipertahankan. Setelah berakhirnya pemerintahan Inggris, pemerintahan beralih kembali ke pemerintahan Belanda. Pada masa ini pemerintah Belanda tidak melakukan perubahan peraturan yang berlaku, Statuta Betawi Baru dan Hukum Adat masih tetap berlaku. Namun demikian pemerintah Hindia Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum, dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840. Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan Intermaire Strafbepalingen. Walaupun sudah ada Intermaire Strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap berusaha untuk menciptakan kodifikasi dan unifikasi. Alhasil, usaha ini membuahkan hasil dengan diundangkannya Koninklijk Besluit 10 februari 1866. Wet Boek van Strafrecht voor Nederladsch-Indie dikonkordasikan dengan code penal yang sedang berlaku di Belanda. Ketentuan ini kemudian diberlakukan untuk golongan lainnya pada tanggal 1 januari 1918. Masuknya Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 setelah mengalahkan Belanda, ternyata tidak menyebabkan terjadinya perubahan besar dalam bidang hukum pidana. WvSNI tetap berlaku berdasarkan UU Pemerintahan Bala Tentara Jepang yaitu UU No,1 Tahun 1942. Namun demikian Bala tentara Jepang mengeluarkan Gunsei Keizirei pada tahun 1944. Ketentuan ini lebih dikedepankan, bilamana terjadi kualifikasi delik yang berbeda antara WvS dengan Gunsei Keizirei. Setelah Indonesia merdeka WvSNI tetap diberlakukan berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUDRI 1945 untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum. Namun demikian masuknya kembali Belanda ke Indonesia dengan menguasai Jakarta, beberapa daerah di Jawa, Madura, Sumatra dan beberapa daerah lain telah menyebabkan terjadinya perbedaan peraturan dalam hukum pidana untuk daerah kekuasaan Belanda. Lalu, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah RI mengeluarkan UU No.1 Tahun 1946 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, sementara untuk daerah lain akan ditentukan berikutnya oleh presiden. Dari ketentuan tersebut dapat diketahui WvSNI merupakan peraturan pidana yang berlaku, namun namanya diganti menjadi Wetboek van Strafrecht dengan terjemahan Kitab Undang- undang Hukum Indonesia, disingkat dengan KUHP. Di sisi lain, pada saat Belanda datang kembali ke Indonesia kemudian mengeluarkan ordonantie pada tanggal 24 september 1948 yang mengubah nama WvS menjadi Wetboek van Strafrecht voor Indonesie. Akibatnya, ada dua kodifikasi hukum pidana berlaku di wilayah Indonesia yaitu WvS dan WvSI. Kondisi ini tetap berlaku hingga Konstitusi RIS berlaku bahkan sampai dengan berlakunya UUDS. Dualisme pemberlakuan hukum berlaku walaupun terjadi perbedaan wilayah karena berdasarkan UU No.1 Tahun 1950 Jo. UU No.8 Tahun 1950 WvS diberlakukan oleh pemerintah Indonesia di wilayah-wilayah yang kembali menjadi bagian Indonesia. Dualisme hukum pidana Indonesia baru berakhir setelah belanda kembali meninggalkan Indonesia, Untuk mengatasi persoalan ini dikeluarkan UU No.73 Tahun 1958 yang menyatakan UU No.1 Tahun 1946 berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Hal ini menunjukkan KUHP yang berlaku saat itu adalah WvSNI dengan perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah RI.

8. Fungsi Hukum Pidana