Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar Kawin Antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dengan Hukum Perdata BW

(1)

PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN

ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN

HUKUM PERDATA BW

TESIS

Oleh :

FITRI ZAKIYAH 087011044

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Judul Tesis : PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN HUKUM PERDATA BW

Nama : FITRI ZAKIYAH

Nomor Pokok : 087011044

Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(DR. Ramlan Yusuf Rangkuty, M.A.) Ketua

(Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.)(DR. T. Keizerina Devi A., S.H.,

CN.,M.Hum.)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. DR. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.) (Prof. DR. Runtung, S.H., M.Hum.)


(3)

PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN HUKUM PERDATA BW

Fitri Zakiyah*)

DR. Ramlan Yusuf Rangkuty, M.A.**) Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.**) DR. T. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum.**)

ABSTRAK

Akhir-akhir ini di dalam masyarakat banyak sekali terjadi kasus anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Pada dasarnya hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang membenihkannya dan keluarganya dalam lapangan hukum keluarga dianggap tidak ada, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya hal ini dianut baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Hal itu mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan, yang menimbulkan akibat hukum terhadap si anak termasuk dalam hal ini hak waris anak luar kawin yang diakui tersebut. Namun, permasalahan justru timbul apabila si ayah tidak bersedia untuk mengakui anaknya, bagaimana perlindungan hukum terhadap si anak tersebut.

Status hak waris anak luar kawin dalam KHI yaitu bahwa anak tersebut hanya berhak mewaris dari ibunya dan keluarga ibunya demikian juga sebaliknya. Sedangkan, terhadap ayah biologisnya anak tersebut sama sekali tidak ada hubungan hukum sehingga tidak menimbulkan hubungan saling mewarisi. Mengenai besarnya bagiannya adalah sama sebagaimana ketentuan yang berlaku terhadap anak sah. Status hak waris anak luar kawin yang terdapat dalam BW baru timbul setelah adanya pengakuan dari laki-laki atau perempuan yang membenihkannya, sedangkan dengan keluarga ayah dan ibu yang mengakuinya baru timbul setelah adanya pengesahan. Namun, pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan tidaklah menimbulkan hak waris terhadap anak tersebut. Sedangkan, mengenai besarnya bagiannya adalah telah ditentukan porsinya sesuai dengan siapa ia bersama-sama mewaris, yaitu sebagaimana diatur pada Pasal 863 BW.

Terdapat perbedaan dan persamaan mengenai status hak waris anak luar kawin tersebut. Baik KHI maupun hukum Perdata BW masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal pengaturan mengenai anak luar kawin ini. Namun, pada dasarnya KHI tetap lebih memberikan perlindungan hukum kepada si anak. Bagi para pembuat peraturan dan penegak hukum, baik dalam KHI maupun Hukum Perdata BW hendaknya kembali memperbaharui peraturan agar dihasilkan ketentuan yang lebih tegas mengenai pengakuan anak luar kawin yang juga berdampak kepada kepastian hukum mengenai bagian warisnya.


(4)

Kunci : 1. Perbandingan 2. Status Hak Waris 3. Anak Luar Kawin


(5)

THE COMPARISON RIGHTS HEIRLOOM STATUS OF EXTERNAL CHILD MARRY BETWEEN ISLAMIC LAW COMPILATION (KHI) WITH

CIVIL LAW of BW Fitri Zakiyah*)

DR. Ramlan Yusuf Rangkuty, M.A.**) Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.**) DR. T. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum.**)

Recently in society a lot of happened extramarital borne child case. Basically the child relation with men who make them and its family in family law field supposed no relation, so that in this case there is no hereditary law between both of them, this is in Islamic Law Compilation and also in Civil Code (Burgerlijk Wetboek). That thing push all law maker specially Civil Code (BW) make an confession institute, give effect of law to the child which included in this matter of rights heirloom status of external child marry confessed. But, problems exactly arise if the father not ready to to confess its child, how protection of law to the child.

Rights heirloom status of external child marry in KHI is that the child only heir entitled to from its mother and its mother family and so do on the contrary. While, to its father of the child him is not at all there is contractual terms so that do not generate relation in it’s inheriting each other. Concerning level of its shares is same as rule going into effect to valid child. Rights heirloom status of external child marry which there are in BW newly arise after existence of confession of woman or men who make them, while with father family and mother confessing it newly arise after existence of authentication. But, done confession as long as marriage is not generate heir rights to child. While, hitting the level of its shares is have been determined its portion as according to whom he together heir, that is as arranged at Section 863 BW.

There are statutory equation and difference about rights heirloom status of external child marry. Whether KHI and also civil law of BW each owning insuffiency and excess in the case of arrangement concerning external child marry this. But, basically KHI remain to more giving protection of law to the child. To all maker of regulation and enforcer of law, good in KHI and also Civil Law of BW shall again innovate regulation to be yielded by more coherent rule regarding confession of external child marry which also affect to rule of law regarding part of its heirloom. Key :

1. The Comparison 2. Rights Heirloom Status 3. External Child Marry


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih serta Maha Penyayang atas segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan ini yang merupakan syarat guna mencapai gelar Magister Kenotariatan.

Penulisan tesis ini bertujuan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi pada program studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana di Universitas Sumatera Utara, berkat rahmat dan karunia-Nya yang diberikan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi dan penulisan tesis ini dengan judul PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN HUKUM

PERDATA BW. Pemilihan judul ini didasari oleh rasa ketertarikan penulis terhadap

permasalahan perbandingan status hak waris anak luar kawin khususnya anak luar kawin yang diakui oleh kedua orang tuanya yang diatur oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Perdata BW.

Harapan penulis, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bukan hanya pada penulis sendiri, tetapi juga bagi masyarakat pada umumnya, dan bagi mahasiswa khususnya yang berada di lingkungan pendidikan hukum. Sebuah pepatah mengatakan tak ada gading yang tak retak, demikian juga dengan penulisan tesis ini. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena penulis adalah manusia biasa dan tak luput dari kesalahan dan kekurangan.


(7)

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun materil. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Keluarga penulis tercinta, orang tua penulis yang telah merawat, mengasihi, mendidik dan membesarkan serta memberikan tauladan kepada penulis tentang arti kejujuran, kerja keras dan keberhasilan, yaitu ayahanda Drs. M. Tauhid Mahmudy, M.A. dan Ibunda Dra. Kartini Ranta, Kakanda Husnalita, S.H.M.Kn. dan abangda Anwar Basri S.H., abangda Jaya Setiawan dan isterinya Loli, Adikqu Fakhrurrozi dan Risa, Adik Bungsuku Nizamil Fadli dan Ashfiya Nabilla Arrasuli, serta kemenakan-kemenakanku yang lucu-lucu dan imut-imut Nabila Az-Zahra dan Amira Zayana Putri.

2. Keluarga Besar Universitas Sumatera Utara terutama Fakultas Hukum :

a. Rektor USU : Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu,DTM&H, M.Sc.(CTM), Sp.A(K). b. Dekan Fakultas Hukum : Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum.

c. Ketua Program Magister Kenotariatan : Prof. DR. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N.

3. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dosen Pembimbing :

a. DR. Ramlan Yusuf Rangkuty, M.A. b. Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.


(8)

c. DR. T. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum.(yang telah membimbing penulis guna menyelesaikan penulisan tesis ini).

4. Para Bapak dan Ibu Dosen Program Pasca Sarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai tingkat Magister.

5. Seluruh staff biro pendidikan di Magister Kenotariatan yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama ini.

6. Kepada sahabat-sahabatku di MKn yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala masukan dan bantuannya selama ini.

7. Kepada sahabat-sahabat setiaku Eci, Dara, Teteh, Ika, Taufik, Putri, Noy, Tias, Heri, Surya, Ilmot, Mbot, Sute, Zaki, Nopan, Kubo yang selalu menemaniku disaat susah dan senang.

Hanya Allah yang dapat membalas segala kebaikan dan jasa-jasa yang diberiken mereka semua. Dengan penuh kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atas segala kekurangan yang penulis sadari sepenuhnya terdapat dalam tesis ini guna perbaikan dikemudian hari.

Medan, Juli 2010

Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………... i

ABSTRACT………... ii

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI……….... vii

BAB I PENDAHULUAN………... 1

A. Latar Belakang………... 1

B. Perumusan Masalah……….. 14

C. Tujuan Penelitian……….. 14

D. Manfaat Penelitian………... 15

E. Keaslian Penelitian………... 16

F. Kerangka Teori dan Konsep………... 17

G. Metode Penelitian………... 37

1. Spesifikasi dan tipe penelitian………... 37

2. Prosedur pengumpulan bahan hukum………... 38

3. Pengolahan dan analisis bahan hukum………... 40

BAB II STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)……….. 41

A. Anak Luar Kawin dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)………... 41


(10)

2. Pengertian anak luar kawin dalam Islam………... 45

3. Status anak luar kawin dalam Islam………... 52

4. Asal usul anak dalam Kompilasi Hukum Islam………... 54

5. Pengesahan anak dalam hukum positif Indonesia………... 68

B. Status Hak Waris Anak Luar Kawin dalam Kompilasi Hukum Islam…... 71

BAB III STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN MENURUT HUKUM PERDATA BW……….... 85

A. Anak Luar Kawin dalam Hukum Perdata BW………... 85

1. Perkawinan dalam Hukum Perdata BW………... 85

2. Anak luar kawin dalam Hukum Perdata BW………. 88

a. Anak sah………... 88

b. Anak luar kawin………... 92

3. Pengakuan anak luar kawin………... 96

4. Kedudukan anak luar kawin yang diakui dalam hukum keluarga... 105

B. Status Hak waris anak luar kawin yang diakui dalam Hukum Perdata BW…… 120

BAB IV PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM DENGAN HUKUM PERDATA BW………... 136


(11)

B.Kelebihan dan Kelemahan... 145

C. Perlindungan Hukum terhadap Anak………... 147

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 157

A. Kesimpulan………. 157

B. Saran………... 159


(12)

PERBANDINGAN STATUS HAK WARIS ANAK LUAR KAWIN ANTARA KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) DENGAN HUKUM PERDATA BW

Fitri Zakiyah*)

DR. Ramlan Yusuf Rangkuty, M.A.**) Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.**) DR. T. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum.**)

ABSTRAK

Akhir-akhir ini di dalam masyarakat banyak sekali terjadi kasus anak yang dilahirkan diluar perkawinan. Pada dasarnya hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang membenihkannya dan keluarganya dalam lapangan hukum keluarga dianggap tidak ada, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya hal ini dianut baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Hal itu mendorong para pembuat Undang-undang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan, yang menimbulkan akibat hukum terhadap si anak termasuk dalam hal ini hak waris anak luar kawin yang diakui tersebut. Namun, permasalahan justru timbul apabila si ayah tidak bersedia untuk mengakui anaknya, bagaimana perlindungan hukum terhadap si anak tersebut.

Status hak waris anak luar kawin dalam KHI yaitu bahwa anak tersebut hanya berhak mewaris dari ibunya dan keluarga ibunya demikian juga sebaliknya. Sedangkan, terhadap ayah biologisnya anak tersebut sama sekali tidak ada hubungan hukum sehingga tidak menimbulkan hubungan saling mewarisi. Mengenai besarnya bagiannya adalah sama sebagaimana ketentuan yang berlaku terhadap anak sah. Status hak waris anak luar kawin yang terdapat dalam BW baru timbul setelah adanya pengakuan dari laki-laki atau perempuan yang membenihkannya, sedangkan dengan keluarga ayah dan ibu yang mengakuinya baru timbul setelah adanya pengesahan. Namun, pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan tidaklah menimbulkan hak waris terhadap anak tersebut. Sedangkan, mengenai besarnya bagiannya adalah telah ditentukan porsinya sesuai dengan siapa ia bersama-sama mewaris, yaitu sebagaimana diatur pada Pasal 863 BW.

Terdapat perbedaan dan persamaan mengenai status hak waris anak luar kawin tersebut. Baik KHI maupun hukum Perdata BW masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal pengaturan mengenai anak luar kawin ini. Namun, pada dasarnya KHI tetap lebih memberikan perlindungan hukum kepada si anak. Bagi para pembuat peraturan dan penegak hukum, baik dalam KHI maupun Hukum Perdata BW hendaknya kembali memperbaharui peraturan agar dihasilkan ketentuan yang lebih tegas mengenai pengakuan anak luar kawin yang juga berdampak kepada kepastian hukum mengenai bagian warisnya.


(13)

Kunci : 1. Perbandingan 2. Status Hak Waris 3. Anak Luar Kawin


(14)

THE COMPARISON RIGHTS HEIRLOOM STATUS OF EXTERNAL CHILD MARRY BETWEEN ISLAMIC LAW COMPILATION (KHI) WITH

CIVIL LAW of BW Fitri Zakiyah*)

DR. Ramlan Yusuf Rangkuty, M.A.**) Notaris Syahril Sofyan, S.H., M.Kn.**) DR. T. Keizerina Devi A., S.H., CN., M.Hum.**)

Recently in society a lot of happened extramarital borne child case. Basically the child relation with men who make them and its family in family law field supposed no relation, so that in this case there is no hereditary law between both of them, this is in Islamic Law Compilation and also in Civil Code (Burgerlijk Wetboek). That thing push all law maker specially Civil Code (BW) make an confession institute, give effect of law to the child which included in this matter of rights heirloom status of external child marry confessed. But, problems exactly arise if the father not ready to to confess its child, how protection of law to the child.

Rights heirloom status of external child marry in KHI is that the child only heir entitled to from its mother and its mother family and so do on the contrary. While, to its father of the child him is not at all there is contractual terms so that do not generate relation in it’s inheriting each other. Concerning level of its shares is same as rule going into effect to valid child. Rights heirloom status of external child marry which there are in BW newly arise after existence of confession of woman or men who make them, while with father family and mother confessing it newly arise after existence of authentication. But, done confession as long as marriage is not generate heir rights to child. While, hitting the level of its shares is have been determined its portion as according to whom he together heir, that is as arranged at Section 863 BW.

There are statutory equation and difference about rights heirloom status of external child marry. Whether KHI and also civil law of BW each owning insuffiency and excess in the case of arrangement concerning external child marry this. But, basically KHI remain to more giving protection of law to the child. To all maker of regulation and enforcer of law, good in KHI and also Civil Law of BW shall again innovate regulation to be yielded by more coherent rule regarding confession of external child marry which also affect to rule of law regarding part of its heirloom. Key :

1. The Comparison 2. Rights Heirloom Status 3. External Child Marry


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem waris merupakan salah satu cara adanya perpindahan kepemilikan, yaitu berpindahnya harta benda dan hak-hak material dari pihak yang mewariskan (muwarrits), setelah yang bersangkutan wafat kepada para penerima warisan (waratsah) dengan jalan pergantian yang didasarkan pada hukum syara’. Terjadinya proses pewarisan ini, tentu setelah memenuhi hak-hak terkait dengan harta peninggalan si mayit. Orang-orang Arab di masa jahiliyah telah mengenal sistem waris sebagai sebab berpindahnya kepemilikan, yang dapat dilakukannya berdasarkan dua sebab atau alasan, yakni garis keturunan atau nasab dan sebab atau alasan tertentu, yaitu :

1. Berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan (qarabah).1

Adalah warisan yang diturunkan kepada anak lelaki yang dewasa yang ditandai dengan kemampuan menunggang kuda, bertempur dan meraih harta rampasan perang. Apabila anak lelaki tidak ditemukan, mereka memberikan kepada ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan terdekat, seperti saudara laki-laki, paman, dan lainnya.2 Persyaratan diatas mempunyai motivasi untuk menyisihkan

anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dari menerima pusaka.

1 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami, Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan Faturrahman,

Hukum Waris, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004, hal.2 2Ibid.


(16)

Kaum perempuan karena fisiknya yang lemah dan tidak memungkinkan untuk memanggul senjata dan bergulat di medan laga serta jiwanya yang lemah disisihkan dari menerima pusaka. Dengan demikian maka semua ahli waris terdiri dari kaum laki-laki.3

Muhammad Yusuf Musa mengutip pendapat Jawwad yang mengatakan bahwa : Riwayat-riwayat yang menerangkan pusaka orang perempuan dan istri masyarakat jahiliyah itu bertentangan satu sama lain. Tetapi dari kebanyakan riwayat-riwayat tersebut menjelaskan bahwa mereka tidak dapat mempusakai sama sekali. Namun, ada juga beberapa riwayat yang dapat difahamkan bahwa orang-orang perempuan dan istri-istri itu dapat mempusakai harta peninggalan kerabatnya dan suaminya dan tradisi yang melarang kaum wanita mempusakai harta peninggalan ahli warisnya tidak merata pada seluruh kabilah, tetapi hanya khusus pada beberapa kabilah, terutama banyak dilakukan orang-orang hijaz saja. Seterusnya beliau juga menerangkan suatu riwayat yang menerangkan bahwa orang yang pertama-tama memberikan pusaka kepada anak-anak perempuan jahiliyah ialah Dzul-Masajid ‘Amir bin Jusyam bin Ghunm bin Habib. Ia mempusakakan harta peninggalannya kepada anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan. Untuk yang laki-laki diberi dua kali lipat bagian anak perempuan. Disamping itu beliau juga menerangkan bahwa seorang anak yang diadopsi oleh seseorang berstatus sebagai anak kandungnya sendiri dan anak diluar perkawinan (anak zina) – pun dinasabkan kepada ayah mereka sehingga mereka mempunyai hak mempusakai penuh.4

2. Sebab atau alasan tertentu, yaitu :5

a. Berdasarkan Janji setia

Yaitu dua pihak saling berjanji, misalnya dengan mengatakan : “Darahku adalah darahmu. Penyeranganku adalah penyeranganmu. Kamu menolongku berarti aku

3Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Penerbit PT Al-Ma’arif, Bandung, 1975, hal. 13. 4

Muhammad Yusuf Musa, At-Tirkah wal-Mirats fil’I-Islam, Darul-Ma’rifah, Kairo, t.t., hal. 15, dalam Fatchur Rahman, Loc Cit.


(17)

menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi hartamu.”6

Sebagai akibat dari ikatan perjanjian ini bila salah seorang meninggal dunia, pihak lain berhak mempusakai harta peninggalan yang mendahuluinya sebanyak seper-enam. Sisa harta setelah dikurang seper-enam dibagi-bagikan kepada ahli waris orang yang meninggal.7

Mengenai hal ini juga dibenarkan oleh Al-Qur’an berdasarkan firman Allah pada Q.S. an-Nisa ayat 33, yang artinya :

“Bagi setiap harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tua dan kerabat-kerabat, Kami adakan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orang-orang yang berjanji setia dengan kamu berikanlah kepada mereka…………..”8

b. Adopsi (Pengangkatan anak)

Kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung yang mewarisi dari ayahnya. Adopsi merupakan salah satu adat bangsa Arab yang sudah dikenal di masa Jahiliyah. Mereka menetapkan jalur adopsi melalui dua cara. Pertama, mereka menjadikan adopsi salah satu penghalang dibolehkannya menikah dengan perempuan dari orang tua yang mengadopsinya, haramnya anak laki-laki yang

6

Abu Abdillah Muhammad al-Qurthuby, Al-Jami’ liahkamil Qur’an, Darul Lutubil Mishriyah, Kairo, t.t., hal. 166, dalam Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Loc Cit.

7 Fatchur Rahman, Op Cit, hal 14.

8 Departemen Agama RI, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, PT Karya Putra Toha, Semarang, 1996, hal. 66.


(18)

diadopsi menikahi istri orang yang mengadopsinya. Kedua, mereka menjadikan adopsi sebagai salah satu alasan pelaksanaan hukum waris.9

Ketika Islam datang, orang-orang Arab dengan cepat meninggalkan kebiasaan mereka tentang warisan. Kemudian Islam membatalkan hukum waris melalui jalur adopsi, seperti dinyatakan dalam firman Allah Q.S. Al-Ahzab ayat 4-5 :

…Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)…Panggillah mereka (anak-anak angkat) itu dengan (memakai) nama-nama bapak mereka. Itulah yang lebih adil disisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.10

Dengan demikian, Islam telah membatalkan hak waris anak yang diadopsi dan membolehkan orang tua yang mengadopsi menikahi istri anak angkatnya yang dicerai atau ditinggal mati. Pada masa awal-awal Islam, persaudaraan seperti yang dilakukan Rasulullah terhadap kaum Muhajirin dan Anshar juga menjadi sebab atau alasan terjadinya warisan. Kemudian Islam menghapus hijrah dan persaudaraan sebagai sebab-sebab terjadinya warisan seperti tertuang dalam Q.S. Al-Ahzab ayat 6. Islam juga memandang membebaskan atau memerdekakan hamba sahaya/maula-maula

sebagai sebab terjadinya warisan.11

9

Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Loc Cit. 10 Ibid.


(19)

Secara umum dapat diperhatikan firman Allah Q.S. an-Nisa ayat 7, yang artinya :

“Bagi laki-laki ada bagian dari harta peninggalan yang ditingalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya. Bagi perempuan ada hak (bagian) pula dari harta peninggalan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit maupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”12

Dengan demikian, maka Islam memberi hak waris kepada mereka, baik laki-laki maupun perempuan, baik dewasa maupun anak-anak. Selama tidak ada sebab yang menghalangi seseorang mendapat warisan. Sabda Nabi Muhammad SAW :

“Sungguh, jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan melarat lagi mengemis kepada orang lain.”13

Di Indonesia, hukum Islam telah masuk secara damai sejak abad ke-7 Masehi atau tepat abad ke-1 Hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 Hijriah. Ketika wilayah nusantara dikuasai oleh para sultan dan raja-raja, maka hukum Islam diberlakukan di wilayahnya, demikian juga dengan permasalahan hukum waris. Ketika VOC datang, kebijakan yang dilaksanakan Sultan tetap dipertahankan di daerah kekuasaannya. Bahkan dalam banyak hal mereka memberikan kemudahan, kondisi ini terus berlangsung sampai penyerahan kekuasaan VOC kepada pemerintah

12 Ibid.

13 Nail al-Authar, juz VI, hal. 40, dalam Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar, Op


(20)

kolonial Belanda dan masa itu terkenal dengan masa berlakunya teori receptie in complexu, yakni hukum yang berlaku bagi seseorang adalah hukum agama yang dianutnya. Dalam perkembangannya pemerintah kolonial meneruskan apa yang ditempuh VOC, namun hal tersebut tidak berlangsung lama, sebab pemerintah kolonial Belanda mengubah pendirian ini akibat teori receptie, yaitu hukum yang berlaku dalam realita masyarakat adalah hukum adat, sedangkan hukum Islam dapat diberlakukan kalau sudah beradaptasi dengan hukum adat, yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje. Teori ini didukung oleh Van Vollenhoven, Ter Haar, dan beberapa muridnya.14

Akibat teori ini perkembangan dalam hukum Islam menjadi terhenti sebab pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan baru yaitu Stb. 1937 Nomor 116 dan 610 yang membatasi kewenangan Peradilan Agama, antara lain melakukan pembatasan terhadap kewenangan Peradilan Agama yang hanya terbatas pada masalah perkawinan, sedangkan masalah kewarisan, hibah, wasiat, hadhanah

dimasukkan kedalam wewenang Peradilan Umum.15

Pengaruh lain dari teori receptie ini adalah timbulnya tiga sistem hukum pasca kemerdekaan, yaitu sistem hukum barat, hukum adat, dan hukum Islam dalam penyelenggaaraan hukum di Indonesia hal ini karena pengaruh teori ini sangat kuat dalam berbagai institusi pemerintah.

14 Abdul Manan, Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, 2006, hal.11.


(21)

Setelah proklamasi kemerdekaan RI, pemerintah melalui Departemen Agama berusaha meluruskan persepsi tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Disamping itu, lahir beberapa teori baru yang menentang teori tersebut, diantaranya teori receptie exit oleh Hazairin, teori receptie a contrario oleh Sayuthi Talib, teori eksistensi yang disponsori Ichtijanto, dan teori pembaruan yang disponsori Busthanul Arifin dan rekan-rekannya.

Disamping itu, Menteri Agama RI melalui Biro Peradilan Agama telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 yang ditujukan kepada Pengadilan Agama agar para hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara supaya berpedoman kepada 13 Kitab Fikih, yaitu Al Bajuri, Fathul Mu’in, Syarqawi alat Tahrir, Qulyubi/Muhalli, Fathul Wahab dengan syarahnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninusy Syariah Lissayid Usman bin Yahya, Qawaninusy Syar’iyah Lisayyid Shadaqah Dakhlan, Syamsuri lil Fara’idh, Bughyatul Murtasydin, al-Fiqh ‘alal Madzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.

Namun ternyata dalam pelaksanaan menimbulkan banyak kendala, karena ternyata dalam pelaksanaan ada pihak-pihak yang menunjukkan kitab-kitab lain sebagai solusi menyelesaikan masalah tersebut. Situasi tersebut mendorong para pakar untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam terutama dalam bidang hukum keluarga. Langkah awal dari usaha ini adalah memperbaharui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang NTR (Nikah, Talak, Rujuk), kemudian diperbaharui lagi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan


(22)

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dan Kompilasi Hukum Islam yang didasarkan pada Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang memuat tiga buku, yaitu bidang hukum perkawinan, hukum kewarisan dan hukum wakaf.

Sebagaimana diketahui, akibat dari lahirnya teori receptie terdapat tiga sistem hukum yang berlaku, yaitu hukum Islam, hukum Perdata Barat, dan hukum Adat. Demikian pula hukum waris di Indonesia berbeda-beda, antara lain :

1. Adanya hukum waris Islam yang berlaku untuk segolongan penduduk Indonesia. 2. Adanya hukum waris menurut hukum perdata barat yang berlaku untuk golongan

penduduk yang tunduk pada hukum perdata barat.

3. Adanya hukum adat yang disana-sini berbeda tergantung pada daerah masing-masing yang berlaku bagi orang-orang yang tunduk pada hukum adat.16

Hal ini didasarkan pada penggolongan penduduk menurut ketentuan Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling, yaitu :

1. Orang-orang Belanda.

2. Orang-orang Eropa yang lain.

3. Orang-orang Jepang dan orang-orang lain yang tidak termasuk dalam kelompok satu dan dua yang tunduk pada hukum yang mempunyai asas-asas hukum keluarga yang sama.

4. Orag-orang pribumi yang sah ataupun diakui secara sah dan keturunan lebih lanjut dari orang-orang yang termasuk dalam kelompok 2 dan 3.17

16 R. Soerojo Wongsowidjojo, Inventarisasi Masalah Hukum Waris dalam Praktek, Simposim Hukum Waris Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasinal Departemen Kehakiman, Jakarta, 1989, hal. 172.


(23)

Berdasarkan Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatsregeling, hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa tersebut. Berdasarkan Stb. 1917 No. 129, hukum waris perdata berlaku bagi golongan timur asing Tionghoa. Kemudian berdasarkan Stb. 1924 No. 557 hukum waris dalam KUH Perdata berlaku bagi orang-orang timur asing Tionghoa di seluruh Indonesia.18 Hukum waris sama halnya dengan

hukum perkawinan merupakan bidang hukum yang sensitif atau rawan.19 Keadaan yang demikian menyebabkan unifikasi hukum semakin sulit. Walaupun telah ada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UU No. 1 Tahun 1974), namun masih ada hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang tersebut terutama dalam hal harta perkawinan dan kewarisan sehingga melalui ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 masih tetap berlaku ketentuan hukum yang lama.20

Ketentuan penutup, Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berbunyi :

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No.

17 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Penerbit Kencana, Jakarta, 2005, hal.3.

18 Ibid. 19

R. Subekti, Kaitan Undang-undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris, Kertas Kerja, Simposium Hukum Waris, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1989, hal. 97.

20


(24)

158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.21

Melalui ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan, bahwa KUH Perdata masih berlaku bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa dan Eropa. Sebagaimana dinyatakan Subekti :

“Ini berarti bahwa KUH Perdata (BW) dan lain-lain undang-undang tersebut tadi masih berlaku sekedar mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.”22

Hal ini dipertegas dalam Surat Edaran Mahkamah Agung kepada para Ketua/Hakim Pengadilan Tinggi dan Ketua/Hakim Pengadilan Negeri tertanggal 20 Agustus Tahun 1975 No. M.A./Penb/0807/75, tentang petunjuk-petunjuk pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 dan PP No. 9 Tahun 1975.23

Hal-hal mengenai hukum waris sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut, tentu saja hanya berlaku bagi mereka yang tunduk atau menundukkan diri kepada KUH Perdata, khususnya Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa.24 Salah satu masalah hukum waris yang ada di

Indonesia adalah mengenai anak luar kawin, dimana terdapat perbedaan-perbedaan yang prinsipil antara hukum Islam yang berlaku bagi Warga Negara Indonesia yang beragama Islam dengan hukum perdata barat yang berlaku bagi mereka yang tunduk

21Ibid.

22

R. Subekti, Op Cit, hal. 97. 23

Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Op Cit, hal 6.

24 Effendi Perangin angin, Hukum Waris, Kumpulan Kuliah Jurusan Notariat, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, t.t., hal.1.


(25)

atau menundukkan diri kepada KUH Perdata, khususnya Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan Eropa.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) menyebutkan :

“(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Jadi, walaupun sebuah pasangan telah melangsungkan perkawinan yang sah berdasarkan hukum agamanya dan hukum adatnya, namun juga belum bisa disebut sebagai perkawinan yang sah menurut hukum positif Indonesia.

Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, menyebutkan :

“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

Dengan demikian, maka hubungan anak tersebut dengan laki-laki yang membenihkannya dan keluarganya dalam lapangan hukum keluarga dianggap tidak ada, sehingga dalam hal ini tidak ada hukum waris antara keduanya hal ini dianut baik dalam Kompilasi Hukum Islam maupun Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). Dalam ayat selanjutnya pasal tersebut disebutkan bahwa selanjutnya kedudukan anak tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Akan tetapi, sampai saat ini PP tersebut belum juga diatur.


(26)

Hal ini menimbulkan suatu ketidakadilan dan ketidakpastian hukum, terutama bagi anak dan ibu, sedangkan posisi pihak lelaki yang membenihkan sangat menguntungkan, karena dari segi hukum tidak mempunyai tanggung jawab apa-apa terhadap si ibu dan si anak. Apalagi kedua sistem hukum, hukum Islam dan hukum perdata BW menganut hal tersebut, karena salah satu tujuan perkawinan adalah memelihara keturunan/nasab. Sehingga, hal ini dapat dikatakan bertentangan dengan hak-hak anak, antara lain seperti yang diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hak-hak Anak dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak, yaitu hak memperoleh kebangsaan, nama, serta hak untuk mengetahui dan diasuh orang tuanya, dan hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama, dan hubungan keluarga.

Hak-hak anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tentang Hak Asasi Manusia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52, yaitu :

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara.

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Allah SWT juga berfirman dalam Q. S. Al-Anam ayat 164, yang artinya : “…Dan seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain..”25


(27)

Dengan bertitik tolak pada ayat ini, sebagai orang pribadi tidak seharusnya sang anak bertanggung jawab terhadap dosa yang dilakukan oleh kedua orang tuanya. Anak tersebut juga berhak mendapatkan perlindungan sebagai anak yang tak berdosa.

Hal itu mendorong para pembuat undang khususnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) membuat suatu lembaga pengakuan anak, yaitu terhadap anak luar kawin bukan terhadap anak zina dan anak sumbang. Pada penjelasan Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama (UU No. 3 Tahun 2006) khususnya huruf a disebutkan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan Undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syariah, antara lain :…..butir 22 adalah penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Dalam hal ini berkaitan dengan perkara pengesahan anak, yang dalam bahasa Arab disebut Istilhaq. Sedangkan pengangkatan anak masuk dalam pengertian tabany atau adopsi.26 Terhadap anak yang telah mendapat pengesahan, maka timbul hubungan

hukum yang jelas antara ia dan kedua orang tuanya, demikian juga mengenai hak-hak waris yang termasuk didalamnya.

Namun, permasalahan justru timbul apabila si ayah tidak bersedia untuk mengakui atau mengesahkan anaknya, bagaimana perlindungan hukum terhadap si anak tersebut. Hal inilah yang mendorong ditulisnya penelitian berjudul

26H. A. Mukhsin Asyrof dalam makalah berjudul Mengupas Permasalahan istilhaq dalam Islam, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru, t. t. hal.10.


(28)

“Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar Kawin antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata BW”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, rumusan masalah yang menjadi dasar pembahasan dalam tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah status hak waris anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ?

2. Bagaimanakah status hak waris anak luar kawin menurut Hukum Perdata BW? 3. Bagaimanakah perbandingan status hak waris anak luar kawin antara Kompilasi

Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata BW ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui status hak waris anak luar kawin menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Untuk mengetahui status hak waris anak luar kawin menurut Hukum Perdata BW.

3. Untuk mengetahui perbandingan status hak waris anak luar kawin antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata BW.


(29)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian tesis ini memiliki manfaat teoritis dan praktis yang didasarkan pada tujuan penelitian.27 Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam lapangan hukum waris dan hukum keluarga, yaitu mengenai waris anak luar kawin ditinjau dari hukum Islam dan hukum perdata. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata hukum di bidang hukum waris dan hukum keluarga.

2. Secara Praktis

Manfaat penelitian ini memberi masukan kepada para penegak hukum dan pembuat peraturan untuk menyempurnakan kembali peraturan-peraturan di bidang hukum waris dan hukum keluarga, agar tercipta suatu unifikasi hukum didalam masyarakat.

27

Calire Seltz et.,al : 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitain Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal.9 bahwa Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian, yaitu : “…..to discover answers to questions through the application of scientific procedures. These procedures have been developed in oreder to increase the likelihood that the information gathered will be relevant to the question asked and will be reliable and unbiased.”


(30)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang didapat dari penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, ternyata penelitian tentang “Perbandingan Status Hak Waris Anak Luar Kawin antara Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan Hukum Perdata BW” belum pernah ditemukan judul atau penelitian tentang judul diatas sebelumnya. Dengan demikian, maka penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Kalaupun ada kesamaan, hal itu pastilah dilakukan dengan tidak sengaja dan dilakukan dengan pendekatan masalah yang berbeda, seperti :

1. Judul tesis “Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin yang Diakui atas Harta Peninggalan Orang Tuanya (Kajian pada Etnis Tionghoa di Kota Tebing Tinggi” yang ditulis oleh Denilah Shofa Nasution NIM 017011010 Mahasiswa Magister Kenotariatan USU, permasalahannya adalah :

a. Bagaimanakah kedudukan hukum antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang perkawinannya dilakukan secara adat Tionghoa?

b. Bagaimanakah kedudukan anak luar kawin yang diakui dalam hukum keluarga ?

c. Bagaimana hak waris anak luar kawin yang diakui atas harta peninggalan orang tuanya ?


(31)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dari kata dasar thea ini pula datang kata modern teater yang berarti pertunjukan atau tontonan. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.28

Menurut Shorter Oxford Dictionary, teori mempunyai beberapa definisi yang salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik “suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena…suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.29

Menurut Neuman :

“Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”30

28 H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, P.T. Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 21.

29 Malcom Walters, Modern Sociological Theory, Sage Publications, 1994, hal. 2, dalam H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Loc Cit..

30 W. L. Neuman, Social Research Methods, Allyn dan Bacon, London, 1991, hal. 20 dalam H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Loc Cit.


(32)

Dengan mendasarkan kepada pendapat Malcom Walters, maka teori hendaknya meliputi semua pernyataan yang disusun dengan sengaja yang dapat memenuhi kriteria :

a. Pernyataan itu harus abstrak, yaitu harus dipisahkan dari praktek-praktek sosial yang dilakukan. Teori biasanya mencapai abstraksi melalui pengembangan konsep teknis yang hanya digunakan dalam komunitas sosiologis dan sosial. b. Pernyataan itu harus tematis. Argumentasi tematis tertentu harus diungkapkan

melalui seperangkat pernyataan yang menjadikan pernyataan itu koheren dan kuat.

c. Pernyataan itu harus konsisten secara logika. Pernyataan-pernyataan itu tidak boleh saling berlawanan satu sama lain dan jika mungkin dapat ditarik kesimpulan dari satu dan lainnya.

d. Pernyataan itu harus dijelaskan. Teori harus mengungkapkan suatu tesis atau argumentasi tentang fenomena tertentu yang dapat menerangkan bentuk substansi atau eksistensinya.

e. Pernyataan itu harus umum pada prinsipnya. Pernyataan itu harus dapat digunakan dan menerangkan semua atau contoh fenomena apapun yang mereka coba terangkan.

f. Pernyataan-pernyataan itu harus independen. Pernyataan itu tidak boleh dikurangi hingga penjelasan yang ditawarkan para partisipan untuk tingkah laku mereka sendiri.

g. Pernyataan-pernyataan itu secara substansi harus valid. Pernyataan itu harus konsisten tentang apa yang diketahui dunia sosial oleh partisipan dan ahli-ahli lainnya. Minimal harus ada aturan-aturan penerjemahan yang dapat menghubungkan teori dengan ilmu bahkan pengetahuan lain.31

Adapun teori yang digunakan dalam masalah ini adalah teori sistem dan untuk pemecahan masalah sisi substansi setiap sistem hukumnya digunakan teori keadilan, teori perlindungan hukum, dan teori Maqasid al-Syari’ah.

Menurut H.L.A. Hart hukum merupakan suatu sistem. Inti dari pemikirannya terletak pada apa yang dijelaskan oleh Hart sebagai primery rules dan secondary


(33)

rules. Bagi Hart penyatuan tentang apa yang disebutnya sebagai primery rules dan

secondary rules merupakan pusat dari sistem hukum.32

Mengenai primery rules (aturan utama) terdapat dua model. Model yang pertama adalah primery rules yang didalamnya berisi apa yang disebut aturan social (social rule), yang eksis apabila syarat-syarat sebagai berikut dipenuhi. Pertama, adanya suatu keteraturan perilaku didalam beberapa kelompok sosial, suatu hal yang umum dan banyak dijumpai dalam masyarakat. untuk tercipta kondisi yang demikian diperlukan penyesuaian yang menitikberatkan pada perlunya tekanan sosial dengan memusatkan kepada perbuatan (mereka) yang menyimpang (aspek internal). Kedua, aturan itu harus dirasakan sebagai suatu kewajiban oleh suatu (sebagian besar) dalam anggota kelompok sosial yang relevan. Dari sudut pandang internal, anggota masyarakat itu merasakan bahwa aturan yang hendaknya dipatuhi itu menyediakan alasan, baik untuk tekanan sosial dan reaksi yang kritis bagi perilaku yang tidak dapat menyesuaikan diri (aspek eksternal).33

Hart melihat aturan diatas sebagai satu kesatuan seperti dua muka dalam satu mata uang, setiap aturan mempunyai aspek internal dan eksternal yang dapat dilihat/memiliki sudut pandang masing-masing. Aturan menyatakan apa yang hendaknya (seharusnya) dilaksanakan ini juga sekaligus merupakan pernyataan

32Ibid, hal 90.


(34)

tentang perilaku anggota kelompok sosial. Bagi Hart kedua-duanya (baik aspek internal dan eksternal) sangat penting.34

Dalam kaitan dengan waris anak luar kawin dapat dilihat dari kedudukan anak luar kawin itu sendiri, dimana dalam masyarakat ada suatu aturan bahwa untuk dapat melanjutkan keturunan orang harus menikah terlebih dahulu. Lahirnya keturunan diluar pernikahan yang sah tidak dapat diterima, dan anak tersebut tidak diakui sebagai anak sah dari orang yang membenihkannya. Ia tidak dapat memperoleh hak-haknya sebagaimana yang seharusnya ia terima jika ia sebagai anak sah seperti hak waris, hak memakai nama keluarga (geslachtsnaam), pemberian izin perkawinan, dan kekuasaan orang tua. Dengan demikian, perbuatan memiiki anak diluar kawin itu merupakan peyimpangan dari suatu aturan yang telah ada dalam masyarakat.

Metode yang kedua apa yang disebut Hart secondary rules, yang dapat disebut aturan tentang aturan (rules about rules) yang apabila dirinci meliputi :

a. Aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of recognition).

b. Bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change).

c. Bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/dipaksakan/ditegakkan (rules of adjudication).35

Apabila ditelaah lebih jauh maka rules of adjudication lebih efisien, rules of change bersifat sedikit kaku, sedangkan rules of recognition bersifat reduksionis.

34Ibid. 35Ibid.


(35)

Apabila dikaitkan dengan permasalahan anak luar kawin khususnya hak waris anak luar kawin tersebut adalah terkait dengan kebijakan atau aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah maupun aturan-aturan yang ada dalam masyarakat. Apakah aturan tersebut sudah cukup melindungi hak-hak anak luar kawin terutama yang terkait dengan waris.

Teori yang selanjutnya adalah teori Maqashid al-Syariah. Dari segi bahasa

maqashid al-syariat berarti maksud atau tujuan disyari’atkan hukum Islam. Karena itu, yang menjadi bahasan utama didalamnya adalah mengenai masalah hikmat dan

ilat ditetapkannya suatu hukum. Dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer, perlu diteliti lebih dahulu hakekat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya. Artinya dalam menetapkan

nash dalam suatu kasus yang baru, kandungan nash harus diteliti dengan cermat, termasuk meneliti tujuan disyari’atkan hukum tersebut.

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqih, ada lima unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan, yaitu :

a. Memelihara agama (Hifzh al-Din). b. Memelihara Jiwa (Hifzh al-Nafs). c. Memelihara akal (Hifzh al-Aql). d. Memelihara keturunan (Hifzh al-Nasl).


(36)

e. Memelihara harta (Hifzh al-Mal).36

Dikenal dengan maqashidut tasry’. Dapat dilihat, bahwa memelihara keturunan merupakan salah satu tujuan hukum Islam. Anak merupakan anugerah yang sangat besar dari Tuhan, oleh karena itu hendaknya juga dilahirkan dalam ikatan suci perkawinan. Namun, dalam kenyataan akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kelahiran anak diluar perkawinan. Ditinjau dari tingkat kebutuhannya, memelihara keturunan dapat dibedakan menjadi tiga peringkat :

a. Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.

b. Memelihara keturunan dalam peringkat hajiyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikan hak talaq

kepadanya.

c. Memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’atkan khitbah

atau walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan.37

Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.38 Terdapat macam-macam teori mengenai

keadilan dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut teori keadilan Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics.

36 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Penerbit Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hal. 128.

37 Ibid, hal. 130.

38 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1995 hal. 196.


(37)

Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku

nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.39

Yang sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.40

Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua,

39 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hal 24.


(38)

yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.41

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.42

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan, jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimana pun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.43

Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang

41Ibid. 42Ibid, hal 25. 43Ibid.


(39)

didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampur adukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.44

Kaitan teori ini terhadap anak luar kawin adalah bahwasanya bagaimanapun anak luar kawin juga adalah darah daging orang yang membenihkannya dan karena anak yang dilahirkan itu tidak tergantung atau bertanggung jawab atas dosa ibu bapaknya.

Hal ini tegas dinyatakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam suatu hadist dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari berbunyi sebagai berikut yang artinya:

“Rasulullah SAW bersabda, tidak seorang pun yang dilahirkan melainkan dalam keadaan suci, kedua ibu bapaknyalah yang menjadikan anak itu Yahudi dan Nasrani, seperti lahirnya seekor hewan, apakah pernah kamu dapati terpotong telinganya (kecacatan dalam tubuhnya), kecuali kamu sendiri yang memotongnya (mencacatnya).”45

44Ibid, hal 26.

45 Al-Kirmany, Syarah Shahih Bukhary, penerbit Al-Bahriyah Al-Misriah, Kairo, 1937, hal. 76, dalam makalah M.Yusuf Ishaq, Pernikahan Wanita Hamil karena Zina menurut Hukum Islam dan


(40)

Anak diluar kawin tidak dapat disalahkan, tetapi yang salah adalah ibu bapaknya yang bertanggung jawab dihadapan Tuhan nanti atas perbuatan yang terkutuk itu, sedangkan anak tersebut tidak berbeda kedudukannya seperti anak yang sah dalam hubungan terutama ketakwaan terhadap Tuhan. Sehingga dengan demikian sudah sewajarnya anak tersebut juga dapat diberikan kelonggaran untuk memperoleh hak-hak yang sama seperti anak sah dalam perkawinan atau sekurang-kurangnya dapat diakui juga sebagai anak. Demikian juga dalam hal warisan hendaknya juga diberikan kepadanya bagian warisan walaupun tidak sebesar bagian anak yang sah.

Teori yang berikutnya adalah teori perlindungan yang dikemukakan oleh Suhardjo yaitu teori pengayoman,46 dengan kata lain teori pengayoman adalah menerapkan fungsi hukum untuk melindungi hak-hak anak melalui pengakuan dan pengesahan. Dalam hal ini hukum melindungi manusia secara aktif dan pasif. Melindungi secara aktif artinya memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk terus menerus memanusiakan dirinya. Hukum bertujuan menciptakan kondisi atau lingkungan hidup masyarakat yang manusiawi dan memungkinkan proses-proses kemasyarakatan berlangsung secara wajar. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi, bakat, dan kemampuan manusia secara utuh, termasuk tujuan untuk memelihara dan mengembangkan budi pekerti, kemanusiaan serta cita-cita yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan


(41)

melindungi secara pasif artinya memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan, sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tenteram.

Perlindungan terhadap hak-hak anak juga diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu :

“Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.” Selanjutnya dalam Pasal 23 disebutkan :

(1) Negara dan pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.

(2) Negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian dalam Pasal 24 juga disebutkan :

“Negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.” Dan terakhir dalam Pasal 25 disebutkan :

“Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak.”

Hak-hak anak juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52, yaitu :


(42)

(1) Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan Negara.

(2) Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Kemudian dalam Pasal 57 disebutkan :

(1) Setiap anak berhak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing kehidupannya oleh orang tuanya atau walinya sampai dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Setiap anak berhak untuk mendapatkan orang tua angkat atau wali

berdasarkan putusan pengadilan apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau karena suatu sebab yang sah tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai orang tua.

(3) Orang tua angkat atau wali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menjalankan kewajiban sebagai orang tua yang sesungguhnya.

Pada tanggal 20 November 1959 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengesahkan hak-hak anak. Didalam mukadimah deklarasi ini tersirat antara lain bahwa umat manusia berkewajiban memberikan yang terbaik buat anak-anak.

Secara garis besar, deklarasi memuat asas tentang hak-hak anak yaitu hak untuk memperoleh perlindungan khusus, kesempatan, dan fasilitas yang memungkinkan mereka berkembang secara sehat dan wajar dalam keadaan bebas dan bermanfaat, memiliki nama dan kebangsaan sejak lahir, mendapat jaminan sosial termasuk gizi yang cukup, perumahan, rekreasi dan pelayanan kesehatan, memperoleh pendidikan, perawatan dan perlakuan khusus jika mereka cacat, tumbuh dan dibesarkan dalam suasana yang penuh kasih dan rasa aman sedapat mungkin dibawah asuhan serta tanggung jawab orang tua mereka sendiri, dalam mendapatkan


(43)

pendidikan, dan dalam hal terjadi kecelakan atau malapetaka, mereka termasuk orang yang pertama memperoleh perlindungan serta pertolongan, memperoleh perlindungan terhadap segala bentuk yang menyia-nyiakan (anak), kekejaman dan penindasan serta perbuatan yang mengarah ke dalam bentuk diskriminasi.

Secara garis besar, maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian yaitu :

a. Perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi perlindungan dalam : 1. Bidang hukum publik

2. Bidang hukum keperdataan.

b. Perlindungan yang bersifat non yuridis yang meliputi antara lain : 1. Bidang sosial

2. Bidang kesehatan 3. Bidang pendidikan.47

Jadi perlindungan anak yang bersifat yuridis ini meliputi semua aturan hukum yang mempunyai dampak langsung bagi kehidupan seorang anak, dalam arti semua aturan hukum yang mengatur kehidupan anak. Salah satu contohnya adalah perlindungan terhadap asal usul anak. Sebelum terlahirkannya anak dalam keluarga maka harus dilakukan perkawinan, perkawinan itu sendiri menurut undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 adalah “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan

47 Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1990, hal. 13.


(44)

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jelaslah bahwa perkawinan merupakan lembaga suci dan berkuatan hukum. Dengan adanya perkawinan akan memberikan kejelasan status dan kedudukan anak yang dilahirkan. Jadi asal usul kelahiran seseorang tentunya sangat menentukan kehidupannya kelak, seperti halnya dengan status apakah dia terlahir sebagai anak sah atau anak diluar kawin. Dari perbedaan satus tersebut maka akan membedakan hak dan kedudukan anak sah dan anak luar kawin.

2. Konsepsi

Penyelesaian hak-hak dan kewajiban-kewajiban sebagai akibat meninggalnya seseorang, diatur oleh hukum waris. Dalam hukum perdata pengertian hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati sebagai akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.48

48 A. Pitlo, Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, terjemahan M. Isa Arief, Intermasa, Jakarta, 1979, hal. 1.


(45)

R. Santoso Pudjosubroto, mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan hukum waris adalah :

“Hukum yang mengatur apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.”49

Dengan demikian maka mewaris, berarti menggantikan tempat seseorang yang meninggal (si pewaris) dalam hubungan-hubungan hukum harta kekayaannya. Hubungan-hubungan hukum yang lain, misalnya hubungan dalam hukum keluarga, kecuali beberapa hal yang disebut dalam pasal-pasal 257, 258, dan 270 KUH Perdata. Sebaliknya, ada pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta kekayaan yang tidak termasuk disini. Jadi, ada pula beberapa hubungan hukum dalam hukum harta kekayaan yang tidak menjadi warisan, yaitu :

1. Hak-hak yang bersifat pribadi, seperti : a. Hak pakai dan mendiami.

b. Vruchtgenot (Orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua berhak menikmati hasil atas harta kekayaan si anak) dari orang tua.

c. Hak-hak penuh sebagai buruh berdasarkan perjanjian kerja, tidak diwaris oleh ahli waris.

2. Tidak termasuk hoogstpersoonlijke rechten (Hak-hak yang sangat pribadi), dan juga tidak termasuk warisan adalah : hak vruchtgebruik (suatu hak kebendaan

49 R. Santoso Pudjosubroto, Masalah Hukum Sehari-hari, Hien Hoo Sing, Yogyakarta 1964, hal. 8.


(46)

untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya semula).50

Selanjutnya, Klassen-Eggens menunjuk bahwa ada pula hak dan kewajiban yang hanya berpindah secara terbatas, misalnya perijinan mengangkut barang, bahwa berakhirnya hak dan kewajiban karena kematian seseorang tidak menghalang-halangi (mengurangi) kewajiban memberikan perhitungan dan tanggung gugat yang berpindah kepada ahli waris, misalnya dalam hal eksekusi atau pemberian kuasa.51

3. Pembayaran asuransi jiwa. Pada umumnya pembayaran asuransi jiwa tidak termasuk warisan. Pensiun yang diberikan kepada si janda berdasarkan perjanjian kerja, lebih banyak dipandang sebagai hak yang sewajarnya jatuh pada si janda, sehingga hak itu dipandang diperoleh berdasarkan suatu natuurlijke verbintenissen52 (suatu perikatan yang berada di tengah-tengah antara moral atau

kepatutan dan suatu perikatan hukum atau perikatan hukum tidak sempurna, hutang dianggap ada, tetapi hak untuk menuntut pembayaran

50 R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Penerbit Intermasa, Jakarta, 1985, hal. 76. 51

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal. 3.


(47)

tidak ada, dimana baru jadi sempurna bila ia membayar hutang itu, sehingga jadi perikatan biasa).53

Dalam hukum Islam, istilah ilmu waris dikenal dengan ilmu faraidh. Adapun yang dimaksud dengan faraidh adalah masalah pembagian harta warisan. Kata

faraidh adalah bentuk jamak dari al-faridhah yang bermakna al-mafrudhah atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya, pembagian yang telah ditentukan kadarnya.54

Menurut bahasa, lafal faridhah diambil dari kata al-fardh atau kewajiban yang memiliki makna etimologis dan terminologis. Secara etimologis, kata al-fardh

memiliki beberapa arti, diantaranya sebagai berikut :55

1. al-qath yang berarti ketetapan atau kepastian. Misalnya dalam ungkapan ﺖﻌﻂﻗ ﻱ ﺃ ﻞ ﺎﻤﻠ ﺍ ﻥﻣ ﺍ ﺫﻜ ﻦ ﻼﻓﻠ ﺖﻀ ﺮﻔ aku telah menetapkan dengan pasti bagian harta untuk si fulan. Dalam firman Allah SWT Q.S. an-Nisa ayat 7 :

“…Sebagai suatu bagian yang telah ditetapkan.”

2. at-taqdir yang berarti suatu ketentuan, seperti firman Allah SWT Q.S. Al-Baqarah ayat 237 :

“…Karena itu, bayarlah separuh dari (jumlah) yang telah kau tentukan itu…” 3. al-inzal yang berarti menurunkan, seperti firman Allah SWT Q.S. al-Qashash ayat

85 :

“Sesungguhnya, Yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al-Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali….”

4. at-tabyin yang berarti penjelasan, , seperti firman Allah SWT Q.S. at-Tahrim ayat 2 :

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu….”

5. al-ihlal yang berarti menghalalkan, , seperti firman Allah SWT Q.S. al-Ahzab ayat 38 :

“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya.”

53 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Loc Cit.

54 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Op Cit, hal. 11. 55Ibid.


(48)

6. al-‘Atha yang berarti pemberian, seperti dalam pepatah bangsa Arab yang berbunyi ﺀ ﺎﻃﻋ ﻱ ﺃ ﺎﻀ ﺮﻔ ﻻ ﻮ ﺎﻀ,ﺮﻓ ﻪﻨﻤ ﺖﺒﺻ ﺃ ﻻaku tidak mendapatkan pemberian ataupun pinjaman darinya. Kata fardh dalam ungkapan tersebut berarti pemberian. Keenam arti diatas dapat digunakan seluruhnya karena ilmu faraidh meliputi beberapa bagian kepemilikan, yang telah ditentukan secara tetap dan pasti. Disamping itu, penjelasan Allah SWT tentang setiap ahli waris yang menerima bagiannya masing-masing, semuanya merujuk pada sebutan atau penamaan ilmu

faraidh.

Secara terminologis, ilmu faraidh memiliki beberapa definisi, yakni sebagai berikut :56

1. Penetapan kadar warisan bagi ahli waris berdasarkan ketentuan syara’ yang tidak bertambah, kecuali dengan radd (mengembalikan sisa lebih kepada para penerima warisan) dan tidak berkurang, kecuali dengan ‘aul (pembagian harta waris, dimana jumlah bagian para ahli waris lebih besar daripada asal masalahnya, sehingga harus dinaikkan menjadi sebesar jumlah bagian-bagian itu). 2. Pengetahuan tentang pembagian warisan dan tata cara menghitung yang terkait

dengan pembagian harta waris dan pengetahuan tentang bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris.

3. Disebut juga dengan fiqh al-mawarits (fikih tentang warisan) dan tata cara menghitung harta waris yang ditinggalkan.

4. Kaidah-kaidah fikih dan cara menghitung untuk mengetahui bagian dari setiap ahli waris dari harta peninggalan.

5. Disebut juga dengan ilmu yang digunakan untuk mengetahui ahli waris yang dapat mewarisi serta mengetahui kadar bagian setiap ahli waris.57

Sedangkan status hak waris anak dapat dikatakan sebagai ketentuan mengenai kedudukan hukum ahli waris terhadap harta warisan dan besarnya bagiannya.

56

Ibid, hal.12.

57 At-Tadrir, Asy-Syarh al-Kabir, juz IV, Mesir, t.t., hal. 406, dalam Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Op Cit, hal. 12.


(49)

Dalam Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan :

“Anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah.”

Dan dalam Pasal 250 KUH Perdata disebutkan pengertian anak sah, yaitu : “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya.”

Jadi, anak yang dilahirkan dalam suatu ikatan perkawinan yang sah mempunyai status sebagai anak kandung dengan hak-hak keperdataan melekat padanya serta berhak untuk memakai nama dibelakang namanya untuk menunjukkan keturunan dan asal-usulnya.

Sedangkan pengertian anak luar kawin adalah :

“Anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya.”58

Dalam hukum perdata, anak yang lahir diluar perkawinan dinamakan

natuurlijk kind. Ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut KUH Perdata, baru dengan adanya pengakuan lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak waris antara anak dengan orang

58 Abdul Manan, Aneka Masalah hukum Perdata Islam di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta, 2006, hal. 80.


(50)

tua yang mengakuinya. Dan hubungan kekeluargaan antara anak dan keluarga orang tua yang mengakuinya baru terjadi dengan adanya pengesahan.59

Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan :

“Anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.”

Dalam hukum Islam melakukan hubungan seksual antara pria dan wanita tanpa ikatan yang sah disebut zina. Ada dua macam istilah bagi zina, yaitu zina muhson, yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah atau pernah nikah, hukumannya dirajam sampai mati, dan zina ghairu muhson adalah zina yang dilakukan oleh orang yang belum pernah menikah, berstatus jejaka/perawan, dan hukumannya adalah dicambuk seratus kali, dan anak yang dilahirkan disebut anak zina atau anak luar kawin.60

Disamping hal tersebut diatas, hukum Islam juga menetapkan anak luar kawin, yaitu :

1. Anak mula’nah, yaitu anak yang dilahirkan dari seorang wanita yang di-li’an

suaminya. Kedudukan anak mula’nah ini hukumnya sama saja dengan anak zina, ia tidak mengikuti nasab suami ibunya yang me-li’an, tetapi mengikuti nasab ibu yang melahirkannya, ketentuan ini berlaku juga terhadap hukum kewarisan, perkawinan, dan lain-lain.

59R. Subekti, Op Cit, hal. 50. 60 Abdul Manan, Op Cit, hal. 82.


(51)

2. Anak syubhat, kedudukannya tidak ada hubungan nasab dengan laki-laki yang menggauli ibunya, kecuali kalau laki-laki itu mengakuinya.61

Pengertian perbandingan adalah :

“Menguji benda-benda untuk melihat bagaimana persamaannya dan bagaimana perbedaannya.”62

Pengertian Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah :

“Suatu dokumen yustisia atau buku Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman bagi hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.”63

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi dan tipe penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan mengenai status hak waris anak luar kawin baik dari KHI maupun Hukum Perdata BW. Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.64 Penelitian ini adalah untuk menganalisa kaedah hukum tentang waris anak luar kawin ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam

61 Ibid, hal. 83.

62 Martin H. Manser, Oxford Learner’s Pocket Dictionary, Oxford University Press, New York, 1995.

63 Penjelasan Kompilasi Hukum Islam Bagian Umum poin 5.

64Soerjono Soekamto, Penelitian Hukum Normative, Penerbit Bayumedia, Surabaya, 2006, hal. 14.


(52)

(KHI) dan hukum perdata, yang menggambarkan, menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang berkaitan dengan waris anak luar kawin, berdasarkan Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Undang-Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam yang pemberlakuannya didasarkan dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, serta Peraturan-peraturan perundangan lainnya, sehingga diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai waris anak luar nikah tersebut. Penelitian normatif ini mengutamakan penelitian kepustakaan (library research).65

Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) yaitu melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian serta ditunjang conceptual approach dan

comperatif approach untuk kemudian secara integral distrukturisasi melalui pendekatan sistem (system approach) untuk pembahasannya.

2. Prosedur pengumpulan bahan hukum

Prosedur pengumpulan bahan-bahan hukum tersebut adalah menginventarisasi bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan hukum perkawinan, hukum keluarga, dan hukum waris. Adapun bahan-bahan hukum tersebut terdiri dari :

a. Bahan hukum primer

65 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 82.


(53)

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer mempunyai kekuatan yang mengikat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.66 Yaitu Al-Qur’an, Hadis, Ijma’, KUH Perdata,

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam yang pemberlakuannya didasarkan dengan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, serta Peraturan-peraturan perundangan lainnya.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer yaitu buku ilmu hukum, tesis, disertasi, jurnal hukum, laporan hukum, makalah, dan media cetak atau elektronik. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah yang merupakan publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi, seperti hasil seminar atau pertemuan ilmiah yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang relevan untuk melengkapi data dalam penelitian ini, yaitu seperti kamus umum, kamus hukum,


(1)

bagiannya dengan anak sah, dan porsi-porsi yang berbeda jika ia mewaris bersama ahli waris dari golongan lain.

B. Saran

1. Bagi para pembuat peraturan dan penegak hukum, khususnya dalam KHI hendaknya selanjutnya dibuat peraturan yang lebih tegas mengenai pengakuan anak luar kawin yang juga berdampak kepada kepastian hukum mengenai bagian warisnya.

2. Bagi para pembuat peraturan dan penegak hukum khususnya dalam lapangan hukum Perdata BW hendaknya membuat peraturan baru terutama mengenai status anak luar kawin yang tidak mau diakui kedua orang tuanya guna menyesuaikan dengan keadaan sekarang.

3. Hendaknya kedua sistem hukum ini saling lengkap melengkapi satu sama lain terutama untuk mengisi kekosongan hukum yang ada.


(2)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku

Afandi, Ali., 1986, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian menurut Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta : Penerbit Bina.

Ash-Shidieqy., T. M. Hasbi., 1969, Al-Islam, Jakarta : Bulan Bintang.

Ash-Shiddieqy., Tengku Muhammad Hasbi, 1997, Fiqh Mawaris, Semarang : Penerbit Pustaka Rizki Putra.

Departemen Agama., 1986, Ilmu Fiqh, Jakarta : Penerbit Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana, Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN Jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama.

Djalil, H.A. Basiq, 2006, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta : Penerbit Kencana. Djamil, Fathurrahman., 1999, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Penerbit Logos

Wacana Ilmu.

Friedrich, Carl Joachim., 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung : Nuansa dan Nusamedia.

Hazairin, 1975, Tinjauan Mengenai Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Jakarta : Penerbit Tintamas.

Huijbers, Theo., 1995, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, Yogyakrta : Kanisius. Ibrahim, Jhonny., 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Jakarta,

Penerbit Bayumedia.

Jauhari, Iman., 2003, Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, Jakarta : Penerbit Pustaka Bangsa.

Satrio, J., 1992, Hukum Waris, Bandung : Penerbit Alumni.

Kansil, C. S. T., 1995, Modul Hukum Perdata termasuk Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita.


(3)

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar., 2000, Ahkamul-Mawaarits fil-Fiqhil-Islami, Mesir : Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, diterjemahkan Addys Aldizar dan Faturrahman, 2004, Hukum Waris, Jakarta : Senayan Abadi Publishing.

Manan, Abdul., 2006, Aneka Masalah hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Penerbit Kencana.

____________, 2008, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta : Penerbit Kencana.

____________, 2009, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta : Penerbit Kencana. Marzuki, Peter Mahmud., 2006, Penelitian Hukum, Jakarta : Penerbit Kencana. _______________________, 1994, Al-Fiqhu Madzahibil al-Khamasah, terjemahan

Afif Muhammad, Jakarta : Basrie Press.

Muhammad, Abdul Kadir., 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Penerbit Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Perangin angin, Effendi., t.t., Hukum Waris, Kumpulan Kuliah Jurusan Notariat, Jakarta : Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Pitlo, A., 1979, Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda, terjemahan M. Isa Arief, Jakarta : Intermasa.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo., 2000, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya : Airlangga University Press.

Prodjodikoro, Wirjono, 1983, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung : Penerbit Sumur Bandung.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioeddin., 1982, Hukum Orang dan Keluarga, Bandung : Penerbit Alumni.

Pudjosubroto, R. Santoso, 1964, Masalah Hukum Sehari-hari, Yogyakarta : Hien Hoo Sing.

Rahman, Fatchur, 1975, Ilmu Waris, Bandung : Penerbit PT Al-Ma’arif.


(4)

Salman, H. R. Otje dan Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Bandung : P.T. Refika Aditama.

Sembiring, M. U., 1989, Beberapa Bab Penting dalam Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Medan : Penerbit Program Pendidikan Notariat, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

Sianturi, P. 1990, Hukum Waris, Medan : Penerbit Fakultas Hukum Universitas Dharma Agung.

Situmorang, Victor M.,S dan Cormentyna Sitanggang, 1996, Aspek Hukum Catatan Sipil di Indonesia, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika.

Sjarif, Surini Ahlan dan Nurul Elmiyah., 2005, Hukum Kewarisan Perdata Barat, Jakarta : Penerbit Kencana.

Soekanto, Soerjono., 2006, Penelitian Hukum Normative, Surabaya : Penerbit Bayumedia.

Soemitro, Irma Setyowati., 1990, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Penerbit Bumi Aksara.

Soimin, Soedharyo Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat BW, Hukum Islam dan hukum Adat, Jakarta : Penerbit Sinar Grafika.

Subekti, R., 1985, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta : Penerbit Intermasa.

__________, 1989, Kaitan Undang-undang Perkawinan dengan Penyusunan Hukum Waris, Jakarta : Kertas Kerja, Simposium Hukum Waris, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.

Sulaiman, H. Nukman dkk, 1987, Seminar sehari tentang meminjamkan rahim untuk kandungan bayi, Medan : Penerbit Yaspen UNIVA, Universitas Al-Wasliyah. Supramono, Gatot., 2000, Hukum Acara Pengadilan Anak, Jakarta : Penerbit

Djambatan.

Soekanto, Soerjono., t.t., Hukum Adat di Indonesia, Jakarta : Penerbit Rajawali. Thaib, H. M. Hasballah., 2010, Kuliah Agama dan Etika Kedokteran, Medan :


(5)

Tutik, Titik Triwulan., 2008, Hukum Perdata dalam Sistem hukum Nasional, Jakarta : Penerbit Kencana.

Wadong, Maulana Hasan., 2000, Advokasi Hukum dan Perlindungan Anak, Jakarta : Penerbit Grasindo.

Wahid, Abdurrahman Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan, dalam Tjun Surjaman (ed), 1991, Hukum Islam di Indonesia, Bandung : Penerbit Rosda Karya.

Wongsowidjojo, R. Soerojo., 1989, Inventarisasi Masalah Hukum Waris dalam Praktek, Jakarta : Simposim Hukum Waris Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasinal Departemen Kehakiman.

B. Artikel Majalah/Makalah

Asyrof , H. A. Mukhsin dalam makalah berjudul Mengupas Permasalahan istilhaq dalam Islam, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pekanbaru, t. t.

Herusko, H. Anak di Luar Perkawinan, Makalah pada Seminar Kowani, Jakarta, tanggal 14 Mei 1996.

M. Yusuf Ishaq dalam makalah berjudul Pernikahan Wanita Hamil karena Zina menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, Banda Aceh : IAIN Jami’ah Ar-Raniry, 1983.

Abdul Hakim bin Amir Abdat, www.almanhaj.or.id, diakses pada tanggal 20 Maret 2010, pukul 17.00 WIB.

C. Peraturan Perundang-undangan

Departemen Agama RI, 1996, Al Qur’an Al Karim dan Terjemahnya, Semarang : PT Karya Putra Toha.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


(6)

Kompilasi Hukum Islam yang pemberlakuannya berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991

UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama