PROFIL KUANTITAS DAN KUALITAS PENDUDUK PROVINSI BALI TAHUN 2015
10
100 orang penduduk usia produktif menanggung kurang dari 50 orang penduduk nonproduktif. Berdasarkan data hasil SP 2010 dan hasil proyeksi penduduk tahun
2015 secara berturut-turut diperoleh RBK sebesar 56 dan 54. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Bali belum mencapai bonus demografi. Salah satu penyebabnya
adalah belum tercapainya angka kelahiran total sesuai dengan target MDGs Millenium Development Goals yang mencanangkan TFR sebesar 2,1 anak per
wanita tahun 2015. Hasil SDKI 2012 untuk Provinsi Bali cukup mencengangkan karena TFR Bali saat itu mencapai 2,3 anak per wanita. Padahal, menurut hasil
SDKI 20022003 dan SDKI 2007, TFR yang dicapai Bali sudah stagnan pada 2,1 anak per wanita. Implikasi dari kondisi tersebut adalah masih dibutuhkan kerja keras
untuk memantapkan pelaksanaan program KB secara konsisten dan berkelanjutan.
2.3 Distribusi Penduduk Menurut KabupatenKota
Kemampuan suatu daerah untuk menghidupi masyarakatnya berkaitan erat dengan distribusi penduduk pada tingkat kabupatenkota di provinsi yang
bersangkutan. Salah satu indikator kependudukan yang lazim digunakan untuk menggambarkan distribusi penduduk di suatu wilayahdaerah adalah kepadatan
penduduknya. Berkaitan dengan kajian ini, kepadatan penduduk di masing-masing kabupatenkota di Provinsi Bali dapat diikuti pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Kepadatan Penduduk di Provinsi Bali Dirinci Menurut KabupatenKota
Pada Tahun 2010 dan 2015
Tahun 2010 Tahun 2015
Kabupaten Kota
Luas Wilayah
Penduduk Kepadatan
Penduduk Kepadatan
Km
2
Orang Orangkm
2
Orang Orangkm
2
1. Jembrana
841,80 261.638
311 272.272
323 2.
Tabanan 839,33
420.913 501
437.153 521
3. Badung
418,52 543.332
1.298 621.658
1.485 4.
Gianyar 368,00
469.777 1.276
497.172 1.351
5. Klungkung
315,00 170.543
541 176.158
559 6.
Bangli 520,81
215.353 413
223.107 428
7. Karangasem
839,54 396.487
472 409541
458 8.
Buleleng 1.365,88
624.125 457
647.883 474
9. Denpasar
127,78 788.589
6.171 887.006
6.942 Jumlah:
5.636,66 3.890.757
690 4.171.950
740
Sumber: Hasil SP 2010 Provinsi Bali dan Hasil Proyeksi Penduduk Tahun 2015. Secara keseluruhan ditemukan bahwa kepadatan penduduk Provinsi Bali
mengalami peningkatan dari 690 orang menjadi 740 orang per km
2
selama periode 2010-2015. Ditinjau dari segi polanya, terdapat kemiripan kepadatan penduduk
menurut kabupatenkota di Provinsi Bali antara tahun 2010 dan 2015. Kabupaten
PROFIL KUANTITAS DAN KUALITAS PENDUDUK PROVINSI BALI TAHUN 2015
11
yang memiliki kepadatan penduduk terendah dijumpai di Kabupaten Jembrana, sementara kabupaten dengan kepadatan penduduk tertinggi ditemukan di Kota
Denpasar. Terdapat tiga kabupatenkota yang memiliki kepadatan penduduk di atas 1.000 orang per km
2
; seperti Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Gianyar. Tingginya kepadatan penduduk di ketiga kabupatenkota yang disebutkan
di atas tidak dapat dilepaskan dari pesatnya perkembangan aktivitas pariwisata di ketiga wilayah yang diungkapkan di atas. Perkembangan aktivitas pariwisata di
ketiga wilayah tersebut juga memberikan imbas terhadap munculnya kegiatan- kegiatan ekonomi lainnya, dan pada gilirannya akan meningkatkan peluang kerja di
wilayah-wilayah tersebut. Bertambahnya peluang kerja sejalan dengan semakin menggeliatnya kegiatan ekonomi di ketiga wilayah di atas akan menjadi penarik
utama para migran, baik dari kabupaten lain di Bali maupun migran dari luar Bali. Akibatnya, ketiga wilayah tujuan para migran tersebut akan semakin padat.
Kehadiran migran yang semakin banyak di daerah tujuan, tidak hanya membawa dampak positif, akan tetapi juga akan muncul dampak negatif. Dari segi
penyediaan tenaga kerja, kehadiran para migran tersebut akan memudahkan dalam merekrut tenaga kerja. Di pihak lain, kehadiran para migran tersebut justru akan
menimbulkan permasalahan apabila mereka kurang berpendidikan, tidak memiliki keterampilan tertentu. Mereka tidak mampu bersaing di sektor formal, dan akibatnya
sebagian diantara mereka memilih melakukan kegiatan di sektor informal. Ciri umum pekerja sektor informal adalah skala usahanya kecil, pendapatannya rendah
upahnya rendah, dan jam kerjanya panjang. Sisanya, yang tidak terserap di sektor formal maupun informal akan terpaksa menganggur. Rendahnya pendapatan migran
yang bekerja di sektor informal akan menyebabkan mereka terpaksa menempati rumah yang tidak layak huni atau sering disebut sebagai permukiman kumuh.
Demikian pula jika sebagian para migran tidak memperoleh pekerjaan, baik di sektor formal maupun informal akan mengakibatkan mereka terpaksa menjadi penganggur.
Permukiman kumuh dan pengangguran merupakan masalah-masalah sosial yang segera harus dipecahkan oleh pemerintah, agar tidak memicu munculnya berbagai
tindak kriminalitas yang dapat meresahkan masyarakat.
2.4 Laju Pertumbuhan Penduduk