tidak  terlepas  dari  peran  organisasi  perdagangan  internasional.  Seperti  yang dinyatakan oleh Thirlwall sebagai berikut:
“In the world economy since 1950 there has been a massive liberalisation of world trade, first under the auspices of the General Agreement on Tariffs and
Trade GATT, established in 1947, and now under the auspices of the World Trade Organisation  WTO  which  replaced  the  GATT  in  1993.  Non-tariff  barriers  to
trade,  such  as  quotas,  licenses  and  technical  specifications,  are  also  being gradually  dismantled,  but  rather  more  slowly  than  tariffs.  Regional  Trade
Agreements RTAs have also become very fashionable in the form of Free Trade Areas  and  Customs  Unions.  The  WTO  lists  76  that  have  been  established  or
modified  since  1948.  The  major  ones  are  the  European  Union  EU;  the  North American  Free  Trade  Area  NAFTA;  Mercosur  covering  Argentina,  Brazil,
Paraguay, Uruguay and Chile; APEC, covering countries in the Asia and Pacific region;  ASEAN  covering  South-East  Asian  countries,  and  SACU,  covering
countries in southern Africa.”
25
1.6.2  Teori Mengikatnya Hukum Internasional
Terdapat  beberapa  teori  yang  mencoba  menjelaskan  mengenai  dasar kekuatan mengikat dari hukum internasional. Teori-teori tersebut antara lain:
1.  Teori Hukum Alam natural law Ajaran  ini  mula-mula  mempunyai  ciri-ciri  keagamaan  yang  kuat,  untuk
pertama kalinya dilepaskan dari hubungannnya dengan keagamaan itu oleh Hugo  Grotius.  Dalam  bentuknya  yang  telah  disekularisir,  hukum  alam
merupakan  hukum  ideal  yang  didasarkan  atas  hakekat  manusia  sebagai makhluk berakal atau kesatuan kaidah-kaidah yang diilhamkan alam pada
akal manusia. Teori hukum alam menyatakan bahwa hukum internasional mengikat  karena  Hukum  Internasional  tidak  lain  daripada  hukum  alam,
yang  diterapkan  pada  kehidupan  masyarakat  bangsa-bangsa  dikarenakan Hukum Alam merupakan hukum yang lebih tinggi. Teori hukum alam ini
memiliki kelemahan yaitu pengertiannya yang abstrak dan tergantung pada penilaian  subjektif.  Akan  tetapi  karena  idealismenya  yang  tinggi  teori  ini
menimbulkan keseganan terhadap hukum internasional dan sekaligus dasar bagi mengikatnya hukum internasional.
26
2.  Teori Kehendak Negara Teori ini mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada karena
kehendak dari negara untuk tunduk pada Hukum Internasional. Aliran ini didasarkan  pada  falsafah  Hegel  yang  dahulu  mempunyai  pengaruh  yang
25
Anthony P. Thirlwall, Op.cit., h. 5.
26
Mochtar Kusumaatmadja, 1982, Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Binacipta,  Bandung,  h.  43-50.  Lihat  juga  Boer  Mauna,  2011,  Hukum  Internasional;  Pengertian,
Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cet IV, PT. Alumni, Bandung. h. 6.
luas di Jerman. Salah satu orang yang paling terkemuka dari aliran ini adalah George  Jellineck  dengan  Shelbst-limitation-theorie-nya.  Seorang  pemuka
lain  dari  aliran  ini  adalah  Zorn  yang  berpendapat  bahwa  hukum internasional  itu  tidak  lain  merupakan  hukum  tata  negara  yang  mengatur
hubungan luar suatu negara. Hukum internasional bukan sesuatu yang lebih tinggi  yang  mempunyai  kekuatan  mengikat  diluar  kemauan  negara.
Kelemahan  dari  teori  ini  yaitu  teori  ini  tidak  dapat  menerangkan  dengan memuaskan bagaimana caranya hukum dapat mengikat negara-negara dan
bagaimana  negara  baru  sejak  munculnya  dalam  masyarakat  hukum internasional  sudah  terikat  dengan  hukum  internasional  terlepas  dari
kemauan negara tersebut.
27
3.  Teori Kehendak Bersama Negara Triepel mengemukakan bahwa hukum internasional mempunyai kekuatan
mengikat  bukan  karena  kehendak  satu  persatu  negara  melainkan  karena adanya kehendak bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing
negara.  Kehendak  bersama  ini  tidak  perlu  dinyatakan  secara  spesifik, melainkan  diberikan  secara  diam-diam  implied.  Teori  ini  mempunyai
kelemahan  yaitu  tidak  dapat  menjawab  pertanyaan  mengenai  kekuatan mengikat dari hukum internasional dalam hal negara melepaskan diri dari
kekuatan mengikat tersebut.
28
4.  Mazhab Wiena Menurut  madzab  ini  bukan  kehendak  negara  melainkan  suatu  norma
hukumlah  yang  merupakan  dasar  terakhir  dari  kekuatan  mengikat  hukum internasional. Menurut madzab ini kekuatan mengikat suatu kaedah hukum
internasional  didasarkan  suatu  kaedah  yang  lebih  tinggi  yang  pada gilirannya  didasarkan  pada  kaidah  yang  lebih  tinggi  lagi,  demikian
seterusnya  sampai  pada  kaidah  dasar  grundnorm  yang  tidak  dapat  lagi dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan harus diterima
adanya  sebagai  suatu  hipotesis  asal.  Hans  Kelsen  yang  dianggap  sebagai bapak  dari  Madzab  Wiena  mengemukakan  azas  “pacta  sunt  servanda”
sebagai  kaidah  dasar  grundnorm  dari  hukum  internasional.  Kelemahan dari  teori  ini  yaitu  ketidakmampuannya  dalam  menjawab  dasar
mengikatnya kaidah dasar grundnorm.
29
5.  Mahzab Perancis Madzab  ini  mendasarkan  kekuatan  mengikat  hukum  internasional  pada
faktor-faktor  biologis,  sosial  dan  sejarah  kehidupan  manusia  yang dinamakan  fakta-fakta  kemasyarakatan  fait  social.  Jadi  dasar  kekuatan
mengikat  hukum  internasional  terdapat  dalam  kenyataan  sosial  bahwa hukum  itu  perlu  mutlak  bagi  dapat  terpenuhinya  kebutuhan  manusia
bangsa untuk hidup bermasyarakat.
30
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Ibid.
30
Ibid.
1.6.3   Teori tentang Organisasi Internasional